Gerimis membasahi sepanjang jalan yang aku lalui menuju Cisoka, daerah terujung dari pusat Parokiku Santa Odilia- Tangerang, untuk merayakan Malam Natal. Perjalanan panjang selama dua jam dan dengan jarak empat puluh kilometer, beratapkan langit yang gelap dan beralaskan jalan yang berlubang, tidak mengurangi kebahagiaan untuk menghayati makna kelahiran Sang Juru Selamat. Kelahiran Tuhan Yesus sungguh ditampilkan dengan perayaan Malam Natal dalam kesederhanaan oleh lebih dari empat ratus umat dewasa, belum termasuk anak-anak yang tak terhitung banyaknya. Kelahiran Tuhan Yesus di gua atau kandang Betlehem sangat terasa dengan perayaan Malam Natal di bawah tenda yang dipasang di jalan berkerikil, tanpa air condition dan kegemerlapan, seperti di kota-kota. Umat datang dalam Misa dengan berpakaian rapi walaupun dengan baju lama. Banyak di antara mereka berjalan kaki selama satu jam untuk merayakan kelahiran Putera Allah ke dalam dunia. Semuanya itu pasti menimbulkan keharuan bagi hati yang peka.

Paduan suara kaum muda yang begitu indah membahana di tengah sunyinya malam dalam Misa di pinggir sawah ini. “Lagu Malam Kudus” pun terasa menggetarkan jiwa dalam suasana sunyi dan sepi. Sebelum berkat penutup, aku berlutut di hadapan umat yang mendoakanku untuk membaharui kaul religiusku, yaitu kaul ketaatan, kemurnian, dan kemiskinan, seumur hidup.

Kesederhanaan tidak mengurangi kebahagiaan mereka. Persaudaraan yang tulus justru terwujud dalam kebersamaan tanpa keterpaksaan. Mereka makan apa adanya sambil tertawa renyah melihat pertunjukan-pertunjukan, baik yang telah dipersiapkan ataupun yang spontan saat itu. Semuanya bersumber pada hati yang bersyukur atas berkat Tuhan.

Hati yang bersyukur itu diungkapkan oleh seorang anak yang tiba-tiba memeluk pinggangku ketika aku membagikan bingkisan sebuah minuman ringan dan roti kecil. Ia berkata sambil memandang mataku : “Romo, papaku tak punya uang sehingga Natal ini aku tetap memakai baju dan sepatu lama. Keindahan Natal tidak tergantung pada baju dan sepatu baru, ya Mo…, tetapi pada hati yang baru. Yang penting Tuhan Yesus tinggal di dalam hatiku. Aku tidak mempunyai kado untuk Tuhan Yesus yang diletakkan di bawah pohon Natal seperti di rumah banyak kawanku. Aku akan lebih rukun dengan kakak, adik, dan teman-temanku, sebagai kado untuk Tuhan Yesus. Itulah satu-satunya yang aku punya untuk Tuhan Yesusku”. Setelah itu, ia memandang ke langit sambil mengatakan sesuatu kepada mama dan papanya : “Papa dan mama jangan sedih karena tidak bisa membelikan aku baju dan sepatu baru pada Natal ini. Tidak mengapa papa dan mama … aku tetap memakai baju dan sepatu yang lama. Lihatlah hatiku tetap bersukacita karena aku yakin bahwa Tuhan Yesus menuntun jiwaku untuk meraih surga. Kemudian aku bertanya kepadanya : “Kalau besar mau menjadi apa nak ?”. Ia menjawab : “Aku akan menjadi dokter agar bisa menolong banyak orang, Romo.…”. Hatiku trenyuh/tersentuh mendengarkan ungkapan syahdu dari anak yang lugu ini. Sungguh di dalam hidupnya memancarkan bintang pengharapan karena Tuhan Yesus Kristus lahir dan bersemayam di dalam jiwanya.

Dari kisah anak itu dan kesederhanaan perayaan Natal, ada tiga hal yang perlu dihidupi untuk menyambut damai sejahtera : “Hiduplah untuk berkawan dan bukannya mencari lawan; Tanamkanlah damai dan bukannya merusak kedamaian; hiduplah saling menolong dan bukannya saling mendorong dan merongrong”. Berkawan, menanamkan damai, dan saling menolong membuat hidup kita terberkati : “Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah” (Kolose 3:15). Alangkah indahnya hidup kita ketika Tuhan Yesus tinggal di dalam hati karena kedamaian, sukacita, dan pengharapan memahkotai kita.

Tuhan memberkati.

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC.