“Ini ladang bukan sembarang ladang, tapi ladang jerami. Aku datang bukan sembarang datang, tapi untuk mencurahkan isi hati”. Pantun ini menggambarkan suasana hati dari seorang ibu yang mengunjungiku pada tanggal 19 November 2014. Ia ditemani oleh beberapa orang dari komunitas Emmaus Journey, yang mendalami Kitab Suci setiap hari. Tak perlu kutanyakan siapakah dirinya. Siapakah dirinya sudah terpapar dari wajahnya yang berseri. Ia adalah orang yang diberkati. Ia mengalami cinta dan kuasa Tuhan dalam masa-masa berat kehidupannya selama ini. Cinta dan kuasa Tuhan itu memberikan peneguhan yang sangat berarti.
Ia menikah pada tahun 1981. Empat tahun kemudian, tepatnya 1985, suaminya meninggal dunia. Suaminya meninggal dunia ketika ibu itu berumur dua puluh lima tahun. Ketika suaminya meninggal dunia, anak satu-satunya masih dalam kandungannya dalam usia delapan bulan. Sepeninggal suaminya, ia tidak terus menerus meratapi kehidupannya yang tidak menentu. Ia tidak terpaku dalam problema hidupnya yang berat. Ia tegar menghadapi semuanya itu karena ia senantiasa bersimpuh di hadapan Tuhan. Ia mencurahkan doa-doa dan harapannya kepadaNya bagi anak yang ia cintai. Menjual kue dan menjahit ia lakoni agar anaknya mendapatkan pendidikan yang tinggi. “Puji Tuhan, anakku berhasil meraih gelar S2. Itulah penghiburan yang aku impikan selama ini”, katanya dengan senyuman manis.
Pada tahun 2010, ia terserang stroke. Stroke yang dideritanya tidak membuat semangat hidupnya mati. Ia tetap ceria walaupun tubuhnya lemah. Semangat hidupnya itu dibakar oleh Firman Tuhan yang direnungkan dalam komunitas Emmaus Journey: “Firman Tuhan yang aku renungkan senantiasa membuka mata hatiku terhadap kasih-Nya. Kasih Tuhan itu membuatnya tidak jatuh dalam keputusasaan karena kasih-Nya yang ia hayati terus menumbuhkan imanku kepadaNya. Biarlah tubuhku setengah lumpuh, asalkan imanku kepada Tuhan tidak mati”.
Kasih Tuhan itu kini sangat nyata dalam diri anaknya yang sangat berbakti kepadanya. Anaknya itu mengatakan prinsipnya dalam memilih istri kepadanya: “Ma, aku akan mencari istri yang bisa cocok dengan Mama”. Anaknya itu setiap hari mengeprint ayat-ayat Kitab Suci dengan huruf besar bagi mamanya sehingga mudah baginya untuk membacanya karena matanya memang mulai kabur. Ibu itu mengakui dan mensyukuri kuasa Allah terjadi di sekitar kehidupannya: “Ah, Tuhan ALLAH! Sesungguhnya, Engkaulah yang telah menjadikan langit dan bumi dengan kekuatan-Mu yang besar dan dengan lengan-Mu yang terentang. Tiada suatu apapun yang mustahil untukMu!’ (Yeremia 32:17).
Pesan bagi kita dari sejarah kehidupannya: Tuhan memberikan lima jembatan kehidupan yang menghubungkan satu situasi dengan situasi lainnya. Jembatan terpendek adalah putus asa. Jembatan terpanjang adalah pengharapan. Jembatan terkuat adalah iman. Jembatan termahal adalah pengorbanan. Jembatan terindah adalah kasih. Ketika kita memilih melalui jembatan kasih, kita pasti tidak akan melewati jembatan putus asa. Kita tidak putus asa dalam situasi yang berat karena kasih melahirkan pengharapan. Pengharapan muncul dari iman yang kuat. Iman yang kuat terungkap dalam pengorbanan. Kasih sejati adalah kasih Tuhan sendiri yang senantiasa menyertai setiap langkah kehidupan kita ini. Ucapan syukur kepadaNya merupakan sikap yang pantas bagi Dia yang senantiasa ingin membahagiakan kita, anak-anak-Nya yang Ia kasihi.
Tuhan Memberkati
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC