Pertanyaan:
Shalom Bu Ingrid/Bp Stef.
Saya ingin menanyakan sikap gereja tentang tradisi ruwatan. Tradisi ini
khususnya di beberapa daerah Jawa Tengah cukup kuat. Dan kelihatannya beberapa imam terkesan menerima tradisi ini sebagai inkulturasi dalam gereja Katolik. Ada juga yang bahkan menggabungkannya dalam perayaan ekaristi sekaligus. Beberapa link bisa dicari di Google, diantaranya sbb: http://indopos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=71111
http://www.mirifica.net/artDetail.php?aid=3608
http://www.gerejakotabaru.com/inc_index.php?mod=beritadtl&c=0&id=132
Saya orang Jawa Tengah dan sejauh saya tahu tradisi ini banyak unsur tahyulnya. Mereka yang percaya dengan tradisi ruwatan menganggap bahwa anak-anak yang dilahirkan dengan kondisi tertentu (misalnya anak tunggal, anak sepasang, 3 anak dengan anak kedua perempuan dll) membawa “sukerto” (sial). Nah “sukerto” ini harus dihilangkan dengan upacara ruwat yang biasanya dilakukan oleh dalang dg membaca mantra, memotong rambut para “sukerto” dan potongan rambut ini dibuang di laut Selatan.
Yang ingin saya tanyakan:
1. Bagaimana sikap gereja Katolik terhadap tradisi semacam ini?
2. Apakah yang dilakukan oleh imam yang mengadakan upacara ruwatan tsb tidak kebablasan, apalagi menyatukanya dalam perayaan ekaristi. Termasuk abuse kah? Banyak pro/kontra di kalangan umat. Bukankah ini bisa menjadi batu sandungan?
Sekedar gambaran lain, sebuah keluarga Katolik di lingkungan saya yang memiliki anak “sukerto” meminta imam untuk mengadakan perayaan ekaristi di rumahnya dengan mengundang umat satu lingkungan. Keluarga tersebut meminta imam itu untuk sekaligus meruwat anak-anaknya. Imam tersebut menyanggupi untuk mengadakan perayaan ekaristi tetapi tentang upacara ruwatan apa jawab beliau? Beliau mengatakan bahwa sebagai pengikut Kristus kita seharusnya tidak lagi percaya dengan hal-hal semacam itu. Kita semua sudah diperbarui/diruwat dengan pembabtisan yang kita terima. Nah, akhirnya perayaan ekaristi tetap dilakukan tetapi ruwatan tidak dilakukan. Sebagai gantinya imam mengajak seluruh umat untuk memperbaharui janji baptis (seperti yang dilakukan saat malam Paskah).
Terus terang saya pribadi lebih setuju dengan apa yang dilakukan oleh imam ini. Saya bisa memahami bahwa mewartakan Kristus apalagi di daerah-daerah yang masih kental dengan tradisi-tradisi lokal dimana tradisi ini banyak yang tidak sejalan dengan iman Katolik adalah tidak mudah. Diperlukan banyak cara agar kabar gembira yang kita sampaikan bisa diterima oleh mereka tentunya tetap mengacu dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh gereja.
GBU – Ryan09
Jawaban:
Shalom Ryan,
Terima kasih atas pertanyaannya. Masalah inkulturasi memang tidak mudah, karena menyangkut proses yang lama dan memerlukan kebijaksanaan dalam penerapannya.
Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa “proses integrasi Gereja ke dalam budaya tertentu adalah suatu proses yang panjang. Hal ini bukan hanya masalah adaptasi eksternal, karena inkulturasi adalah suatu transformasi yang dalam dari nilai-nilai budaya yang otentik melalui integrasi nilai-nilai tersebut ke dalam kristianitas, dan juga mengintegrasikan kristianitas ke dalam berbagai macam budaya manusia.” (Redemptoris Missio, Ch. V). Namun lebih lanjut, Paus Yohanes Paulus menegaskan kembali bahwa di dalam proses inkulturasi, integritas dari iman Katolik tidak boleh dikorbankan .
Kerena Gereja Katolik senantiasa bersentuhan dengan kehidupan banyak orang dan budaya, maka Gereja perlu merenungkan dan mengadaptasi diri tanpa mengorbankan nilai-nilai iman Katolik, seperti yang telah ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II. Gereja harus mampu untuk memberikan nilai-nilai kekristenan, dan pada saat yang bersamaan mengambil nilai-nilai yang baik dari budaya yang ada dan memperbaharuinya dari dalam.
Pertanyaannya adalah, apakah ruwatan yang dilakukan, seperti memotong rambut, membaca mantra yang diganti dari Injil Yohanes, dan membuang rambut serta selempang kain putih yang dipakai oleh sukerta (yang membawa sial) dapat dibenarkan?
Sebenarnya dengan alasan yang sama, maka retret pohon keluarga juga dilarang oleh beberapa keuskupan di Indonesia. Kalau retret pohon keluarga yang tidak bersentuhan dengan nilai-nilai budaya dilarang, maka menjadi lebih masuk akal jika upacara ruwatan di dalam misa juga tidak dilakukan. (tambahan: pembahasan retret pohon keluarga, silakan melihat disini – silakan klik)
2) Namun permasalahannya adalah, para sukert0 mungkin masih belum merasa sreg dengan berkat yang telah mereka terima dalam pembaptisan. Oleh karena itu, mungkin yang perlu dilakukan adalah memberikan pengarahan bagi para sukerto, sehingga mereka dapat mengimani berkat pembaptisan yang telah diberikan oleh Allah. Mengimani dalam hal ini bukan hanya sekedar tahu, namun juga dapat diterapkan dalam kehidupannya.
3) Saya pribadi setuju dengan contoh yang ke-dua, dimana imam tidak memberikan upacara ruwatan, namun memperbaharui janji baptis. Dengan tindakan ini, maka imam tersebut tidak mengaburkan nilai-nilai kristiani, namun meneguhkan para sukerto, sehingga mereka dapat percaya dengan sepenuh hati bahwa mereka telah lahir baru sebagai akibat dari sakramen baptis yang telah mereka terima.
Semoga para pastor dapat mendiskusikan masalah inkulturasi ini dengan lebih seksama dan mendalam, sehingga Gereja dapat tetap mempertahankan nilai-nilai iman Katolik, namun secara bersamaan juga dapat masuk dalam budaya lokal.
Semoga keterangan tersebut di atas dapat berguna.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – www.katolisitas.org
Pertanyaan saya adalah bagaimana kita (sebagai pengikut Yesus Kristus) memandang kekayaan sejarah dan kebudayaan bangsa leluhur kita (untuk semua bangsa dan kebudayaan)? tanpa kehilangan identitas / jati diri bangsa kita sendiri. apakah kita harus menyeragamkan kebudayaan kita? apakah kita harus memfilter (dgn ajaran Gereja Katolik, alkitab) kebudayaan leluhur kita dengan kepercayaan yang kita anut sekarang?
Selama ini, agama kristiani, selalu di identikan dengan orang barat, orang kulit putih. bisa kita lihat dari pakaian yang dipakai oleh romo pada waktu misa, pakaian yang digunakan oleh paus, dll. sangat dipengaruhi budaya orang barat.
Shalom Alexander Pontoh,
Terima kasih atas pertanyaannya. Inkulturasi di dalam liturgi diperlukan kebijaksanaan. Setiap negara, melalui conference of bishop biasanya mempunyai semacam GIRM (General Instruction of the Roman Missal). Di Indonesia dikenal TPE (Tata Perayaan Ekaristi). Secara prinsip, inkulturasi tidak dapat mengaburkan tujuan yang ingin dicapai dalam liturgi, terutama dalam konteks Misa Kudus.
Dalam konteks misa, inkulturasi tidak dapat sembarangan diterapkan, karena ini menyangkut liturgi yang bersifat resmi. Saya tidak tahu secara persis, apakah yang ditanyakan adalah menyangkut inkulturasi dalam liturgi ataukah secara umum. Kalau menyangkut liturgi, mungkin dokumen “The Roman Liturgy and Inculturation” dapat membantu, karena dokumen tersebut memberikan prinsip-prinsip inkulturasi.
Kalau tentang pakaian yang dikenakan pastor dalam misa, kita tidak dapat merubahnya, karena pakaian tersebut telah menjadi sesuatu yang baku, dengan warna dan simbol yang mempunyai makna tersendiri, yang mengalami perkembangan cukup panjang. Saya pribadi tidak melihat bahwa jubah adalah merupakan pakaian dari budaya barat. Kalau mau membaca lebih lanjut tentang makna dari bagian-bagian pakaian untuk pastor, uskup, kardinal, silakan melihatnya di sini (silakan klik). Setiap bagian mempunyai makna dan asal masing-masing. Dan tentang pakaian pastor / cassock, dapat dilihat keterangannya di sini (silakan klik) dan juga di sini (silakan klik). Namun, tentang musik dan nyanyian, inkulturasi dapat diterapkan sejauh mendukung liturgi.
Dalam kasus-kasus yang lain, seperti penerapan kebudayaan dari budaya Tionghoa, seperti Ceng Beng, silakan melihat pembahasannya di sini (silakan klik).
Mungkin kalau kita mau melihat inkulturasi secara umum, diperlukan kebijaksanaan dalam menerapkan kebudayaan lokal, terutama dalam masalah iman dan liturgi. Semoga keterangan ini dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Shalom,
Saya sedang dalam pergumulan untuk mendapatkan anak (sudah menikah lebih dari setahun belum hamil jg). Teman saya menganjurkan berobat ke sinshe. Apakah pergi berobat ke sinshe bertentangan dengan iman katolik ? terapi yg dilakukan dgn pijat (refleksi) dan jamu2an.
mohon pencerahan
salam
Shalom Cecilia,
Berobat ke sinshe tidak dilarang, karena terapinya pijat dan minum ramuan jamu yang berasal dari tumbuh- tumbuhan. Yang dilarang adalah kalau melibatkan ‘jampi- jampi’ atau kekuatan gaib, seperti ke dukun-dukun, karena dengan demikian melanggar perintah pertama dalam kesepuluh perintah ALlah, “Jangan ada allah yang lain di hadapan-Ku” (Kel 20:3). Sebab orang yang mengandalkan dukun berarti telah menempatkan dukun itu sebagai ‘allah lain’ di hadapan Tuhan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- https://katolisitas.org
Inkulturasi memang rumit.
