Pertanyaan:
Mohon penjelasan juga;
Kalau kita melihat sejarah keselamatan, mulai dari bangsa Israel adalah contoh negara Teokrasi murni, dimana nabi Musa, Daud , Salomo, dll memerintah rakyatnya atas nama Allah. Dan mereka berperang dgn pemerintah-pemerintah kafir di zamannya yang rajanya bukan atas nama Allah.
Demikian juga cita-cita akhir / eskatologi Kristiani : Yerusalem baru , Kerajaan Allah / Surga ,dll yang semua itu menggambarkan wakil Allah yang berkuasa atas bumi … sekali lagi model Teokrasi.
Jadi apakah dasar ajaran GK untuk mendukung Demokrasi?
Terima kasih. Fxe
Jawaban:
Shalom Fxe,
Sejarah keselamatan Allah memang dimulai dari sejak kejatuhan Adam dan Hawa di masa awal penciptaan. Maka perjanjian Allah dimulai dari Allah dan pasangan manusia (Adam dan Hawa) pada saat Allah menjanjikan akan mengutus seorang yang akan lahir dari keturunan seorang wanita yang akan mengalahkan kuasa Iblis (meremukkan kepala Iblis). Perjanjian ini kemudian diteruskan kepada keluarga Nabi Nuh, para Patriarkh (Abraham, Ishak, Yakub), kedua belas suku bangsa Israel yang berasal dari anak- anak Yakub, kemudian kepada bangsa Israel sebagai bangsa pilihan-Nya yang dipimpin oleh Musa. Bangsa Israel ini kemudian dipimpin oleh para hakim dan raja (Saul, Daud, Salomo, dll), beratus- ratus tahun sampai kedatangan Kristus. Kristus kemudian memilih keduabelas rasul, dan mendirikan Gereja-Nya atas Rasul Petrus (Mat 16:18). Sebelum kenaikkan-Nya ke surga, Ia memerintahkan mereka untuk menyebarkan Kabar Gembira ke segala bangsa, membaptis mereka dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus, dan mengajarkan semua perintah-Nya (Mat 28:19-20). Gereja-Nya inilah yang merupakan bangsa pilihan-Nya yang baru, yang merupakan Tubuh Mistik-Nya sendiri, dengan Kristus sebagai Sang Kepala; yang memberikan kuasa kepada Rasul Petrus dan para penerusnya untuk memimpin Gereja-Nya di dunia ini atas nama-Nya. Dengan pengertian ini memang secara ilahi dan eskatologis, gambaran Kerajaan Allah adalah Kerajaan yang dipimpin oleh Allah sendiri di dalam Kristus, karena dikatakan, “Tetapi kalau segala sesuatu telah ditaklukkan di bawah Kristus, maka Ia sendiri sebagai Anak akan menaklukkan diri-Nya di bawah Dia, yang telah menaklukkan segala sesuatu di bawah-Nya, supaya Allah menjadi semua di dalam semua.” (1 Kor 15:28)
Dalam bukunya the City of God, St. Agustinus membedakan adanya negara, yaitu City of God (yang dibangun atas kasih kepada Tuhan) dan city of men (yang dibangun atas kasih kepada diri sendiri). Sebenarnya prinsip kasih kepada Tuhan yang dinyatakan melalui kasih kepada sesama, atas dasar persamaanpersamaan hak dan martabat, menghargai kebebasan/ kemerdekaan setiap orang- inilah yang menjadi prinsip dasar demokrasi. Hal ini sesungguhnya secara jelas diajarkan oleh Kristus dan para rasul, sebab di dalam Dia memang tidak ada lagi pembedaan. Rasul Paulus mengajarkan, “Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh” (1 Kor 12:13, lih. Kol 3 :11). Prinsip persamaan martabat sebagai anak-anak angkat Allah dalam Kristus ini yang mendasari para murid hidup dalam persekutuan, yang kaya/ kuat menolong yang miskin/ lemah. Inilah selalu yang menjadi pesan ajaran sosial Gereja Katolik, mulai dari surat ensiklik Rerum Novarum oleh Paus Leo XIII, 1891, sampai kepada surat ensiklik Caritas in Veritate oleh Paus Benediktus XVI, 2009.
