Sharing pelayanan oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC
Setelah selesai merayakan Misa peringatan arwah di sebuah lingkungan pada tanggal 23 Mei 2016, aku duduk bersama umat untuk mendengarkan cerita kehidupan. Seorang ibu tiba-tiba mendatangiku dan berkata: “Romo, aku sudah lama ingin bertemu dengan Romo. Tak terduga Tuhan mempertemukan kita di sini”. Ibu itu bernama Ibu Nani. Usianya limapuluh delapan tahun. Ia memiliki tiga anak. Wajahnya masih segar. Ibu Nani nampak jauh lebih muda dari usianya yang sebenarnya, hanya tubuhnya agak kurus.
Ia kemudian mensharingkan kejadian dalam hidupnya belum lama ini. Pada tanggal 17 September 2016 ia dinyatakan menderita kanker paru-paru stadium empat. Mendengar vonis itu, ia bagaikan tersambar petir di siang bolong. Ia tidak dapat melukiskan perasaannya atas berita yang tak pernah ia duga ini. Ia tak habis mengerti mengapa ia bisa menderita kanker. Kanker itu sekarang telah menjalar sampai tulang-tulang. “Sakitnya luar biasa kalau dirasakan”, katanya.
Aku kemudian bertanya kepadanya: “Bagaimana ibu bisa menahan sakitnya”. Ia menjawab: “Aku mengandalkan Tuhan. Aku bersama keluargaku terus berdoa dan memohon agar Tuhan memberi ketabahan dan kekuatan kepadaku untuk menghadapi ujian kehidupan ini dengan ikhlas. Dalam situasi yang sulit ini, harapanku hanya satu, yaitu bersandar kepada Tuhan. Jika aku tidak mempunyai Tuhan, aku tidak akan demikian tabah menghadapi penyakit kanker ini. Tanpa Tuhan, aku akan sama seperti orang yang tidak beriman; akan gelisah, terus mengeluh, dan menyesali nasib diri yang malang. Aku kini menghabiskan waktuku membaca Firman Tuhan dan kegiatan gerejani. Ternyata kanker bukanlah angker jika dihadapi dengan iman”.
Aku tertegun mendengarkan kesaksiannya. Penderitaannya sungguh memurnikan imannya kepada Tuhan, seperti proses pemurnian emas: “Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu–yang jauh lebih tinggi nilainya daripada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api–sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya” (1Petrus 1:7). Seperti proses menjadikan emas murni dengan api yang sangat panas, tolok ukur iman murid Tuhan terpancar dalam reaksinya pada penderitaan hidup. Semakin tabah dalam menghadapi pergumulan kehidupan, ia semakin menunjukkan kelas imannya yang tinggi.
Kata-katanya “kanker bukanlah angker jika diterima dengan iman” sungguh melekat di hatiku. Imannya memberi kekuatan baru kepadanya untuk dapat menanggung kankernya dengan rela seperti yang telah dikatakan Yesaya: “tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah” (Yesaya 40:31). Iman sungguh bisa mengubah ketakutan menjadi keberanian dan ganas menjadi jinak. Dengan iman, penderitaannya dapat ia jalani dengan sabar
Aku kemudian merenungkan keadaan manusia di era digital ini. Katanya manusia semakin canggih, tetapi banyak manusia yang mengaku beriman justru mudah bersungut-sungut dan bahkan menyerah ketika menghadapi masalah kecil saja. Kini banyak wajah-wajah frustasi di balik kehebatan jaman digital.
Pesan yang dapat kita renungkan dari pengalaman ibu Nani itu: Kesabaran itu senantiasa berbuah indah walaupun pada awalnya terasa pahit. Karena itu, jangan biarkan jiwa resah dan gelisah ketika harus menapaki jalan yang menyakitkan karena penghujung jalan biasanya manis: “Karena itu, saudara-saudara, bersabarlah sampai kepada kedatangan Tuhan! Sesungguhnya petani menantikan hasil yang berharga dari tanahnya dan ia sabar sampai telah turun hujan musim gugur dan hujan musim semi” (Yakobus 5:7).
Tuhan memberkati