[Minggu Prapaskah III: Kel 3:1-15; Mzm 103:1-11; 1Kor 10:1-12; Luk 13:1-9]
Sejumlah berita di TV belakangan ini mungkin membuat kita miris. Gedung konser dibom teroris, sehingga banyak orang menjadi korban. Seorang wanita muda tewas karena racun sianida yang dimasukkan ke dalam kopinya di mall. Orang yang sedang duduk di pinggir jalan, meninggal ditabrak mobil karena supirnya mabuk. Bukankah tragisnya peristiwa-peristiwa ini mengingatkan kita bahwa apa yang disebut dalam Injil hari ini—yaitu 18 orang yang wafat tertimpa menara, dan orang-orang yang dibunuh Pilatus— sesungguhnya pun relevan bagi kita. Kematian mendadak seolah mau menunjukkan begitu tipisnya batas antara hidup dan mati. Dan kita tidak pernah bisa mengetahui bagaimanakah nantinya kisah kematian kita sendiri. Hanya satu yang bisa kita ketahui, yaitu kematian itu bisa datang begitu tiba-tiba, dan bisa juga terjadi dengan begitu mengenaskan. Namun yang lebih penting daripada memikirkan bagaimana kelak kematian kita, adalah bagaimana sekarang hidup kita. Dan itulah salah satu pesan yang kita peroleh dari Bacaan Injil hari ini.
Menurut catatan St. Sirilus, orang-orang yang dibunuh Pilatus adalah para pengikut Yudas, seorang Galilea yang disebut dalam Kisah para Rasul (lih. Kis 5:37). Banyak pengikutnya menolak untuk mengakui Kaisar sebagai tuan mereka, dan karena itu dihukum oleh Pilatus. Mereka berkata bahwa orang tak boleh mempersembahkan kepada Allah kurban apa pun yang tidak sesuai dengan hukum Musa, dan karena itu mengharamkan persembahan kurban yang ditujukan bagi kesejahteraan kaisar dan orang-orang Romawi. Maka Pilatus memerintahkan agar orang-orang Galilea itu dibunuh bersama dengan kurban-kurban yang mereka persembahkan, dan mencampurkan darah mereka dengan darah kurban itu…. Lalu para penguasa memberitahukan hal ini kepada Yesus, untuk mengetahui tanggapan-Nya tentang hal itu. Tetapi Ia, yang membenarkan bahwa mereka adalah orang-orang berdosa, tidak serta merta menghakimi bahwa mereka mengalami hal tersebut, seolah-olah karena mereka berdosa lebih parah daripada orang-orang yang tidak mengalami kematian semacam itu….” (St. Cyril, Catena Aurea, Luk 13:1-). Sebab belum tentu kita lebih baik daripada orang-orang yang tertimpa kemalangan itu.
Maka, Tuhan Yesus menghendaki agar kita menilik kepada ada hidup kita sendiri, ketika kita mendengar kisah-kisah tragis semacam ini. Janganlah kita lekas menghakimi orang lain, dan menganggap diri “lebih baik” daripada orang yang wafat itu. Sebaliknya, lebih baik kita lekas bertanya kepada diri sendiri: Sudahkah aku bertobat? Selagi hidup, bagaimana aku mengisi hidupku? Sudahkah aku berbuah? Masa Prapaska adalah kesempatan untuk merefleksikan kehidupan kita, sejauh mana kita telah mengikuti jalan Tuhan, terutama di tengah kesulitan dan pergumulan hidup.
