[Hari Minggu Biasa ke XIV: Yeh 2:2-5; Mzm 122: 1-5; 2Kor 12:7-10; Mrk 6:1-6].
Bacaan-bacaan Kitab Suci hari ini mengisahkan tentang bagaimana Allah menggunakan kelemahan manusia untuk menunjukkan kekuatan-Nya. Ini berlaku tidak saja bagi para nabi dan para Rasul-Nya, namun bahkan bagi Putera-Nya sendiri, ketika Ia mengambil rupa manusia. Dari Kitab Suci kita mengetahui betapa para nabi sering dilecehkan dan direndahkan oleh orang-orang di sekitar mereka. Para Rasul juga demikian, yang semuanya hidup miskin dan sederhana sampai pada akhir hidup mereka di dunia. Jika kita perhatikan, banyak dari para orang kudus di sepanjang sejarah Gereja, yang juga hidup seperti para Rasul itu. Namun justru melalui kelemahan mereka, kita dapat melihat besarnya kuasa Tuhan. Ini menggenapi sabda Tuhan, “… apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat” (1Kor1:27), sebab sabda-Nya juga, “dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2Kor 12:9).
Sungguh, Allah tidak memandang kelemahan manusia sebagai sesuatu yang menghalangi rencana-Nya. Ia sendiri bahkan memilih untuk menjadi manusia yang serba terbatas, ketika Ia turun ke dunia. Menjadi anak tukang kayu, dan dikenal sebagai tukang kayu (Mrk 6:3). Jika kita melihat tukang kayu atau pekerja bangunan yang juga ada di sekitar kita, yang mengerjakan proyek pembangunan baik di gedung-gedung tinggi, maupun yang memperbaiki rumah kita, terbukakah mata hati kita, bahwa dahulu Tuhan Yesus memilih untuk menjadi tukang seperti mereka? Allah yang empunya segala sesuatu, memilih untuk tidak mempunyai apa-apa menurut pandangan manusia. Ia memilih menjadi miskin, supaya melalui kemiskinan-Nya, kita semua menjadi kaya (lih. 2Kor 8:9). Bukan agar kita menjadi kaya dalam hal-hal duniawi yang bersifat sementara, tetapi “dalam segala macam perkataan dan segala macam pengetahuan”, agar kita “tidak kekurangan dalam suatu karunia pun” (1Kor 1:5,7).
Kita semua yang telah dibaptis, dipanggil untuk mengambil bagian dalam karya Kristus sebagai Imam, Nabi dan Raja (lih. KGK 783). Keadaan kita masing-masing berbeda, sehingga bagian kita dalam karya Kristus tidaklah sama. Namun apapun bagian kita, kita perlu mengingat bahwa yang berkenan di hadapan Tuhan adalah sikap kerendahan hati, yang tidak mudah berputus asa jika kita dihadapkan dengan kelemahan dan bahkan dosa-dosa kita sendiri. Sebab melalui kelemahan kita, kita diingatkan untuk selalu bertobat dan menggantungkan diri kepada Tuhan. Justru pada saat kita memasrahkan diri pada Tuhan inilah, malah Tuhan dapat berkarya dengan lebih nyata di dalam diri kita. Tidak demikian halnya, jika kita menutup diri dengan pemikiran dan pandangan kita sendiri, merasa sudah mengetahui segala sesuatu. Bukankah itu yang kita baca dalam Injil hari ini? Mata hati orang-orang sekampung Yesus di Nazaret begitu tertutup dengan anggapan mereka sendiri tentang Yesus sebagai seorang tukang kayu, sehingga mereka tak bisa melihat bahwa apa yang dilakukan-Nya sesungguhnya jauh melampaui apa yang dapat diperbuat oleh seorang tukang kayu. Bahkan melampaui apapun yang dapat dilakukan oleh seorang manusia. Di Injil Markus yang sama, di perikop-perikop sebelumnya, dikisahkan Yesus yang menyembuhkan begitu banyak orang sakit, mengusir roh-roh jahat, menghentikan angin ribut, dan membangkitkan orang mati—semuanya adalah tanda dan mukjizat yang seharusnya membuat mereka dapat mengenali Yesus sebagai Tuhan. Namun mereka malah terpaku oleh anggapan mereka bahwa Yesus tidaklah mungkin istimewa, karena telah sekian tahun mereka melihat Yesus sepertinya biasa-biasa saja, hidup di tengah mereka sebagai tukang kayu. Bahwa Yesus langsung dikenali sebagai tukang kayu (Mrk 6:3), artinya sebelum karya-Nya di hadapan publik, Yesus memang bekerja sebagai tukang kayu. Maka ayat ini sendiri menentang anggapan beberapa teori modern belakangan ini yang menduga bahwa Yesus “berjalan-jalan ke India ataupun Tibet” untuk menetap di sana sambil belajar menjadi guru dan membuat mukjizat. Ini adalah klaim yang baru dibuat di abad ke-19 oleh seorang pengarang cerita fiksi berkebangsaan Rusia, M. Notovich. [Klaim tersebut tak perlu dibahas di sini, sebab sudah dengan cukup baik ditanggapi oleh Prof. Max Muller, yang juga melakukan penelitian dan napak tilas kepada sumber dan narasumber yang diacu oleh Notovitch, namun jawaban yang diperolehnya tidak mendukung kebenaran klaim Notovitch. Selanjutnya silakan membaca di link ini: http://www.tertullian.org/rpearse/scanned/notovitch.htm]. Namun ada juga jenis ketertutupan hati yang lain, yang hanya dengan membaca ayat Mrk 6:3, lalu berkesimpulan bahwa Yesus pasti mempunyai saudara-saudari kandung. Orang yang beranggapan demikian, menutup diri dengan tak mau mendengarkan penjelasan dari para Bapa Gereja yang lebih memahami tata bahasa asli (Yunani) yang dengannya Injil ditulis. Semoga kita yang sudah Katolik tidak lekas terpengaruh jika ada seorang yang berkata demikian kepada kita. Sebab, kata “saudara” dalam bahasa Yunani mempunyai arti yang lebih luas, dan walaupun dapat diartikan sebagai saudara kandung, tapi juga berarti kerabat atau saudara dekat (Bdk. Kej 13:8; 14:16; 29:15), saudara sebangsa (Yer 34:9; Neh 5:7; Kis 7:26; 13:15; 22:1; 28:17; Rm 9:3), atau saudara seiman (Kis 1:12-15; 11:1; 15:3; 21:7). “Gereja Katolik selalu menafsirkan teks-teks itu (Mrk 3:31-35; 6:3; 1Kor 9:5; Gal 1:19) dalam arti, bahwa mereka bukanlah anak-anak lain dari Perawan Maria. Yakobus, dan Yosef yang disebut sebagai ‘saudara-saudara Yesus’ (Mat 13:55), merupakan anak-anak seorang Maria (Bdk. Mat 27:56) yang adalah murid Yesus dan yang dinamakan ‘Maria yang lain’ (Mat 28:1)” (KGK 500). Sebagaimana nampak dalam Tanya Jawab di situs ini, hal apakah Yesus mempunyai saudara-saudari kandung, memang cukup sering dipertanyakan oleh saudara-saudari kita yang non-Katolik, dan sudah pula ditanggapi di banyak artikel di situs ini, maka tak perlu lagi diulangi di sini. Mari kita, jika keadaannya memungkinkan, dengan rendah hati menjelaskan kepada mereka tentang kebenaran ajaran yang telah berabad-abad diimani dengan suara bulat oleh Gereja, setidaknya sejak abad ke-1 sampai sekitar abad ke-17. (Sebab bahkan para pendiri gereja Protestan di abad ke-16 pun percaya bahwa Bunda Maria tetap Perawan dan tidak mempunyai anak-anak lain selain Yesus Kristus). Hal bagaimana tanggapan orang yang mendengarkan penjelasan ini, entah mau menerima atau tidak, itu tidak lagi menjadi bagian kita. Bagian kita adalah menjelaskannya dengan lemah lembut dan hormat (1Ptr 3:15), namun jika yang mendengarkan tetap tidak dapat menerimanya, atau bahkan menolaknya, itu sudah bukan tugas kita lagi. Kita tidak dapat memaksakannya. Tentu saja, kebenaran yang harus kita wartakan tidak terbatas pada ajaran bahwa Yesus tak memiliki saudara-saudari kandung. Dewasa ini, dunia banyak dibingungkan oleh berbagai pandangan yang kabur sehubungan dengan ajaran iman dan moral. Contohnya saja, orang malah menganggap diri pandai kalau menjadi atheis atau agnostik, orang mempertanyakan perkawinan Kristiani yang monogami dan tak terceraikan, sejumlah negara melegalkan perkawinan sesama jenis, aborsi, mempromosikan alat-alat kontrasepsi, dan menganggap korupsi sebagai hal biasa. Kita sebagai umat Katolik dipanggil untuk menjadi nabi, untuk mewartakan dan melakukan hal yang benar. Bacaan Pertama hari ini memberikan penguatannya, jika ternyata pewartaan ini tidak dengan mudah diterima oleh orang-orang di sekitar kita. “Dan baik mereka mendengarkan atau tidak… mereka akan mengetahui bahwa seorang nabi ada di tengah-tengah mereka” (Yeh 2:6). Mungkin kita perlu bertanya kepada diri kita, pewartaan atau kesaksian iman apa yang perlu kita lakukan saat ini? Sesudah itu, walaupun kita menyadari bahwa kita tak luput dari kelemahan dan dosa, kita tetap diingatkan oleh sabda Tuhan hari ini, untuk terus berjuang memperbaiki kesalahan kita dan tetap berusaha mewartakan kebenaran Injil. Semoga Tuhan berbelas kasihan kepada kita, dan menyatakan kuat kuasa-Nya justru pada saat kita merasa lemah dan membutuhkan pertolongan-Nya!