Sharing pelayanan oleh Pst Felix Supranto, SS.CC

Pada malam lebaran, tanggal 16 Juli 2015, aku ikut ngobyongi/meramaikan semangat mudik masyarakat dengan menyetir mobil andalanku ke Jawa Tengah. Sebenarnya aku tidak benar-benar mudik karena hanya tiga hari waktunya, termasuk perjalanan, tetapi lebih ingin berpartisipasi dengan ratusan ribu manusia yang berburu maaf “lahir batin”. Demi “maaf”, orang rela memikul kelelahan dalam perjalanan. Pokoknya banyak korban yang dipersembahkan oleh mereka. Dalam perjalanan, aku menyusun dan menghafal kata-kata “bahasa Jawa” yang halus untuk sungkem kepada orang-orang yang lebih tua. Maklum bahasa Jawaku hampir hilang musnah ditelan lingkunganku. Bahasa Jawaku itu: “Eyang, Bapak, Ibu, Om, Tante, ….. Ing Riyaya Bakda punika, kula Romo Felix Supranto, nyuwun gunging pangaksami bilih kula wonten kelepatan lan kesalahan/Kakek dan Nenek, Bapak, Ibu, Om, Tante… Pada Hari Raya Idul Fitri ini, saya, Romo Felix Supranto, mohon pengampunan kalau ada kekurangan dan kesalahan”.

Pada tanggal 18 Juli, aku berangkat pulang ke Tangerang, melewati Yogyakarta untuk menjemput kosterku/pegawaiku yang menungguku di airport. Karena masih mempunyai waktu yang banyak, aku mampir ke Desa Birin, Ceporan, Klaten, untuk mengunjungi tanteku yang sudah tua dan tinggal sendirian. Rumahnya kosong. Tanteku ternyata sedang melayat.

Ketika aku sedang bepikir mau ke mana sekarang, aku terkejut karena seorang umatku mendatangiku. Ia mengenal mobilku yang kuparkir di depan rumahnya karena mobilku ada stiker “tarung derajad”. Ia mengajakku mengunjungi pasangan kakek dan nenek. Dari nenek itu aku mendapatkan pelajaran apa arti memaafkan secara lahir dan batin.

Ketika aku masuk ke rumah itu, sang nenek sedang membersihkan borok-borok di punggung sang kakek akibat dari terus berbaring begitu lama. Kakek itu telah lumpuh karena menderita stroke selama enam tahun. Sang nenek mengatakan: “Romo, yen kula nuruti emosi, kula boten ngurusin mbah kangkung punika. Mbah kakung punika gesangipun mung pados remenipun piyambak. Lali anak lan lali bojo. Amargi dawuhipun Gusti Yesus bilih para murid kedah maringi pangaksami, kula kanti lego ing manah ngopeni mbah kakung ingkang sampun mboten saged punopo-punopo/Romo, kalau mengikuti emosi, saya tidak akan mengurusi kakek ini. Sebelum sakit kakek ini dalam seluruh hidupnya hanya mencari kesenangan sendiri. Lupa anak dan istri. Karena Perintah Tuhan Yesus bahwa para murid-Nya harus mau mengampuni, saya dengan ketulusan hati mau merawat kakek ini yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa ”.

Nenek itu memang membesarkan kelima anaknya sendirian setelah sang kakek lupa diri dengan hidup bersama wanita-wanita lain. Sang kakek hidup dengan foya-foya, sedangkan sang nenek harus membanting tulang untuk mencari sesuap nasi bagi anak-anaknya. Sang kakek tidur di kasur empuk, sedangkan sang nenek dan anak-anaknya harus tidur di atas tikar. Ketika sang kakek sudah tak berdaya karena “stroke”, semua wanita lain meninggalkannya. Pada suatu malam seseorang membawa sang kakek itu ke rumah sang nenek. Sang nenek menerima sang kakek tanpa banyak kata.

Ketika aku bertanya mengapa sang nenek memiliki hati yang begitu baik terhadap orang yang telah melukainya, ia menjawab: “Ketika kami menikah di hadapan Romo, kami telah menjadi satu jiwa. Ketika jiwanya sedang sakit, jiwaku turut menderita. Setiap hari aku berdoa agar sang kakek dapat menyadari kesalahannya. Kakek kini telah kembali dalam usia tua dan dalam kelumpuhan sehingga tidak akan melakukan kesalahan yang sama. Aku bahagia karena jiwa sang kakek telah diselamatkan. Kebahagiaanku menghilangkan rasa sakit yang pernah kualami. Aku telah lulus ujian surgawi. Aku dan sang kakek nanti pasti diperkenankan masuk Surga”.

Samudera pengampunan sang nenek itu memberi peneguhan manusia masa kini. Masa kini terjadi banyak perceraian karena hal kecil dan sepele, seperti kesulitan ekonomi dan masalah mertua. Itu terjadi karena janji pernikahan hanya sekedar di atas kertas yang dikeluarkan oleh paroki. Sebaliknya, janji pernikahan sang nenek ditulis di dalam hati sehingga tetap bertahan dengan apapun yang terjadi.

Aku mensyukuri inspirasi dari sang nenek itu dengan berdoa di patung Bunda Maria Immakulata yang tingginya 50 Meter di Gua Kereb, Ambarawa, pada tanggal 18 Juli malam. Patung Bunda Maria itu nampak indah sekali pada malam itu karena dihiasi dengan kerlap-kerlip bintang di langit. Kerlap-kerlip bintang di langit itu menandakan sukacita Bapa Surgawi melihat anak-anak-Nya saling silahturami, saling memaafkan dengan ketulusan hati.

Pesan yang dapat kita hidupi dari kisah ini: Memaafkan adalah wujud cinta yang sempurna. Memaafkan memerlukan kesabaran dan keikhlasan yang tinggi dari jiwa untuk mengalahkan keegoisan dan menghapus rasa sakit di hati. Tuhan menyukai orang-orang yang dengan tulus mengampuni karena kemurahhatian-Nya harum semerbak di setiap relung hati. Jadi, sang pemenang adalah orang-orang yang mampu memaafkan dengan kesabaran dan ketulusan hati: “Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu” (Efesus 4:32).