Bacaan Pertama mengajak kita merenungkan sejak saat pertama Tuhan memanggil kita. Dikisahkan di sana ketika Allah pertama kalinya menyatakan diri-Nya kepada Musa dengan sebutan, “Aku adalah ‘Sang Aku’.” Atau yang dalam bahasa aslinya YHWH (Yahwe). Allah kemudian mengutus Musa untuk membawa umat Israel keluar dari penjajahan bangsa Mesir (lih. Kel 3:12-14). Demikian pula, sesungguhnya kita pun mengalami bagaimana Allah menyatakan diri kepada kita, yaitu di dalam diri Yesus, atau dalam bahasa aslinya Jeshua, yang artinya “Yahwe adalah keselamatan.” Maka sesungguhnya pernyataan diri Allah kepada kita telah lebih sempurna, daripada yang dinyatakanNya kepada bangsa Israel di zaman Perjanjian Lama. Di Bacaan Kedua, Rasul Paulus yang mengacu kepada pengalaman bangsa Israel, juga mengingatkan kita, betapa kita telah menerima makna sesungguhnya dari apa yang telah mereka alami. Mereka dibaptis dalam air laut dan awan; sedangkan kita, telah dibaptis dalam air dan Roh Kudus yang dilambangkan oleh awan itu. Dan kemudian mereka diberi makan dari manna yang datang dari langit dan minum dari air dari batu karang; sedangkan kita diberi makan dan minum dari Sang Roti yang datang dari Surga, yaitu sungguh-sungguh Tubuh dan Darah Tuhan Yesus sendiri, dalam rupa roti dan anggur.
Namun pertanyaannya, apakah rahmat surgawi itu telah mengubah kita? Sebab di zaman Perjanjian Lama, rahmat surgawi yang telah tercurah dengan luar biasa itu, ternyata tidak disambut dengan semestinya. Sejumlah besar dari bangsa Israel malah bersungut-sungut, sehingga akhirnya satu generasi dari mereka tidak dapat masuk ke Tanah Terjanji. Sepertinya tragis, karena kesalahan yang satu ini, mereka tidak dapat menikmati penggenapan janji Tuhan. Demikianlah, Rasul Paulus menjadikan mereka sebagai contoh untuk mengingatkan agar kita tidak berlaku serupa (lih. 1Kor10:10-12). Sebab hal bersungut-sungut itu bukan hanya “penyakit” orang zaman dulu. Kita pun perlu memeriksa diri, apakah kita juga mudah bersungut-sungut atau mudah komplain? Misalnya: Misanya terlalu panjang lah, koornya kurang merdu, khotbahnya monoton, dekorasi bunga kurang serasi, dst. Karena perhatian kepada hal-hal yang begini, fokus sesungguhnya yaitu Kristus yang kita terima dalam Ekaristi, malah sepertinya kurang disyukuri. Itu baru soal Misa. Dalam kehidupan sehari-hari, sifat bersungut-sungut ini juga dapat membuat kita kurang peka dan kurang bersyukur atas berlimpahnya berkat penyertaan Tuhan yang telah kita alami. Bahkan dengan sifat bersungut-sungut, kita cenderung melihat kesalahan orang lain, daripada kesalahan diri sendiri. Padahal, melihat kesalahan sendiri adalah prasyarat pertobatan. Inilah yang diminta oleh Yesus, agar kita menarik hikmat dari berbagai peristiwa, bahkan tragedi di sekitar kita, sebagai ajakan untuk bertobat. Agar setelah bertobat, kita dapat mengisi hidup kita dengan kebaikan dan berbuah bagi Tuhan dan sesama.
Minggu depan adalah pertengahan Masa Prapaska. Gereja mengundang kita untuk bertobat dan mengaku dosa dalam sakramen Tobat. Gereja-gereja dibuka 24 jam, Jumat 4 Maret 2016, untuk melayani penerimaan sakramen ini. Dengan rasa syukur, marilah kita mempersiapkan batin untuk menerima rahmat pengampunan-Nya. Sebab pada Tuhan ada kasih setia, dan penebusan berlimpah….
“Tuhan adalah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia. Setinggi langit di atas bumi, demikian besarnya kasih setia-Nya atas orang-orang yang yang takwa kepada-Nya” (Mzm 103:8,11).