Pendahuluan
Ingatan saya melayang ke tahun-tahun yang silam, ketika saya masih bergabung dalam kegiatan mudika. Dalam kegiatan mudika waktu itu, kelihatannya tak banyak orang yang dengan suka cita mau menawarkan diri untuk memimpin doa. Kebanyakan, harus ditanya dahulu, dan jawabannya tak jarang yang seperti ini, “Kamu saja, ah, aku masih belum berani….” Semoga saja tidak demikian keadaannya sekarang, setelah semakin banyaknya kegiatan di paroki yang melibatkan perkembangan spiritualitas umat, termasuk para mudika dan OMK. Harus diakui, kita semua harus menyadari bahwa doa adalah nafas iman, dan karenanya kita harus menjadikan doa sebagai bagian yang terpenting dalam kehidupan kita. Maka sekarang pertanyaan yang sering muncul di benak kita adalah, “Jadi, bagaimana seharusnya kita berdoa?” Nah, kita tak perlu berkecil hati, karena ternyata para rasul juga pernah bertanya hal yang serupa kepada Kristus, “Tuhan, ajarlah kami berdoa…” (Luk 11:1), dan Tuhan Yesus mengajarkan kepada murid-murid-Nya, sebuah doa yang terindah: Doa Bapa Kami. Namun sayangnya, karena mungkin kita terlalu menghafalnya di kepala, maka malah makna perkataannya tidak turun sampai ke hati….
Doa yang sempurna yang harus didukung sikap batin
Doa Bapa kami merupakan salah satu warisan yang paling berharga, yang Tuhan Yesus berikan kepada kita. Melalui doa ini kita diajak oleh Kristus untuk memanggil Allah sebagai Bapa, sebab kita telah diangkat menjadi anak-anak Allah. Doa ini mengandung tujuh permohonan yang terbagi mejadi dua bagian, yang pertama untuk memuliakan Tuhan (6:9-10) sedangkan bagian kedua untuk kebutuhan kita yang berdoa (6:11-13). ((Lihat KGK 2765, 2781)). Doa ini mengandung pujian/ penyembahan kepada Allah, penyerahan diri kita kepada-Nya, pertobatan dan permohonan.
Namun, betapapun indahnya suatu doa, yang terpenting adalah bagaimana kita meresapkannya, sehingga kata-kata yang diucapkan bukan hanya sekedar hafalan tetapi sungguh-sungguh yang keluar dari hati. St. Teresa dari Avila memberikan satu tips yang sangat berharga, “Arahkanlah matamu ke dalam batin dan lihatlah di dalam dirimu…. Engkau akan menemukan Tuhanmu.” ((St. Teresa of Avila, The Way of Perfection, Text prepared by Kieran Kavanaugh OCD, (Washington DC: ICS Publication, 2000), p. 317)). Maka sebelum kita mengucapkan doa apapun, kita harus mempersiapkan batin terlebih dahulu, supaya kita sadar kepada Siapa kita akan mengajukan doa kita, dan betapa Mahabesar dan MahaKasih-nya Dia, sehingga kita dapat menempatkan diri kita dengan layak. Sepantasnya kita menyadari betapa kecil, lemah, dan berdosa-nya kita, namun juga betapa besarnya kita dikasihi oleh Allah, di dalam Kristus Yesus.
Doa Bapa Kami
(berdasarkan Mat 6:9-13)
Bapa Kami, yang ada di surga,
dimuliakanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu,
Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga
Berilah kami rejeki pada hari ini,
dan ampunilah kesalahan kami
seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami
Dan janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan
Tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat. Amin.
Bapa Kami
Bapa, atau “Abba” (lih. Mk 14:36, Rom 8:15; Gal 4:6) dalam bahasa Aramaic adalah panggilan yang erat seorang anak kepada ayahnya. Oleh kasih-Nya kepada kita, Yesus mengizinkan kita memanggil Allah sebagai Bapa kita, karena Yesus mengangkat kita menjadi saudara- saudari angkatNya. Ya, setiap kita mengucapkan kata “Bapa”, selayaknya kita mengingat bahwa kita ini telah diangkat oleh Allah Bapa menjadi anak-anak-Nya oleh jasa Kristus Tuhan kita. Allah yang begitu agung dan mulia, Ia yang begitu besar dan berkuasa, dapat kita panggil sebagai “Bapa”. St. Teresa dari Avila pernah mengatakan bahwa dalam kesehariannya saat merenungkan Doa Bapa Kami ini, tak jarang ia hanya berhenti pada kata “Bapa” saja, dan Tuhan sudah berkenan memberikan karunia sukacita kontemplatif yang tak terkira. Mari kita belajar dari St. Teresa, bahwa saat kita mengucapkan kata “Bapa”, kita sungguh meresapkannya dalam hati kita: ya, kita manusia yang lemah ini, boleh memanggil Dia, Bapa, karena kasih-Nya yang tak terbatas kepada kita. Saat kita katakan, “Bapa”…. resapkanlah bahwa kita berada dalam hadirat Allah yang Maha Mulia, namun juga yang Maha Pengasih. Ia yang lebih dahulu rindu kepada kita, sehingga kita diberikan kerinduan untuk berdoa, dan memanggil nama-Nya.
Bapa Kami: Perkataan “kami” di sini mengingatkan kita bahwa kita dapat memanggil Allah sebagai “Bapa” karena Kristus. Alangkah baiknya, jika dalam mengucapkan doa ini kita membayangkan bahwa kita berada di antara para rasul pada saat pertama kali Yesus mengajarkan doa ini kepada mereka. Bayangkan bahwa kita memandang Kristus yang mengajar kita untuk memanggil Allah sebagai Bapa kami, karena Kristus tidak hanya mengangkat “saya saja” menjadi saudara angkat-Nya, tetapi juga orang-orang lain yang dipilih-Nya, yaitu anggota-anggota Gereja. Oleh karena itu, Doa Bapa Kami ini merupakan doa Gereja, ((KGK 2768)), doa yang ditujukan kepada Allah Bapa yang mengangkat kita semua menjadi anak-anak-Nya. Dan, mari kita renungkan juga, betapa besar harga yang telah dibayar oleh Kristus Sang Putera untuk mengangkat kita semua untuk menjadi anggota keluarga Allah! Sebab di kayu salib-lah Kristus telah menumpahkan Darah-Nya, Darah Perjanjian Baru dan Kekal, sehingga Darah itulah yang mengikat kita semua menjadi satu saudara.
Yang ada di surga: Ya, kita mempunyai seorang Bapa di surga, yang mengasihi kita sedemikian rupa, sehingga tak menyayangkan Anak-Nya sendiri untuk wafat bagi kita, supaya dosa-dosa kita diampuni dan kita dapat mengambil bagian dalam kehidupan ilahi-Nya. ((2 Pet 1:4; 1 Yoh 3:1; KGK 2766, 2780))
Dimuliakanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu: : Ini merupakan kerinduan kita agar semakin banyak orang dapat mengenal Allah yang mulia dan kudus. ((Mzm 111:9; Luk 1:49)) Dan ini juga seharusnya disertai dengan keinginan kita untuk dipakai Allah sebagai alat-Nya untuk memuliakan nama-Nya. “Dimuliakanlah nama-Mu, ya Tuhan, dalam keluargaku, pekerjaanku, perkataanku, segala sikapku….; Jadilah Engkau Raja dalam rumahku, pekerjaanku, studiku, dalam pikiran dan perbuatanku.” Ini mengingatkan kita agar kita jangan mencari dan mengejar kemuliaan diri sendiri dalam segala sesuatu, karena segala sesuatu yang ada pada diri kita sesungguhnya adalah milik Tuhan dan harus kita gunakan untuk kemuliaan nama Tuhan. Dan agar dalam setiap keputusan dan tindakan yang kita ambil, kita dapat menomorsatukan Tuhan, kiranya, keputusan/ tindakan apa yang terbaik yang bisa kulakukan untuk lebih memuliakan Tuhan?
Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga: Ketaatan dan penyerahan diri pada kehendak orang lain mensyaratkan kerendahan hati, demikian pula penyerahan diri yang total kepada Tuhan. Sering manusia berkeras dalam memohon sesuatu kepada Allah, namun di sini kita melihat, Tuhan Yesus sendiri mengajarkan kepada kita untuk berserah kepada Allah Bapa. Sebab Bapa yang Maha Pengasih mengetahui apa yang kita butuhkan dan apa yang terbaik bagi kita, bukan saja untuk hidup kita di dunia, tetapi untuk hidup kita yang ilahi di surga kelak. Ungkapan penyerahan diri yang total ini mengingatkan kita akan doa Yesus di Taman Getsemani, “… tetapi bukanlah kehendak-Ku melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” (Luk 22:42). Karena ketaatan Yesus pada kehendak Bapa inilah, maka Ia menggenapi rencana keselamatan Allah Bapa, dengan wafat-Nya di salib dan kebangkitan-Nya. Semoga kitapun bisa taat dan menyerahkan diri kita secara total kepada Allah, sehingga kita dapat mengambil bagian dalam rencana keselamatan Allah bagi umat manusia.
Berilah kami rejeki pada hari ini: Yesus sangat mengasihi kita dan peduli pada kita, sehingga Ia mengajarkan kepada kita permohonan ini. Ia mengingatkan kepada kita bahwa rejeki dan nafkah kita, “our daily bread“, adalah berkat dari Tuhan. Tuhanlah yang mengizinkan kita mendapatkan rejeki hari ini, memiliki kesehatan dan hidup sampai pada saat ini, sehingga dapat menikmati rejeki yang Tuhan berikan. “Berilah padaku rejeki hari ini, ya Tuhan, dan ingatkanlah aku bahwa semua rejeki yang kuterima adalah semata-mata berkat-Mu, dan bukan milikku sendiri.” Maka kitapun harus teringat pada orang lain, terutama mereka yang berkekurangan, agar merekapun beroleh berkat Tuhan. Selanjutnya, para Bapa Gereja, terutama St. Agustinus mengkaitkan “our daily Bread” dengan Ekaristi, ((Letters of St. Augustine to Proba, CXXX, chap. XI- 21)) yang menjadi berkat/ rejeki rohani kita. Ini mengingatkan kepada kita agar kita tidak semata-mata mencari rejeki duniawi, tetapi juga berkat rohani. Bagi kita, berkat rohani yang tertinggi maknanya adalah Ekaristi, saat kita boleh menerima Kristus Sang Roti Hidup. Di sini kita diingatkan oleh para Bapa Gereja untuk memohon kehadiran Yesus, Sang Roti Hidup, di dalam hidup kita setiap hari. Dan jika “setiap hari” ini diucapkan setiap hari, maka artinya adalah selama-lamanya. “Semoga Tuhan Yesus, Sang Roti Hidup itu, sungguh menguatkanku dan menyembuhkanku hari ini, dan selama-lamanya.
