Kata-Nya kepada mereka: “Mengapa kamu tidur? Bangunlah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan.” (Luk 22:46)
Jam weker kami untuk membantu kami bangun pagi berbunyi unik, yaitu berupa suara orang berseru-seru membangunkan orang tidur dengan kata-kata yang jenaka, “Up, up, up…you gotta get down, you gotta get down” (“bangun, bangun, kamu harus turun”) atau kadang ia bersuara “Throw your pillow, throw your pilloooww…!” (“ lempar bantalmu, lempar bantalmuuu..!”) dan seruan pendahuluan itu masih dilanjutkan dengan kalimat-kalimat lucu dengan intonasi dan logat yang berbeda-beda, mengajak kami untuk segera membuka mata, beringsut dari tempat tidur, dan bangkit. Di tengah rasa kesal karena masih ingin menikmati mimpi dalam tidur lelap di bawah selimut yang hangat, terselip rasa geli mendengar weker yang pandai berceloteh itu. Sering terjadi, yang membuat saya akhirnya membuka mata dan bangkit dari tempat tidur adalah dorongan yang saya rasakan dari kalimat-kalimat penyemangat yang jenaka itu, dan bukan semata karena kesadaran bahwa memang sudah waktunya bangun dan bekerja. Pabrik pembuat jam weker itu pasti menyimpulkan dari pengalaman bahwa sekedar bunyi dering biasa yang keras kebanyakan hanya akan membuat orang bangun sebentar dengan kesal untuk mematikan si weker, lalu melanjutkan tidurnya lagi.
Manusia mudah menjadi terbiasa akan sesuatu. Bahkan otot-otot manusia yang rutin dilatih dalam suatu gerakan olahraga tidak lagi menimbulkan efek pembakaran kalori yang efektif, bila gerakan latihannya selalu sama terus, tidak divariasikan dengan jenis gerakan (olah raga) yang lain. Ya, ada konteks di mana menjadi terbiasa adalah sesuatu yang baik dan membangun, dalam artian bila kita menjadi trampil dalam suatu hal yang baik karena sudah terbiasa. Tetapi hal menjadi terbiasa yang membuat nurani menjadi tumpul dan kehangatan kasih Tuhan menjadi tawar, membuat jiwa manusia menjadi kering. Kesibukan yang semakin padat karena tuntutan hidup yang makin tinggi, gerusan rutinitas yang memicu kelelahan mental, maupun keterikatan kepada dunia material, membuat manusia mempunyai lebih sedikit waktu untuk sesamanya, dan Tuhan. Sehingga lama kelamaan, manusia menjadi lebih mudah melupakan pengajaran yang diukirNya di dalam hati nurani. Menepikan sesama manusia demi kepentingan pribadi menjadi hal yang semakin biasa dan tidak dianggap keliru lagi. Korupsi, suap, perselingkuhan, hubungan seksual di luar perkawinan, yang begitu kerap terjadi, seolah semakin dapat diterima sebagai hal yang biasa. Hidup yang semakin nyaman di jaman yang semakin memberi kemudahan ini juga melahirkan efek yang sama. Berkat Tuhan yang melimpah dan sangat khusus yang terjadi setiap hari tidak lagi dianggap sesuatu yang harus disyukuri secara istimewa. Kemiskinan, penderitaan, ketidakadilan yang terjadi pada sesama di sekitar kita, tidak lagi menjadi perhatian dan keprihatinan karena terasa sudah terlalu sering terlihat di depan mata dan diabaikan. Manusia menjadi mati rasa, sebagaimana saya memilih untuk tidur lagi atau tetap tertidur kalau dering wekernya hanya jenis dering standar yang berbunyi, “kriiingggg….”
Di masa Pra Paskah ini, dalam berpantang dan berpuasa dari berbagai makanan dan kebiasaan yang menyenangkan, sebenarnya Yesus mengajak saya untuk bangun dari tidur yang panjang, merenungkan sikap cepat berpuas diri dengan kehidupan doa yang ala kadarnya, mengevaluasi hal-hal yang sudah saya anggap biasa dan tidak berbahaya, padahal sesungguhnya merupakan kebiasaan yang membuat saya tidak tumbuh dan berbuah. “Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh” (1 Kor 10:12). Mengingat kembali betapa dosa-dosa yang saya biarkan tidak saya akukan dalam Sakramen Tobat membuat suara hati saya semakin tumpul. Tuhan ingin agar saya selalu berjaga-jaga, tidak lengah, sehingga mudah diperdaya oleh ajakan Si Jahat, “Hendaklah pinggangmu tetap berikat dan pelitamu tetap menyala.” (Luk 12:35). Namun ajakan Yesus adalah selalunya untuk menjadi luar biasa, tidak hanya yang biasa-biasa dan standar saja, karena Ia memanggil saya menuju kepada kesempurnaan, ” Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.” (Mat 5:48). Sampai di situ saya masih mencoba menawar pada Tuhan, “Sempurna..?, Oh Tuhan, rasanya saya udah ngeper duluan mendengar kata ‘sempurna’ itu”, keluh hati saya pada Tuhan, “ Saya, gitu loh Tuhan, apa ya bisa?” tanya saya dengan perasaan stress. Namun, saya lupa bahwa saya telah diciptakan secitra dengan Dia. Saya juga bukan sekedar ciptaan semata, karena saya dikasihi dengan kasih sempurna seorang ayah, Ayah yang sangat mengerti diri saya, yang tidak pernah berhenti mempercayai saya bahwa saya bisa (lih. Luk 13:8), dan terus bekerja bagi kebaikan kita, bahkan melalui kelemahan dan kegagalan kita, supaya kita terus bergerak menuju kesempurnaan dan hidup berkelimpahan dalam Dia, “Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya (Mat 12:20a) dan kerinduan-Nya untuk memberikan semua yang terbaik bagi kita, “Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan (Yoh 10:10) .