Dalam KGK disinggung sbb :
854 Dalam perutusannya, “Gereja menempuh perjalanan bersama dengan seluruh umat manusia, dan bersama dengan dunia mengalami nasib keduniaan yang sama. Gereja hadir ibarat ragi dan bagaikan penjiwa masyarakat manusia, yang harus diperbaharui dalam Kristus dan diubah menjadi keluarga Allah” (GS 40,2). Dengan demikian misi menuntut kesabaran. Ia mulai dengan pewartaan Injil kepada bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok yang belum percaya kepada Kristus Bdk. RM 42-47.; ia maju terus dan membentuk kelompok-kelompok Kristen, yang harus menjadi “tanda kehadiran Allah di dunia” (AG 15), serta selanjutnya mendirikan Gereja-gereja lokal Bdk. RM 52-54.. Ia menuntut suatu proses inkulturasi, yang olehnya Injil ditanamkan dalam kebudayaan bangsa-bangsa Bdk. RM 48-49., dan ia sendiri pun tidak bebas dari mengalami kegagalan-kegagalan. “Adapun mengenai orang-orang, golongan-golongan dan bangsa-bangsa, Gereja hanya menyentuh dan merasuki mereka secara berangsur-angsur, dan begitulah Gereja menampung mereka dalam kepenuhan katolik” (AG 6).
Romo John Liku-Ada dari Keuskupan Agung Makasar menjelaskan ttg inkulturasi sbb :
http://keuskupan.blogspot.com/2009/03/memahami-dan-menjalankan-inkulturasi.html
Cara pandang katolik awam (teolog/evangelos) dengan Imam dalam memperlakukan sikap umat sering kali berbeda. Katolik awan lebih mudah mengatakan tidak/jangan/salah. Sedangkan seorang Imam lebih kepada posisi “seorang bapak yang baik” yang sedang memimpin anak-anaknya dengan berbagai karakter, yaitu ada yang baik, yg nakal, yang manutan, yang pemberontak, dsb. Apapun kelakuannya, mereka semua adalah “anak-anaknya”.
Kembali ke soal Misa Ruwatan (MR), saya percaya bahwa Romonya sebenarnya tahu bahwa ruwatan itu tidak diperlukan lagi sejak adanya pembabtisan oleh Imam tertakbis (saat pembabtisan segala kutuk dan dosa dihapuskan dengan darah Anak Domba, menjadi manusia baru dalam persekutuhan penuh GerejaNya). Semua Imam tahu hal ini.
Pertanyaannya timbul, kenapa sudah tahu koq tetap dilakukan MR ?
Di sini memang terjadi persinggungan antara doktrin (pengajaran) dengan cara menanggapi firman (sikap iman). Ini yang sering menimbulkan efek negatif , spt : abuse, sinkretisme, bahkan nyrempet ke ukultisme. Kebanyakan orang Jawa, khususnya Jawa Tengan, dimanapun berada, nyata-nyata sulit meninggalkan budayanya, termasuk budaya yang bias dengan kejawen, a.l. budanya mencium tangan ortunya, atau ortu memegang atau meniup kening anaknya ketika mau pergi, di daerah, hal itu masih berlangsung untuk menghormati ortu atau “mendoakan” anaknya. Secara tidak sadar budaya ini juga terbawa di lingkungan gereja. Contoh, jika kita membeli rosario (bahkan buku), sebelum menggunakannya, kita tidak sreg jika tidak meminta berkat dulu dari Romo, dan masih banyak contoh lain, yang sebenarnya itu tidak akan menggugurkan iman kita jika tidak pakai berkat Romo. Tahu tidak perlu kog tetap dilakukan atau jika tidak dilakukan koq menjadi batu sandungan jika kita mau berdoa.
Begitu pula dengan para sukerta (mereka yang merasa mempunyai sial/bala karena posisi kelahiran/ jenis kelamin). Faktanya mereka memang dikungkung oleh budaya kejawen yang tidak bisa dilepas seperti melepas baju mereka. Sekalipun mereka sudah digelontor dengan pengajaran tentang makna pembabtisan, toch mereka tidak bisa melepaskan perasaan bisa mendapat sial/bala.
Kalau susah diberikan pengertian makna pembabtisan, – paling-paling anda akan mengatakan ” ya si Romonya jangan mau memberikan MR”, gitu aja kog repot, gampang kan he..he…). Ya gambang, tapi mereka akhirnya sembunyi-sembunyi akan meminta para “dukun” atau dalang atau apalah namanya untuk meruwatnya, atau sekalipun tidak jadi ke “dukun” atau dalang, jiwa mereka tetap tidak bisa merdeka dari “teror” akan mendapat sial/bala. Anda pasti tidak percaya karena anda bukan mereka !
Please, katakanlah kita menghadapi “orang sakit gigi”. Dan dia yang “sakit gigi” itu mengira giginya sakit karena tiap malam giginya dimakan ulat, karena itu dia pergi berobat ke pawang ulat. Lalu ketemu Ahli kesehatan, dan setelah dianalisa, teryata dia suka makan manis dan tidak rajin membersihkan giginya. Oleh Ahli kesehatan dia disarankan untuk rajin membersihan giginya dan diberikan buku petunjuk cara merawat gigi yang baik dan benar. Ech..ternyata giginya tetap ceneut-cenut, bingung dan semakin percaya bahwa ulatnya siluman yang sakti. Lalu ketemu dokter gigi, oleh dokter gigi, mereka terlebih dahulu diajak bicara kenapa dan diperiksa untuk mengetahui penyebabnya dan baru diobati, setelah itu mereka juga diberikan cara merawat gigi yang baik dan benar.
Menurut saya, para Romo yang mengadakan MR tsb adalah karena ia seorang dokter gigi, mereka tidak ingin pasiennya berobat ke dukun atau ke dalang atau bertanya kepada tukang ramal :ketik REG-spasi-NAMA- kirim ke 666, he…he…
Kalau tidak adanya ruwatan ini akan menjadi batu sandungan dalam kehidupan beriman para sukerta, maka kita berdoa supaya roh kebijaksanaan membimbing mereka. Sebaliknya kita yang sudah menerima roh pengertian akan pembabtisan, diharapkan jangan malah “meneror” mereka yang lemah. Bukankah kita mendapat pengajaran dalam I Korintus 8:9 bahwa “Tetapi jagalah, supaya kebebasanmu ini jangan menjadi batu sandungan bagi mereka yang lemah”.
Secara teologi, saya tidak membenarkan adanya praktek ruwatan dalam Misa (karena dikuatirkan bisa menimbulkan abuse, sinkretisme). Tetapi terhadap MR yang sudah terjadi, saya bisa menerima dari kacamata seorang gembala yang baik dan bijaksana. Begitu pula dengan adanya Misa Imlek-an (MI), Misa Kemerdekaan/MK (yg ada pembacaan UUD dan Pancasila).
Yang perlu ditekankan dan tidak bisa ditawar lagi adalah jangan sampai MR/MI/MK itu dilakukan dengan motif iman bahwa pembaptisan saja tidak cukup. Kalau sampai terjadi motif seperti ini, maka ini tidak berbeda dengan adanya praktek penumpangan tangan yang sekarang marak di Seminar Hidup Dalam Roh atau praktek sejenis yang mengakui adanya “baptisan kedua” (baptisan roh). Roh apalagi ini ???? Apalagi yang melakukan penumpangan tangan adalah para trainer itu… Weleh..weleh, opo maneh iki…
Berkah Dalem
Shalom De Santo,
Terima kasih atas masukannya. Kita bersama-sama menyadari bahwa memang inkulturasi adalah hal yang rumit dan diperlukan kebijaksanaan dalam penerapannya, sehingga kebenaran iman tidak dikorbankan dan pada saat yang bersamaan Gereja dapat masuk di dalam budaya setempat. Kita juga meyakini bahwa romo yang melakukan hal tersebut tidak mungkin percaya bahwa misa ruwatan dapat mengambil "sial", karena sebenarnya para Sukerto (yang percaya bahwa dirinya terlahir sial) telah dibaptis dan lahir baru. Permasalahannya adalah, kenapa tetap dilakukan? Saya berpendapat bahwa hal ini bukan masalah kalau teolog lebih cenderung berkata tidak sedangkan pastor lebih kepada posisi "seorang bapak yang baik", seperti yang dikatakan De Santo. Namun, hal ini lebih kepada bagaimana seseorang mencoba menerapkan doktrin atau pengajaran iman Katolik dalam kondisi-kondisi di lapangan yang pasti bersentuhan dengan budaya. Tentu saja tidak dapat dipungkiri bahwa pastor dituntut sebagai bapak yang harus membimbing anak-anaknya, yang memang mempunyai karakter dan kondisi yang berbeda-beda. Kita dapat melihat bahwa beberapa pastor (yang juga teolog) mempunyai pendapat yang berbeda-beda dalam kasus inkulturasi ini. Apapun sikap yang diambil, pasti akan mempunyai dampak negatif, misalkan:
a) Kalau pastor menyetujui untuk misa ruwatan, maka sebagian umat akan bingung, apakah Sakramen Baptis tidak cukup untuk membuat seseorang lahir baru.
b) Kalau pastor tidak menyetujui, maka sebagian orang yang percaya bahwa dirinya dapat terkena sial, karena dirinya termasuk dalam "Sukerto", akan mencuri-curi datang kepada orang yang dipercaya dapat mengambil sial, misalkan: dukun, dalang, dll.
Saya percaya bahwa salah satu dari prinsip pastoral (pastoral principle) adalah untuk menghilangkan jarak atau "gap" antara doktrin dan kehidupan sehari-hari. Kita tidak dapat mengatakan bahwa itu hanya masalah doktrin namun masalah kehidupan adalah berbeda. Ini adalah tantangan yang besar dan tidak mudah. Paus Yohanes Paulus II menegaskah hal ini dalam dokumen "Ecclesia in America" paragraf 26 "Conversion, therefore, fosters a new life, in which there is no separation between faith and works in our daily response to the universal call to holiness. In order to speak of conversion, the gap between faith and life must be bridged."
