Prinsipnya, Gereja Katolik menolak perceraian, dan mensyaratkan kedua mempelai pria dan wanita dalam status liber/ bebas, maksudnya tidak pernah terikat dalam perkawinan terdahulu. Sehingga kalau salah satu dari pasangan sudah pernah menikah secara sah (walaupun di agama bukan Katolik), maka pasangan tersebut tidak dapat diberkati perkawinannya oleh Gereja Katolik, sebab Gereja Katolik tetap menghargai ikatan perkawinan kodrati yang sudah disahkan menurut agama lain.

Jika pasangan itu ingin diberkati di Gereja Katolik, maka ikatan perkawinan terdahulunya harus dibereskan dahulu. Artinya, silakan dilihat, apakah ada kemungkinan pembatalan perkawinan yaitu apakah perkawinan terdahulu itu sah atau tidak. Menurut Gereja katolik, ada tiga hal yang membatalkan perkawinan: 1) halangan menikah; 2) cacat konsensus; dan 3) cacat forma kanonika.

Macam- macam halangan menikah adalah: 1) kurangnya umur, 2) impotensi, 3) adanya ikatan perkawinan terdahulu, 4) disparitas cultus/ beda agama tanpa dispensasi, 5) tahbisan suci, 6) kaul kemurnian dalam tarekat religius, 7) penculikan dan penahanan, 8) kejahatan pembunuhan, 9) hubungan persaudaraan konsanguinitas, 10) hubungan semenda, 11) halangan kelayakan publik seperti konkubinat, 12) ada hubungan adopsi.

Cacat konsensus adalah: 1) Kekurangan kemampuan menggunakan akal sehat, 2) Cacat yang parah dalam hal pertimbangan (grave defect of discretion of judgement), 3) Ketidakmampuan mengambil kewajiban esensial perkawinan, 4) Ketidaktahuan (ignorance) akan hakekat perkawinan, 5) Salah orang, 6) Salah dalam hal kualitas pasangan, yang menjadi syarat utama, 7) Penipuan/ dolus, 8) Simulasi total/ hanya sandiwara untuk keperluan tertentu seperti untuk mendapat ijin tinggal/ kewarganegaraan tertentu, 9) Simulasi sebagian, seperti: Contra bonum polis: dengan maksud dari awal untuk tidak mau mempunyai keturunan; Contra bonum fidei: tidak bersedia setia/ mempertahankan hubungan perkawinan yang eksklusif hanya untuk pasangan; Contra bonum sacramenti: tidak menghendaki hubungan yang permanen/ selamanya; Contra bonum coniugum: tidak menginginkan kebaikan pasangan, contoh menikahi agar pasangan dijadikan pelacur, dst, 10) Menikah dengan syarat kondisi tertentu, 11) Menikah karena paksaan, 12) Menikah karena ketakutan yang sangat akan ancaman tertentu.

Cacat forma kanonika: Pada dasarnya pernikahan diadakan berdasarkan cara kanonik Katolik, di depan otoritas Gereja Katolik dan dua orang saksi. Maka Pernikahan antara dua pihak yang dibaptis, yaitu satu pihak Katolik dan yang lain Kristen non- Katolik, memerlukan ijin dari pihak Ordinaris Gereja Katolik (pihak keuskupan di mana perkawinan akan diteguhkan). Sedangkan pernikahan antara pihak yang dibaptis Katolik dengan pihak yang tidak dibaptis (non Katolik dan non- Kristen) memerlukan dispensasi dari pihak Ordinaris.

Nah, orang yang tidak Katolik tidak terikat forma kanonika, tetapi hal halangan menikah dan cacat konsensus tetap perlu diperhitungkan. Silakan, jika ada dasarnya dari kedua hal tersebut, calon pasangan anda menulis surat permohonan pembatalan ikatan perkawinan kepada pihak Tribunal Keuskupan agar ikatan perkawinan terdahulunya itu dapat dinyatakan tidak sah. Ini bukan perceraian, melainkan Gereja Katolik menyatakan bahwa perkawinan sebelumnya itu tidak sah, karena tidak memenuhi syarat untuk dapat dikatakan sebagai perkawinan yang sah. Jika permohonan pembatalan ini sudah diberikan oleh Tribunal, maka anda dan pasangan anda dapat melangsungkan perkawinan secara sah di Gereja Katolik.

