Pertanyaan:
Numpang tanya, saya tidak yakin apakah ayat2 berikut layak dijadikan bahan untuk bertanya soal kehendak bebas Misal Keluaran 12:36 dan Keluaran 14:8; disana dikatakan Tuhan melunak/mengeraskan hati orang Mesir. Jika sungguh demikian maka orang mesir dan epik Musa cuma boneka belaka.
pertanyaan
a) bagaimana mestinya ayat2 tsb dipahami?
b) dimana persisnya ajaran tentang kehendak bebas tercantum dalam kitab suci ?
mohon edukasi
Jawaban:
Shalom Skywalker,
Gereja Katolik mengajarkan kehendak bebas sebagai berikut:
KGK 1730 Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan telah memberi kepadanya martabat seorang pribadi, yang bertindak seturut kehendak sendiri dan menguasai segaIa perbuatannya. “Allah bermaksud menyerahkan manusia kepada keputusannya sendiri” (Sir 15:14), supaya ia dengan sukarela mencari Penciptanya dan dengan mengabdi kepada-Nya secara bebas mencapai kesempurnaan sepenuhnya yang membahagiakan” (Gaudium et Spes 17).
“Manusia itu berakal budi dan karena ia citra Allah, diciptakan dalam kebebasan, ia tuan atas tingkah lakunya” (St. Ireneus, Against Heresies/Adv. haeres. 4,4,3).
Maka dengan pengertian ini, kita mengetahui Allah tidak dengan secara aktif menentukan segala sesuatu bagi manusia tanpa melibatkan kehendak bebas manusia, sebab jika demikian manusia hidup seperti robot saja, dan tidak mungkin dapat dikatakan berakal budi dan mempunyai citra Allah. Juga, Allah tidak mungkin secara aktif menjadikan manusia berdosa; sebab itu bertentangan dengan hakekat Allah yang penuh kasih, sehingga tak mungkin Ia ‘menjerumuskan’ manusia ke dalam dosa.
Dalam konteks Kel 12:36 dan Kel 14:8 kita melihat bagaimana Allah bekerja dalam kehendak bebas orang tersebut.
1) Dalam Kel 12:36, dikisahkan bagaimana orang-orang Mesir didorong oleh Allah untuk bermurah hati kepada umat Israel, sehingga mereka memberikan harta benda mereka kepada orang-orang Israel. Hal ini tak terlepas dari kenyataan bagaimana orang-orang Mesir telah melihat bagaimana Allah telah menyertai bangsa Israel, bagaimana kekerasan hati Firaun malah mendatangkan kesepuluh tulah bagi bangsa Mesir. Maka dengan kemurahan hati mereka, mereka mengakui kehadiran Allah yang menyertai bangsa Israel.
Dengan terang Perjanjian Baru, ayat ini dapat dimengerti dengan lebih baik. Sebab bangsa Israel di sini adalah gambaran/ prefigurasi dari Gereja. (lihat Lumen Gentium 9, yang mengatakan, “Adapun seperti Israel menurut daging, yang mengembara di padang gurun, sudah di sebut Gereja (jemaat) Allah (lih. Neh 13:1; Bil 20:4; Ul 23:1 dst). Kita mengetahui bahwa kini para bangsa di dunia mengakui bahwa Allah hadir dalam Gereja, sehingga mereka ‘menyumbangkan harta’ mereka, berupa aneka kebudayaan, dan kekayaan mereka ke dalam Gereja.
2) Dalam Kel 14:8 dikatakan bahwa “Allah mengeraskan hati Firaun.” Untuk menginterpretasikan ayat ini saya ingin mengutip apa yang dikatakan oleh St. Agustinus tentang kehendak bebas dalam A Treatise on Grace and Free will , chap 45 [XXIII], di mana ia menghubungkan hal mengeraskan hati ini dengan ayat dalam Rm 9:18, “Ia menaruh belas kasihan kepada siapa yang dikehendakiNya.”:
” ….dalam kasus ia yang dikeraskan hatinya, perbuatan-perbuatan jahatnya layak untuk menerima penghakiman, sedangkan pada ia yang menerima belas kasihan-Nya, engkau harus mengakui bahwa rahmat Allah “tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, namun memberikan berkat-berkat. Jangan engkau mengambil kehendak bebas dari Firaun, [hanya] karena ada ayat tertulis, “Aku telah mengeraskan hati Firaun” atau “Aku sudah mengeraskan atau akan mengeraskan hati Firaun” (lih. Kel 4:21; 7:3; 14:4,8), sebab itu tidak berarti bahwa Firaun sendiri tidak mengeraskan hatinya. Sebab hal inipun tertulis dalam Alkitab, setelah diambilnya tulah lalat dari bangsa Mesir, “Tetapi sekali inipun, Firaun tetap berkeras hati; ia tidak membiarkan bangsa itu pergi.” (Kel 8:32). Oleh karena itu, memang Tuhan mengeraskan hatinya dengan penghakiman- Nya, tetapi juga Firaun oleh kehendak bebasnya. Maka yakinlah kamu bahwa usaha perbuatanmu tidak pernah sia-sia, jika engkau menempatkan maksud yang baik di atas segalanya, dan tetap mengusahakannya sampai akhir. Sebab Tuhan, yang tak pernah gagal untuk memperhitungkan segala perbuatan… akan “membalas setiap orang menurut perbuatannya.”(Mat 16:27). Maka, Tuhan pasti akan membalaskan kejahatan dengan kejahatan, sebab ia adalah adil, dan kebaikan untuk membalas kejahatan, sebab Ia baik, dan kebaikan dengan kebaikan sebab Ia baik dan adil; hanya Ia tak pernah membalaskan kejahatan terhadap kebaikan karena Ia tidak mungkin berlaku tidak adil. Ia akan…. [membalas] penghukuman kepada yang jahat, rahmat kepada yang jahat, dan Ia akan membalas kebaikan kepada yang baik….”
Maka di sini memang kita harus mengakui bahwa Tuhan yang di dalam kebijaksanaan dan keadilannya, telah mengetahui segala sesuatu dalam diri ciptaan-Nya. Dengan kebijakan-Nya, Ia tidak memberikan rahmat kepada Firaun untuk menjadikannya berbelas kasihan, tetapi ini tidak berarti bahwa Allah-lah yang mendorong Firaun untuk berbuat jahat kepada bangsa Israel (lihat the Letter of St. Augustine to Simplician, 15), sebab perbuatan jahat ini adalah sesuatu yang diputuskan melalui kehendak bebas Firaun sendiri.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org
Salam Kasih untuk KATOLISITAS.
—
Mungkin di sini kita telah keliru menginterpretasikan maksud dari sebagian saudara kita yg beranggapan demikian…
Lama aku renungkan di kala senggang…
“Kamu diselamatkan hanya karena Tuhan TELAH memilih kamu sementara Tuhan *TIDAK* memilih aku untuk diselamatkan ATAU kamu diselamatkan karena rahmat dan kasih karunia Allah yang teraplikasi dalam akal budi yang diberikan kepadamu untuk selanjutnya oleh kamu *terpelihara* sehingga memampukan kamu menyambut-Nya dalam kerendahan hati; sementara aku BELUM menyambut-Nya karena free will yg berkorelasi dengan akal budi itu lebih *tidak terpelihara* sehingga membuka celah bagi kuasa kegelapan untuk “berkarya” di dalamnya…?”
Karena kasih karunia dan rahmat Keselamatan yang diberikan kepada kita itu hadir sejak awal mula kita dilahirkan dan dalam rupa freewill dari-Nya, Dia menanamkan kepada setiap manusia pengetahuan dasar (budi) dan pengetahuan yang mengalami proses waktu dgn berjalannya usia (akal).
Dan pada satu moment, sebuah keputusan terpenting dalam hidup kita dibutuhkan untuk menerima atau menolak tawaran-Nya.
Jadi Allah tidak mengintervensi dan memilih-milih mana yang akan dan yang tidak diselamatkan.
Semua sudah ditawarkan sejak kita lahir di dunia ini melalui “sarana” pembekalan pengetahuan yang ditanamkan oleh-Nya.
Apakah aku keliru dalam hal ini?
Mohon berbagi.