Atas dasar pertimbangan di atas, maka saya pribadi cenderung untuk tidak mengadakan misa ruwatan, karena dapat membingungkan umat akan makna dari Sakramen Baptis. Namun harus ada tindakan pastoral untuk para "sukerto" yang merasakan dirinya masih membawa sial. Tindakan pastoral ini dapat berupa, pembaharuan janji baptis, didoakan secara khusus setelah misa, dll, namun tanpa melakukan "tatanan ruwatan", seperti: pemotongan rambut, membuang rambut dan selempangan kain putih ke laut, dll. Mungkin cara terbaik yang dapat dilakukan adalah pada tahap katekese, dimana para katekis dapat berdiskusi dengan para Sukerto secara khusus dan membahasnya secara perlahan-lahan dan tuntas. Sehingga, pada waktu dibaptis, para Sukerto dapat meyakini bahwa Sakramen Baptis telah menjadikan mereka manusia yang baru, yang harapannya bukan pada dunia ini, namun pada hal-hal sorgawi.
Untuk penumpangan tangan di dalam Seminar Hidup Baru, nanti suatu saat akan dibahas lebih lanjut dalam artikel yang lain. Semoga keterangan tambahan ini dapat memperjelas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Shallom juga Stef,
Dalam hukum ada ajaran yang mengatakan Law in book (hukum dalam cita-cita/apa yang seharusnya) adalah berbeda dengan Law in action (hukum dalam praktek) atau yang mirip bahwa dalam ilmu sosial ada das sollen (idea/cita-cita) dan das sein (kenyataan/empiris). Keduanya tidak pernah sama dalam kata dan tindakan. Tetapi saya tidak ingin membahas lebih lanjut hal ini karena di luar yang didiskusikan dalam forum ini.
Saya juga kepinginnya orang katolik itu jangan indeferentism. Pribadi Rasul Paulus bisa dijadikan model “ya, ya, tidak, tidak , dalam kata dan tidakan (tentuya setelah dia dibabtis oleh Ananias).
Begitu pula melalui sakramen pembabtisan (dan nantinya diteruskan dengan krisma) harusnya orang katolik tidak boleh ragu (sangsi) akan daya kerja rahmat pengudusan (sanctifying grace) yang telah diterimanya.
KGK 2520, mengajarkan bahwa pembaptisan memberi kepada yang dibaptis rahmat pemurnian dari segala dosa. Tetapi selanjutnya orang yang dibaptis itu harus berjuang melawan keinginan daging dan hawa nafsu yang tidak teratur. Dengan rahmat Allah ia mampu untuk itu, oleh kebajikan dan anugerah kemurnian, karena kemurnian memungkinkan untuk mencintai dengan hati yang jujur dan tidak terbagi;
dan oleh maksud yang jujur, yang melihat tujuan manusia yang sebenamya, karena yang sudah dibaptis mencari dengan mata yang bersahaja untuk mengetahui dan memenuhi kehendak Allah Bdk. Rm 12:2; Kol 1:10. di dalam segala-galanya.
Dalam doktrin/ajaran pembaptisan sudah jelas bahwa dilahirkan kembali (baru) punya konsekuensi mengasihi Allah yang tidak terbagi dan tidak dapat dibagi kepada yang lain kecuali kepada Allah sendiri.
Dear Stef,
Sejujurnya saya belum pernah mengikuti Misa Ruwatan. Cuma kalau dikatakan bahwa MR itu tidak sesuai dengan ajaran katolik, lalu dimana unsurnya yang bertentangan ? memotong rambut kah ? mengenakan kain selendang putih kah ? melarungnya ke laut kah ? atau ada penyataan/sikap bahwa baptisan saja tidak cukup ?
Dan kalau toh bertentangan dengan ajaran katolik, kenapa uskup yang berwenang tidak melarangnya ?
Andaikan para Sukerto itu merasa tidak sreg walau sudah dibaptis, lalu bagaimana dengan Misa Karismatik atau Ibadat Karismatik yang pakai penumpangan tangan – yang justru secara sadar telah dibaptis – tapi mereka masih tetap berharap adanya “baptisan kedua”, yaitu baptisan roh kudus ? (setelah mereka diberi pengertian bahwa babtisan air itu juga baptisan Roh Kudus, sebagaian – karena mungkin terdesak – mengatakan bahwa dalam karismatik, pencurahan (baca: baptisa) Roh Kudus bukan tujuan ! Kalau bukan tujuan, lalu kenapa harus pakai penumpangan tangan ? untuk apa ? apa penumpangan tangan oleh Romo, saat pembaptisan, tidak sah ?
Mohon pencerahan yang MR saja dulu, syukur kalau semuanya (agak melebar dari topik).
Syallom/Berkah Dalem
Shalom De Santo,
Terima kasih atas komentarnya. Mari kita berfokus pada diskusi tentang inkulturasi.
1) Dalam teologi, suatu ajaran harus juga masuk dalam kehidupan sehari-hari. Kalau doktrin dan kehidupan nyata berdiri sendiri-sendiri, maka akan berbahaya, karena menyebabkan jurang yang dalam antara kehidupan menggereja dan kehidupan bermasyarakat. Jurang terdalam mungkin adalah "practical atheism" yang sering diserukan oleh Paus Yohanes Paulus II.
Dalam seruannya kepada para uskup di Amerika Serikat pada tanggal 11 November 1993, dia mengatakan " … In fulfilling these tasks, the disciple of Christ is constantly challenged by a spreading "practical atheism" – an indifference to God’s loving plan which obscures the religious and moral sense of the human heart. Many either think and act as if God did not exist, or tend to "privatize" religious belief and practice, so that there exists a bias towards indifferentism and the elimination of any real reference to binding truths and moral values. When the basic principles which inspire and direct human behavior are fragmentary and even at times contradictory, society increasingly struggles to maintain harmony and a sense of its own destiny. In a desire to find some common ground on which to build its programs and policies, it tends to restrict the contribution of those whose moral conscience is formed by their religious beliefs."