Silakan menemui pastor paroki untuk mendampingi anda di dalam hal ini.

Dasar Kitab Suci:

  • Mat 19:5-7, Mrk 10:6-9, Kej 2:24: Perkawinan monogam, tak terceraikan

Dasar Magisterium Gereja:

  • Katekismus Gereja Katolik: 1614, 1625, 1626, 1627, 1628, 1629, 1638

KGK 1614  Dalam pewartaan-Nya, Yesus mengajarkan dengan jelas arti asli dari persatuan pria dan wanita, seperti yang dikehendaki Pencipta sejak permulaan; izin yang diberikan oleh Musa untuk menceraikan isteri adalah suatu penyesuaian terhadap ketegaran hati; (Bdk. Mat 19:8) kesatuan perkawinan antara pria dan wanita tidak tercerai – Allah sendiri telah mempersatukan mereka; “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mat 19:6).

KGK 1625  Perjanjian Perkawinan diikat oleh seorang pria dan seorang wanita yang telah dibaptis dan bebas untuk mengadakan Perkawinan dan yang menyampaikan kesepakatannya dengan sukarela. “Bebas” berarti:
– tidak berada di bawah paksaan;
– tidak dihalang-halangi oleh hukum kodrat atau Gereja.

KGK 1626  Gereja memandang kesepakatan para mempelai sebagai unsur yang mutlak perlu untuk perjanjian Perkawinan. “Perkawinan itu terjadi” melalui penyampaian kesepakatan (CIC, can. 1057 ? 1). Kalau kesepakatan tidak ada, Perkawinan tidak jadi.

KGK 1627   Kesepakatan itu merupakan “tindakan manusiawi, yakni saling menyerahkan diri dan saling menerima antara suami dan isteri” (GS 48,1; Bdk.KHK, can. 1057 ?2) “Saya menerima engkau sebagai isteri saya”; “saya menerima engkau sebagai suami saya” (OcM 45). Kesepakatan yang mengikat para mempelai satu sama lain diwujudkan demikian, bahwa “keduanya menjadi satu daging”. (Bdk. Kej 2:24; Mrk 10:8; Ef 5:31).

KGK 1628  Kesepakatan harus merupakan kegiatan kehendak dari setiap pihak yang mengadakan perjanjian dan bebas dari paksaan atau rasa takut yang hebat, yang datang dari luar. (Bdk.KHK, can. 1103). Tidak ada satu kekuasaan manusiawi dapat menggantikan kesepakatan (Bdk. KHK, can. 1057 ?1) Kalau kebebasan ini tidak ada, maka Perkawinan pun tidak sah.

KGK 1629  Karena alasan ini (atau karena alasan-alasan lain yang membuat Perkawinan tidak terjadi) (Bdk. KHK, cann. 1095-1107), Gereja, setelah masalah ini diperiksa oleh pengadilan Gereja yang berwewenang, dapat menyatakan Perkawinan itu tidak sah, artinya menjelaskan bahwa Perkawinan itu tidak pernah ada. Dalam hal ini kedua pihak bebas lagi untuk kawin; mereka hanya harus menepati kewajiban-kewajiban kodrati, yang muncul dari hubungan yang terdahulu (Bdk. KHK, can. 1071).

KHK 1638  “Dari Perkawinan sah timbul ikatan antara suami isteri, yang dari kodratnya bersifat tetap dan eksklusif, di samping itu dalam Perkawinan kristiani suami isteri diperkuat dengan Sakramen khusus untuk tugas-tugas serta martabat statusnya dan seakan-akan ditahbiskan (KHK, can. 1134).

  • Kitab Hukum Kanonik: Kann. 1083- 1094 (tentang halangan- halangan menikah); Kann.  1095, 1′- 1103 (tentang cacat konsensus), Kann. 1108- 1129,144, 1112,§1, 1116, 1127, §§1-2 (tentang bentuk/ forma kanonika perayaan perkawinan Katolik)

Tambahan penjelasan: