Sumber gambar: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/4/4f/Johannes_%28Jan%29_Vermeer_-_Christ_in_the_House_of_Martha_and_Mary_-_Google_Art_Project.jpg

[Hari Minggu Biasa XVI: Kej 18:1-10; Mzm 15:2-5; Kol 1:24-28; Luk 10:38-42]

Mengasihi keduanya—baik Allah maupun sesama—tidak selalu mudah untuk dilaksanakan. Mengasihi sesama yang lebih nyata dan mudah terlihat, lebih mudah dilakukan, namun mengasihi Allah yang tidak terlihat, sering luput dari perhatian kita. Bacaan Injil Minggu ini menunjukkan hal tersebut. Tuhan Yesus mengunjungi Martha dan Maria, dan dari sikap mereka menerima Yesus, kita mengetahui bahwa memberi pelayanan maupun perhatian adalah sesuatu yang baik, namun Tuhan Yesus menunjukkan mana yang lebih utama. Sekilas dari kisah Injil ini, sejumlah orang berpandangan, bahwa Martha telah melakukan kesalahan dengan kesibukannya melayani—mungkin termasuk menyiapkan makanan—untuk Yesus, Sang Tamu Agung. Tetapi sebenarnya, Tuhan Yesus tidak mengecam sikap Martha, atau mengatakan bahwa yang dilakukannya tidak berarti. Namun Tuhan Yesus menunjukkan bahwa kesediaan untuk mendengarkan-Nya lebih baik daripada menyusahkan diri untuk melayani Dia.

Di Bacaan Pertama kita mendengar kisah Bapa Abraham, yang menerima kunjungan tiga malaikat Tuhan yang memberitahukan kepadanya bahwa  Sara  istrinya akan mempunyai seorang anak laki-laki (lih. Kej 18:10).  Betapa lebih istimewanya apa yang dialami oleh Martha dan Maria!  Sebab yang datang kepada mereka bukan malaikat, tetapi Tuhan sendiri. Maka layaklah jika sikap yang ditujukan kepada-Nya lebih istimewa. Jika pada kisah Abraham, ia menyuruh pembantunya untuk mempersiapkan makanan bagi sang tamu; pada kisah Injil, Martha sendirilah yang melayani Sang Tamu Agung. Maka sesungguhnya yang dilakukan Martha adalah sesuatu yang baik. St. Agustinus mengatakan, “Haruskah kita berpikir bahwa celaan ditujukan kepada pelayanan Martha, yang sibuk melayani Tamunya dan yang bersukacita karena kedatangan sang Tamu Agung? Jika ini benar, biarlah orang berhenti melayani orang miskin. Atau dengan kata lain, biarlah mereka bersantai, hanya mengarahkan perhatian untuk memperoleh pengetahuan yang bermanfaat, tak usah memperhatikan jika ada orang asing yang membutuhkan makanan; biarlah karya belas kasih tidak dihiraukan, hanya pengetahuan saja yang ditumbuhkan… Tuhan kita tidak menyalahkan tindakan-tindakan [Martha] tersebut, tetapi membedakan antara tugas-tugas kewajiban itu. Sebab dikatakan, Maria telah memilih bagian yang terbaik. Tidak berarti bahwa yang dilakukan Martha adalah buruk, tetapi yang dilakukan Maria lebih baik. Mengapa lebih baik? Sebab hal itu tidak akan diambil daripadanya. Beban urusan yang penting akan suatu saat diambil daripadamu. Sebab ketika kamu datang suatu negeri, kamu tidak akan menemukan seorang pun untuk diterima dengan keramahtamahan. Namun demi kebaikanmu, hal itu akan diambil darimu, supaya apa yang lebih baik dapat diberikan kepadamu. Kesulitan akan diambil darimu, dan istirahat akan diberikan kepadamu. Kamu masih ada di lautan, tetapi ia [Maria] sudah ada di pelabuhan. Sebab rasa manis kebenaran bersifat kekal. Di hidup [di dunia] ini rasa tersebut bertambah, dan di kehidupan berikutnya, rasa manis tersebut akan menjadi sempurna, dan tak akan diambil daripadamu” (St. Augustine, in Catena Aurea, Luk 10:38-42).

Dari pengajaran St. Agustinus ini, kita mengetahui bahwa tindakan melayani sesama itu baik, melayani tugas-tugas di gereja juga baik, namun itu belum cukup, jika kita belum menyediakan waktu untuk mendengarkan Tuhan Yesus. Di mana kita mendengarkan Dia? Melalui permenungan Sabda-Nya, saat kita berdoa dan membaca Kitab Suci; namun juga secara khusus, saat menerima Dia dalam Ekaristi Kudus. Saat itulah kitapun dapat menjadi seperti Maria, yang “duduk dekat kaki Tuhan” (Luk 10:339) dan mendengarkan apa yang dikehendakiNya dalam hidup kita. Dalam Ekaristi, Allah menyatakan rahasia mulia yang dinyatakanNya kepada segala bangsa, yaitu ”Kristus ada di antara kamu” (Kol 1:27), sebagaimana dikatakan oleh Rasul Paulus. Ya, Kristus ada di tengah kita dan Ia pun ada “di dalam aku”. Jika kita menyadari hal ini, tentu kita akan lebih berusaha mendengarkan Dia, dan lebih berhati-hati dalam berkata-kata dan bertindak. O, seandainya saja kesadaran ini selalu ada dalam diri kita!  Sebab dengan kesadaran akan kedekatan kita dengan Yesus, kita dapat menjadi semakin peka akan suara Tuhan dalam hati kita. Namun kepekaan ini tidak otomatis ada, jika kita tidak lebih dulu dengan setia, menyediakan waktu untuk berdoa, merenungkan Kitab Suci dan menerima-Nya dalam Komuni kudus. Kita tidak akan mungkin dapat berdoa tanpa henti, jika kita tidak memulainya dengan kesetiaan berdoa di waktu-waktu tertentu dalam setiap hari. Doa pagi dan malam, doa sebelum dan sesudah makan, doa Angelus setiap jam 6 dan 12 siang, doa syukur setiap jam 3 siang mengenang sengsara dan wafat Tuhan Yesus….

Mungkin ada baiknya kita belajar dari St. Paus Yohanes Paulus II. Yang sangat mengagumkan darinya, bukanlah hanya doa-doa hariannya, tetapi kebiasaannya untuk berdoa terus menerus tanpa henti. Orang-orang terdekatnya kerap melihatnya begitu tenggelam dalam doa yang khusyuk bahkan di tengah aktivitas sehari-hari, seperti ketika sedang berjalan menuju acara tertentu, dan itu terjadi berkali-kali sepanjang hari. Saat-saat tersebut, nampak sekali kedekatan Paus dengan Tuhan. Kardinal Christoph Schonborn berkata demikian tentang Paus, “Bapa Suci nampak seolah-olah tak pernah berhenti berdoa. Aku tak pernah melihat seorang pun yang terus menerus diresapi dalam kesatuan dengan Kristus dan Allah Bapa seperti itu sebagai keadaan permanen yang memimpinnya untuk menyerahkan segala perbuatannya ke dalam tangan Tuhan. Perhatiannya untuk sesama, sikapnya, perkataannya… semua yang dilakukannya dimandikan dalam doa…” Ia tidak mengadakan waktu untuk masuk dalam doa. Melainkan, ia, demi orang lain, mengadakan waktu untuk keluar dari doa. Kata Paus, “Begitu saya berjumpa dengan orang, saya mendoakannya.” Mereka yang beruntung dapat bertemu dengannya, tidak akan heran dengan perkataannya ini sebab Paus memberi perhatian penuh kepada setiap orang yang dijumpainya. Salah seorang sekretarisnya berkata, “Paus berdoa bagi setiap orang yang ditemuinya, baik sebelum maupun sesudah pertemuan itu…”

Sudahkah kita bersikap demikian? Jika belum, mari kita coba untuk melaksanakannya, mulai saat ini. Dan semoga Injil hari ini, dan teladan St. Maria, St. Martha, dan St. Paus Yohanes Paulus II menuntun kita untuk hidup lebih baik daripada hari kemarin. “Tuhan Yesus, buatlah aku lebih peka mendengar suara-Mu  dalam hatiku, agar apapun yang kukatakan dan kulakukan boleh berkenan kepadaMu. Amin.”