Shalom Maximillian Reinhart,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang keselamatan. Kita memang diselamatkan hanya karena rahmat Allah. Tanpa rahmat Allah, maka tidak ada satu orangpun yang dapat masuk Sorga. Sorga berada dalam tatanan rahmat yang melebihi apa yang menjadi kodrat manusia. Dengan demikian, hanya rahmat Allah saja yang dapat mengangkat manusia untuk dapat mencapai Sorga. Tuhan menginginkan agar semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran (1 Tim 2:4). Itulah sebabnya, Tuhan memberikan rahmat yang cukup bagi semua orang untuk dapat menjawab panggilan Allah. Tentu saja, sedari awal Tuhan tahu siapa saja yang menjawab panggilan Allah dan siapa saja yang tidak menjawab panggilan Allah yang disebabkan karena kesalahannya sendiri. Namun, kalau sampai ada orang yang tidak menjawab panggilan Allah, maka hal ini adalah kesalahan manusia. Kesalahan manusia dapat disebabkan karena dia tidak mau bekerjasama dengan rahmat Allah, yang dapat disebabkan karena kesombongan, salah dalam pembentukan hati nurani, terjerat godaan baik dari setan, dunia maupun dari kedagingan, dll.
Dari awal penciptaan, memang manusia diciptakan atas dasar kasih, sehingga Tuhan memberikan akal budi dan begitu banyak rahmat yang lain: rahmat pengudusan (sanctifying grace) dan four preternatural gifts (rahmat tidak dapat mati, tidak dapat menderita, tunduknya kedagingan terhadap akal budi /the gift of integrity, pengetahuan tentang Tuhan / infused knowledge). Sakramen Baptis mengembalikan rahmat pengudusan, sehingga manusia dapat berkenan di hadapan Allah. Menjadi perjuangan seumur bagi manusia untuk terus bekerjasama dengan rahmat Allah agar dapat bertumbuh dalam kekudusan.
Dalam menuntun orang-orang pilihan-Nya, maka tentu saja Allah turut bekerja dalam segala sesuatu (lih. Rom 8:28). Allah tahu siapa saja yang masuk Sorga, namun kita tidak tahu. Oleh karena itu, tidak mungkin kita tahu secara pasti apakah kita menjadi orang-orang pilihan-Nya atau tidak termasuk di dalam-Nya. Bagian kita adalah berjuang dalam kekudusan, dengan tetap berpegang teguh dalam iman, pengharapan dan kasih. Ketidaktahuan ini bukan membuat kita kehilangan harapan, namun justru harus memacu kita untuk hidup kudus. Kita dapat berkata seperti rasul Paulus “Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak.” (1Kor 9:27) Dengan kata lain, kita menjalankan bagian kita, dan kita mempercayakan pengadilan kepada Tuhan. Semoga dapat memperjelas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
terima kasih koreksinya – IMHO St Agustinus sudah mulai dengan pra-andaian tertentu manakala membaca Kej 14:8 – saya kutip disini
[quote] Jangan engkau mengambil kehendak bebas dari Firaun, [hanya] karena ada ayat tertulis, “Aku telah mengeraskan hati Firaun” atau “Aku sudah mengeraskan atau akan mengeraskan hati Firaun” (lih Kel 4:21; 7:3; 14:4,8), sebab itu tidak berarti bahwa Firaun sendiri tidak mengeraskan hatinya [unquote]
perhatikan [quote] [hanya] karena ada ayat tertulis [unquote] – yang tertulis tidak berarti seperti apa yang tertulis – sudah jelas tertulis “Aku sudah mengeraskan”, tetapi Agustinus menambahkan apa yang tidak implisit ditulis disana “tidak berarti bahwa Firaun sendiri tidak mengeraskan hatinya” – mengapa pula ia menambahkan itu jika ia tidak memiliki pra-andaian bahwa ada kehendak bebas Firaun ada disana [yang adalah tidak implisit tertulis] ?
Ia memahami Kej 14:8 tidak berdasarkan apa yang jelas-jelas tertulis. Katakan Agustinus benar bahwa Firaun memang mengeraskan hatinya – tetapi apakah ini lantas [maaf] “melepaskan” Tuhan dari “Aku SUDAH mengeraskan atau akan mengeraskan hati Firaun” – implisit dikatakan “SUDAH”
pernyataan anda
[quote] Allah tidak dengan secara aktif menentukan segala sesuatu bagi manusia, [unquote]
versus
[quote kita harus mengakui bahwa Tuhan yang di dalam kebijaksanaan dan keadilannya, telah mengetahui segala sesuatu dalam diri ciptaan-Nya [unquote]
Allah tahu akan “segala sesuatu dalam diri ciptaan-Nya” tetapi tetap “pasif”
Jika ini saya lihat dalam konteks Adam dan Hawa betapa ganjil situasinya – Jika diketahui bahwa manusia pertama dan kedua akan melanggar perintahNya, jika diketahui salah satu hewan akan menggoda kedua manusia itu dan IA memilih tetap pasif dan memutuskan untuk mengirim PuteraNya ribuan tahun kemudian setelah banyak korban berjatuhan – apakah tidak ganjil ? pepatah: mencegah lebih baik dari mengobati tidak dapat diterapkan disini – pasti logika ini salah – maka mohon koreksi dan terima kasih sebelumnya
salam saya
Shalom Skywalker,
Terima kasih atas tanggapannya. Mari kita membahas pertanyaan Skywalker.