Selama seseorang tidak dapat hidup menurut doktrin, maka seseorang tidak dapat mencapai kekudusan, karena salah satu definisi kekudusan adalah "hidup yang dituntun oleh ajaran". Jadi dari sini kita melihat bahwa yang menjadi masalah dalam kehidupan dunia modern adalah lepasnya kehidupan dari ajaran. Inilah adalah tantangan bagi kita semua.
2) Namun tentu saja hal di atas tidaklah semudah untuk membalikkan telapak tangan, karena hal tersebut memerlukan kebijaksanaan. KGK, 1806 mengatakan "Kebijaksanaan [dalam KGK bahasa Inggris: prudence] adalah kebajikan yang membuat budi praktis rela, supaya dalam tiap situasi mengerti kebaikan yang benar dan memilih sarana yang tepat untuk mencapainya. "Orang yang bijak memperhatikan langkahnya" (Ams 14:15)." Jadi dalam hal ini, "prudence" mensyaratkan mengetahui tujuan akhir, sehingga seseorang dapat menentukan cara yang dipakai.
3) Saya sendiri tidak pernah mengikuti Misa ruwatan secara langsung, hanya membaca dari beberapa sumber yang melaporkan apa yang terjadi dalam misa ruwatan. "Dalam tradisi Jawa, ruwatan adalah prosesi spiritual untuk membuang kesialan hidup orang-orang yang sedang dalam sukerta (susah) Orang-orang sukerta ini, menurut cerita adalah orang-orang yang akan dimangsa oleh Batara Kala. Untuk keluar dari sukerta seseorang harus diruwat. Dalam upacara ini seorang dalang melakukan penyiraman air suci dan penguntingan rambut kepada peserta ruwat dan kemudian dilarung ke laut. Dalang , yang kemudian menggantikan kisah wayang kulit mengenai asal mula dijadikannya bocah sukerta sebagai mangsa Batara Kala ini, bukan sembarang dalang dan harus menjalani tirakat sebelum memimpin upacara ini. Upacara/Acara ini digelar rutin setahun sekali tiap tanggal 1 Syuro (1 Muharam ) – Tahun Hijrah oleh Yayasan Permadani." (sumber: Dinas Pariwisata Kota Semarang – silakan klik). Sumber dalam bahasa Inggris yang menceritakan tentang asal mula ruwatan dapat dilihat di sini (silakan klik).
4) Namun kalau ditanya, apakah yang membuat misa ruwatan ini tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik, maka kita dapat mempertimbangkan alasan-alasan berikut ini:
a) Misa ruwatan adalah dalam konteks Misa, yang sebenarnya mempunyai rubrik tersendiri dan tidak boleh berubah. Artinya dengan beberapa "upacara", seperti: pemotongan rambut setelah homili, yang sebenarnya bertentangan dengan rubrik yang ada. Penambahan biasanya dilakukan setelah misa selesai, misal: pembagian jeruk pada waktu misa tahun baru Imlek, dll.
b) Kalau begitu bagaimana kalau upacara ruwatan ini dilakukan di luar Misa? Seperti yang telah dibahas sebelumnya, kalau upacara ruwatan menggunakan tradisi baku yang ada, maka ada bahayanya, yaitu seolah-olah Sakramen Baptis tidak cukup untuk menjadikan seseorang menjadi manusia baru. Mungkin ada sebagian umat yang menjadi bingung dengan hal ini. Namun disisi yang lain, kalau upacara ruwatan sesuai dengan tradisi yang ada tidak diperbolehkan, maka mungkin ada sebagian dari Sukerto yang pergi ke dalang untuk mendapatkan ruwatan. Jadi pemecahannya bukan kita mengikuti apa yang disyaratkan dalam upacara ruwatan dan digabungkan dalam Misa, namun yang diperlukan adalah tindakan pastoral yang tepat, misalkan: pembaharuan janji Baptis, doa khusus buat para Sukerto, proses katekese (untuk pencegahan), dll. Dengan pendekatan pastoral yang tepat, para Sukerto dapat merasakan ketenangan tanpa mengorbankan ajaran iman Katolik.
c) Tidak ada yang salah dengan mengenakan selendang putih dalam Misa, sama seperti tidak ada yang salah mengenakan kebaya. Namun yang menjadi masalah adalah melarung selendang putih dan potongan rambut dari Sukerto ke laut, seperti yang diminta oleh ritual ruwatan. Walau dengan ide untuk dikembalikan lagi kepada Allah dengan perantaraan Maria, Sang Bintang Laut (Stella Maris), namun hal ini tetap dapat menimbulkan kesalahpahaman akan iman Katolik.
d) Ide untuk melarung rambut dan selendang putih adalah untuk dikembalikan lagi kepada Allah dengan perantaraan Bunda Maria. Yang menjadi masalah disini adalah perkataan "dikembalikan lagi" dan implikasinya. Pertanyaannya adalah apanya yang dikembalikan lagi? Apakah sialnya atau apanya? Kalau rencananya untuk membuang sial, apanya yang sial? Apakah kekurangan rejeki? Hal ini dapat mengaburkan akan apa yang paling penting dalam kehidupan ini, yaitu untuk melakukan kehendak Bapa, walaupun di tengah-tengah penderitaan. Karena seringkali penderitaan menjadi kesempatan bagi manusia untuk bertumbuh secara spiritual.
Kita percaya bahwa pastor yang melakukan hal ini tidak percaya akan keampuhan dari upacara ruwatan, karena semua orang yang dibaptis telah menjadi manusia baru. Namun pertanyaannya adalah bagaimana untuk melakukan tindakan pastoral yang baik dan bijaksana, sehingga para Sukerto dapat terbantu, namun dengan tidak mengorbankan nilai-nilai iman Katolik. Kompleksitas dari inkulturasi memang menjadi diskusi yang panjang, karena budaya telah menjadi bagian dari masyarakat dan tidak gampang untuk merubahnya. Gereja ingin mengambil sesuatu yang baik dari budaya tersebut, dan mengangkatnya, sehingga dapat mempunyai nilai-nilai kekristenan. Saya tidak tahu kenapa Uskup yang berwenang tidak melarangnya. Yang dapat saya bahas di sini adalah dari sisi teologis.
Kita semua harus memohon kepada Roh Kudus untuk memberikan kebijaksanaan (prudence) untuk menyikapi inkulturasi.
Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
kacau deh ajaran Tuhan Yesus kalo ruwatan dibolehkan, walau diasimilasikan dgn ajaran2 gereja…dipas-pasin lagi…saya ndak tau bgmn jalan pikiran mereka….
Ruwatan aja artinya membuang sial , dng [kl nggak salah] 23 macam jenis org yng harus dibuang sialnya.
Ruwatan adl ritual kutuk yg dibuat org berdasar kepercayaan kpd kekuatan roh kuasa gelap.
Gereja harusnya tegas bilang tidak ….kuasa Yesus lebih besar daripada ruwatan…bahkan kekuatan iblis sudah dihancurkan oleh Yesus oleh kebangkitanNya.
Shalom Budi,
Terima kasih atas komentarnya tentang ruwatan. Inkulturasi bukanlah sesuatu yang salah, namun diperlukan, sehingga kekristenan dapat menjadi bagian dari kehidupan umat beriman dalam konteks budaya, bahasa setempat. Yang menjadi masalah adalah sampai seberapa jauh kita dapat mengambil nilai-nilai budaya lokal dan mengangkatnya untuk dapat mempunyai nilai-nilai kekristenan. Di sini dibutuhkan suatu kebijaksanaan. Oleh karena itu, kita harus berdoa agar hirarki dapat membuat keputusan secara tepat dan tegas. Dan saya yakin semua orang Kristen setuju bahwa kuasa Yesus jauh lebih besar tak terhingga dibandingkan dengan kuasa iblis. Dan pengharapan kita yang berdasarkan iman akan Yesus tidaklah akan sia-sia.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Shalom Pak Stef dan Pak Budi,
Postingan ini sudah sekitar 2 tahun yang lalu dari sekarang (tahun 2011), tapi saya tergelitik untuk ikut berkomentar.
Saya setuju dengan pendapat Pak Budi,
Alkitab di Perjanjian Baru mencatat, murid-murid Kristus awalnya dari berbagai latar belakang dan mereka mau tidak mau harus ambil komitmen saat ikut Kristus sebagai penjala manusia. Otomatis mereka (murid-murid) harus tinggalkan pola hidup mereka yang sebelumnya.
Ini mestinya bisa menjadi contoh bagi umat bila bener-bener mau Ikut Yesus.
Ada pula tertulis di Matius 10:34-42, di ayat 34 – 36 berisi tentang Kristus membawa pedang untuk memisahkan orang dari lingkungannya. Dalam artian luas, ya ini yang seharusnya diberlakukan bagi orang yang bener-bener mau Ikut Yesus, ada komitmen untuk TINGGALKAN budaya lama (yg mungkin berawal dari ortu/saudara2nya/lingkungannya) dan berserah diri untuk dibentuk oleh Aturan Kristus.
Entah Umat Katolik / Prostestan / denominasi gereja lain, masih banyak yang “keukeuh memelihara tradisi nenek moyangnya” bukan Tradisi Gereja.
Tapi kalo dilihat sekilas, ambil contoh saudara-saudara di Yogyakarta, dominan Pengikut Kristus adalah Umat Katolik, mereka nyaman merayakan 1 suro, ruwatan, dll karena diijinkan oleh pihak GK (maaf bila saya salah berpendapat). Mereka masih memberi ruang untuk istilah “kearifan lokal”. Semestinya Hanya Yesus, tidak ada kuasa lain.
Bagi saudara-saudara yang berasal dari tanah Batak, misalnya upacara adat dalam pernikahan, ini juga jadi pro kontra. Ada yang wajib diadakan karena keyakinan tradisi mereka, namun ada juga yang tidak menjalankan dengan keyakinan : “Sudah ditebus oleh Darah Tuhan Yesus. Tidak ada kuasa lain, selain Kuasa Tuhan Yesus. Karena rancangan Tuhan adalah baik adanya”
Yang mungkin akan lebih jelas adalah ayat nats yang menjadi inspirasi lagu rohani yang dipopulerkan oleh penyanyi lagu rohani Nikita, dan saya yakin seluruh Umat Kristen menyukai lagu ini:
1 Petrus 1: 18-19
“Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu Darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat.”
Salam Dalam Kasih Kristus,
Ardhi.
Salam Ardhi,
Saya setuju dengan Anda. Saya yakin Gereja juga tidak melakukan ruwatan selain pembaptisan dalam nama Allah Tritunggal yang sudah “ngruwat” dosa. Yang pernah dilakukan oleh beberapa pastor di Yogyakarta itu justru untuk menunjukkan bahwa Kristus melalui palayanan Gereja-Nya lah yang meruwat bumi dan segala isinya. Mereka mendampingi aliran kejawen yang mau tak mau harus bersentuhan dengan pernik-pernik yang harus mereka arahkan pada Kristus. Di Keuskupan Agung Semarang ada pendampingan dan pengarahan itu, oleh Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan (HAK) dengan berbagai forum kajian. Salah satunya yang disebut TEBAT (Temu Kebatinan), yang diminati para penghayat kepercayaan. Dengan para pakar termasuk pakar teologi Katolik, meraka mau berproses mengenal isi kerinduan batin masing-masing, yang oleh Komisi HAK dikenalkan pada Kristus, muara semua kerinduan. Itu menjadi bagian dari proses beriman Katolik yang riil.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr
cuma menambahkan link
tentang retret pohon keluarga
http://sabahanexperience.blogspot.com/2009/02/seminar-mematahkan-kutuk-pohon-keluarga.html
tentang argumen kontra
http://www.ekaristi.org/forum/viewtopic.php?printertopic=1&t=1965&postdays=0&postorder=asc&&start=117&sid=133db436160a3db0848721abf75e1fee
salam
Shalom semuanya,
Skywalker, terima kasih atas linknya. Saya pernah membahas retret pohon keluarga disini (silakan klik). Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Shalom Bu Ingrid/Bp Stef.
Saya ingin menanyakan sikap gereja tentang tradisi ruwatan. Tradisi ini
khususnya di beberapa daerah Jawa Tengah cukup kuat. Dan kelihatannya beberapa imam terkesan menerima tradisi ini sebagai inkulturasi dalam gereja Katolik. Ada juga yang bahkan menggabungkannya dalam perayaan ekaristi sekaligus. Beberapa link bisa dicari di Google, diantaranya sbb:
http://indopos.co.id/radar/index.php?act=detail&rid=71111
http://www.mirifica.net/artDetail.php?aid=3608
http://www.gerejakotabaru.com/inc_index.php?mod=beritadtl&c=0&id=132
Saya orang Jawa Tengah dan sejauh saya tahu tradisi ini banyak unsur
tahyulnya. Mereka yang percaya dengan tradisi ruwatan menganggap bahwa
anak-anak yang dilahirkan dengan kondisi tertentu (misalnya anak tunggal, anak sepasang, 3 anak dengan anak kedua perempuan dll) membawa “sukerto” (sial). Nah “sukerto” ini harus dihilangkan dengan upacara ruwat yang biasanya dilakukan oleh dalang dg membaca mantra, memotong rambut para “sukerto” dan potongan rambut ini dibuang di laut Selatan.
Yang ingin saya tanyakan:
1. Bagaimana sikap gereja Katolik terhadap tradisi semacam ini?
2. Apakah yang dilakukan oleh imam yang mengadakan upacara ruwatan tsb tidak kebablasan, apalagi menyatukanya dalam perayaan ekaristi. Termasuk abuse kah? Banyak pro/kontra di kalangan umat. Bukankah ini bisa menjadi batu sandungan?
Sekedar gambaran lain, sebuah keluarga Katolik di lingkungan saya yang memiliki anak “sukerto” meminta imam untuk mengadakan perayaan ekaristi di rumahnya dengan mengundang umat satu lingkungan. Keluarga tersebut meminta imam itu untuk sekaligus meruwat anak-anaknya. Imam tersebut menyanggupi untuk mengadakan perayaan ekaristi tetapi tentang upacara ruwatan apa jawab beliau? Beliau mengatakan bahwa sebagai pengikut Kristus kita seharusnya tidak lagi percaya dengan hal-hal semacam itu. Kita semua sudah diperbarui/diruwat dengan pembabtisan yang kita terima. Nah, akhirnya perayaan ekaristi tetap dilakukan tetapi ruwatan tidak dilakukan. Sebagai gantinya imam mengajak seluruh umat untuk memperbaharui janji baptis (seperti yang dilakukan saat malam Paskah).
Terus terang saya pribadi lebih setuju dengan apa yang dilakukan oleh imam ini.
Saya bisa memahami bahwa mewartakan Kristus apalagi di daerah-daerah yang
masih kental dengan tradisi-tradisi lokal dimana tradisi ini banyak yang tidak sejalan dengan iman Katolik adalah tidak mudah. Diperlukan banyak cara agar kabar gembira yang kita sampaikan bisa diterima oleh mereka tentunya tetap mengacu dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh gereja.
GBU
Ryan09
[Dari admin: pertanyaan ini telah dijawab di artikel di atas]
Comments are closed.