Pertanyaan:

Yth Bu Inggrid dan Rm Wanta,

Saya masih ingin bertanya lagi tentang aturan gereja dalam beribadah. Isteri saya seorang penganut Pentakosta yang kemudian menjadi Katolik (tanpa dibaptis ulang tapi mendapat sakramen perkawinan) ketika menikah dengan saya. Dia sudah dapat mengikuti tatacara Katolik seperti doa Rosario dan aktif dalam lingkungan, kendati masih ada dua hal yang kelihatannya tidak dia lakukan yaitu: (1) berlutut pada saat ekaristi; dan (2) mengaku dosa. Ketika saya tanyakan, dia menjawab belum bisa melakukannya karena tidak terbiasa dan dia yakin bahwa mengaku dosa dapat dilakukan langsung pada Tuhan. Sedangkan untuk berlutut, dia malah bertanya balik, “Mengapa di Gereja Katolik tidak selalu ada tempat berlutut? Bukankah itu berarti bahwa berlutut bukan kewajiban yang harus dilakukan pada saat ekaristi?” Jadi, dia menyembah ekaristi dalam posisi duduk dengan mengangkat kedua tangan yang dikatupkan (posisi menyembah). Bagaimana tanggapan Bu Inggrid dan Romo Wanta, apakah isteri saya melakukan kesalahan yang merupakan dosa karena anak-anak kami juga meniru perbuatan ibu mereka?
Atas jawaban dan penjelasannya, saya ucapkan banyak terima kasih.

andryhart

Jawaban Romo Wanta:

Andryhart Yth
Setahu saya baptisan Pentekosta tidak sah ada rumusan baptisan tidak sesuai tuntutan Gereja Katolik (forma), karena itu perlu baptis ulang di Gereja Katolik. Agar akurat maka minta surat baptis dan sampaikan ke pastor paroki. Perihal pendidikan liuturgi ada isitilah Gestikulasi gerakan liturgis itu memiliki arti yang dalam anda bisa membeli buku di Kanisius ttg hal ini untuk menambah wawasan dan membuka pengetahuan istri anda. Apa arti duduk berdiri dan berlutut dsbnya dalam liturgi Gereja Katolik. Kalau mengaku dosa jawaban semacam itu yakni mengaku personal pada Tuhan tidak lewat Imam wakil Gereja Katolik itu ajaran Pentekosta, maka sebaiknya ikut kursus/ pendidikan agama calon baptis atau katekese agar Istri anda semakin memahami hal itu. Persoalan ini ada pada pemahaman ttg agama Katolik yang kurang maka tugas anda mencari jalan agar istri anda mengenal agama katolik secara utuh dan benar. Karena anak-anak mulai meniru ibunya maka itu alamiah karena ibu paling dekat dengan anak. Namun pendidikan yang belum memadai dan pengertian tentang agama katolik kurang bisa jadi istri anda memberikan contoh yang tidak sesuai, memang itu kesalahan tapi bukan karena dia sendiri karena belum diberi pengajaran agama. Nah tugas anda dalam hal in sebagai suami dan ayah mendidik anak-anak maka sebaiknya datangnya katekis atau guru agama mengajar istri dan anak anda.
Semoga bisa dipahami berkat Tuhan.
salam
Rm wanta

Jawaban Ingrid:

Pada 6 Januari 2010 05:18, ingrid tay <ing.tay@gmail

Shalom Andryhart,

Kelihatannya pertanyaan di atas mempunyai akar yang lebih dalam. Sebab hal mengaku dosa dalam Sakramen Pengakuan Dosa dan hal berlutut di Misa, kelihatannya bukan merupakan hal yang terutama, namun adalah konsekuensi dari apa yang kita imani sebagai seorang Katolik.

1. Soal Pengakuan Dosa dalam Sakramen Tobat.
Tentu kita dapat mengaku dosa langsung kepada Tuhan, dan itu dapat kita lakukan setiap hari. Namun Tuhan Yesus mengajarkan kita agar kita mengaku dosa di hadapan para penerus Rasul-Nya agar dapat mendapatkan rahmat pengampunan dari-Nya yang mendatangkan kesembuhan rohani. Maka, jika kita benar- benar mengasihi Yesus, tentu kita akan melakukan ajaran-Nya ini. Silakan membaca rangkaian artikel tentang Sakramen Pengakuan Dosa di situs ini (bagian 1,2,3,4), terutama bagian yang ke-2, silakan klik dan ke-3, silakan klik.

