Pertanyaan:

Dear, aku mau nanya sedikit:

Ajaran Sosial Gereja mana yang cocok untuk mengkaji pelayanan sosial para religius, sehingga tidak terjebak pada tindakan belas kasih semata dan tidak menjadi sama dengan LSM?

Thanks ‘n GBU, Ce

Jawaban:

Shalom Ce,

Wah, pertanyaan anda cukup unik, dan tidak mudah untuk menjawabnya, karena selain memang luas cakupannya, namun juga penerapannya memerlukan kreativitas dari yang terlibat. Saya menganjurkan, anda untuk membaca ringkasan beberapa dokumen resmi tentang ajaran sosial Gereja, jika anda mempunyai keterbatasan waktu untuk membaca semua dokumen ajaran sosial Gereja ini. Bukunya berjudul Precis of Official Catholic Teaching on the Social Teaching of the Church yang dikeluarkan oleh CCSP, berisi ringkasan beberapa surat ensiklik dari para Paus, seperti Rerum Novarum, Quadragesimo Anno, Mater et Magistra, Populorum Progressio, Laborem Excercens, Centesimus Annus, Sollicitudo Rei Socialis, Gaudium et Spes, dst.

Saya bukan seorang ahli dalam hal ini, maka yang dapat saya sampaikan di sini adalah prinsip-prinsip secara umum, yang dapat kita ketahui tentang prinsip ajaran sosial Gereja, yang mungkin dapat dipegang dalam pelayanan sosial Katolik, entah yang dilakukan oleh kaum religius ataupun oleh kaum awam, sehingga harapannya dapat membedakannya dengan LSM yang non-Katolik:

1. Prinsip dasar:
– Ajaran sosial Gereja selalu mempunyai prinsip dasar menjunjung tinggi martabat manusia sehingga hubungan timbal balik antar manusia dapat terwujud (Mater et Magistra, 220). Dasar martabat manusia ini adalah karena manusia diciptakan menurut gambaran Allah (lih. Kej 1:26; Keb 2:23, Gaudium et Spes 12, 29)

– Para pelayan sosial religius selayaknya mengusahakan hubungan timbal balik/ dialog antara kedua kelompok (yang menolong dan ditolong), dengan menyatakan kepada kedua pihak pengajaran Injil (lih. Rerum Novarum 41, Populorum Progressio 54)

– Semua kegiatan harus sesuai dengan prinsip moralitas praktis, di mana semua kebutuhan pribadi maupun masyarakat harus diharmonisasikan dengan persyaratan untuk mencapai kebaikan bersama/ “common good” (lih Mater et Magistra, 37).

– Setiap orang harus melihat sesamanya sebagai dirinya sendiri, dengan memikirkan hidupnya dan jalan yang diperlukan untuk hidup dengan cara yang layak: makanan, pakaian, perumahan, hak untuk memilih status hidup dan membentuk keluarga, hak untuk mengecap pendidikan, bekerja, nama baik, penghormatan, pengetahuan sepantasnya, hak untuk bertindak sesuai dengan hati nuraninya dan untuk melindungi keleluasaan pribadi (privacy) dan kebebasan beragama. (lih Gaudium et Spes, 26, 27).

– Solidaritas membantu kita melihat orang lain tidak sebagai alat tetapi sebagai sesama, seorang penolong (lih. Kej 2:18-20), sama-sama mengambil bagian di perjamuan kehidupan yang kepadanya kita semua dipanggil oleh Tuhan (Sollicitudo Rei Socialis, 39).

– Pihak yang lemah/ miskin harus dibantu untuk dapat memperoleh keahlian, agar dapat bersaing, dan dapat memperoleh kemampuan untuk menggunakan kapasitas dan sumber daya yang ada pada diri mereka (Centesimus Annus, 34)

– Kasih harus melampaui keadilan, dan bahwa segala kegiatan sosial ditujukan untuk memberikan kasih (dan keadilan) demi kebaikan bersama (Caritas in Veritate, 6)

Penerapannya mungkin adalah sebagai berikut:
a) mendorong agar pihak yang ditolong dapat berkembang, dan bukan hanya sekedar menerima bantuan.
b) Maka pihak lembaga pelayanan sosial Katolik tersebut juga harus mengusahakan berbagai pelatihan ataupun pendidikan agar dapat meningkatkan kemampuan mereka.
c) lembaga pelayanan sosial Katolik tersebut sedapat mungkin membuka kemungkinan dialog antara para donatur (pihak yang menolong) dan pihak yang ditolong.
d) jika pelatihan sudah diperoleh, maka langkah selanjutnya adalah untuk mencari kemungkinan penyaluran jasa ataupun barang-barang yang dihasilkan dari orang-orang yang ditolong agar mereka dapat berkembang sebagai pribadi yang mandiri.

2. Penekanan kepada perkembangan manusia seutuhnya:

– Gereja dipercaya dengan tugas untuk membuka pemikiran manusia terhadap misteri Allah dan dengan demikian manusia dapat memahami arti dari keberadaannya, suatu kebenaran yang terdalam tentang dirinya sendiri (lih Gaudium et Spes, 41).

– Perkembangan otentik harus lebih dari sekedar pertumbuhan ekonomi, namun harus lengkap: harus memajukan kebaikan setiap manusia dan keseluruhan manusia (Populorum Progressio, 14, lihat juga prinsip-prinsip yang diajarkan dalam ensiklik Paus Benediktus XVI yang terbaru, Caritas in Veritate)

– Perkembangan otentik manusia mensyaratkan pemahaman akan makna seksualitas manusia seperti yang dituliskan dalam Humane Vitae, dan pemahaman akan penerapan nilai-nilai Injil di dalam perbuatan, seperti yang tertulis dalam Evangelii Nuntiandi (lih. Caritas in Veritate, 15)

Penerapannya mungkin adalah:
a) sedapat mungkin melibatkan/ mendorong pembinaan iman keluarga yang ditolong.
b) mengajarkan nilai-nilai/ makna perkawinan di dalam ajaran Kristiani, terutama jika yang ditolong adalah keluarga-keluarga Katolik. Jika perlu mengadakan edukasi tentang KB alamiah.
c) menekankan pentingnya diadakan pelatihan/ edukasi, baik kepada pihak kepala keluarga dan jika mungkin program bea siswa anak-anak mereka.

3. Hal religius diutamakan:

– Segala organisasi sosial harus diatur dan diarahkan untuk melaksanakan cara-cara yang tepat untuk membantu setiap anggota untuk “meningkatkan kondisinya sedapat mungkin dalam hal jasmani, rohani dan kepemilikan.” (Rerum Novarum 42, Quadragesimo Anno 32).

– Lembaga pelayanan sosial Katolik harus melihat kepada Tuhan sebagai acuannya, maka instruksi religius harus mendapatkan tempat. Semua orang yang terlibat di dalamnya harus diingatkan akan kewajibannya kepada Tuhan, untuk menyembah Tuhan dan untuk mempraktekkan ajaran agamanya. Yang beragama Katolik harus diarahkan untuk menghormati Gereja Katolik, mematuhi peraturan Gereja dan mengikuti sakramen-sakramen Gereja, untuk menghantar mereka kepada pertobatan dan hidup yang suci (lih. Rerum Novarum 42)

Penerapannya mungkin adalah:
a) selain mengusahakan terpenuhinya kebutuhan hidup dasar dan perbaikan taraf hidup, segi rohani juga diperlukan, misalnya jika memungkinkan diadakan Misa Kudus bersama atau acara bersama yang bersifat rohani, jika mungkin diadakan rutin, bagi pengurus maupun bagi umat yang ditolong.
b) sebelum diadakan dan sesudah diadakannya kegiatan diawali dan ditutup dengan doa bersama, terutama para pengurusnya.

