Sumber gambar: https://www.youtube.com/watch?v=SoujG6h7UGI

[Hari Minggu Palma: Mat 21:1-11; Yes 50:4-7; Mzm 22:8-24; Flp 2:6-11; Mat 26:14-27:66 ]

Yerusalem, Yerusalem, lihatlah Rajamu!” Sambil mengangkat suara, kita pun mengangkat tangan dan melambaikan daun-daun palma di awal Perayaan Ekaristi hari ini. Kita memperagakan penyambutan kepada Tuhan Yesus ketika Ia memasuki Yerusalem sekitar 2000 tahun lalu, yang menjadi kenangan yang hidup bagi kita umat-Nya. Daun-daun palma itu menjadi tanda sukacita, setelah dijadikan sebagai tanda pertobatan kita, kala daun-daun palma tahun sebelumnya dibakar menjadi abu dan ditorehkan dengan Tanda Salib di dahi kita, di hari Rabu Abu yang lalu. Demikianlah selalu ada dimensi sukacita dan salib dalam perjalanan hidup ini. Dan hanya jika memaknainya dalam kesatuan dengan Kristus, kita memperoleh makna yang mendalam akan segala sukacita dan salib yang kita alami di hidup ini.

Paus Fransiskus menegaskan kedua hal ini, yaitu sukacita dan salib, dalam homili Minggu Palma di tahun 2013,

“1. Yesus memasuki Yerusalem. Kerumunan para murid menemani-Nya dalam suasana pesta, pakaian mereka dihamparkan di hadapan-Nya. Ada pembicaraan tentang mukjizat-mukjizat yang telah dilakukan-Nya dan terdengarlah pujian yang lantang: “Terpujilah Raja yang datang dalam nama Tuhan. Damai sejahtera di Surga dan kemuliaan di tempat yang mahatinggi” (Luk 19:38). Kerumunan orang-orang merayakan pujian, berkat dan damai sejahtera: sukacita membahana di udara. Yesus telah membangkitkan pengharapan yang besar, khususnya di hati orang-orang yang sederhana, rendah hati, miskin dan terlupakan, mereka yang tidak dipandang oleh mata dunia. Ia memahami penderitaan umat manusia, Ia telah memperlihatkan wajah kerahiman Allah dan Ia telah merunduk untuk menyembuhkan tubuh dan jiwa. Inilah Yesus. Ini adalah hati-Nya yang memandang kita semua, kesakitan kita dan dosa-dosa kita. Kasih Yesus begitu besar. Maka Ia memasuki Yerusalem, dengan kasih-Nya ini, dan memandang kita. Ini adalah peristiwa yang indah, bersinar—cahaya kasih Yesus, kasih dari hati-Nya—yang penuh suka cita, penuh semarak. Di awal Misa, kita pun mengulanginya. Kita melambaikan daun-daun palma kita… Kita menyambut Yesus; kita pun menyatakan sukacita kita pada saat mengiringi-Nya, saat mengetahui bahwa Ia begitu dekat, hadir di dalam kita dan di antara kita sebagai Sahabat, Saudara dan juga Raja: yaitu, sebuah mercusuar yang bersinar bagi hidup kita. Yesus adalah Allah, tetapi Ia merendahkan diri-Nya untuk berjalan bersama kita. Ia adalah Sahabat dan Saudara kita. Ia menerangi jalan kita di sini. Dan dengan cara ini kita telah menyambut-Nya hari ini. Dan ini adalah kata pertama yang ingin kusampaikan kepada kalian: Sukacita! Jangan menjadi orang-orang yang penuh kesedihan: seorang Kristen tidak pernah dapat bersedih! Jangan menyerah kepada keputusasaan! Bagian kita adalah bukan sukacita karena punya banyak harta, tetapi karena telah berjumpa dengan Seorang Pribadi: Yesus, di tengah kita, bahkan di masa-masa sulit, bahkan ketika jalan hidup kita mendaki menghadapi berbagai masalah dan rintangan yang nampaknya tak mungkin dilewati, dan ada begitu banyaklah rintangan ini! Dan saat ini, sang seteru, yaitu iblis, datang, seringnya tersamar dalam rupa malaikat, dan dengan licik berkata kepada kita. Jangan mendengarkan dia! Mari kita mengikuti Yesus! Kita menyertai, kita mengikuti Yesus, tetapi di atas semua itu, kita tahu bahwa Ia menyertai kita dan menggendong kita di bahu-Nya. Ini adalah sukacita kita, ini adalah pengharapan yang mesti kita bawa ke dunia ini. Semoga jangan membuat diri kalian tak berpengharapan! Jangan biarkan harapan itu dicuri! Harapan yang Tuhan Yesus berikan kepada kita.
2. Kata kedua. Mengapa Yesus memasuki Yerusalem? Atau lebih tepatnya: bagaimana Yesus memasuki Yerusalem?  Orang banyak menyambutNya sebagai Raja. Dan Ia tidak menyangkalnya, Ia tidak menyuruh mereka diam (lih. Luk 19:39-40). Tetapi Raja yang seperti apa Yesus itu? Mari memandang-Nya: Ia menunggangi keledai. Ia tak diiringi pasukan kerajaan, tak dikelilingi oleh sekompi prajurit sebagai lambang kekuatan. Ia diterima oleh orang-orang yang rendah, rakyat sederhana yang merasa telah melihat sesuatu yang lebih pada diri Yesus. Mereka memiliki citarasa iman yang berkata: di sinilah Juru Selamat kita. Yesus tidak memasuki kota suci untuk menerima pernghargaan yang khusus diberikan kepada para raja di dunia, kaum penguasa dan pemerintah. Ia memasuki Yerusalem untuk didera, dihina dan disiksa, sebagaimana dinubuatkan oleh Nabi Yesaya di Bacaan Pertama (Yes 50:6). Ia masuk untuk menerima mahkota duri, tongkat dan jubah ungu. Kekuasaan-Nya sebagai Raja menjadi obyek cercaan. Ia masuk untuk mendaki gunung Kalvari, dengan membawa beban kayu salib. Dan ini membawa kita kepada kata kedua: Salib. Yesus masuk Yerusalem untuk wafat di kayu salib. Dan di sinilah kekuasaan-Nya sebagai Raja bersinar dengan cara yang ilahi: Tahta kerajaan-Nya adalah kayu Salib! Ini mengingatkan saya akan apa yang dikatakan oleh Paus Benediktus XVI kepada para Kardinal: kalian adalah para pangeran, tetapi [pangeran] dari Seorang Raja yang tersalib. Itu adalah tahta Yesus. Yesus mengambilnya bagi diri-Nya sendiri… Mengapa Salib? Sebab Yesus mengambil bagi diri-Nya sendiri, kejahatan, kekotoran, kedosaan dunia, termasuk dosa dari kita semua, dan Ia membersihkannya. Ia membersihkannya dengan darah-Nya, dengan kerahiman dan kasih Allah. Marilah melihat ke sekeliling: berapa banyak luka yang diakibatkan oleh kejahatan pada umat manusia! Perang, kekeraan, konflik ekonomi yang memukul kaum yang terlemah, serakah untuk uang yang tak dapat kamu bawa dan harus ditinggalkan. Ketika kita masih kecil, nenek kita biasa mengatakan: kain kafan tidak punya kantong. Kecintaan akan kekuasaan, korupsi, perpecahan, kejahatan melawan hidup manusia dan melawan ciptaan! Dan seperti setiap orang dari kita mengetahui dan menyadari dosa-dosa pribadi kita: kegagalan kita dalam hal cinta dan hormat terhadap Allah, terhadap sesama dan terhadap semua ciptaan Tuhan. Yesus di Salib merasakan seluruh beban kejahatan dan dengan kekuatan kasih Allah, Ia menaklukkannya, Ia mengalahkannya dengan kebangkitan-Nya. Ini kebaikan yang Yesus kerjakan bagi kita di tahta Salib-Nya. Salib Kristus yang dirangkul dengan cinta, tak pernah memimpin kepada kesedihan, tetapi kepada sukacita, kepada sukacita karena telah diselamatkan dan karena melakukan sedikit dari apa yang telah Ia lakukan di hari kematian-Nya…” (Paus Fransiskus, Homili, Minggu Palma, 24 Maret 2013).