Pada akhirnya dibutuhkan kerendahan hati dari pihak istri anda untuk melaksanakan ajaran Kristus ini, dan dengan demikian ia membuktikan ketaatan imannya sebagai seorang Katolik. Menjadi Katolik memang artinya kita tunduk dan taat kepada Allah yang mewahyukan Diri-Nya melalui Alkitab dan Tradisi Gereja Katolik, dan ketaatan ini melibatkan kepatuhan akal budi, yang tidak mendahulukan pemahaman pribadi di atas ajaran Gereja. Mengaku dosa langsung memang tentu terlihat lebih praktis dan mudah, dan mengaku dosa di hadapan pastor memang relatif lebih sulit, justru karena lebih memerlukan kerendahan hati dan keteguhan untuk meninggalkan dosa dan memperbaiki diri. Tak heran, jika Kristus menghendaki kita mengaku dosa di hadapan imam-Nya, karena dalam prosesnya saja sudah melatih kita untuk bertumbuh dalam kerendahan hati, apalagi jika kita melakukannya secara teratur (minimal sebulan sekali) maka kita akan dapat bertumbuh dalam kekudusan. Memang syarat minimun yang ditetapkan dalam KHK adalah seorang Katolik minimal melakukan Pengakuan Dosa dalam sakramen Tobat sedikitnya sekali setahun (KHK 989), tetapi jika kita sungguh mengasihi Tuhan dan memahami makna sakramen Pengakuan Dosa ini, maka kita tidak akan berpuas diri dengan melakukan syarat minimum ini. Kasil selalu melakukan yang lebih dari sekedar syarat minimum.

Jangan lupa, alasan, “kok kita harus mengaku dosa di hadapan orang berdosa” itu juga tidak tepat, karena rahmat pengampunan yang diberikan bukan dari imam itu, tapi dari Tuhan. Dan, walaupun para imam juga orang berdosa, namun mereka sudah dipilih Tuhan untuk menjadi imam untuk menyalurkan rahmat pengampunan Tuhan kepada kita. Selanjutnya, merekapun juga perlu mengaku dosa di hadapan sesama imam lainnya.

2. Berlutut di misa.

Untuk memahami mengapa kita berlutut di dalam Misa Kudus, sesungguhnya kita harus menghayati dahulu Siapa yang hadir di hadapan kita dalam Misa tersebut. Jika kita mengimani bahwa Tuhan Yesus Kristus sungguh- sungguh hadir di dalam rupa Ekaristi itu dan di dalam diri imam-Nya yang memimpin Misa Kudus, maka kita akan dengan lapang hati berlutut, dan sungguh tidak ada halangan bagi kita untuk berlutut. Sebab Alkitab mengatakan, “…dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi…” (Flp 2:10).

Kenyataan bahwa tidak semua gereja Katolik mempunyai bangku dengan tempat berlutut itu adalah suatu hal yang tidak pas untuk dijadikan alasan, karena hal itu kebanyakan karena kondisi yang kurang menguntungkan dan bukan kondisi yang ideal. Yang ideal adalah, seluruh gereja dipenuhi oleh bangku yang ada tempat berlutut-nya; namun karena satu dan lain hal ini kadang tidak terpenuhi. Kadang umat yang datang juga terlalu banyak, sehingga diperlukan tambahan kursi lipat yang diletakkan di sisi gereja, dst, sehingga ini sifatnya darurat.

Kenyataan bahwa istri anda tetap menghormati Ekaristi dengan tangan dikatupkan itu tidak salah, tetapi sejujurnya, jika di dalam hatinya masih ada penolakan untuk berlutut, maka selayaknya anda membantunya untuk merenungkan kembali apakah alasannya sampai ia tidak mau berlutut. Jika Tuhan Yesus hadir persis di hadapannya, apakah ia juga tetap tidak mau berlutut? Sebab jangan sampai, alasannya justru malah lebih dalam, yaitu karena ia belum sepenuhnya percaya bahwa Yesus benar-benar hadir dalam rupa Ekaristi. Jika ini masalahnya, maka permasalahannya bukan sekedar mau berlutut atau tidak, tetapi bahwa ia belum sepenuhnya mengimani apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik yang berdasarkan Alkitab dan Tradisi Suci. Jika anda pikir berguna, silakan anda menyarankan istri anda membaca artikel di situs ini yaitu Sudahkah kita pahami Ekaristi (silakan klik), Ekaristi, Sumber dan Puncak Kehidupan Kristiani (silakan klik).

3. Apakah dengan tidak berlutut dan mengaku dosa dalam sakramen maka istri anda berdosa?

Pertama-tama yang perlu diketahui adalah apakah istri anda benar-benar sudah memahami dasar ajaran Gereja Katolik mengenai kedua hal tersebut di atas? Jika istri anda belum benar-benar memahaminya, maka kesalahannya tidak sebesar jika ia sudah memahami bahwa itu tidak sesuai dengan yang diajarkan oleh Gereja Katolik. Jika ia tetap berkeras mendahulukan pengertiannya sendiri di atas ajaran Gereja, maka memang ya, itu termasuk dosa, dan sebagai seorang Katolik ia telah melanggar perintah pertama, yaitu kasihilah Tuhan dengan segenap hati, segenap jiwa dan kekuatan, karena ia menolak ajaran Tuhan yang diteruskan oleh Gereja-Nya, Gereja Katolik.

4.  Apakah dengan demikian anak-anak anda mengikuti contoh ibunya?

Wah, ini pertanyaan yang sangat sulit dijawab. Anda dan istri anda lebih mengetahuinya daripada saya. Sebab jika memang dari pihak istri anda masih mempunyai “ganjalan” sehingga tidak dapat sepenuhnya menerima dan melaksanakan iman Katolik, maka tentu sangat wajar jika anak-anak menangkap sikap ibunya dan menerapkannya juga, walau dengan cara yang berbeda.

Kenyataan bahwa anak anda ada yang tidak Katolik, (atau meninggalkan iman Katolik, jika dulu sudah sempat dibaptis Katolik), sebaiknya diterima dengan lapang sebagai pergumulan anda sebagai orang tua. Setiap keluarga mempunyai pergumulannya sendiri-sendiri, dan mungkin inilah yang Tuhan izinkan terjadi dalam keluarga anda. Semoga anda dan istri dapat menyikapinya dengan bijak, baik dengan terus mendoakan anak anda, namun juga dengan membenahi pemahaman dan penghayatan anda dan istri anda tentang iman Katolik. Tidak ada kata berhenti atau cukup dalam hal pendalaman iman Katolik, sebab Tuhan itu adalah Allah yang tak terbatas, dan kita tidak akan pernah bisa sepenuhnya menangkap semua misteri Allah dan Gereja-Nya. Yang kita lakukan adalah berjalan bersama Tuhan, berjuang menerapkan iman kita dalam kehidupan sehari-hari, dan semoga dengan demikian, anak anda dapat melihat bahwa anda dan istri anda sungguh mempunyai iman yang hidup. Tak ada kata terlambat, apalagi percuma untuk mendoakan anak anda agar dapat menemukan kepenuhan kebenaran di Gereja Katolik. St. Monika mendoakan St. Agustinus sampai 20 tahun sebelum St. Augustinus kembali ke pangkuan Gereja Katolik. Salah seorang pembimbing situs ini dalam hal Kitab Suci, Dr. David Twellman, sebelumnya adalah seorang pendeta Metodis selama 13 tahun, sebelum ia menjadi Katolik, karena mempelajari Alkitab secara lebih mendalam, dan tulisan para Bapa Gereja.

Maka, marilah menyerahkan segala sesuatu ke dalam tangan Tuhan, sebab kita percaya, “… bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” (Rom 8:28). Percayalah, bahwa asalkan kita mengasihi Allah, maka rencanaNya bagi kita semua akan mendatangkan kebaikan pada waktu-Nya.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