Kita ketahui bahwa pengertian “demokrasi” mengacu kepada pemerintahan oleh rakyat/ wakil rakyat, atas dasar persamaan hak dan kemerdekaan individu, dan cirinya adalah kepemimpinan mayoritas/ rule of majority (jika kita melihat kepada definisi menurut Wikipedia dan Webster). Gereja Katolik tentu tidak anti demokrasi, terutama jika para wakil rakyat itu sungguh-sungguh menyuarakan suara rakyat, terutama rakyat kecil. Sebab ajaran Kristus yang utama adalah perintah kasih kepada Allah dan sesama, terutama sesama yang terkecil dan terhina (lih. Mat 25: 40, 45). Perintah “preferential for the poor” ini memang menempatkan Gereja untuk membela pihak yang lemah/ miskin, tanpa mengesampingkan peran Tuhan dalam kehidupan bermasyarakat.
Namun demikian, walaupun Gereja Katolik mendukung prinsip demokrasi, ia tidak dapat menerapkan “rule of majority”, dalam hal iman dan moral, sebab kedua hal tersebut adalah hak Allah, dan manusia tidak dapat mengubahnya sesuai dengan kehendak hatinya berdasarkan keinginan mayoritas. Sebab jika demikian ajaran iman dan moral disesuaikan dengan kehendak manusia dan bukan dengan kehendak Allah. Untuk maksud inilah Kristus memberikan wewenang mengajar kepada Rasul Petrus dan para penerus mereka yang diteruskan dengan setia oleh Magisterium Gereja Katolik. Dengan demikian, kita dapat melihat doktrin iman dan moral yang tidak berubah, sebab Magisterium memang tidak berhak mengubahnya. Sebagai contoh: di Amerika terdapat pendapat mayoritas yang melegalisasi aborsi, namun Gereja Katolik tidak pernah mendukung hal tersebut, dan melarang tindakan aborsi di rumah-rumah sakit Katolik.
Semoga keterangan singkat ini dapat memberi gambaran tentang hubungan Gereja Katolik dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org
Mohon penjelasan juga;
Kalau kita melihat sejarah keselamatan, mulai dari bangsa Israel adalah contoh negara Teokrasi murni, dimana nabi Musa, Daud , Salomo, dll memerintah rakyatnya atas nama Allah. Dan mereka berperang dgn pemerintah-pemerintah kafir di zamannya yang rajanya bukan atas nama Allah.
Demikian juga cita-cita akhir / eskatologi Kristiani : Yerusalem baru , Kerajaan Allah / Surga ,dll yang semua itu menggambarkan wakil Allah yang berkuasa atas bumi … sekali lagi model Teokrasi.
Jadi apakah dasar ajaran GK untuk mendukung Demokrasi?
Terima kasih. Fxe.
[Dari Katolisitas: Pertanyaan sudah dijawab di sini, silakan klik]
Terima kasih atas jawaban yg Anda berikan.
Bolehkah saya simpulkan bahwa GK tidak mengajarkan secara definitif bahwa bentuk pemerintahan yg ideal adalah demokrasi..?
Menyimak jawaban Anda, maka baik demokrasi , monarki, atau teokrasi adalah sebagai sekedar “cara” bukan tujuan. Apapun cara yg dipilih , yang penting tujuan akan persamaan hak & martabat, kebebasan , dll nilai-nilai humanis tetap terjamin, maka hal itu baik.
Walaupun tentu penilaian masing-masing manusia berbeda ttg cara mana yg paling baik.
Terima kasih atas pencerahan yg diberikan.
Shalom Fxe,
Ya, kesimpulan anda benar.
Salam Kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Comments are closed.