Dan ampunilah kesalahan kami seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami: Dikatakan di sini bukan “ampunilah kami, seperti kami akan mengampuni yang bersalah kepada kami.” Maka seharusnya, pada saat kita mengucapkan doa ini, kita sudah harus mengampuni orang yang telah bersalah kepada kita atau yang menyakiti hati kita. Mari kita renungkan, kalimat yang sederhana ini namun sangat dalam artinya: Bahwa Tuhan akan mengampuni kita kalau kita terlebih dahulu mengampuni orang lain. Jadi artinya, kalau kita tidak mengampuni maka kitapun tidak beroleh ampun dari Tuhan. Betapa sulitnya perkataan ini kita ucapkan pada saat kita mengalami sakit hati yang dalam oleh karena sikap sesama, terutama jika itu disebabkan oleh mereka yang terdekat dengan kita. Namun Tuhan menghendaki kita mengampuni mereka, agar kitapun dapat diampuni oleh-Nya. Maka mengampuni orang lain sesungguhnya bukan saja demi orang itu, tetapi sebaliknya, demi kebaikan diri kita sendiri: supaya kita-pun diampuni oleh Tuhan.
Dan janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat: Mari kita sadari bahwa kita ini manusia yang lemah dan mudah jatuh ke dalam dosa dan kesalahan. Kita belum sampai pada tingkat di mana kita benar- benar terbebas dari segala godaan dan pencobaan. Pencobaan itu bisa bermacam- macam: ketakutan menghadapi masa depan, sakit penyakit, masalah keluarga dan pekerjaan, dst, namun bisa juga merupakan ‘pencobaan rohani’, terutama godaan untuk menjadi sombong, karena merasa telah diberkati dengan aneka karunia dan kebajikan. Untuk yang terakhir ini, St. Teresa, mengingatkan bahwa kita harus selalu rendah hati, tidak boleh terlalu yakin bahwa kita tidak akan jatuh ke dalam dosa. Jangan sampai kita bermegah akan suatu kebajikan. St Teresa mengambil contoh, bahwa kita tidak boleh terlalu cepat menganggap diri sabar, sebab akan ada saatnya bila seseorang hanya sedikit saja menyinggung hati kita, namun langsung kesabaran kita itu hilang. Maka sikap yang terbaik adalah selalu berjaga-jaga, menimba kekuatan dari Tuhan, dan menyadari bahwa kita sungguh tergantung kepada-Nya.
Ada banyak cara untuk meresapkan perkataan dalam doa Bapa Kami. Kita dapat berhenti sejenak, setelah kita mengucapkan satu kalimat, dan merenungkannya, atau kita dapat memilih satu bagian kalimat dalam doa Bapa Kami itu dan kita renungkan berulang kali sepanjang hari. Kedua cara ini dapat menghantar kita pada pemahaman yang lebih mendalam setiap kali kita mengulangi doa Bapa Kami di kemudian hari.
Contohnya, pada saat mengucapkan doa Bapa Kami, kita dapat meresapkannya demikian,
Bapa Kami yang ada di surga, …………………………………………… Betapa bersyukurnya aku boleh menyebut Engkau, “Bapa”
Dimuliakanlah nama-Mu, Datanglah kerajaan-Mu ………………… Biarlah nama-Mu dimuliakan di dalam hidupku
Jadilah kehendak-Mu, di atas bumi seperti di dalam surga …….. Aku mau taat dan menjadikan kehendakMu yang terutama
Berilah kami rejeki pada hari ini ……………………………………….. terutama rejeki rohani, yaitu Kristus Sang Roti Hidup
Dan ampunilah kesalahan kami ………………………………………… Kasihanilah aku, yang berdosa ini
seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami …….. Berilah aku kekuatan untuk mengampuni sesama
Dan janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan ……………… Sebab aku mengakui kelemahanku
tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat …………………………….. terutama terhadap kesombongan dan ketinggian hati
Kesimpulan
Maka jika kita perhatikan, walaupun singkat dan sederhana, sesungguhnya makna doa Bapa Kami sangatlah dalam. Jika kita belum melihatnya demikian, maka sudah saatnya kita mohon ampun kepada Tuhan, dan memohon kepada Roh Kudus untuk membantu kita untuk meresapkan doa ini. Sebab, jika kita perhatikan, doa spontan yang baik sesungguhnya mengambil sumber dari doa Bapa Kami ini. Misalnya: “Tuhan, aku bersyukur dan memuji Engkau (=Dimuliakanlah nama-Mu), karena Engkau sungguh baik (“Bapa”). Aku rindu menyenangkan-Mu, ya Tuhan, dan ingin melayani Engkau (Datanglah Kerajaan-Mu). Namun seringkali aku jatuh, dan melukai-Mu dengan dosa-dosaku. Kasihanilah aku ya Tuhan (Ampunilah kesalahan kami). Maka, kumohon ya Tuhan, dampingilah aku, supaya aku bisa memperbaiki diri, dan hidup lebih baik dari hari kemarin (Janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan). Dan kumohon juga dari-Mu, berkat jasmani dan rohani agar aku dapat menjalani hari ini dengan baik (Berilah kami rejeki pada hari ini). Engkaulah Tuhan dan Allahku, kepada-Mulah aku berserah… (Jadilah kehendak-Mu, di atas bumi seperti di dalam surga). Amin.
Dengan demikian, dengan meresapkan doa Bapa Kami, kitapun dapat menilai, apakah doa-doa kita selama ini sudah cukup baik. Selanjutnya, mari kita menilik hati kita masing-masing, apakah kita sudah meresapkan doa Bapa Kami, setiap kali kita mendaraskannya. Doa ini adalah doa yang diajarkan oleh Yesus, oleh karena itu selayaknya kita hayati dan kita resapkan di dalam hati. Jangan sampai kita kita hanya menghafalkan kata-katanya saja, tanpa menjadikan kata-kata itu ungkapan hati. Atau sebaliknya, kita tidak lagi rajin mengucapkannya, karena lebih menyukai doa- doa dengan perkataan kita sendiri. Alangkah baiknya, jika di samping doa- doa spontan maupun doa hening, kita tetap mengucapkan doa Bapa Kami ini dengan sikap batin yang baik. Sebab doa Bapa Kami adalah doa yang sempurna yang berasal dari Allah sendiri, dan karenanya marilah kita mengucapkannya dengan kasih yang besar kepada Dia yang telah mengajarkan-Nya kepada kita!
Terima kasih sekali atas artikelnya :)
ijin share
[Dari Katolisitas: Silakan berbagi, dan mohon jangan dilupakan jika Anda membagikan artikel di Katolisitas kepada orang lain, harap mencantumkan di bawahnya, dicopy dari situs https://katolisitas.org. Terima kasih.]
Selamat malam tim katolisitas yang dikasihi Tuhan,
Ada satu pertanyaan yang menganjal dalam hati saya tentang Doa Bapa Kami, yaitu bagaimana seharusnya kita melafalkan bait “Jadilah kehendak Mu di atas bumi seperti di dalam surga” dengan benar? Sebab seturut pendengaran saya, apabila bait tersebut dipenggal/dilafalkan dengan cara berbeda, maka artinya bisa berbeda pula. Dalam benak saya, ada dua cara pelafalan, yaitu:
1. “Jadilah kehendak-Mu, di atas bumi seperti di dalam surga”. Bait ini diucapkan dengan dilafalkan “jadilah kehendak-Mu” terlebih dahulu, setelah itu baru disambung “di atas bumi seperti di dalam surga. Menurut pengamatan saya, cara pelafalan/pemenggalan ini adalah cara yang paling umum dipakai oleh umat Katolik Indonesia. Menurut hemat saya, cara pelafalan/pemenggalan seperti ini membuat bait tersebut mempunyai arti bahwa kita berdoa supaya kehendak Tuhan terjadi YAITU di atas bumi menjadi seperti di surga. Berarti kalau kehendak Tuhan tersebut terjadi, MAKA kondisi bumi akan menjadi seperti di surga (tidak ada penderitaan, dsb). Btw, dengan model pelafalan ini, guru SMP saya pernah mengajarkan bahwa surga sebenarnya adalah bumi yang kondisinya damai. Jadi seolah-olah surga=bumi yang damai.
2. “Jadilah kehendak-Mu di atas bumi, seperti di dalam surga”. Bait ini diucapkan dengan dilafalkan “jadilah kehendak-Mu diatas bumi” terlebih dahulu, setelah itu baru disambung “seperti di dalam surga”. Menurut hemat saya, cara pelafalan/pemenggalan seperti ini membuat bait tersebut mempunyai arti bahwa kita berdoa supaya kehedak Tuhan terjadi dibumi seperti di surga, sebab di bumi kehendak Tuhan tidak selalu terjadi. Model inilah yang sampai sekarang saya pakai, sebab saya pernah mendengar pengajaran bahwa memang di bumi kehendak Tuhan tidak selalu terjadi, maka dari itu kita memohon supaya kehendak Tuhan selalu terjadi di bumi, seperti di dalam surga dimana kehendak Tuhan pasti terjadi.
Pertanyaan saya adalah, apakah tim katolisitas melihat adanya perbedaan arti pada kedua cara pelafalan tersebut? Jika tidak ada perbedaan arti antara keduanya, berarti perbedaan tersebut hanya perasaan saya saja. Tetapi jika iya, maka pelafalan manakah yang benar? atau kedua-duanya salah?
Demikian pertanyaan saya, semoga tim katolisitas selalu dalam perlindungan Tuhan Yesus.Amin
Shalom AHS,
Silakan membaca tanggapan kami tentang makna ayat Mat 6:10, berkenaan dengan ayat “Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam Surga…”, silakan klik.
Menurut penjelasan di sana, kita selayaknya melihat frasa itu sebagai satu kesatuan, tanpa perlu dipenggal. Sebab pemenggalan frasa itu kemudian malah memasukkan sesuatu prakonsepsi tertentu yang sebenarnya tidak dimaksudkan oleh frasa itu.