Rasul Paulus mengajarkan bahwa menjadi sempurna adalah suatu proses (bdk. Flp 3:14), dengan berbagai pelajaran kedisiplinan. Suatu perjalanan, yang tidak terjadi dalam satu malam. Tuhan Yesus tidak meminta saya menjadi sempurna dengan kekuatan saya sendiri. Dengan terus mengarahkan energi kepada kasih Yesus dan kekuatan-Nya, perjalanan menuju kesempurnaan itu disegarkan dan dikembalikan selalu ke jalurnya. Lewat kurban salib-Nya, Tuhan Yesus mengajak saya memikul salib saya dan mengikuti-Nya dalam cinta, dan masa Pra Paskah memberi saya rahmat untuk menyegarkan kembali proses itu. Selama masa-masa ini, latihan menuju kesempurnaan itu diperbarui kembali. Langkah demi langkah upaya pertobatanku, mulai dari yang kecil dan sederhana, namun dilakukan dengan kesetiaan dan kasih, digandakanNya agar berhasil guna. Seperti lima roti dan dua ikan yang akhirnya memberi makan lima ribu manusia, karena dipersembahkan dalam nama-Nya. Tapi saya harus bangun dari kemalasan dan rasa puas diri saya untuk bisa terus berproses bersamaNya. Tuhan Yesus mengajak saya berjalan dua mil, sekalipun lingkup tugas duniawi saya hanya meminta satu mil. Melakukan lebih, mengasihi lebih, dan dengan sebaik-baiknya, karena bersama cinta-Nya saya bisa. Masa Pra Paskah adalah menyadari kembali betapa besarnya cinta kasih-Nya bagiku dan untuk bangun, merespon kasih itu dengan seluruh hidup dan cintaku, sebagaimana dengan penuh cinta, Kristus telah menyerahkan segala-galanya yang terbaik dari Diri-Nya, demi kelimpahan hidup sejati kita.
Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah. (Ibrani 12:2)
Doa: Terima kasih Tuhan Yesus Kristus, Sahabat dan Guruku yang setia, Engkau telah mati bagiku, supaya aku hidup dan berbuah, dalam damai dan sukacita yang memerdekakan. Di masa Pra Paskah ini, bantulah aku untuk memfokuskan segenap hidupku , memperbaiki diri, menyucikan hati, setahap demi setahap, mulai dari hal kecil dan sederhana, sambil terus meluangkan waktu untuk berdoa dan mendengarkan Engkau. Kuduskanlah niatku, pergandakanlah semangatku yang masih jatuh bangun ini, untuk berjuang bangkit dari dosa dan kemalasanku, memikul salibku dan mengikutiMu selalu. Bersama cintaMu dan kuasa kebangkitanMu, aku akan mampu menyelesaikan perjalanan ini. Engkaulah Tuhan dan Juruselamatku, yang selalu mengasihiku lebih dari yang mampu aku pikirkan. Terpujilah nama-Mu, kini dan selama-lamanya. Bunda Maria, doakanlah kami, untuk setia dan taat kepada Puteramu, amin.
terima kasih Bu Cicil Triastuti, untuk renungannya yang menyentuh & menggugah..
membuat saya juga mau belajar memiliki sikap berjaga-jaga agar tidak jatuh..
Tuhan memberkati..
Terima kasih atas renungan yang indah dari Ibu Caecilia Triastuti. Membuat saya menjadi bersemangat kembali dari rutinitas hidup saya.
Tuhan Yesus memberkati.
Aras.
Tuhan Yesus,merajalah senantiasa dlm hidupku sehari-hari.
Bunda Maria,doakanlah kami. Amin
terimakasih Ibu Triastuti atas renungannya
Berkah Dalem
Shalom Ibu Caecilia Triastuti,
Terima kasih banyak atas renungan yang sangat bagus ini.
Sangat berarti buat saya.
Salam,
Lukas Cung
[dari Katolisitas: terima kasih kembali Sdr Lukas, Sdr Caecilia, Sdr Aras, Devina, puji Tuhan bahwa dalam media ini kita boleh senantiasa saling membangun dan menguatkan iman dan kasih kita kepada Tuhan, khususnya dalam masa-masa laku tobat dan penyangkalan diri di masa Pra Paskah ini, semoga Tuhan Yesus memberkati kita semua. -Triastuti.]
Comments are closed.