Saya termasuk orang yang takut terbang. Saya rasa cukup banyak juga orang yang mempunyai rasa takut yang sama dengan saya. Sudah menjadi kebiasaan saya, begitu masuk kabin, setelah menaruh bawaan di tempat yang tersedia, duduk di kursi pesawat, dan memasang sabuk pengaman, saya lalu segera tenggelam dalam keheningan batin, telapak tangan menggenggam rosario dengan erat, menutupinya dari pandangan pramugari yang lalu lalang di lorong kabin menyiapkan para penumpang untuk berangkat. Walaupun mata saya terbuka, melihat ke luar jendela, atau pura-pura menyimak pramugari di tengah lorong kabin yang sedang sibuk memperagakan petunjuk keselamatan (yang saya memang sudah hampir hafal), tapi hati saya tertuju kepada Bapa dan kepada Bunda Maria. Saya berdoa memohon perlindungan dan keselamatan selama penerbangan yang akan saya lalui. Saya berpikir, kalau sampai ada apa-apa, setidak-tidaknya saya dalam keadaan berdoa. Butir-butir rosario yang mengalir di antara jemari membantu doa saya tetap fokus di antara kesibukan dan keramaian di sekitar saya. Dan sepanjang penerbangan, bersama doa Bunda Maria yang saya kasihi, rasa takut saya menjadi sangat terkendali dan terkuasai dengan baik. Begitulah, bisa dibilang, perasaan saya di atas pesawat yang sedang terbang di udara dan perasaan pada saat terbaring tanpa daya di atas brankar yang sedang didorong ke meja operasi adalah perasaan yang hampir mirip, yaitu perasaan pasrah penuh kepada pemeliharaan kasih Bapa. Pada saat-saat semacam itu, saya diajak menyadari kembali bahwa manusia yang sering merasa dirinya serba hebat ternyata sebetulnya tidak mempunyai kuasa atas hidupnya sendiri.
Sebagai orang dewasa, tentu saya tidak bisa lagi berlindung di balik punggung ibu saya jika ketakutan dan kekhawatiran melanda, seperti layaknya seorang anak kecil yang mendapat ketenangan dan kekuatan dengan berlindung di balik badan sang ibu ketika dirinya merasa tidak nyaman. Namun di dalam medan kehidupan, masih ada banyak ketakutan dan kekhawatiran yang seringkali muncul dan sukar dibendung. Ketakutan akan masa depan, kekhawatiran akan sakit penyakit, kesedihan karena berbagai kesukaran hidup, kepahitan karena perbuatan sesama yang menyakitkan, dan masih banyak lagi. Pada saat-saat yang genting dalam hidup, cobaan yang dirasakan berat kadang membuat manusia bertanya di manakah Tuhan. Ada gelitik tanya yang menggoda sanubari, seolah-olah Tuhan menutup telingaNya terhadap jeritan permohonan manusia dan meninggalkan kita sendirian. Tetapi salah satu benda yang membuat saya kembali sadar bahwa Tuhan begitu mencintai saya dan tidak akan pernah meninggalkan saya adalah rosario saya, dan kenangan saya kepada Bunda Maria, kepada siapa Tuhan Yesus berkata dari atas kayu salib, “Inilah anakmu” dan kepada Yohanes, “Inilah Ibumu”. Dan saat itulah saya menemukan ibu Tuhan saya yaitu Bunda Maria, menjadi kekuatan dan perlindungan saya dalam keadaan sedih, genting, kesepian, dan ketakutan.
Semua yang Yesus katakan selama hidup-Nya di dunia mempunyai makna mendalam bagi kehidupan dan keselamatan umat manusia. Dan salah satu kata-kata terakhirNya di atas palang kesengsaraan yang tiada taranya itu sebelum Dia meninggal dunia adalah bukti otentik bahwa penyertaanNya kepada manusia, tidak akan pernah berhenti. Penyertaan yang dirancangNya bagi manusia yang dipercayakanNya kepada ibu-Nya adalah sungguh mengagumkan, karena figur ibu adalah figur pertama yang dikenal oleh manusia dalam hidupnya, figur yang melindungi, figur yang akan berbuat apa saja bagi keselamatan anak-anaknya. Bagi Yesus, menyerahkan ibuNya tentu merupakan suatu bentuk kasih yang amat dalam. Ia ingin agar kasih sayang seorang ibu yang sudah dialamiNya sendiri dari Bunda Maria sepanjang hidup-Nya sebagai manusia, juga dapat kita alami dan rasakan sepenuhnya, terutama di saat-saat paling genting dalam kehidupan manusia, sampai maut menjemput. Maka, doa Salam Maria di bagian akhir berbunyi, “…doakanlah kami yang berdosa ini, sekarang dan waktu kami mati”. Manusia lahir melalui seorang ibu, dan di dalam Yesus melalui bunda-Nya, saat manusia mati, ia berada dalam penjagaan doa ibu-Nya sendiri, yaitu Ibu Maria. Betapa dalamnya cinta Tuhan Yesus kepada manusia !
Seberapa dalamnya kita menghayati sepotong kalimat lirih yang Tuhan Yesus bisikkan di atas palang penderitaan itu, sebelum nafas terakhir-Nya? Kata-kataNya yang lembut penuh kedalaman cinta yang tak terbatas itu berbunyi, “Inilah ibumu”. Untuk selama-lamanya, kata-kata Yesus itu menjadi bukti hidup dan otentik bahwa Tuhan selalu memikirkan kita, selalu ingin hadir bagi kita, dan selalu ingin melindungi kita terutama di saat-saat genting dan sulit dalam hidup, saat-saat yang penuh ketidakpastian, saat manusia merasa Tuhan seperti tidak ada, saking gelapnya jalan yang sedang dilalui. Tetapi Tuhan selalu ingin kita sadar dan mengerti bahwa Ia selalu ada, dan menyertai kita dengan kasih yang tak terpahami. Di dalam perlindungan kasih dan doa seorang ibu, yaitu Ibu-Nya sendiri, yang mengandungNya selama sembilan bulan di dalam rahimnya, dan yang mengandung sabda dan kehendak Bapa dengan penuh ketaatan selama seumur hidupnya, Yesus ingin kita senantiasa merasakan ketenangan, kekuatan, dan ketegaran. Yesus ingin kita selalu merasa dicintai, dan jangan pernah takut lagi. “Inilah ibumu”, bisikNya dengan lembut, dan sejak saat itu, saya tahu bahwa sesungguhnya saya tidak perlu takut apa-apa lagi. (Triastuti).