Jadi yang dimaksudkan di sana sebenarnya, adalah kita memohon kepada Tuhan agar kehendakNya di bumi ditaati, seperti bagaimana kehendak-Nya ditaati di Surga. Maka di sini kita berdoa agar di bumi keadaannya bisa menjadi seperti di Surga, dan bukan untuk diartikan sebaliknya yaitu bahwa Surga sama dengan bumi. Memang di akhir zaman nanti Tuhan akan menjadikan langit dan bumi yang baru, yang tentang ini telah diulas di sini, silakan klik. Namun bumi yang baru di akhir zaman itu, tidak sama dengan bumi yang ada sekarang ini. Sebelum sampai ke sana, kita manusia berziarah di bumi, dengan pengharapan bahwa kelak, oleh iman kita akan diperkenankan Allah masuk dalam Kerajaan-Nya.
Selanjutnya pemenggalan frasa tersebut, yang mengarah kepada anggapan bahwa di bumi kehendak Tuhan tidak selalu terjadi, itu juga tidak tepat. Sebab segala yang terjadi baik di bumi maupun di Surga, itu terjadi karena seizin Tuhan. Jika kita melihat kejadian tertertentu yang terjadi di bumi sebagai sesuatu yang tidak dapat kita pahami, itu adalah karena kita melihatnya hanya dalam dimensi waktu di dunia ini menurut pemahaman kita sebagai manusia. Namun Tuhan melihat segala sesuatunya sampai kepada kehidupan kekal dan dalam kekekalan di Surga, maka segala sesuatu yang nampaknya tidak adil yang terjadi di dunia ini, diizinkan oleh Tuhan terjadi, sebab akan tiba saatnya di mana Tuhan akan menyatakan keadilan-Nya, yaitu di saat Pengadilan Terakhir, di mana setiap orang akan diadili menurut perbuatannya (lih. Rm 2:6; Why 2:23; 20:13) di hadapan segala ciptaan-Nya yang lain, dan akan menerima konsekuensinya.
Silakan melihat prinsip adanya dua macam kehendak Allah, sebagaimana pernah diulas di sini, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Mat.6:9-13. DOA BAPA KAMI yg dikutip dan dibahas di sini,
Redaksinya TIDAK SEPERTI YG di KITAB SUCI .. Mis.:DIMULIA-
KAN .. Di KS “DIKUDUSKAN” kemudian “REJEKI” di KS “MAKANAN
KAMI SECUKUPNYA .. Mengapa sampai berbeda dgn nats KITAB
SUCI .. MANA YANG BENAR .. AJARAN GEREJA KATOLIK atau KITAB
SUCI .. ???
Shalom Oppa Gaoelz,
Tentang mengapa dalam teks doa Bapa Kami yang digunakan oleh Gereja Katolik disebutkan, berilah kami “rezeki”, bukan “makanan kami yang secukupnya”, sudah dibahas di sini, silakan klik.
Hal perbedaan terjamahan ini juga nampak pada kata “dimuliakanlah nama-Mu” (menurut terjemahan Gereja Katolik), dan “dikuduskanlah nama-Mu” (menurut terjemahan LAI. Kata aslinya adalah ἁγιάζω, hagiázō (bahasa Yunani) yang dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan sebagai “to make holy, to sanctify, to consecrate, to make sacred, to hallow“, menguduskan ataupun memuliakan.
Jadi sesungguhnya dalam bentuk pasif, kata tersebut dapat diterjemahkan sebagai ‘dikuduskanlah’ ataupun ‘dimuliakanlah’. Jika kita melihat kepada terjemahan bahasa Inggris, kita dapat membaca bahwa memang dari kata yang sama hagiázō (G37), dapat diterjemahkan menjadi ‘sanctified‘ (contohnya Yoh 10:36, 17:19; Kis 20:32, 26:18; 1Kor 1:2,6:11; 1Tim 4:5, 2Tim 2:21; Ibr 2:11, 10:10,14,29) ataupun kata ‘hallowed‘ (contohnya Mat 6:9, Luk 11:2, dalam doa Bapa Kami). Walaupun dalam terjemahan LAI tidak dibedakan terjemahan antara ‘sanctified’ dan ‘hallowed’ ini, namun ini tidak mengubah kenyataan bahwa kata hagiázō dapat diterjemahkan menjadi dikuduskanlah, atau dimuliakanlah.
Maka mohon dipahami, hal yang Anda sampaikan ini lebih menyangkut kepada hal terjemahan daripada sebuah ajaran. Gereja Katolik juga mengambil sumber ajaran-Nya dari Kitab Suci, dan karena itu ajaran Gereja Katolik tidak bertentangan dengan Kitab Suci.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
PS: Mohon untuk lain kali, untuk menulis tidak dengan huruf besar semua, karena menurut bahasa internet itu adalah ungkapan kemarahan. Kami percaya Anda sedang tidak marah-marah dengan kami, dan karena itu silakan menggunakan huruf besar dan huruf kecil yang semestinya menurut ketentuan bahasa yang baik dan santun. Terima kasih.
shalom,
ada satu pertanyaan yang membuat saya bingung yaitu isi yang ada dalam doa bapa kami, yaitu ” dan janganlah masukkan kami dalam pencobaan”.
apa yang dimaksud dengan kalimat ini karena menurut saya kalau kita tak mengalami pencobaan maka kita tak akan pernah dapat menjadi dewasa. Dengan adanya cobaan-cobaan yang kita hadapi maka kita dapat terus belajar dan menjadi lebih dewasa. mohon penjelasannya.
Terimakasih.
Shalom Andimmike,
Penjelasan tentang Mat 6:13, “janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan”, menurut A Catholic Commentary on Holy Scripture, Dom Orchard, ed. adalah:
“Kalimat ini memohon agar Allah Bapa tidak membawa kita kepada pencobaan. Karena Tuhan tidak mencobai siapapun (lih. Yak 1:13) maka frasa ‘jangan masukkan kami’ dapat diartikan dengan ‘jangan izinkan kami untuk menuju’… Kata ‘pencobaan’ tidak selalu berarti sebuah undangan langsung untuk berbuat dosa; namun ‘pencobaan’ ini merupakan keadaan-keadaan, yang bagi kita, menjadi bukti sebagai kesempatan berbuat dosa….”
Maka, memang benar bahwa umumnya pencobaan yang terjadi dalam hidup kita dapat membantu kita bertumbuh menjadi dewasa di dalam iman kepada Tuhan, tetapi di saat yang sama, kita harus menyadari bahwa seandainyapun kita berhasil mengatasinya, semua itu karena pertolongan Tuhan, dan bukan karena kekuatan kita sendiri. Kita tidak dapat bermegah atas kekuatan/ keteguhan kita sendiri menghadapi pencobaan sebab jika demikian kita pasti jatuh (lih. 1 Kor 10:12). Jika Tuhan mengizinkan terjadinya pencobaan dalam hidup kita, itu adalah karena Ia melihat dalam kebijaksanaan-Nya, bahwa kita dapat, berjuang bersama-Nya, untuk menghadapinya, sebab Ia akan memberikan jalan keluar kepada kita (lih. 1 Kor 10:13). Namun bukan bagian kita untuk sepertinya menantang, “Mari Tuhan, berikanlah pencobaan itu kepadaku”, seolah-olah kita meminta Tuhan menghantar kita kepada keadaan yang dapat dengan kuat menarik kita untuk berbuat dosa, dan kita pasti kuat menolaknya. Sebab faktanya, tanpa diminta, pencobaan/ ujian itu sudah datang sendiri dalam hidup kita, entah karena memang karena kesalahan kita sebelumnya dalam membuat keputusan, atau karena Tuhan mengizinkan hal itu terjadi tanpa campur tangan kita. Contoh pencobaan ini misalnya: masalah keluarga/ hubungan suami istri, masalah di tempat kerja, masalah keuangan, sakit penyakit, dst. Namun apapun yang terjadi, Tuhan tetap dapat menggunakan keadaan-keadaan itu untuk dapat mendatangkan kebaikan bagi kita, asalkan kita mengasihi Dia (lih. Rom 8:28).
Jadi, mari kita berusaha menjauhi keadaan-keadaan yang dapat mengundang kita untuk berbuat dosa, sambil dengan rendah hati memohon pertolongan Tuhan, jika keadaan tersebut ternyata hadir di hadapan mata kita. Sebab hanya dengan kekuatan yang dari Tuhan, kita memperoleh keteguhan menolak untuk berbuat dosa dan segala yang jahat, dan tidak membiarkan diri kita jatuh ke dalamnya.
“Bapa kami yang ada di surga, …janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan, tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat. Amin”
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
PS: Selanjutnya tentang Apakah pencobaan datang dari Tuhan?, silakan klik di sini
belum ada penjelasan untuk frase “di atas bumi seperti di dalam surga”. mohon penjelasan apa maksud Yesus dengan frase itu.
Shalom Yusup,
Di dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK, 2822-2827) dipaparkan tentang doa Bapa Kami bagian “Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam Surga”. Dalam doa ini, kita berdoa bahwa kehendak Bapa terjadi di atas bumi, yaitu agar semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran (1Tim 2:4). Dan hal ini dinyatakan secara sempurna dalam diri Kristus, yang senantiasa melaksanakan kehendak Bapa (lih. Yoh 8:29). Dengan demikian, doa ini berharap bahwa di atas bumi ini kehendak Bapa dapat terwujud secara sempurna sebagaimana kehendak-Nya terwujud secara sempurna di dalam Kerajaan Sorga. Dan bagaimana caranya? kita melihat apa yang dilakukan oleh Kristus, yang senantiasa taat kepada kehendak Bapa. Anda dapat membaca KGK 2822-2827 sebagai berikut:
Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
banyak terima kasih Pak Stef
Saya ingin menanyakan sbb:
*) dalam kredo”AKU PERCAYA” terkutib: “……..putranya yg tunggal “TUHAN KITA”……”
*) dalam doa BAPA KAMI terkutib: “BAPA KAMI….”
Yg saya ingin tahu mengapa yg pertama menggunakan ” KITA” dan yg kedua menggunakan “KAMI”, apakah memang ada perbedaan arti antara ” Tuhan Kita’ dan “Bapa Kami”
Salam,
Hary
Shalom Hary,
Syahadat Aku percaya merupakan pernyataan iman kita sebagai seorang Kristiani. Inti pernyataan dalam syahadat tersebut diperoleh dari pengajaran para rasul, dan telah diyakini sejak zaman Gereja perdana. Maka dalam syahadat itu, dikatakan “Aku percaya…… akan Putra-Nya yang tunggal, Tuhan kita“, sebab para rasul, Gereja dan kita semua dalam kesatuan dengan Gereja memang percaya akan Kristus, Putra Allah yang tunggal, Tuhan kita.
Sedangkan doa Bapa Kami itu adalah doa yang diajarkan oleh Kristus kepada para murid- murid-Nya. Perkataan “kami” di sini mengingatkan kita bahwa kita dapat memanggil Allah sebagai “Bapa” karena Kristus. Alangkah baiknya, jika dalam mengucapkan doa ini kita membayangkan bahwa kita berada di antara para rasul pada saat pertama kali Yesus mengajarkan doa ini kepada mereka. Bayangkan bahwa kita memandang Kristus yang mengajar kita untuk memanggil Allah sebagai Bapa kami, karena Kristus tidak hanya mengangkat “saya saja” menjadi saudara angkat-Nya, tetapi juga orang-orang lain yang dipilih-Nya, yaitu anggota-anggota Gereja. Oleh karena itu, doa Bapa Kami ini merupakan doa Gereja, doa yang ditujukan kepada Allah Bapa yang mengangkat kita semua menjadi anak-anak-Nya. Mari kita renungkan juga, betapa besar harga yang telah dibayar oleh Kristus Sang Putera untuk mengangkat kita semua untuk menjadi anggota keluarga Allah, sehingga kita dapat memanggil Allah sebagai ‘Bapa kami’! Sebab di kayu salib-lah Kristus telah menumpahkan Darah-Nya, Darah Perjanjian Baru dan Kekal, sehingga Darah itulah yang mengikat kita semua menjadi satu saudara.
Namun dengan mengajarkan doa “Bapa kami” ini, Yesus juga secara implisit mengajarkan bahwa ke-Puteraan-Nya tidak persis sama dengan keputeraan kita. Itulah sebabnya Ia mengatakan, “…sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu.” (Yoh 20:17). Sebab ke-Puteraan Yesus terjadi di dalam kesamaan hakekat-Nya dengan Allah Bapa; sedangkan ke-puteraan kita terjadi karena Kristus, sehingga kita disebut sebagai anak-anak angkat Allah Bapa di dalam Kristus (lih. Gal 3:26). Maka Kristus mengajarkan kepada para murid-murid-Nya (dan kita semua yang percaya kepada-Nya) untuk memanggil Allah sebagai Bapa ‘kami’, karena: 1) kita dapat menyebut Allah sebagai Bapa karena Kristus; karena kita sudah digabungkan denganNya dalam Pembaptisan yang menjadikan kita anak-anak angkat Allah; 2) Allah Bapa bukan milik saya sendiri, 3) Ke-Putraan Yesus tidak sama persis dengan keputraan kita (karena kita sebagai manusia tidak sehakekat dengan Allah, sedangkan Kristus sehakekat dengan Allah Bapa), sehingga Yesus tidak mengajarkan untuk menyapa Allah Bapa dengan istilah “Bapa kita”.
Untuk lebih memahami point yang ke-3 ini, silakan membaca artikel: Yesus, sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Berkah dalem,
Saya sangat tersentuh dengan artikel ini. Minta ijin untuk saya print dan saya tempel di kamar saya. :) Sungguh saya pun akhir akhir ini bisa meneteskan mata apabila menyanyikan lagu Our Father ini (terlebih yang versi B. Inggris), sungguh sebuah doa yang lengkap, yang mengajarkan kerendahan hati kita akan pencipta kita.
Sedikit pertanyaan, apakah kita boleh menambahi dan sedikit memodifikasi untuk personal kita? Misalnya ditambahkan kata kata untuk refleksi kehidupan kita hari ini?
Terima kasih.
Tuhan memberkati.
[Dari Katolisitas: Silakan, jika Anda ingin mencetak artikel di atas untuk menjadi bahan permenungan Anda dan Anda tempelkan di kamar Anda. Perihal menambahi ataupun mememodifikasi sebagai bahana permenungan pribadi, tentu boleh dilakukan. Sebab pada dasarnya doa yang baik juga mengandung unsur- unsur yang terdapat dalam doa Bapa Kami, yaitu pujian kepada Allah, penyerahan kepada-Nya, mohon pengampunan-Nya dan pertolongan-Nya]
Terima kasih atas bantuan doanya….TUHAN memberkati yakub AMIN….
Dalam Misa apakah salah, bila doa Bapa Kami di ucapkan lebih dari satu kali, dalam perayaan Misa sementara Doa Bapa Kami itu sendiri sudah diucapkan setelah KONSEKRASI ?? Mohon tanggapannya.
Shalom Yohanes Kuat,
Sementara menunggu jawaban dari Rm Boli, izinkan saya menjawab pertanyaan Anda. Jika nanti Rm. Boli menjawab yang berbeda, silakan mengabaikan jawaban saya, karena beliaulah yang lebih kompeten dalam hal ini.
Secara liturgis, doa Bapa Kami dalam Misa Kudus hanya diucapkan sekali. Namun sebagai bentuk devosi pribadi, yaitu untuk diucapkan/didoakan secara pribadi di dalam hati, silakan saja, dapat dilakukan, misalnya sehabis Komuni ataupun di saat-saat doa pribadi di awal dan akhir Misa Kudus.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
“Berilah kami makanan secukupnya hari ini” versus “Ajakan berpikir dan membuat rencana hidup jangka panjang”.
Doa Bapa Kami adalah doa yang paling sempurna yang diajarkan Yesus kepada umatNYA. Di dalam doa itu , Yesus mengajak umatNYA untuk hidup sederhana tidak serakah. Yang penting ada makanan secukupnya hari ini. Yesus tidak mengajak umat untuk berpikir terlalu jauh atau gelisah mengenai masa depan dan melakukan langkah-langkah antisipatif jika terjadi paceklik dan sebagainya.
Di lain pihak, manusia modern telah diajari untuk merencanakan masa depannya dalam segala bidang, termasuk dalam hal pangan. Baik keluarga maupun pemerintah dituntut berpikir ke depan untuk mengelola ketersediaan pangan bukan hanya untuk hari ini tetapi juga untuk hari-hari berikutnya.
Bagaimana mendamaikan kedua pola pikir di atas dalam diri umat Kristiani, agar tidak hidup dalam dua pola pikir yang kontradiktif.
Shalom Herman Jay,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang doa Bapa Kami artikel yang ke-4, yaitu meminta rezeki. Secara prinsip, kita dapat melihat bahwa petisi 1-3 dari doa Bapa Kami adalah dalam hubungannya dengan rahmat spiritual, agar: (1) kekudusan dan kemulian Tuhan dinyatakan; (2) agar kita turut berpartisipasi dalam kehidupan kekal; (3) dan agar kehendak-Nya terwujud dalam diri kita. Walaupun tiga kehendak ini secara sempurnya dinyatakan dalam Kerajaan Sorga, namun dimulai di dunia ini. Oleh karena itu, kita minta, agar kita diberikan hal-hal yang perlu dalam hidup ini (yang bersifat sementara / temporal) untuk dapat menjalankan tiga petisi pertama. Dan inilah inti dari petisi yang ke-empat, yaitu: berilah kami rejeki pada hari ini.
Secara prinsip, petisi ke-4 ini harus menghindari: keserakahan, penipuan, terlalu berlebihan, tidak mensyukuri, dan terlalu berfokus pada hal-hal yang bersifat sementara. Dengan kata lain, seseorang tidak boleh berfokus pada usaha-usaha yang bersifat material sehingga mengalahkan hal-hal yang bersifat spiritual. Jadi, tentu saja kita dapat mengadakan perencanaan masa depan, sejauh perencanaan tersebut tidak mengalahkan hal-hal spiritual. Sebagai contoh, orang yang terlalu memaksakan pekerjaannya yang bukan karena alasan untuk memenuhi kebutuhan pokok, sehingga mengambil 2 pekerjaan dan akhirnya menelantarkan keluarganya, tidak memberikan pendidikan iman yang baik kepada anak-anak sebenarnya telah berdosa. Sejauh kita melihat bahwa kepentingan untuk mencapai Sorga dan hal-hal yang bersifat spiritual lebih utama daripada hal-hal di dunia ini dan bersifat material, maka semuanya akan berjalan dalam keharmonisan. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Mohon penjelasannya
1. Mengapa kalimat tersebut ada dalam kurung
(Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.) Mat 6: 13
2. Mengapa kalimat tersebut tidak diucapkan dalam Doa Bapa Kami
3. ” Rejeki ” dan “makanan kami yang secukupnya”, samakah arti kalimat/kata tersebut dalam naskah aslinya
Terima kasih.
Shalom Nien,
Mat 6:9-13 dan Lukas 11:2-4 memberikan pengajaran akan doa Bapa Kami yang diajarkan oleh Yesus sendiri. Beberapa ahli Kitab Suci mengatakan bahwa dua teks ini mungkin diperoleh dari kejadian yang berbeda. Namun text lengkap doa Bapa Kami adalah berdasarkan dari text menurut Injil Matius (Mat 6:9-13). Text pertama yang ditemukan dalam Mat 6:13 ada yang memuat “Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.” dan satu text di ayat ke 13 tidak memuat kalimat tersebut. Dan disinilah perlunya “textual criticism”. Dan dari metode ini, Gereja Katolik dan juga sebagian gereja-gereja non- Katolik mengambil ayat ke-13 tanpa “text tersebut”. Kalau kita perhatikan, kitab suci versi King James Version memuat text tersebut, RSV, Vulgate Bible tidak memuatnya, LAI, NAB memuat text tersebut di dalam tanda kurung. Hal ini disebabkan adanya variasi manuskrip- manuskrip asli, sebab ada manuskrip yang memuatnya dan ada yang tidak. Kitab Suci Kristiani tidak pernah melalui proses standarisasi, sehingga hal demikian ditampilkan apa adanya, dan variasi yang ada dalam kasus ini
Tentang “rejeki” dan “makanan kami yang secukupnya” sudah pernah dengan panjang lebar dibahas di sini, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Trima kasih Tuhan, aku baru menyadari ternyata do’a ku selama ini telah Engkau dengar, yaitu memberikan ku petunjuk selalu, agar menjalani kehidupan ini selalu bersama dengan Roh Kudus,
terima kasihku tak cukup, aku mohon ingatkan aku selalu agar dapat bersyukur kapanpun dan bagaimanapun dengan keadaanku,
terima kasih kuucapkan sekali lagi berkat artikel ini hatiku jadi terbuka
Shalom
1. Saya mempunyai kakak wanita yang hampir buta, meskipun sudah berobat kemana mana , namun hasilnya tidak ada. Dia sudah tidak bisa membaca lagi, untuk berdoa saya sarankan mungkin ada buku doa yang memakai huruf braille, namun dia tidak mau tetapi memilih memakai kasette. Umurnya sekitar 63 thn namun pendengarannya masih bagus sekali. Pertanyaan saya dimana dapat membeli kumpulan doa2 didalam kasete, sehingga nanti tinggal play saja.