I. Tuhan sudah mengeraskan hati Firaun?
Dalam membaca Alkitab, kita harus mempunyai "fondasi yang jelas", dimana Skywalker mengatakan sebagai "pra-andaian". Apakah fondasi yang jelas atau pra-andaian yang diperlukan? Pada waktu membaca Alkitab, kita akan melihat sosok Kristus yang penuh kasih, namun bagi orang yang membaca hanya Perjanjian Lama, sebagian orang akan menarik kesimpulan bahwa Allah adalah Allah yang begitu tegas dan adil, bahkan dalam beberapa kejadian , Allah dianggap sebagai Allah yang kejam. Dari sini, kita melihat bahwa kasih dan kejam tidak dapat digabungkan, namun kasih dan adil dapat digabungkan karena Allah pada hakekatnya adalah kasih dan adil. Oleh karena itu, membaca Perjanjian Lama haruslah dalam terang Perjanjian Baru. Demikian juga pada kasus Firaun, dimana dikatakan bahwa Allah mengeraskan hati Firaun.
1) Kalau kita tidak mempunyai fondasi yang jelas, dan mengambil secara harafiah atau "literal", maka kita akan mengambil kesimpulan yang salah – bahwa Allah benar-benar mengeraskan hati Firaun. Sebagai konsekwensinya, Firaun tidak bersalah, karena kekerasan hatinya diakibatkan oleh Allah, bukan akibat keputusannya sendiri. Kalau kita terapkan dalam hidup manusia secara umum, maka Allah yang bertanggung jawab atas seluruh kekerasan hati manusia yang tidak mau bertobat, karena Allah dapat mengeraskan hati mereka. Karena mengeraskan hati adalah salah satu contoh dari "dosa melawan Roh Kudus", maka mereka akan masuk neraka. Oleh karena Allah yang menjadi penyebab utama dari kekerasan hati mereka, maka Allah sendiri yang mengirim mereka ke neraka.
2) Allah yang secara aktif mengirimkan umat-Nya ke nereka bukan lagi Allah yang penuh kasih dan adil. Dan Allah tidak mungkin mengkontradiksi diri-Nya sendiri. Dia tidak dapat menjadi adil dan sekaligus tidak adil. Dia tidak dapat menjadi kasih dan sekaligus kejam. Oleh karena itu, Allah yang penuh kasih dan adil inilah yang menjadi prinsip untuk mengartikan ayat-ayat yang lain . Oleh karena itu, St. Agustinus mengatakan bahwa maksud dari ayat tersebut adalah Firaun sendiri yang mengeraskan hatinya. Bahwa di Alkitab dikatakan bahwa Allah sudah mengeraskan hati Firaun, maka St. Agustinus mengatakan "The hardening which God causes is an unwillingness to be merciful. We must not think that anything is imposed by God whereby a man is made worse, but only that He provides nothing whereby a man is made better." (St. Augustines, To Simplician, 15).
Dari sini kita melihat bahwa Tuhan tidak secara aktif membuat Firaun untuk untuk mengeraskan hati, namun Allah – di dalam kebijaksanaan-Nya – tidak memberikan apapun kepada Firaun untuk membuatnya lebih baik. Namun berkat Allah kepada setiap manusia, termasuk Firaun adalah cukup untuk membawa mereka kepada keselamatan. Dalam kasus Firaun, dapat terlihat bahwa Allah, lewat Musa telah mencoba mencoba merubah Firaun, bukan cuma sekali namun berkali-kali.
