[Minggu Prapaskah IV, Hari Minggu Laetare: Yos 5:9-12; Mzm 34:2-7; 2Kor 5:17-21; Luk 15:1-3,11-32]
“Ada berapa jumlah mata yang ada di gambar lambang Tahun Yubelium Kerahiman Allah yang kita rayakan tahun ini?” demikian tanya Bapa Uskup Ignatius Suharyo dalam homili di parokiku. Buru-buru kupandang gambar yang tergantung di dekat altar. Gambar Tuhan Yesus menopang seseorang di pundak-Nya. Sudah sering sebenarnya aku melihat gambar itu, tetapi aku tidak pernah menghitung jumlah matanya! Saat itu, baru kusadari bahwa jumlah matanya bukan empat tetapi hanya ada tiga. Rupanya itu memang ada maksudnya. Kata Bapa Uskup, yang mengutip Fr. Marko Rupnik sang pencipta logo, arti dari satu mata Yesus yang menjadi satu dengan satu mata orang tersebut menunjukkan betapa “Kristus melihat dengan mata manusia dan manusia melihat dengan mata Kristus.” Manusia itu adalah kita semua, pendosa yang bertobat. Kita yang bertobat digabungkan dengan Kristus, supaya memiliki setidaknya satu mata yang mempunyai cara pandang seperti mata Tuhan Yesus, Sang Juru Selamat yang menopang kita. Dan kalau dirumuskan secara sederhana, cara pandang Yesus pada dasarnya adalah, memandang orang lain dengan belas kasih. Di hari Minggu Laetare (artinya Minggu Suka cita) ini, kita secara khusus dengan suka cita mensyukuri belas kasih, kerahiman Allah.
Di Bacaan Pertama kita diingatkan akan penggenapan janji Allah kepada umat-Nya yang memegang perjanjian-Nya. Mereka adalah orang-orang yang taat kepada Allah dan tidak bersungut-sungut di padang gurun. Dipimpin oleh Yosua, mereka akhirnya dapat masuk ke Tanah Terjanji, yaitu tanah Kanaan. Yosua menjadi gambaran akan Yosua/ Yesua yang kemudian, yaitu Yesus, yang artinya adalah Allah yang menyelamatkan. Dalam diri Yesuslah, kita melihat wajah Allah yang maharahim, yang senantiasa menghendaki pertobatan dan keselamatan umat-Nya. Ia lah Allah yang menopang dan menggendong kita, sebagaimana yang kita lihat dalam logo Tahun Kerahiman tersebut.
Ya, meskipun manusia kerap kali berdosa, Allah tetap mau mengampuni kembali setiap kali ia bertobat. Pengampunan Allah ini terus berlangsung di sepanjang hidup manusia dan di sepanjang sejarah manusia. Itulah sebabnya, Allah memercayakan pelayanan pengampunan ini—yang mendamaikan manusia dengan Allah—kepada para rasul dan para penerus mereka. Demikianlah yang dikatakan Rasul Paulus, “Kristus… telah memercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kami…. Dalam nama Kristus, kami meminta kepadamu: Berilah dirimu didamaikan dengan Allah” (Luk 15: 18,20). Inilah yang terjadi setiap kali kita menghampiri tahta kerahiman Allah dalam sakramen Pengakuan Dosa. Kita berdamai dengan Allah, jika kita dengan rendah hati mengakui dosa-dosa kita di hadapan Allah, yang hadir dalam diri para penerus rasul itu, yang kepada mereka Tuhan Yesus telah memercayakan pelayanan pendamaian itu.
Mari kita merobohkan tembok-tembok kesombongan kita, dan datang berlutut di hadapan Allah yang maharahim, untuk memohon ampun atas segala salah dan dosa kita, seperti anak yang hilang dalam kisah Injil hari ini. Melalui kisah tersebut, Tuhan Yesus menghadapkan kepada kita dua sifat manusia, yaitu sebagai si sulung, atau si bungsu. Anak yang sulung, cenderung merasa sudah benar dan tak merasa membutuhkan pertobatan, sedangkan anak yang bungsu adalah sebaliknya. Bukan kebetulan, bahwa Tuhan Yesus mengisahkan perumpamaan ini kepada orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, yang bersungut-sungut karena Ia menerima para pemungut cukai dan orang-orang berdosa. Jadi walaupun kita sering mengingat perikop ini sebagai kisah pertobatan si bungsu, yang telah menyia-nyiakan warisan dari bapanya, namun sesungguhnya kisah ini juga bermaksud menegur orang-orang yang mempunyai sifat seperti si sulung, yang merasa sudah jadi orang benar.
Mungkin kita dengan mudah menghubungkan diri kita dengan si bungsu, jika kita teringat akan dosa berat yang kita lakukan. Namun adakalanya kita pun dapat bersikap seperti si sulung, mirip orang-orang Farisi, yang merasa sudah hidup benar, dan kurang berlapang hati menerima pertobatan sesama. Terhadap sikap seperti ini, St. Yohanes Krisostomus mengatakan, “Ada yang bertanya, apakah orang yang berduka karena kesejahteraan orang lain itu dipengaruhi oleh iri hati. Kami mesti menjawab, bahwa tak ada orang kudus yang berduka karena hal-hal seperti ini. Tetapi memandang kepada hal-hal yang baik pada orang lain sebagai miliknya sendiri…. Maka perikop ini ditulis sampai akhir supaya para pendosa tidak berputus asa agar kembali, dengan mengetahui bahwa mereka akan memeroleh hal-hal yang baik. Dengan demikian, mereka membimbing sesamanya yang resah akan hal-hal yang baik ini karena iri hati. Tetapi mereka yang kembali [bertobat], diperlakukan dengan hormat….” (St. John Chrysostom, Catena Aurea, Luk 15:25-32).
Di Minggu Laetare, mari kita memeriksa batin kita, apakah kita lebih mirip si bungsu, atau si sulung? Apapun keadaan kita, Gereja mengajak kita untuk bersuka cita pada hari ini, untuk mensyukuri kebaikan dan kerahiman Allah, yang selalu siap mengampuni dan menerima kita kembali. Sebab pertobatan itu bukan hanya milik anak yang bungsu, tetapi sebenarnya juga milik anak yang sulung. Pertobatan itu semestinya mengubah kita, untuk setidaknya mempunyai satu mata yang memandang dengan cara yang sama dengan cara pandang Allah. Yaitu menatap dengan belas kasih dan senantiasa bersuka cita oleh karena pertobatan, entah pertobatan diri kita sendiri atau pertobatan orang lain.
“Hendaknya kita menjadi alat belas kasih karena kita telah lebih dahulu menerima belas kasih dari Allah. Hendaknya kita murah hati kepada sesama karena kita tahu bahwa Allah telah menaburkan kebaikan-Nya atas diri kita dengan kemurahan hati yang luar biasa…” (Paus Fransiskus, Bulla Pemakluman Yubelium Luar Biasa Kerahiman Ilahi, Misericordiae Vultus, 14).