4. Keberpihakan Gereja adalah kepada yang miskin/ termiskin (Laborem Exercens, 8, Sollicitudo Rei Socialis, 42, Centesimus Annus, 11) maka prioritas utama harus diberikan kepada yang paling membutuhkan.

Penerapannya :
a) memberi prioritas utama untuk membantu mereka yang benar-benar miskin/ membutuhkan bantuan.
b) untuk ini diperlukan sistem dan kriteria yang jelas dan transparan.

Demikian yang dapat saya tuliskan untuk menjawab pertanyaan anda. Untuk melakukan hal ini tidaklah mudah, sebab diperlukan orang-orang yang berkomitmen, jujur, dan di atas semua itu, digerakkan oleh semangat kasih yang besar kepada Kristus untuk melakukan karya kerasulan ini. Karya pelayanan yang demikian juga selayaknya dapat menyebarkan nilai-nilai Injil di dalamnya, agar dapat menerapkan apa yang diajarkan oleh Kristus dan Gereja-Nya, demi mencapai perkembangan manusia yang seutuhnya: jasmani, rohani, baik pada orang yang ditolong, maupun yang menolong.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

15 COMMENTS

  1. Dear. mau bertanya?

    Saya masih belum menemukan titik terang tentang ajaran Gereja pada praktik Lembaga filantropi? Adapun yang saya temukan dari sedikit literatur “Karikatif/Karitas/Diakonika, dll) kerap disepadankan dengan aksi sosial lembanga filantropi gereja ex. Yakkum/YBKS/Karinakas. Apakah ada Ajaran Gereja yang berhubungan dengan praktik lembaga-lembaga pelayanan sosial yang dalam ini di sebut lembaga filantropi Gereja Katolik.
    Semoga maksut dari pertanyaan saya mudah untuk di fahami dan meminta jawab dan bimbingan Gereja agar saya tidak salah memahami dan bisa memahaminya. salam

    • Shalom Priyo,

      Lembaga filantropi itu tidak secara langsung berkaitan dengan doktrin/ajaran iman Katolik, melainkan merupakan salah satu bentuk nyata pelaksanaan ajaran iman, yaitu bagaimana umat beriman, secara perorangan atau kolektif mengambil bagian dalam karya cinta kasih untuk membangun masyarakat.

      Maka, saya tidak melihat bahwa hal itu dilarang oleh Gereja. Malah sebaliknya Gereja menganjurkannya, sebagai salah satu bentuk partisipasi nyata umat untuk turut memperbaiki keadaan masyarakat, secara khusus dengan perhatian khusus kepada kaum miskin.

      Berikut ini saya kutipkan saja dari surat ensiklik Paus Paulus VI, Populorum Progressio – yang teks lengkapnya dapat dibaca di sini, silakan klik.

      “75. … It is the person who is motivated by genuine love, more than anyone else, who pits his intelligence against the problems of poverty, trying to uncover the causes and looking for effective ways of combatting and overcoming them. As a promoter of peace, “he goes on his way, holding aloft the torch of joy and shedding light and grace on the hearts of men all over the world; he helps them to cross the barriers of geographical frontiers, to acknowledge every man as a friend and brother.

      81. We appeal, first of all, to Our sons. In the developing nations and in other countries lay people must consider it their task to improve the temporal order. While the hierarchy has the role of teaching and authoritatively interpreting the moral laws and precepts that apply in this matter, the laity have the duty of using their own initiative and taking action in this area—without waiting passively for directives and precepts from others. They must try to infuse a Christian spirit into people’s mental outlook and daily behavior, into the laws and structures of the civil community. (68) Changes must be made; present conditions must be improved. And the transformations must be permeated with the spirit of the Gospel….”