5 COMMENTS

  1. Pak Andry Hart, dulu saya beranggapan begitu juga, mengaku dosa langsung pada Tuhan saja. Tapi seorang imam tua keturunan Belanda di Semarang mengatakan: “Kalau kamu dan saya mengaku dosa secara “langsung” kepada Tuhan, pasti bisa. Tetapi, kapan dan dengan tanda apa kamu dan saya diampuni? Bisakah kamu memberi tanda, kapan saat pengampunan dari Tuhan? Apakah dengan tanda kejatuhan cicak, atau suara dari langit, tanda apakah? Maka saya tidak bisa menjawab pastinya” Dari situ saya lalu berpikir mengenai tanda pengampunan yang pasti lalu jadi mengerti mengapa Yesus Kristus Tuhan memberi kuasa pengampunan kepada imam / uskup. Dan tandanya jelas yaitu ketika imam dan uskup memberikan sabda pengampunan seperti yang tertulis pada buku “Madah Bakti” nomer 62, hlm 71 paling bawah (Buku Madah Bakti yang terbitan lama) dan 72 atas; atau buku Puji Syukur dan Madah Bakti yang baru pasti juga ada, tapi halaman mana saya tak tahu karena tak punya. Di situlah tanda pengampunan pada sakramen pengampunan dosa yaitu kata-kata / rumusan pengampunan/ absolusi sakramen tobat dari bapa pengakuan (imam / uskup) dan tangan beliau membuat gerakan memberkati di keopala saya. Lalu saya menjawab: Amin. Dan Imam/uskup mengatakan: “Bersyukurlah kepada Tuhan sebab Ia baik. Dan peniten/umat menjawab: “Kekal abadi kasih setianya”. Lalu imam berkata: “Tuhan telah mengampuni dosa Saudara, pulanmglah dalam damai. U: Terima kasih. Wah… Tuhan Yesus sungguh hebat! Saya bahagia jadi Katolik!
    Salam saya: isa Inigo.

  2. Yth Bu Inggrid dan Rm Wanta,

    Saya masih ingin bertanya lagi tentang aturan gereja dalam beribadah. Isteri saya seorang penganut Pentakosta yang kemudian menjadi Katolik (tanpa dibaptis ulang tapi mendapat sakramen perkawinan) ketika menikah dengan saya. Dia sudah dapat mengikuti tatacara Katolik seperti doa Rosario dan aktif dalam lingkungan, kendati masih ada dua hal yang kelihatannya tidak dia lakukan yaitu: (1) berlutut pada saat ekaristi; dan (2) mengaku dosa. Ketika saya tanyakan, dia menjawab belum bisa melakukannya karena tidak terbiasa dan dia yakin bahwa mengaku dosa dapat dilakukan langsung pada Tuhan. Sedangkan untuk berlutut, dia malah bertanya balik, “Mengapa di Gereja Katolik tidak selalu ada tempat berlutut? Bukankah itu berarti bahwa berlutut bukan kewajiban yang harus dilakukan pada saat ekaristi?” Jadi, dia menyembah ekaristi dalam posisi duduk dengan mengangkat kedua tangan yang dikatupkan (posisi menyembah). Bagaimana tanggapan Bu Inggrid dan Romo Wanta, apakah isteri saya melakukan kesalahan yang merupakan dosa karena anak-anak kami juga meniru perbuatan ibu mereka?
    Atas jawaban dan penjelasannya, saya ucapkan banyak terima kasih.
    andryhart

    [Dari Admin Katolisitas: pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]

    • Shallom,

      Saya mau bertanya tentang Sakramen Pengakuan Dosa dalam Gereja Katolik:
      – Apakah ada syarat tertentu, untuk orang bisa mengaku dosa?
      – Sejak kapan seseorang dapat menerima sakramen pengakuan dosa? Apakah harus dibaptis terlebih dahulu?

      Karena saya memiliki seorang teman yang saat ini sedang katekumen dan akan dibaptis (dewasa) dan menerima komuni pertama Paskah nanti. Dia ingin mengaku dosa, tetapi ada yang mengatakan, kalau ingin mengaku dosa, harus dibaptis dulu. Apakah itu benar?? Apa alasannya?

      Apakah sebelum terima komuni pertama, seseorang harus mengaku dosa terlebih dahulu?
      (Jujur saya sudah lupa, kapan saya menerima sakramen pengakuan dosa yg pertama kali. Kalau tidak salah sblm komuni pertama).
      Nah kl seperti teman saya tadi, yang baptis dewasa (baptis & komuni pertama langsung), lalu apakah dia baru bisa mengaku dosa setelah baptis dan komuni pertama?