3) Kenapa Allah pada waktu itu seolah-olah pasif, sehingga tidak membuat hati Firaun berubah? Dalam hal ini tindakan Allah didominasi oleh keadilan Allah. Pasif di sini tidak diartikan bahwa Tuhan tidak memberikan berkat yang cukup dan kesempatan yang cukup banyak bagi Firaun untuk berubah. St. Augustinus dalam beberapa suratnya mengatakan bahwa kalau semua orang berhutang kepada Allah, maka Allah bukan tidak adil, kalau kepada seseorang dia menghapuskan hutang, dan kepada seseorang dia tetap menuntut agar hutangnya dilunasi. Bandingkan dengan perumpamaan pekerja di ladang yang semuanya diberikan upah 1 dinnar. (lih. Mt 20:1-16). Jadi, Allah tidak mungkin tidak adil. Sebagai contoh: kalau orang baik Allah membalas dengan kebaikan; kalau orang jahat, Allah dapat membalas dengan kebaikan (mercy) atau dengan hukuman (justice). Namun tidak mungkin Allah membalas kebaikan dengan hukuman, karena melawan keadilan. Oleh karena itu Allah selalu adil dan kasih.
4) Kalau kita melihat kasus Firaun, memang tidaklah mudah, karena ini berhubungan dengan keinginan bebas (free will) dan berkat Allah (grace). St. Augustinus mengatakan, karena kedua-duanya (free will & grace) ada di dalam Alkitab, maka kita tidak dapat menerima yang satu dengan mengabaikan yang lain. Kedua-duanya harus tetap ada. Kalau sampai kita tidak dapat memberikan harmoni dalam kasus-kasus tertentu, maka kita harus menerima bahwa kadang-kadang keputusan Allah adalah diluar pemikiran kita.
II. Mengapa Yesus datang setelah ribuan tahun kemudian?
Kita percaya bahwa setiap keputusan Allah dilandasari oleh kasih dan keadilan. Dan oleh karena itu, keputusan Allah akan mendatangkan kebaikan yang lebih tinggi (greater good). Secara prinsip mengapa Yesus datang setelah ribuan tahun kemudian dari manusia berbuat dosa adalah: 1) agar kedatangannnya dipersiapkan dengan baik, 2) agar kedatangannya dikenali, dan dapat ditulis di dalam sejarah manusia, 3) agar manusia mengerti konsekuensi dosa, 4) agar manusia menantikan dengan rindu kedatangan Sang Penebus. Untuk lengkapnya, silakan membaca jawaban ini (silakan klik).
Mencegah memang lebih baik daripada mengoreksi. Namun mencegah tidak berarti menghilangkan kebebasan manusia. Tuhan menginginkan manusia mengasihi Tuhan secara bebas, karena mengasihi tanpa adanya kebebasan bukanlah kasih, namun suatu paksaan.
Semoga keterangan di atas dapat menjawab pertanyaan Skywalker.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Numpang tanya
tidak yakin apakah ayat2 berikut layak dijadikan bahan untuk bertanya soal kehendak bebas. Misal Keluaran 12:36 dan Keluaran 14:8
disana dikatakan Tuhan melunak/mengeraskan hati orang mesir
Jika sungguh demikian maka orang mesir dan epik Musa cuma boneka belaka
pertanyaan
a) bagaimana mestinya ayat2 tsb dipahami?
b) dimana persisnya ajaran tentang kehendak bebas tercantum dalam kitab suci ?
mohon edukasi
[Dari Admin: Pertanyaan ini sudah dijawab di artikel di atas, silakan klik]
Dear kak Stef.
Ijinkan Celinne belajar menjawab apa yang dipertanyakan oleh sahabat Skywalker.
Begini…
Pentateuch itu dituliskan bukan oleh orang Arab tetapi oleh orang Yahudi.
Jadi budaya Yahudi yang percaya pada kesemuanya merupakan Penyelenggaraan Ilahi menjadi titik tolak dari pemahaman kita di dalam membaca Perjanjian Lama.
Coba saja kita lihat Kitab Ayub, bahkan kesukaran yang diderita oleh Ayub pun “berasal” dari Allah bagi kacamata bangsa Yahudi (iblis meminta ijin dulu kepada Allah dan Allah memberikan ijin itu).
Jadi Celinne berpikir, Firaun pun dikeraskan hatinya oleh Allah agar segalanya indah pada waktunya, demikian pola pikir penulis yang menggunakan tradisi bangsa Yahudi.
Mohon lah dikoreksi atas pemikiran Celinne yang sempit ini.
Salam Kasih
[dari katolisitas: Ketika Kitab Suci mengatakan bahwa Allah mengeraskan hati Firaun, maksudnya adalah Allah membiarkan kekerasan hati Firaun. Namun, bukan berarti bahwa Allah secara aktif mengeraskan hati Firaun.]
Comments are closed.