      Jadi prinsipnya, setiap umat Katolik didorong untuk melakukan tindakan kasih secara universal untuk membangun masyarakat agar semakin manusiawi, di mana semua orang dapat memberi dan menerima, di mana kemajuan sejumlah orang tidak diperoleh dari pengabaian sejumlah orang yang lain (lih. PP 44) Dalam hal ini, setiap orang dipanggil untuk melakukan hal ini, terutama mereka yang memiliki pendidikan, jabatan ataupun otoritas. Mereka harus memberikan teladan dengan memberikan kontribusi harta milik mereka…. (lih. PP 32)

      Ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Konsili Vatikan II:
      “Secara khas – meskipun tidak eksklusif – tugas kewajiban maupun kegiatan keduniaan (sekular) termasuk kewenangan kaum awam. Maka bila mereka secara perorangan maupun kolektif, bertindak sebagai warga dunia ini, hendaknya mereka jangan hanya mematuhi hukum-hukum yang khas bagi masing-masing bidang kerja, melainkan hendaknya berusaha juga meraih kemahiran yang sungguh bermutu dibidang itu. Hendaklah mereka dengan sukarela bekerja sama dengan sesama yang mengejar tujuan-tujuan yang sama. Hendaknya mereka mengakui tuntutan-tuntutan iman serta dikuatkan olehnya, dan tanpa ragu-ragu – bila diperlukan – merekayasa usaha-usaha baru dan mewujudkannya. Termasuk kewajiban bagi suarahati mereka yang sudah terbentuk dengan baik, untuk mengusahakan supaya hukum ilahi tertanamkan dalam kehidupan kota duniawi ini.” (Gaudium et Spes, 43)

      Demikianlah, prinsip dasar yang diajarkan Gereja Katolik tentang hal ini.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  2. Yth para pengasuh rubrik Katolisitas.org,

    saya bergabung di suatu wadah gereja di kota kami yang bernaung di bawah komisi, wadah kami memiliki program sosial di dalam acara bulanannya. Untuk program sosial ini beberapa rekan mengusulkan format kegiatan seperti memungut sampah di laut ataupun membersihkan saluran got, dengan alasan bahwa program2 tersebut dapat lebih dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas. Namun di hati nurani saya merasa ada yang tidak sesuai, karena ajaran Tuhan Yesus yang saya yakini yaitu Dia menyuruh murid2 untuk menjala manusia, yang dalam hal ini saya pahami sebagai bentuk2 pelayanan sosial yang mengarahkan jiwa2 untuk semakin mendekat kepadaNya. Program2 seperti memungut sampah atau membersihkan lingkungan, menurut saya merupakan suatu tindakan pragmatis yang hanya bersifat menangani persoalan pada akhir (user end) dan tidak terkait dengan pelayanan sosial, tidak ada unsur membangun kerajaan Allah. Mengenai hal tersebut diantara kami ada selisih pendapat sehingga saya mengajukan pertanyaan ini untuk meminta pendapat. Apabila memungkinkan, bisakan jawaban dikirimkan juga ke e-mail saya di poppy_LA@hotmail.com.

    Terima kasih atas masukannya.
    Salam dalam kasih Tuhan.

    • Salam Poppy,

      Tataran tindakan untuk meluaskan Kerajaan Allah bermacam-macam. Antara lain:
      1. Teknis-pragmatis
      2. Teknis sistematis.
      3. Programatis-terencana jangka panjang.

      Ketiganya harus dibuat secara integral. Jika taraf kemampuan baru nomer 1, harus diupayakan ke nomer 2 dan 3 sesuai visi misi lembaga sosial tersebut. Namun hendaknya tetap berbuat, walaupun baru sampai nomer 1. Mengapa? Karena sudah bertindak nyata. Iman tanpa perbuatan ialah mati, kata surat rasul Yakobus. Selanjutnya, kita percaya bahwa Roh Kudus tetap berkarya menggerakkan hati orang melalui karya nyata kita.