      Sakramen baptis itu hanya menghapus dosa asal kan? Lalu bagaimana dg dosa-dosa yg selama ini dia buat? Apakah dosanya sudah diampuni saat seruan tobat saat misa? Jadi dia layak terima komuni pertama?

      Mohon masukannya, Terima Kasih,
      Fransiska

      • Shalom Fransiska,

        1. Setiap orang dapat mengaku dosa kepada Tuhan di dalam doa- doa pribadinya, namun untuk memperoleh rahmat pengampunan dosa dari Tuhan yang dipercayakan-Nya kepada Gereja-Nya dalam sakramen Pengakuan dosa, seseorang harus dibaptis terlebih dahulu. Pembaptisan itu laksana sebuah gerbang yang memungkinkan seseorang mengambil bagian di dalam kehidupan ilahi sebagai anak- anak Allah, menuju kesempurnaannya di surga kelak. Sebab melalui Pembaptisan, selain memperoleh pengampunan dosa, seseorang digabungkan dengan Kristus dan Gereja, sebagai anak angkat Allah di dalam Kristus. Nah, jadi pengampunan dosa seseorang dan pemulihan martabatnya sebagai anak angkat Allah, itu mensyaratkan terlebih dahulu, bahwa ia sudah diangkat oleh Allah menjadi anak angkat-Nya melalui Baptisan.

        2. Apakah perlu mengaku dosa sebelum menerima Komuni Pertama? Ya, karena syarat untuk menerima Komuni adalah seseorang harus dalam kondisi rahmat, dan tidak sedang dalam keadaan berdosa. Adalah penting dan bahkan harus, sejak saat anak- anak mulai dapat menggunakan akal budinya untuk mengetahui yang baik dan yang jahat, anak- anak diajarkan untuk mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan dosa, ini diajarkan dalam KGK 1457.

        Nah, pada kasus calon Baptis dewasa, maka Pengakuan Dosa dilakukan dalam rangka mempersiapkan batin sang calon Baptis untuk menyambut Kristus dalam Ekaristi/ Komuni Kudus; namun rahmat pengampunan secara menyeluruh (atas dosa asal dan dosa pribadi) diberikan melalui Sakramen Baptis. Ini disebutkan dalam Katekismus:

        KGK 1263     Oleh Pembaptisan diampunilah semua dosa, dosa asal, dan semua dosa pribadi serta siksa-siksa dosa (Bdk. DS 1316). Di dalam mereka yang dilahirkan kembali, tidak tersisa apa pun yang dapat menghalang-halangi mereka untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah. Baik dosa Adam maupun dosa pribadi demikian pula akibat-akibat dosa, yang terparah darinya adalah pemisahan dari Allah, semuanya tidak ada lagi.

        Baru kemudian, saat sudah dibaptis, rahmat pengampunan Allah atas dosa pribadi diperoleh melalui Sakramen Pengakuan Dosa. Sakramen Pengakuan Dosa ini adalah sarana yang diberikan oleh Allah untuk menguduskan umat-Nya. Tentang hal ini Katekismus mengajarkan:

        KGK 1425    “Kamu telah memberi dirimu disucikan, kamu telah dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita” (1 Kor 6:11). Orang harus sadar, betapa besar anugerah Allah ini, yang telah dianugerahkan kepada kita dalam Sakramen-Sakramen inisiasi Kristen, supaya mengerti, bagaimana dosa tidak pantas lagi bagi orang yang “mengenakan Kristus” (Gal 3:27). Tetapi Rasul Yohanes mengatakan: “Jika kita berkata bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita” (1 Yoh 1:8). Dan Tuhan sendiri mengajar kita berdoa: “Ampunilah kami akan dosa kami” (Luk 11:4). Sementara itu Ia menghubungkan kerelaan kita untuk saling mengampuni dengan pengampunan yang akan Allah berikan atas dosa-dosa kita.