2 Mohon arahan doa apa untuk seorang yang selalu mengalami musibah , i.e. kecelakaan dll
Terima kasih, Tuhan memberkati
Salam Regina,
1. Doa lisan merupakan unsur hakiki dalam kehidupan Kristen. Kristus mengajarkan doa lisan “bapa kami”. Yesus tidak hanya mendaraskan doa-doa liturgi dalam sinagoga, tetapi Ia pun mengangkat suara. Doa-doa-Nya terbentang dari “memuji Bapa dengan gembira” sampai “permohonan dalam sakrat maut di taman getsemani” (Mat 11:25-26; Mrk 14:36) (KGK # 2701). Doa lisan diarahkan dari dalam batin ke luar. Dan karenanya sangatlah manusiawi. “Kita harus sadar, kepada siapa kita berbicara” (St. Teresia dari Kanak-Kanak Yesus, cm. 26). Doa lisan menjadi cara pertama dari doa batin (KGK # 2703). Saya sangat mendukung jika Anda mendoakan teks tersebut lalu direkam. Rekamannya bisa diputarkan untuk kakak Anda.
2. Doa apa pun yang standard Katolik, bisa didoakan untuk orang yang mengalami musibah. Doa Rosario ialah doa standard yang lengkap (Tanda Salib, Aku Percaya, Bapa kami, Salam Maria, Kemuliaan, Terpujilah). Doa sendiri bukanlah mantra ajaib, melainkan komunikasi dengan Allah, agar kita sadar diri, dan mengarahkan diri di hadapanNya yang penuh kasih. Doa batin, atau doa renungan juga sangat efektif membina relasi dengan Allah. Dengan doa, musibah apapun, kita satukan dengan musibah yang pernah diterima Kristus yatu salib-Nya.
Salam
Yohenas Dwi Harsanto Pr
Dear Romo Dwi
Terima kasih banyak atas penjelasan dan nasehatnya mengenai Doa Bapa Kami. Secara pribadi, memang betul apabila dihayati Doa Bapak Kami sangat menyntuh, hal ini saya alami sendiri, setiap kali saya ikut Misa, pada saat Doa Bapak Kami didaraskan apalagi melalui pujian/nyanyian, tidak terasa air mata selalu menetes, sungguh agung namaNya
‘
Kalau tidak keberatan, mohon bantuan Romo Dwi membuatkan doa untuk kakak saya ( Robertha Widiningsih ), sehingga saya bisa membacanya untuk dia.
Terima kasih banyak, Tuhan Memberkati
regina
Salam Regina
Doa-doa untuk kakak Anda (Robertha Widiningsih), bisa diambil dari buku-buku doa yang sudah ada seperti “Puji Syukur”, “Madah Bhakti” (dalam bahasa Jawa “Kidung Adi”), “Adoro Te” (Dalam bahasa Jawa “Padupan Kencana”), dan sebagainya yang juga ada yang dicetak dalam bahasa suku bangsa / bahasa daerah lainnya (Sunda, Batak, Mandarin, Dayak, Toraja, Nias,dll). Silahkan mendapatkannya di toko-toko buku.
Saya buatkan doa dengan mengubah sedikit dari salah satu doa dari buku “Adoro Te” halaman 297-298 “Menyerahkan Penderitaan” :
“Allah Bapa, aku (sebut nama…) membuka kedua belah tanganku, untuk menerima penderitaan ini sebagai ‘anugerah luhur’ dari – Mu.
Allah Putera aku menggenggam kedua belah tanganku, untuk menyandang dan membawa penderitaan ini sebagai ‘harta kekayaan’ bersama penderitaan-Mu di kayu salib.
Allah Roh Kudus, aku mengangkat kedua belah tanganku untuk mempersembahkan penderitaanku ini sebagai ‘persembahan murni’ dengan rahmat-Mu.
Datanglah Kerajaan-Mu, dan jadilah kehendak-Mu, ya Allah Tritunggal Kudus yang Maha Esa. Semoga dengan pengantaraan Kristus bersama Dia dan demi Dia, penderitaanku ini dapat meluhurkan nama-Mu dan menguduskan diriku, sekarang dan selama-lamanya. Amin.
Salam,
Yohanes Dwi Harsanto Pr
Dear Romo Dwi
Terima kasih banyak atas kiriman doanya. Tuhan Memberkati
Regina
Salam sejahtera.
Saya ingin bertanya mengenai doa Bapa Kami pada bagia “berilah kami rezeki pada hari ini”.
Dalam fersi inggrisnya “Give us this day our daily bread” (berliah kami hari ini roti harian kami).
Dalam fersi latin “Panem nostrum quotidianum da nobis hodie” (berilah kami hari ini roti harian kami).
kenapa dalam versi indonesianya roti diganti rezeki. Apakah dalam behasa lain atau negara lain juga demikian? atau cuma dalam versi indonesia yang demikian?
Terima kasih.
[Dari Katolisitas: Pertanyaan serupa sudah pernah ditanggapi di sini, silakan klik]
Saudara saudari terkasih dalam Kristus Tuhan,
Saya hanya ingin menambahkan saja, semoga kita semua mau lebih memperdalam penghayatan tentang doa BAPA KAMI dengan membaca dengan sungguh sungguh buku karangan Scott Hahn dengan judul DOA BAPA KAMI – Refleksi dan Pemahaman menurut Kitab Suci, yang terdiri atas 12 Bab dan Bab 13 Penutup ditambah dengan TULISAN PARA BAPA GEREJA, Santo Siprianus, Santo Sirilus dari Yerusalem, Santo Yohanes Chrisostomus dan Santo Agustinus.
Saya percaya banyak saudara saudari yang sudah baca buku ini dan merenungkannya, bagi yang belum saya kutipkan sedikit ulasan Scott Hahn di Kata Pengantar :
Doa ini sangat penting. Ini adalah inti ‘khotbah yang paling terkenal’, yaitu Khotbah di Bukit. Ini bukan hanya khotbah yang paling terkenal, tetapi juga merupakan khotbah Yesus yang pertama kalau kita membaca Injil. Panjangnya tiga bab (Mat 5-7) – belum pernah ada homili seperti ini! Dan ketiga bab itu berisi satu hal yang tidak akan kita temui dalam empat bab pertama Injil Mateus: yaitu kebapaan Allah. Tanpa acuan sama sekali, Yesus terus menyebut Allah sebagai Bapa di dalam khotbah-Nya sebanyak tujuh belas kali. Ia juga menyebut banyak gambaran keluarga yang lain, misalnya: perkawinan, istri, saudara, anak, membangun rumah dsb.
Karena itu, tidaklah mengherankan jika inti doa dari khotbah yang paling terkenal sepanjang sejarah ini dibuka dengan kata-kata ‘Bapa Kami’ ………………. Bahasanya enak dan asyik lho… Berkat Tuhan
Dengan doa Bapa Kami,
jangan dimaknai kita setara dengan Bapa, wuah jauh, ini menyatakan bahwa kita telah menerima anugerah yang tak terkira. Abdi diangkat jadi Anak, wajibnya kan bersyukur, jangan besar kepala.
Jadilah kehendakMu dibumi seperti didalam surga, ungkapan harapan. Bumi ini supaya kembali ke khitahnya, sesuai desain awalnya, nggak ada korupsi atau makelar kasus, ini hanya bisa terjadi kalau kita yang sudah terlanjur punya kebebasan( entah istilahnya Free Wiil) mau melakukannya. Ini tanggung jawab kita kita Tuhan nggak maksa.
Doa Bapa Kami bagi saya komplit, ada Pujian, Syukur, harapan dll. Saya mengalir percaya, begitu saja.
Salam
Shalom Widiatmono,
Ya, anda sangat benar. Bahwa biar bagaimanapun kita tidak mungkin setara dengan Allah Bapa, sebab Ia adalah Allah Pencipta kita, dan kita ini adalah mahluk ciptaan-Nya.
Doa Bapa Kami yang diajarkan Yesus ini, mengajak kita untuk terus mensyukuri rahmat Baptisan yang kita terima, sehingga diangkat menjadi anak-anak angkat Allah di dalam Kristus Allah Putera, sehingga kita dapat menyebut Allah sebagai Bapa. Namun ini tidak berarti bahwa kita menjadi setara dengan Allah Bapa.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Terima kasih atas jawabannya,
sebagai orang Jawa saya dengan teman-teman selalu mencari Purwaning Dumadi dengan “laku” istilahnya ” ilmu iku kelakone kanti laku”, dahulu saya rasakan sulit sekali. Sering dilambangkan Allah itu jauh tetapi juga dekat tanpa jarak.
Dengan kedatangan Kristus didunia, Allah sendiri mendatangi kita dengan merendahkan Diri. Saya menyadari sekarang, yang dahulu saya anggap sulit hampir mustahil, menjadi begitu mudah, syaratnya percaya. Secara sadar ini bukan hasil usaha saya, tetapi murni anugerah.
Hanya yang menggelisahkan saya, semangat “mati raga” kok hampir ditinggalkan, apa ada yang perlu dibenahi?
Tulisan ibu Ingrid menguatkan saya.
Salam.
Yth. mbak Ingrid…
saya, yosep saat ini dipercaya sebagai majelis pada GKP Bethani tanah tinggi, Jakarta… materi tentang Doa Bapa Kami, dan yang berkaitan dengan pembinaan anak muda sangat saya butuhkan……
Kiranya mbak inggrid dapat memberikan softcopy melalui email saya, terima kasih atas bantuannya.
Yosep
Shalom Musa Yosep,
Jika anda melihat bahwa ulasan tentang doa Bapa Kami di atas, membantu anda, silakan anda copy and paste, dengan menyebutkan juga sumbernya yaitu katolisitas.org, untuk anda pergunakan dalam kegiatan pelayanan anda. Selanjutnya, jika anda ingin mendapat ulasan yang lebih mendalam tentang Bapa Kami, silakan anda membaca Katekismus Gereja Katolik, no. 2759 sampai 2865. Silakan anda mengunjungi situs imankatolik.or.id untuk membaca Katekismus Gereja Katolik secara online.
Juga silakan membaca buku “The Way of Perfection” karangan St. Theresa of Avila, yang dengan sangat indahnya menjabarkan renungan tentang doa Bapa Kami ini. Silakan klik di link ini, baca chapter 27 sampai dengan 42, tentang Doa Bapa kami (Pater noster).
Hal pembinaan anak muda memang belum secara khusus ada di situs ini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom mbak Inggrid Listiati
Terima kasih atas bantuannya dan diperkanankannya menggunakan tulisan tersebut, GBU
Doa Bapa Kami merupakan Doa yang paling sempurna, artinya sangat dalam yang mengajarkan kita banyak hal yang perlu kita lakukan apapun bentuknya lewat dalam studi, pekerjaan, dan maupun dalam kehidupan kita setiap hari lepas hari. Tuhan Yesus Sungguh Baik mengajarkan kita melalui Doa Bapa Kami karena supaya kita selalu tidak berkecil hati ataupun kuatir apa yang harus kita katakan untuk berdoa pada Yahweh ” Yesus Kristus” yang selalu menunggu kita untuk serupa seperti Tuhan Yesus. Tuhan Memberkati ikutilah Teladan Tuhan Yesus jangan pernah Berkecil hati Tuhan Memberkatimu Selalu Yakinkan/Kalungkan Pada Hatimu Bahwa Tuhan Selalu Sangup MenolongMu setiap Detik, menit, jam Maupun hari lepas Hari ! Tuhan Memberkati Amin
Salam Hormat dan Taklupa saya mengucapkan lewat Link Website Doa Bapa kami semua yang Bekerja Untuk Kebesaran Nama Tuhan Yesus Selalu Di Berkati Terima Kasih Syalom………………………………………………….
Dear All,
Doa Bapa Kami adalah doa yang sangat “Dasyat”,
Doa ini adalah “firman” Tuhan melalui Yesus…
Kenapa Yesus mengajarkan sebutan “Bapa” kepada kita untuk Allah Tuhan?
Bukan sekedar “Betapa bersyukurnya aku boleh menyebut Engkau, “Bapa””
Melainkan sebuah kesadaran yang seharusnya… Kalau sudah seharusnya nilai syukur tidak lagi penting…
….Pemahaman syukur di sini seolah hanya “thank you”,kata ini hanya terjadi setelah “menerima”….Tanpa doa Bapa Kami pun hal itu sudah seharusnya dan senantiasa ‘bersyukur…’
makna “grateful” berbeda dengan “thanksgiving”…. silahkan menimbang sendiri pemaknaannya..
Sebutan Bapa adalah menyebutkan sebagai “KASIH”…. LOVE…..
[Mat 7:9 -10 Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti,atau memberi ular, jika ia meminta ikan?]
lalu,
Jadilah kehendak-Mu, di atas bumi seperti di dalam surga … Aku mau taat dan menjadikan kehendakMu yang terutama….
Bukan Ketaatan… ketaatan bukan pada Bapa….Bapa sudah memberikan “free will” sebagai anugrah…
“free will” yang membawa kebahagiaan. Surga adalah kebahagiaan…. not somewhere…..
Berilah kami rejeki pada hari ini … terutama rejeki rohani, yaitu Kristus Sang Roti Hidup
Bandingkan dengan Luk 12:24 Perhatikanlah burung-burung gagak yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mempunyai gudang atau lumbung, namun demikian diberi makan oleh Allah. Betapa jauhnya kamu melebihi burung-burung itu!
Terlalu jauh dan berlebihan….. “terutama rejeki rohani, yaitu Kristus Sang Roti Hidup ”
Hanya mengajarkan bagaimana meyakinkan kita semua yang ada di dunia ini adalah untuk dikelola dan untuk kebutuhan manusia…. jadi janganlah serakah. Percayalah bahwa alam semesta memberikan segala yang kita butuhkan….
Juga untuk memahami yang selanjutnya ….
Terlalu ruwet dan berlebihan…. malah menghilangkan makna….
Have positive days….
Shalom Sahabat,
Agaknya anda memiliki pengertian yang berbeda dengan renungan yang yang diajarkan oleh St. Teresa Avila tentang makna doa Bapa Kami ini.
1. Anda mengatakan, “Bukan sekedar “Betapa bersyukurnya aku boleh menyebut Engkau, “Bapa.” Melainkan sebuah kesadaran yang seharusnya… Kalau sudah seharusnya nilai syukur tidak lagi penting….Pemahaman syukur di sini seolah hanya “thank you”, kata ini hanya terjadi setelah “menerima”….Tanpa doa Bapa Kami pun hal itu sudah seharusnya dan senantiasa ‘bersyukur…’
Tentu tanpa doa Bapa Kami kita sudah selayaknya senantiasa bersyukur. Tetapi St. Teresa mengajak kita untuk merenungkan bagaimana kita dapat menyebut Allah sebagai “Bapa” kita. Hal ini bukan sesuatu yang “sudah seharusnya“, maka tidak lagi penting. Kita harus melihat kenyataan bahwa ada banyak umat manusia tidak mengenali Allah sebagai Pribadi, tetapi sebagai Sesuatu, sehingga mereka tidak dapat mempunyai hubungan kasih yang dekat sebagaimana seorang anak kepada Bapa kepada Allah-nya. Namun Allah telah mengutus Putera-Nya yaitu Yesus Kristus, sehingga di dalam Kristus kita diangkat menjadi anak- anak angkat-Nya dan dapat memanggil-Nya sebagai “Bapa”. Ini sungguh sesuatu yang penting, sebab ini berkaitan dengan inti iman Kristiani. Kitab Suci mengajarkan,
Maka sebutan “Bapa”, itu memang mengingatkan kita akan Allah yang adalah Kasih, yang ingin menyelamatkan mereka semua yang percaya kepada-Nya di dalam Putera-Nya yang tunggal Kristus Tuhan kita.
2. Anda menanggapi tulisan saya, “Jadilah kehendak-Mu, di atas bumi seperti di dalam surga … Aku mau taat dan menjadikan kehendakMu yang terutama” dangan menanggapi, “Bukan Ketaatan… ketaatan bukan pada Bapa….Bapa sudah memberikan “free will” sebagai anugrah… “free will” yang membawa kebahagiaan. Surga adalah kebahagiaan…. not somewhere…..“
Di sini anda perlu mendefiniskan dahulu apa itu free will. Sebab free will yang membawa kepada kebahagiaan bukanlah free will yang menentang kehendak dan perintah Tuhan, tetapi free will untuk melaksanakan kehendak Tuhan. Maka di sini the freedom of the will tidak untuk diartikan sebagai freedom to sin, tetapi freedom from sin. Kita dapat melihatnya secara jelas perbandingan ini free will dan ketaatan di dalam Adam dan Yesus. Adam mempergunakan kehendak bebasnya untuk berbuat dosa ketidak- taatan kepada Allah, sedangkan Yesus mempergunakan kehendak bebasnya untuk menebus dosa, sebagai bentuk ketaatan-Nya kepada kehendak Allah Bapa. Dalam doa Bapa Kami, kehendak bebas yang seperti kehendak bebas Yesus inilah yang kita minta dari Allah Bapa, yaitu kehendak bebas untuk memberikan yang terbaik dalam menaati kehendak Allah.
Maka jelaslah bahwa bukan sembarang kebebasan dapat membawa seseorang kepada kebahagiaan. Dan Surga tidak juga untuk diidentikkan dengan kebahagiaan duniawi, sebab Surga adalah kebahagiaan yang sifatnya ilahi dan kekal, yang mensyaratkan kesempurnaan dan kekudusan mereka yang ingin masuk kedalamnya, “sebab tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan.” (Ibr 12:14)
3. Anda menanggapi tulisan saya, “Berilah kami rejeki pada hari ini … terutama rejeki rohani, yaitu Kristus Sang Roti Hidup”, dengan mengatakan, “Bandingkan dengan Luk 12:24…… Terlalu jauh dan berlebihan….. “terutama rejeki rohani, yaitu Kristus Sang Roti Hidup” Terlalu ruwet dan berlebihan…. malah menghilangkan makna….
Memang kalimat “berilah kami rejeki hari ini” secara langsung mengingatkan akan rejeki jasmani sehari- hari. Maka tepatlah jika anda mengutip Luk 12:24 tentang pemeliharaan Allah terhadap burung- burung yang tidak menabur dan tidak menuai. Namun St. Teresa di sini juga mengajak kita untuk mengharapkan rejeki rohani, yaitu Kristus dalam Sakramen Ekaristi. Sungguh ini tidak ruwet, sebab kita diingatkan agar juga mementingkan santapan rohani, dan bukan hanya santapan jasmani. Ada tempat- tempat di dunia ini di mana Sakramen Ekaristi bukan merupakan sesuatu yang mudah mereka terima setiap hari, entah karena letak yang terpencil, kekurangan imam, atau bahkan kondisi perang. Padahal Ekaristi adalah santapan rohani yang nilainya tidak dapat dibandingkan dengan santapan/ rejeki jasmani apapun juga. St. Teresa mengajarkan kepada kita, agar kita mensyukuri rahmat Ekaristi ini dan berdoa agar kita dapat menerimanya setiap hari, untuk pertumbuhan iman kita. Jika kita sungguh menghayatinya, maka kita akan terdorong untuk sedapat mungkin mengikuti Misa harian untuk menerima Kristus sendiri di dalam Ekaristi.
Maka, jika penghayatan berbeda dari yang tertulis di artikel di atas, itu adalah hak anda. Namun, saya menangkap sesuatu yang indah dari renungan St. Teresa ini yang ingin saya bagikan kepada para pembaca yang lain. Saya percaya, bahwa mereka yang mau meresapkan renungan Doa Bapa kami dari St. Teresa Avilla ini akan dapat menangkap makna yang mendalam, yang tidak ruwet dan berlebihan. Sebab memang sangat indah dan dalamlah makna doa ini, yang diajarkan oleh Kristus sendiri kepada murid- murid-Nya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Dear,
Ingrid Listiati,
Free will adalah ruangan yang harus kita isi dalam kehidupan. Kita mengisinya dengan makna kehidupan kita. Dalam pemahaman transendental sering kita terbentur pada “wujud” sesuai imajinasi kita tentang Allah. Tidak sedikit yang mengimajinasikan ke bentuk fisik…. dan ini menyebabkan keterbatasan pemahamannya makin sempit.