      Mengenai kemampuan mencapai nomer 3, memang harus didasarkan pada peningkatan kemampuan/ kompetensi pengurus dan pelaku organisasi. Harus ada program peningkatan kompetensi mereka.

      Salam

      Yohanes Dwi Harsanto Pr

  3. Dear Romo wanta,

    Setelah 19 tahun kerja, saya berniat untuk memulai pekerjaan pelayanan. ketertarikan saya pada bidang pendidikan, saya minta informasi romo dimana dan bagaimana saya bisa menemukan komunitas pelayanan pendidikan dari gereja katolik.
    Terima kasih, Tuhan memberkati

    • Anastasia Lilyana Yth

      Sejauh yang saya tahu tidak ada komunitas khusus pelayanan pendidikan yang dilakukan oleh kaum awam misalnya menjadi guru tanpa gaji, sukarela. Saya sudah menanyakan ke Komisi Pendidikan KWI bisa anda kirimkan pertanyaan lanjut jika belum puas dengan jawaban saya ini. email: komdik@kawali.org kepada Br Heribertus Sumarjo FIC, komdik memiliki majalah educare bisa anda baca atau mencarinya di Paroki terdekat. Saran saya anda bisa menjadi guru di Sekolah yang membutuhkan dan itu masih banyak sekolah swasta yang memerlukannya.

      salam
      Rm Wanta

  4. Salam buat Romo Wanta Pr,

    Terimaksih atas penjelasan Romo yang begitu jelas bagiku. Kalau memang itu bagian dari tugas mereka, saya sangat salut, dan berterima kasih kepada para Imam yang dengan pedulii dapat memenuhi kebuthan baik material maupun spiritual.

    Semoga Tuhan ktia Yesus kristus memberkati web ini.

    Aquilino Amaral

  5. halo, team katolistas.com / pak stef dan bu Ingrid,

    salam buat anda semua,

    membahas tentang pelayanan sosial gereja yang telah dipaparkan diatas, maka saya hanya ingin bertanya tentang para pastor yang bekerja di paroki atau Pastor paroki yang dari berbagai ordo. Namun yang saya tekankan disini adalah pelayanan pastor dari ordo Projo, yang mana mayoritas gereja katolik di Timor-Leste berasal dari pastro Projo yang sebagai pastor paroki. dari pengalaman saya yang saya amati selama ini, para pastor paroki mempunyai hubungan dekat sekali dengan komunitas dan disitu mereka membentuk kelompok masayarakat untuk bekerja membantu gereja setempat. masayarakat setempat disuruh untuk membuat sawah atau kebun dan hasil dari itu kurang jelas. Menjadi pertanyaan saya: apakah misi dari ordo projo harus memang begitu? apakah hasil itu akan dibagikan kepada gereja a tau masayarakat setempat?

    saya tidak mengritik para pastor dari ordo projo, tetapi saya ingin tahu aja.
    makasih

    • Aquilino Amaral Yth

      Saya mengenal beberapa pastor dari Dili Timtim khususnya mereka yang belajar di Ritapiret Flores dan Malang. Misi dan tugas pastoral Imam praja terlekat dan terikat oleh keuskupan di mana dia berinkardinasi. Maka seluruh hidup dan karya imam praja dibaktikan kepada umat beriman di keuskupannya. Kecuali ada permintaan waligereja untuk pelayanan yang lain di luar Keuskupan. Sebagai imam praja spiritualittas dan karyanya tercermin pada sikap hidup yang dihayati bersama dan di tengah umat. Maka spiritualitas imam praja adalah hidup dalam suka dan duka bersama umat yang dipercayakan kepadanya. Penggarapan sawah dan usah pemberdayaan masyarakat di mana imam itu berkarya adalah bagian karya pastoralnya. Tidaklah heran jika ada imam praja yang juga menjadi ketua kelompok tani di desa, dll. Inilah kekhasan imam praja atau diosesan. Perihal laporan pertanggungjawaban penggarapan lahan dan lainnya di tengah masyarakat, saya kira anda bisa bertanya atau usulkan agar karya yang melibatkan banyak orang lebih transparan sehingga semua umat dapat melihat kemajuan atau kemunduran usaha bersama di dalam paroki. Hasil usaha itu harus diperuntukkan bagi Gereja Paroki atau Keuskupan dan bagi umat yang dilayaninya. Misi dan karya pelayanan imam praja tidak harus begini, ada yang di kategorial, sekolah, kantor dll. Intinya spiritualitas hidup imam praja adalah panggilan hidup dalam suka dan duka bersama umat Gereja Lokal dimana keuskupannya itu berkarya.
      Semoga dapat dimgerti.
      Salam
      Rm Wanta

  6. Thanks untuk forum ini, pelayanan sosial Katolik yang saya lihat dimana saya tinggal tak beda dengan birokrasi pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat. apa yang saya alami adalah banyak keganjilan-keganjilan yang secara mendasar sangat jauh dari ajaran kasih/ “CHARITY” yang hakiki.
    KAtakanlah sebuah lembaga pendidikan, rumah retret terkadang mengedepankan sisi profit oriented, memang sih adanya lembaga-lembaga ini sebagai unit usaha untuk mendanai operasional ordo/kongreg yang butuh dana, tapi apakah unsur Kasih harus lekang oleh hal yang logis?

    1. Satu kasus yang pernah saya alami, disaat ketua yayasan pendidikan keuskupan lebih mengutamakan besaran nilai UPP dan SPP daripada visi misi yayasan yang mengedepankan pelayanan pendidikan bagi semua kalangan masyarakat. Apa usaha yang bisa dilakukan disaat para clerus juga terlibat di dalam konpirasi itu?

    2. Di saat kondisi sebuah sistem sudah rusak, bukankah ada baiknya kita muncul sebagai pembaharu yang lepas dari tendensi pribadi untuk memperbaiki sistem tersebut. Tapi disaat sebuah otoritas hirarki sangat melekat, apakah kita hanya bisa diam dan berdosa karena ada di dalam sebuah sistem yang salah?

    Semoga tim katolisitas dengan literatur yang tepat dan kebijaksanaan hati dapat memberikan saran untuk perkembangan iman dan pelayanan sosial keuskupan dimana saya tinggal. Ad maiorem Dei gloriam

    • Putra yth

      Mohon maaf persoalan yang anda tanyakan tidak jelas, karena lembaga sosial itu apa namanya, di mana, kasusnya apa? Maka saya mencoba menjawab begini: Anda juga terpanggil untuk ikut ambil bagian dalam karya kasih Tuhan lewat bidang apa saja, misalnya pendidikan. Jika di ruang di mana anda bekerja tampak pelayanan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Katolik atau visi dan misi lembaga tersebut anda berhak untuk berbicara meskipun anda berada di dalam lembaga tsb. Jika ada imam yang terlibat kalau itu lembaga Katolik saya kira wajar, tapi kalau ikut dalam melakukan kesalahan dan bertentangan dengan ajaran iman Katolik perlu anda ikut memberikan nasehat, peringatan agar pelayanan sesuai dengan visi misi dan nilai-nilai kekatolikan itu sendiri. Bila ada kasus sehingga sistem dalam lembaga itu rusak anda wajib ikut memperbaikinya. Tidak tinggal diam, tapi proaktif melakukan perbaikan. Sudah saatnya awam ikut terlibat jika itu merupakan tanggungjawab anda dan kita semua. Sebaiknya pertanyaan menyangkut doktrin ajaran Gereja Katolik, kalau kasus dengan konteksnya sangat luas dan cenderung ke persoalan pribadi. Katolisitas tidak menjawab persoalan pribadi yang terjadi di dalam paroki atau tempat kerja.

      salam
      Rm Wanta

  7. Kalau untuk pelayanan sosial…gereja katolik sangat patut diacungi jempol..pokoke…tak tertandingi.
    Banyak sekolah, rumahsakit, panti asuhan yang semuanya itu sungguh dilakukan oleh gereja katolik untuk mewujudkan kasih Kristus mnajadi nyata dalam kehidupan sehari-hari. Mother Teresa….sepertinya tidak ada orang yang sanggup melakukan banyak hal spt dia…kerendahan hatinya, ketulusan hatinya…seorang Pauspun saya rasa tidak dapat melakukan spt dia.

  8. Bagaimana tanggapan Gereja mengenai gaya hidup masyarakat Indonesia kaum muda khususnya yang semakin berpola hidup konsumtif? Terbukti dengan semakin banyaknya mall-mall yang didirikan di banyak kota di Indonesia

    Terima kasih, GBu

    • Shalom Leonard,

      Ya, memang kehidupan konsumtif dan materialistik tidak menunjang kehidupan rohani. Masyarakat yang konsumtif cenderung menempatkan kepuasan yang sementara daripada yang bersifat kekal, menomorsatukan kesenangan berbelanja daripada merenungkan tentang Tuhan dan melaksanakan pekerjaan-pekerjaan demi kemuliaan Tuhan. Jika kebiasaan konsumtif dan materialistik ini menjadi suatu bentuk keterikatan/ kecanduan, maka ini sebetulnya adalah bentuk yang lain dari penyembahan berhala, karena menempatkan barang-barang sebagai allah yang lain di hadapan Allah.

      Allah sendiri mengatakan agar kita lebih senang mengumpulkan harta sorgawi, di mana ngengat dan karat tidak merusakkannya (lih. Mat 6:19-20, Luk 12:33; Yak 5:1-6)

      Saya ingin mengacu kepada pengajaran Paus Yohanes Paulus II mengenai Konsumerisme dan Materialisme:

      1. “…. keterasingan – dan hilangnya arti hidup yang otentik- adalah sebuah kenyataan di dalam … konsumerisme, ketika orang-orang terjerat di dalam sebuah jaringan kepuasan yang salah dan superfisial/ dangkal daripada menjadi terbantu untuk mengalami kemanusiaan mereka di dalam cara yang otentik dan konkret.” (Centesimus Annus 41)

      2. “Hanya Kristus sendiri yang dapat emmbebaskan manusia dari apa yang memperbudak mereka terhadap kejahatan dan ke-egoisan: dari kegila-gilaan pencarian harta milik material, dari kehausan terhadap kekuasaan dan kontrol di atas orang lain dan benda-benda, dari ilusi kesuksesan yang diperoleh dengan mudah, dari hiruk pikuk konsumerisme dan hedonisme yang akhirnya menghancurkan manusia.” (Homily, 1 Maret 1, 1998)

      3. “Saya mengundang para generasi muda, untuk semakin menjadi para pria dan wanita yang mempunyai kerohanian yang kuat, tak berhenti untuk berkontemplasi, bersama dengan Bunda Maria, Kristus dan misteri-misteri kehidupan-Nya. Memang, ini adalah obat penawar yang paling efektif terhadap jerat konsumerisme yang kepadanya orang -orang kini terekspos. Adalah sangat penting untuk menangkal saran nilai-nilai yang mengambang di dunia yang disebarkan oleh media tertentu, dengan nilai-nilai rohani yang abadi, yang hanya dapat dicapai dengan memasuki sekali lagi ke dalam hati diri sendiri melalui kontemplasi dan doa.” (General audience, May 7, 2003)

      Agaknya diperlukan kebijaksanaan untuk membeli barang-barang yang ditawarkan dengan begitu hebohnya di sekitar kita. Semoga kita diberi kemampuan untuk dapat menahan diri, membeli sebatas yang kita perlukan. Dan jika ada dana yang tersisa agar dapat disalurkan kepada sesuatu yang membangun Kerajaan Allah.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

Comments are closed.