Saudara-saudariku terkasih, hari ini kita memasuki Pekan Suci. Kita diajak untuk merenungkan puncak karya Allah dalam hidup kita yaitu bahwa Kristus Sang Putra Allah telah mengosongkan diri-Nya, mengambil rupa seorang hamba, menjadi sama dengan manusia, merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di salib, untuk menyelamatkan kita. Dan  dengan kebangkitan-Nya, Ia mengalahkan maut. Maka segala ciptaan akan bertelut dan mengaku, bahwa “Yesus Kristus adalah Tuhan!” (lih. Flp 2:5-11).

Semoga kita dapat semakin menghayati karya Allah ini dalam hidup kita, dan membiarkanNya memimpin kehidupan kita di dunia ini.  Dengan rela Yesus memasuki Yerusalem, dengan pengetahuan penuh bahwa Ia akan menyerahkan nyawa-Nya untuk kita. Namun Ia melakukan-Nya dengan sukacita, karena besarnya cinta kasih-Nya kepada kita. Sukacita dan salib bagi Kristus adalah bagaikan dua permukaan pada satu koin atau dua serat jalinan benang. Itu adalah dua hal yang terjalin karena cinta, namun cinta inilah yang mengalahkan dunia dan segala kejahatan. Sebab Yesus berkata,  “Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia.” (Yoh 16:33) Yesus Tuhan telah mengalahkan dunia ini dengan Salib-Nya dan karenanya kita selalu mempunyai pengharapan di tengah pergumulan dan salib kehidupan kita bahwa jika kita menghadapinya bersama Yesus, kitapun akan beroleh sukacita yang kekal bersama-Nya. Memasuki Pekan Suci, semoga kita semakin erat disatukan dengan sukacita dan Salib-Nya.