==
Kita harus melihat kenyataan bahwa ada banyak umat manusia tidak mengenali Allah sebagai Pribadi, tetapi sebagai Sesuatu.
==
Allah “pribadi” yang sepeti apa dan bukan “sesuatu” yang seperti apa… ?
==
Namun Allah telah mengutus Putera-Nya yaitu Yesus Kristus, sehingga di dalam Kristus kita diangkat menjadi anak- anak angkat-Nya dan dapat memanggil-Nya sebagai “Bapa”. Ini sungguh sesuatu yang penting, sebab ini berkaitan dengan inti iman Kristiani
==
Apa itu iman Kristiani… dan keimanan-keimanan melalui jalan agama yang lain?
1Yoh 3: 1 Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita,
sehingga kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah.
Karena itu dunia tidak mengenal kita, sebab dunia tidak mengenal Dia.
1Yoh 4:14 Dan kami telah melihat dan bersaksi, bahwa Bapa telah mengutus Anak-Nya
menjadi Juru Selamat dunia.
1Yoh 5:7-8 Sebab ada tiga yang memberi kesaksian
di dalam sorga: Bapa, Firman dan Roh Kudus; dan ketiganya adalah satu.
Dan ada tiga yang memberi kesaksian di bumi):
Roh dan air dan darah dan ketiganya adalah satu.
Kebanggaan orang beriman ada kalanya menempatkan dirinya dalam kotak rasionalitas yang tidak rasional. Biasanya Yohanes menuliskan pewartaannya dalam pengandaian dalam pemahaman yang saya kutip dari surat Yohanes ini. sepertinya menegaskan penjelasan Anda, tapi tidak dalam sudat pandang pemahaman saya… Penjelasan Anda tidak salah… tapi perlu dikembangkan.
Dalam Kasih , Dalam Bapa, Dalam Roh Kudus dan Bersama dengan Putera kita mengelola kehidupan…
Dalam konteks jaman, 1Yoh 3: 1 masih sebagai hal yang sangat luar biasa… namun sudat pandang trasendental yang makin berkembang… ini jadi seperti kekanak-kanakan…
Allah Bapa dalam wujud fisik adalah Alam Semesta ini dan kita ada di dalamnya… Alam Semesta memiliki energi yang disebut dengan Kasih….1Yoh 5:7-8, saya menyebutnya dalam bahasa saya Soul Mind Body. Jiwa Pikiran Tubuh… yang artinya kehidupan.
Ketika kita melihat sebuat lingkaran, kita melihat itu tak bersudut, sehingga kita tidak tahu mana ujung dan mana pangkal, ketika kita menentukan titik awalnya, di situlah kita menyebut sebagai causa prima yang absurd.
Jadi pemikiran Yesus dalam Doa Bapa Kami adalah menempatkan kita pada posisi setara dengan Allah Bapa dalam mengelola kehidupan.
“…dimuliakanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu,
Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga”
Memaknai “Kerajaan”, memaknai “di atas bumi seperti di dalam surga”
Kita sering mabuk terbuai pemahaman tentang surga, sebagai harapan kemana kita setelah kita mati… Di bumi seperti di dalam surga dimaknai bahwa dalam kehidupan inilah surga itu berada.
maka untuk menegaskannya
“Dan janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan
Tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat”
Tidak perlu memikiran kemana nanti kita akan pergi saat tiba waktunya…
Surga ibarat sebuah rumah!
Pondasinya adalah kehidupan kita,
Bagaimana akan terbentuk surga apabila tidak ada pondasinya…
Jadi kalimat terakhir menegaskan bahwa hendaknya kita berharap mampu menyusun dengan kokoh pondasi kehidupan kita, mendisain bentuk free will kita.
Segini dulu….
ntar aku sambung lagi diskusi kita….
Have positive day!
Shalom Sahabat,
1. Anda mengatakan, “Free will adalah ruangan yang harus kita isi dalam kehidupan. Kita mengisinya dengan makna kehidupan kita.”
Pandangan anda ini tidak sama dengan yang diajarkan oleh Gereja Katolik. Pengertian ‘free will’/ kehendak bebas menurut Katekismus Gereja Katolik:
Berangkat dari pengertian ini, maka sesungguhnya “free will”/ kehendak bebas itu adalah suatu sarana/ alat untuk mencapai kesempurnaan/ kebahagiaan; dan bukannya sesuatu ruangan untuk ‘diisi’ oleh kebahagiaan. Karena kebahagiaan manusia yang sejati ada di dalam Allah, maka kehendak bebas manusia ini baru mencapai kesempurnaannya jika diarahkan kepada Allah.
2. Allah sebagai Pribadi atau ‘Sesuatu’?
Anda bertanya, “Allah “pribadi” yang sepeti apa dan bukan “sesuatu” yang seperti apa… ?” Tanggapan saya:
Allah mewahyukan Diri-Nya sebagai Pribadi, yaitu sebagai Allah Bapa yang mengutus Putera-Nya atas kuasa Roh Kudus- untuk menyelamatkan manusia, seperti dikatakan dalam Yoh 3:16, 1 Yoh 3:1, 1 Yoh 4:14, 1 Yoh 5:18; maka Allah dapat dikatakan sebagai: Sebab yang Pertama dari sebagal sesuatu, sebagai Pencipta yang menyelamatkan.
Pengertian ini mengajarkan bahwa Allah adalah Pribadi yang mencipta (sebab Ia menciptakannya dengan berfirman/ bersabda), dan Sang Pencipta ini tidak sama dengan alam semesta ciptaan-Nya sendiri. Konsep Allah sebagai Energi ini umum diajarkan dalam pham New Age, namun tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Dokumen yang dikeluarkan oleh Pontifical for Culture, Pontifical Council for Interreligious Dialogue dengan judul, “Jesus Christ the Bearer of the Water of Life” menjelaskan mengapa konsep Tuhan sebagai Ennergi ini tidak sesuai dengan ajaran Kristiani, sebagai berikut (untuk selengkapnya dari dokumen ini, silakan klik di link ini:
“The New Age concept of God is rather diffuse, whereas the Christian concept is a very clear one. The New Age god is an impersonal energy, really a particular extension or component of the cosmos; god in this sense is the life-force or soul of the world. Divinity is to be found in every being, in a gradation “from the lowest crystal of the mineral world up to and beyond the Galactic God himself, about Whom we can say nothing at all. This is not a man but a Great Consciousness”.(65) In some “classic” New Age writings, it is clear that human beings are meant to think of themselves as gods: this is more fully developed in some people than in others. God is no longer to be sought beyond the world, but deep within myself.(66) Even when “God” is something outside myself, it is there to be manipulated.
This is very different from the Christian understanding of God as the maker of heaven and earth and the source of all personal life. God is in himself personal, the Father, Son and Holy Spirit, who created the universe in order to share the communion of his life with creaturely persons. “God, who ‘dwells in unapprochable light’, wants to communicate his own divine life to the men he freely created, in order to adopt them as his sons in his only-begotten Son. By revealing himself God wishes to make them capable of responding to him, and of knowing him, and of loving him far beyond their own natural capacity”.(67)God is not identified with the Life-principle understood as the “Spirit” or “basic energy” of the cosmos, but is that love which is absolutely different from the world, and yet creatively present in everything, and leading human beings to salvation.” (par. 4)
Ajaran di atas jelas mengajarkan bahwa konsep Allah sebagai Energi dan bukan sebagai Pribadi, itu tidak sesuai dengan ajaran Kristiani. Iman Kristiani juga tidak mengajarkan agar kita mengaggap diri kita sendiri sebagai Tuhan atau setara dengan Tuhan. Berdasarkan ajaran di atas, maka kita tidak dapat mengatakan seperti pemikiran anda, “Jadi pemikiran Yesus dalam Doa Bapa Kami adalah menempatkan kita pada posisi setara dengan Allah Bapa dalam mengelola kehidupan. “…dimuliakanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga”
Dengan mendoakan doa Bapa Kami, kita diingatkan bahwa kita adalah anak-anak angkat Allah di dalam Kristus Allah Putera, sehingga kita dapat menyebut Allah sebagai Bapa. Namun ini tidak berarti bahwa kita menjadi setara dengan Allah Bapa. Kita tetaplah adalah mahluk ciptaan dan Allah Bapa adalah Pencipta kita.
3. Pondasi surga adalah kehidupan kita?
Anda berkata, “Tidak perlu memikiran kemana nanti kita akan pergi saat tiba waktunya…
Surga ibarat sebuah rumah! Pondasinya adalah kehidupan kita, Bagaimana akan terbentuk surga apabila tidak ada pondasinya…“
Tanggapan saya:
Saya tidak setuju dengan pandangan anda ini. Kita perlu untuk tahu dan memikirkan tujuan akhir hidup kita yaitu Surga, supaya kita dapat mengarahkan hidup kita ke sana. Hidup ini seperti perjalanan, dan sepertihalnya dalam perjalanan kita harus tahu tujuannya agar dapat sampai ke sana, maka demikian pula dengan hidup kita menuju Surga. Jika kita tidak tahu tujuan hidup kita, maka dalam hidup ini kita kehilangan arah dan mudah tersesat.
Selanjutnya, menurut Kitab Suci, surga tidak tergantung pada kehidupan manusia. Bahkan pada ayat pertama dalam Kitab Suci yaitu kitab Kejadian, dikatakan, “In the beginning God created the heavens and the earth.” (Gen 1:1) Di sini kata asli Ibrani-nya adalah “šāmayim” yang memang dapat mengacu kepada langit atau surga. Maka kita mengetahui surga sudah ada pertama kali ketika Allah mencipta, yang sudah ada sebelum Allah menciptakan manusia. Maka tidak benar bahwa pondasi surga adalah kehidupan kita.