        KGK 1426    Pertobatan kepada Kristus, kelahiran kembali dalam Pembaptisan, anugerah Roh Kudus, penerimaan tubuh dan darah Kristus sebagai makanan, membuat kita “kudus dan tidak bercacat… di hadapan Allah” (Ef 1:4) sebagaimana Gereja sendiri, mempelai Kristus adalah “kudus” dan “tanpa kerut” (Ef 5:27). Namun kehidupan baru yang diterima dalam inisiasi Kristen tidak menghilangkan kerapuhan dan kelemahan kodrat manusiawi, dan juga tidak menghilangkan kecenderungan kepada dosa, yang dinamakan “concupiscentia”. Kecondongan ini tinggal dalam orang yang dibaptis, supaya dengan bantuan rahmat Kristus mereka membuktikan kekuatan mereka dalam perjuangan hidup Kristen (Bdk. DS 1515). Inti perjuangan ini ialah: kembali kepada kekudusan dan kehidupan abadi, ke mana Tuhan selalu memanggil kita (Bdk. DS 1545; LG 40).

        Jadi, jika seseorang sudah dibaptis, namun kemudian jatuh di dalam dosa, maka ia perlu mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan Dosa. Doa tobat dalam kesatuan dengan Perayaan Ekaristi tidak menghapuskan dosa- dosa berat, namun hanya dosa- dosa ringan. Tentang hal ini Katekismus mengajarkan:

        KGK 1457 ….. Siapa yang tahu bahwa ia telah melakukan dosa berat, tidak boleh menerima komuni kudus, juga apabila ia merasakan penyesalan mendalam, sebelum ia menerima absolusi sakramental (Bdk. Konsili Trente: DS 1647; 1661), kecuali ada alasan kuat untuk menerima komuni, dan kalau tidak mungkin baginya untuk mengakukan dosa (Bdk. CIC, can. 916; CCEO, can. 711). Anak-anak harus mengaku sebelum mereka menerima komuni kudus untuk pertama kalinya (Bdk. CIC, can. 914).

        KGK 1385    Untuk menjawab undangan ini, kita harus mempersiapkan diri untuk saat yang begitu agung dan kudus. Santo Paulus mengajak supaya mengadakan pemeriksaan batin: “barang siapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu. Karena barang siapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya” (1 Kor 11:27-29) Siapa yang sadar akan sebuah dosa besar, harus menerima Sakramen Pengakuan sebelum ia menerima komuni.

        KGK 1394    Seperti halnya makanan jasmani perlu untuk mengembalikan lagi kekuatan yang sudah terpakai, demikianlah Ekaristi memperkuat cinta yang terancam menjadi lumpuh dalam kehidupan sehari-hari. Cinta yang dihidupkan kembali ini menghapus dosa ringan (Bdk. Konsili Trente: DS 1638). Kalau Kristus menyerahkan Diri kepada kita, Ia menghidupkan cinta kita dan memberi kita kekuatan, supaya memutuskan hubungan dengan kecenderungan yang tidak teratur kepada makhluk-makhluk dan membuat kita berakar di dalam Dia….

        Sedangkan untuk memahami apa itu dosa berat dan dosa ringan, silakan klik di sini.

        Demikian keterangan dari saya, semoga berguna.

        Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
        Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Slam Fransiska,

        Tolong lihat KHK kan. 959-991 (tentang Sakramen Tobat) dan 849-874 (tentang Baptisan). Anda dapat melihatnya di link ini, silakan klik
        Pengakuan dosa dengan pengampunan sakramental dilakukan sesudah pembaptisan. Untuk orang dewasa yg mau dibaptis, ia dapat membuat pengakuan dosa pada imam, tetapi belum dapat menerima pengampunan sakramental karena dia belum menjadi anggota resmi dari Gereja. Sakramen baptis adalah sakramen pertama untuk semua orang yang mau menjadi orang kristiani. Dalam sakramen baptis untuk pertama kali dosa-dosa (asal dan pribadi) diampuni secara sakramental. Dengan kata lain, sakramen baptis adalah sakramen pertama yang mengampuni dosa-dosa manusia. Bila mau komuni pertama langsung sesudah baptis tak perlu membuat pengakuan dosa dan menerima pengampunan sakramental karena sakramen baptis telah membuat mereka jadi pantas menerima komuni pertama. Bila komuni pertama diterima tidak langsung sesudah pembaptisan, misalnya 6 tahun sesudah pembaptisan, maka dia harus lebih dulu membuat pengakuan dosa pribadi dan menerima pengampunan sakramental supaya pantas menerima komuni pertama.
        Salam dan doa. Gbu.
        Pst.B.Boli.

Comments are closed.