Benar jika kehidupan kita di dunia ini akan menentukan apakah kita nantinya akan masuk surga atau tidak, tetapi tidak benar jika dikatakan bahwa surga itu tergantung pada kehidupan kita. Sebab ada atau tidaknya Kerajaan Surga itu tidak tergantung dari ada atau tidak adanya kita ataupun baik atau buruknya kehidupan kita. Surga itu ada karena Allah telah menciptakannya; namun soal kita dapat masuk ke sana atau tidak, itu tergantung dari apakah kita mau bekerjasama dengan rahmat Allah atau tidak.
Akhirnya, Sahabat, saya mohon maaf bahwa saya hanya dapat melanjutkan diskusi ini sampai satu putaran lagi karena memang kebijakan kami di Katolisitas untuk membatasi diskusi sampai 3 kali putaran, karena terbatasnya waktu dan tenaga kami. Mohon pengertian anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
dear,
Ingrid Listiati!
Sama dengan Stef,
Tekstual.
Banyak pernyataan dari Anda yang hanya mengandalkan teks di depan,
sedangkan bagaimana mengelola jiwa justru hanya bumbu pemanis.
Saya bukan pengikut paham new age, akan tetapi:
==
“Konsep Allah sebagai Energi ini umum diajarkan dalam pham New Age, namun tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik”
==
Anda menempatkan diri dalam bingkai yang sempit karena Anda menggunakan logika dalam iman.
Saya yakini Anda sendiri tidak menemukan makna ‘Doa Bapa Kami” , karena Anda menggunakan logika!
Causa Prima !
==
“In the beginning God created the heavens and the earth.” (Gen 1:1)
==
Tekstualitas, kalau Anda hanya memahami teks sebagai teks.
Anda tidak dapat memahami Genesis apa lagi Wahyu.
Bagaimana Anda memahami Alpha Omega? Bagaimana Anda mencerna Teori Charles Darwin?
ada pepatah ‘jawa’
Tan kena kinaya ngapa.
[karena keimanan adalah pengalaman mistis, ya memang hanya dapat dibicarakan dengan yang menjalani mistis, jiwa]
Well,
have positive day
Shalom Sahabat,
Tidak apa jika anda menganggap saya ‘tekstual’. Namun anda selayaknya mengakui bahwa teks atau pengetahuan itu penting, sebelum anda dapat menghayati sesuatu. Seperti halnya kita baru dapat benar- benar mengasihi kalau kita terlebih dahulu mengenalnya. Maka hal tekstual tadi diperlukan agar kita dapat mengenal terlebih dahulu makna doa Bapa Kami. Ini juga berlaku dalam hal pengenalan akan Tuhan yang kita peroleh secara tekstual dari Kitab Suci dan Tradisi Suci. Setelah kita mengetahui apa yang disampaikan oleh Tuhan tentang Diri-Nya dan rencana keselamatan-Nya, barulah kita dapat tergerak untuk menanggapinya. Maka tepatlah jika Rasul Paulus mengatakan, bahwa Tuhan “menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran.” (1 Tim 2:4). Sebab tawaran kasih-Nya yaitu keselamatan kekal diberikan tak lepas dari pengetahuan akan kebenaran. Caritas in Veritate. Kasih dalam kebenaran harus ada bersama. Maka pengalaman mistik dengan Allah tidak terlepas dari pengetahuan tekstual akan ajaran dan kehendak Tuhan.
Jadi janganlah kita mempertentangkan pengetahuan/ logika dengan iman, karena keduanya bersumber dari Allah dan jika digunakan bersama- sama, akan menghantar kita kepada Allah. Mohon diketahui juga bahwa renungan doa Bapa Kami yang saya tuliskan di atas itu mengambil sumber utama dari tulisan St. Teresia dari Avilla, yang adalah seorang mistik yang sudah diakui oleh Gereja Katolik. Maka, saya tidak keberatan jika anda menilai saya “tekstual” atau bahkan “tidak menemukan makna doa Bapa kami“, tetapi sebaiknya anda tidak mengatakan demikian kepada St. Teresia yang mengajarkan renungan tersebut. Karena saya percaya, pengalaman rohani St. Teresia jauh mengatasi pengalaman rohani kebanyakan umat, termasuk anda dan saya. Buku St. Teresia yang berjudul The Way of Perfection dan The Interior Castle (Puri Batin) yang menjelaskan tentang tingkatan spiritual seseorang adalah sangat baik bagi kita untuk memeriksa diri di mana sebenarnya tingkat spiritualitas kita dan hubungan kita dengan Tuhan.
Dengan pengajaran dari St. Teresia ini, dan para mistik dan para kudus lainnya dalam sejarah Gereja katolik, seperti St. Ignatius dari Loyola, St. Yohanes Salib, St. Teresia kanak kanak Yesus, St. Padre Pio, St. Faustina kita mengetahui bahwa Allah adalah sosok Pribadi yang mengasihi manusia. Tema tentang Allah sebagai Pribadi yang mengasihi itu mengisi hampir seluruh lembaran Kitab Suci. Maka ayat yang mengatakan “In the beginning God created the heavens and the earth.” (Gen 1:1) juga tidak untuk diartikan bahwa “God Himself is the heavens and the earth.” Surga dan bumi adalah ciptaan Allah dan bukan Allah sendiri, dengan demikian, alam semesta juga tidak dapat disembah atau dianggap sebagai Allah.
Allah Pencipta adalah Pribadi yang mengenal dan mengasihi ciptaan-Nya; maka manusia yang diciptakan seturut gambaran-Nya, diciptakan sebagai pribadi yang dapat mengenal dan mengasihi Dia. Maka tidak menjadi masalah tentang Allah sebagai Alpha dan Omega. Allah yang Satu dalam Tiga Pribadi itu sudah ada sejak semula dan akan terus ada sampai selama- lamanya. Teori Darwin tentu saja tidak sesuai dengan konsep ini, karena teori itu mengandaikan penciptaan hanya terjadi dari satu sel yang terus bermutasi sampai jadi ciptaan lainnya, yang terjadi secara kebetulan dan seleksi alam. Pandangan ini sendiri adalah sesuatu yang belum atau tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Sebab prinsip yang dipakai sebagai premis tidak masuk akal, yaitu bahwa mahluk yang lebih rendah dapat bermutasi menghasilkan mahluk yang lebih tinggi. Ini bertentangan dengan ‘self evident principle‘ (prinsip kebenaran yang tidak perlu dibuktikan) yaitu ‘seseorang tidak dapat memberi sesuatu yang dia tidak punya’, atau ‘suatu Penyebab pasti lebih besar daripada efeknya’. Maka kalau Tuhan menciptakan manusia yang berakal budi dan berkehendak bebas, yang dapat mengetahui dan mencintai, maka Penciptanya harus juga mempunyai sifat demikian dalam tingkat yang lebih sempurna, dan ini tidak mungkin terdapat di dalam suatu alam semesta ataupun Energi, yang bukan Pribadi.
Jika anda tertarik membaca selanjutnya tentang topik ini, saya pernah menuliskan tentang tanggapan Gereja Katolik tentang teori Darwin/ macro-evolution ini di sini, silakan klik. Dan tentang Big bang vs ajaran Gereja Katolik, sudah pernah dituliskan oleh Stef di sini, silakan klik.
Mari berjuang untuk menghayati iman kita, namun mari kita menghayatinya dalam tuntunan dari Allah yang disampaikannya kepada kita melalui Kitab suci dan Tradisi suci dan bukannya melulu berdasarkan pengertian kita sendiri.
Demikianlah Sahabat, saya ingin menutup diskusi ini sampai di sini. Mohon pengertian anda. Mari kita serahkan kepada para pembaca yang lain untuk meresapkan apa yang telah kita diskusikan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org.
Salam dalam Jesus Tuhan Kita,
Maaf saya jadi bingung kalau kita membicarakan Doa Bapa Kami (The Lord’s Prayer) kemudian sahabat campur adukkan dengan nama Allah yang setahu saya adalah Tuhan sembahan saudara kita yang beragama Islam. Setahu saya Tuhan Jesus tidak pernah mengatakan bahwa Bapa Di Sorga iti namanya Allah.
Salam,
sahat
[dari katolisitas: silakan melihat link ini – silakan klik dan ini – klik ini]
Doa ini menurut saya mengandung inti terdalam dari ajaran Kasih. Ada begitu banyak bentuk cinta kasih di dunia ini tetapi hanya satu yang paling besar. Kasih yang paling besar adalah Pengampunan. Kenapa? Tanyakan saja pada diri kita. Berapa orang yang belum kita ampuni atau maafkan sampai hari ini? Mungkin saja justru diri kita sendiri…..yang belum kita maafkan.
aku baru tau ternyata d d dlm doa bapa kami terkandung makna yg sangat dalam artinya n sangat indah
saya memang selalu terharu ( bahagia campur sedih karena merasa berdosa dihadapan Allah ) bila saat menyanyikan lagi Bapa Kami….memang doa Bapa Kami adalah doa yang benar benar langsung diajarkan Allah sendiri kepada kita umat manusia.
baru tau dan ga nyangka selama ini hanya membaca sebuah hafalan, tanpa tau ternyata begitu mendalam makna dari Doa Bapa Kami ini.
Thanks for the article, nice article.
Saya setuju doa Bapa Kami itu adalah doa yang paling komplit. Di saat kita buntu dan kehilangan kata2, doa Bapa Kami sudah mewakili semuanya. Baru2 ini saya mengikuti seminar Doa Bapa Kami yang diselenggarakan di Paroki Matius, Bintaro oleh Rm Daniel SX. Seharusnya cukup 1 weekend saja (Jumat-Sabtu-Minggu) ternyata.. tak diduga itu tidak cukup untuk membahas semuanya karena tiap sesi adalah tiap kalimat satu persatu. Karena ternyata doa Bapa Kami mewakili isi 1 Alkitab! Akhirnya mau tidak mau kami adakan lagi 1 week end untuk menyelesaikan seluruh sesi sesuai jadwal. Hal ini di luar dugaan saya pribadi sebelumnya yang tadinya bilang dalam hati (ngapain doa Bapa Kami dibahas lama2? ). Ini sudah tuntunan Tuhan buat saya. Sekarang saya lebih menghormati doa itu yng tadinya seperti asal diucapkan saja. Bahkan sekarang aku lebih menghayati ekaristi, terlebih ketika doa Bapa Kami dinyanyikan.. ada rasa haru yang mengalir dalam hati dan beberapa kali selalu hampir menitikkan air mata. Apalagi dengan lagu Bapa Kami yang versi sekarang .. (dibandingkan versi Filipina) sangat mengena.
Comments are closed.