Pertama-tama perlu diketahui, bahwa istilahnya “membatalkan” tetapi maksudnya adalah “menyatakan bahwa suatu perkawinan tidak sah untuk disebut sebagai perkawinan”. Secara umum Gereja Katolik selalu memandang perkawinan sebagai perkawinan yang sah, kecuali dapat dibuktikan kebalikannya. Menurut Gereja Katolik, ada tiga hal yang “membatalkan” perkawinan: I) halangan menikah; II) cacat konsensus; dan III) cacat forma kanonika. Jika ada satu atau lebih halangan/ cacat ini, yang terjadi sebelum perkawinan atau pada saat perkawinan diteguhkan, maka sebenarnya perkawinan tersebut sudah tidak memenuhi syarat untuk dapat disebut sebagai perkawinan yang sah sejak awal mula, sehingga jika yang bersangkutan memohon kepada pihak Tribunal Keuskupan, maka setelah melakukan penyelidikan seksama, atas dasar kesaksian para saksi dan bukti- bukti yang diajukan, pihak Tribunal dapat mengabulkan permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan oleh pasangan tersebut. Sebaliknya, jika perkawinan tersebut sudah sah, maka perkawinan itu tidak dapat dibatalkan ataupun diceraikan, sebab demikianlah yang diajarkan oleh Sabda Tuhan (lih. Mat 19:5-6).
Berikut ini adalah penjabaran ketiga hal yang membatalkan perkawinan menurut hukum kanonik Gereja Katolik:
I. Macam- macam halangan menikah adalah (lih. Kitab Hukum Kanonik kann. 1083-1094): 1) kurangnya umur, 2) impotensi, 3) adanya ikatan perkawinan terdahulu, 4) disparitas cultus/ beda agama tanpa dispensasi, 5) tahbisan suci, 6) kaul kemurnian dalam tarekat religius, 7) penculikan dan penahanan, 8) kejahatan pembunuhan, 9) hubungan persaudaraan konsanguinitas, 10) hubungan semenda, 11) halangan kelayakan publik seperti konkubinat, 12) ada hubungan adopsi.
Selanjutnya tentang penjelasan tentang macam- macam halangan menikah, silakan klik di sini.
II. Cacat konsensus adalah (lih. Kitab Hukum Kanonik kann. kann 1095-1107): 1) Kekurangan kemampuan menggunakan akal sehat, 2) Cacat yang parah dalam hal pertimbangan (grave defect of discretion of judgement), 3) Ketidakmampuan mengambil kewajiban esensial perkawinan, 4) Ketidaktahuan (ignorance) akan hakekat perkawinan, 5) Salah orang, 6) Salah dalam hal kualitas pasangan, yang menjadi syarat utama, 7) Penipuan/ dolus, 8) Simulasi total/ hanya sandiwara untuk keperluan tertentu seperti untuk mendapat ijin tinggal/ kewarganegaraan tertentu, 9) Simulasi sebagian, seperti: Contra bonum polis: dengan maksud dari awal untuk tidak mau mempunyai keturunan; Contra bonum fidei: tidak bersedia setia/ mempertahankan hubungan perkawinan yang eksklusif hanya untuk pasangan; Contra bonum sacramenti: tidak menghendaki hubungan yang permanen/ selamanya; Contra bonum coniugum: tidak menginginkan kebaikan pasangan, contoh menikahi agar pasangan dijadikan pelacur, dst, 10) Menikah dengan syarat kondisi tertentu, 11) Menikah karena paksaan, 12) Menikah karena ketakutan yang sangat akan ancaman tertentu.
III. Cacat forma kanonika adalah (lih. Kann 1108-1123): Pada dasarnya pernikahan diadakan berdasarkan cara kanonik Katolik, di depan otoritas Gereja Katolik dan dua orang saksi. Maka Pernikahan antara dua pihak yang dibaptis, yaitu satu pihak Katolik dan yang lain Kristen non- Katolik, memerlukan izin dari pihak Ordinaris Gereja Katolik (pihak keuskupan di mana perkawinan akan diteguhkan). Sedangkan pernikahan antara pihak yang dibaptis Katolik dengan pihak yang tidak dibaptis (non Katolik dan non- Kristen) memerlukan dispensasi dari pihak Ordinaris.
Lebih lanjut tentang topik Kasus-kasus Pembatalan Perkawinan Kanonik, silakan klik di sini.
Jika terdapat satu hal atau lebih dari hal-hal yang membatalkan perkawinan ini, maka salah satu pihak pasangan tersebut dapat mengajukan surat permohonan pembatalan perkawinan kepada pihak Tribunal Keuskupan. Pihak Tribunal Keuskupan akan memeriksa kasus tersebut, dan jika ditemukan bukti-bukti yang kuat dan para saksi, maka Tribunal dapat meluluskan permohonan tersebut. Baru jika sudah dikeluarkan surat persetujuan Tribunal, maka perkawinan tersebut dapat dinyatakan resmi tidak sah, dan dengan demikian kedua belah pihak berstatus bebas/ tidak lagi terikat perkawinan tersebut.
Dear Rm Wanta,
Saya mohon bantuan Romo mengenai masalah pernikahan Katholik. Saya mempunyai seorang kekasih berkewarganegaraan asing dan menetap di Swiss. Ia telah menikah secara Katholik namun berpisah karena istrinya meninggalkannya sudah selama 7 tahun bersama anaknya untuk menetap di negara lain. Perkawinanya sudah tidak dapat dilanjutkan karena dari kedua belah pihak tidak ingin bersatu kembali. Apakah Ia dapat menikah kembali secara Katholik? Karena kami berdua sama2 beragama Katholik, dan saya tetap ingin menikah sesuai dengan peraturan Gereja Katholik. Informasi dan arahan Romo sangat berguna untuk menentukan arah hubungan ini ke depannya. Terima Kasih Romo.
Audrey yth
Perkawinan di dalam Gereja Katolik didasarkan pada status bebas tanpa ikatan dengan siapapun. Oleh karena itu, jika ada pihak Katolik yang akan menikah namun masih ada ikatan perkawinan sebelumnya akan menjadi halangan meskipun bukan kesalahan dia (ditinggalkan pasangannya). Maka arahan yang benar adalah memohon anulasi perkawinan jika benar bahwa ada cacat konsensus dalam perkawinan itu. Prosesnya dimulai dari menulis surat permohonan kepada Tribunal Keuskupan di mana perkawinan itu diteguhkan dan membeberkan histori perkawinan sampai menemukan akar masalah/pokok sengketa dan dibuktikan dalam proses persidangan perkara. Lebih jauh perkawinan baru (kedua) sesudah anulasi perkawinan tidak boleh gagal, pilihan anda dengan pasangan WNA harus diteliti apakah benar sungguh dan dapat memelihara janji perkawinan sehingga tidak gagal lagi. Gereja sangat berharap dan harus bisa memilih pasangan hidup yang baik dan setia dalam perjanjian, memelihara Sakramen Perkawinan.
salam
Rm Wanta
Salam damai dalam Kristus Tuhan.
Setelah saya membaca suatu articel di facebook, (nama orang saya tidak publikasikan karena untuk menjaga privacy). bercerai karena istrinya tidak ingin mempunyai anak lagi karena terlalu sibuk dengan karrirnya.
Sehingga seorang pejabat memutuskan untuk bercerai dan suami dengan upacara adat menikahi seorang wanita lain. Namun, Istrinya tidak memarahi seorang wanita yang dinikahinya melainkan marah sekali kepada seseorang yang telah dengan sadar mencari wanita lain untuk sang suami dengan imbalan yang cukup lumayan besar. Pertanyaan saya adalah, “apakah orang mencari wanita lain untuk menjadi istri pada suaminya turut berdosa atas perzinahan yang dilakukan oleh sang suami? mohon penjelasan dari tim Katolisitas. semoga bermanfaat.
Shalom Aquillino Amaral,
Semua orang, yang turut serta baik secara langsung maupun tidak langsung dalam perbuatan dosa, sebenarnya telah berbuat dosa dalam kadarnya masing-masing. Dengan demikian, sang suami yang secara sadar berzinah telah berbuat dosa yang besar; yang mencarikan wanita lain padahal tahu bahwa pria tersebut telah bersuami, juga berdosa. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Dear Katolisitas,
Saya mau tanya mengenai pembatalan perkawinan. Saya sudah menikah 3 thn,istri saya mengidap penyakit bipolar jauh sebelum kita menikah. Sebelum menikah saya hanya mencari tahu lewat internet dan informasi dari keluarga istri. Setahun yg lalu istri kambuh. Apa yg saya lihat pd saat kambuh membuat saya sangat terpukul. Akan sangat berbeda jika kita hanya tahu lewat internet dengan jika kita melihat langsung.
Pertanyaan saya:
1. Apakah penyakit bipolar bisa tergolong cacat konsunsus. Jika demikian apakah bisa mengajukan pembatalan perkawinan?
2. Jika bisa mengajukan pembatalan perkawinan,dan dalam proses tsb,apakah tribunal perlu persetujuan istri dalam hal mengabulkan pembatalan perkawinan tsb?
Terima kasih
Handes Yth,
Membaca pertanyaan anda saya langsung menangkap maksud anda. Dalam keadaan sakit pasangan suami istri tidak etis dan tidak diperkenankan secara moral seorang mengajukan pembatalan. Mengapa? Karena janji perkawinan telah diucapkan bahwa semua pihak akan mencintai pasangannya dalam keadaan sakit maupun sehat, suka dan duka.
Jika benar penyakit bipolar ada di pihak yang berperkara sebelum perjanjian nikah di Gereja, dan bisa dibuktikan bahwa penyakit itu dapat mempengaruhi konsensus orang tersebut, sebagaimana didukung oleh keterangan dokter dan saksi, maka perkawinan memang dapat dinyatakan tidak sah. Walaupun demikian, dalam kasus Anda, kurang etis dan tidak manusiawi kalau dalam keadaan istri Anda sakit demikian, lalu Anda meminta pembatalan perkawinan ke pihak tribunal keuskupan. Oleh karena itu, saya tidak setuju jika anda mengajukan pembatalan perkawinan karena pasangan anda sedang sakit. Anda harus tetap mencintai pasangan Anda, meskipun ia sakit sekarang ini. Justru dalam keadaan sakit, seseorang membutuhkan kehadiran pasangannya. Itulah cinta tak bersyarat.
Salam,
Rm Wanta
Tambahan dari Ingrid:
Shalom Handes,
Sebenarnya pada prinsipnya, tribunal keuskupan dapat meluluskan permohonan anulasi perkawinan (perkawinan dinyatakan tidak sah), kalau diperoleh bukti dan saksi yang menguatkan bahwa perkawinan itu tidak memenuhi syarat untuk disebut perkawinan yang sah. Silakan Anda membaca di artikel di atas, silakan klik, tentang apa saja yang membuat perkawinan tidak sah menurut hukum Gereja Katolik. Singkatnya, keadaan-keadaan yang tertulis di sana adalah keadaan di mana minimal salah satu pihak memasuki perkawinan dalam keadaan tertipu ataupun dipaksa menikah; di mana halangan ataupun cacat menikah itu sudah ada sebelum atau pada saat perjanjian nikah dilangsungkan.
Nah, dalam kasus Anda, Anda nampaknya sudah tahu sebelum menikah, bahwa istri Anda memiliki penyakit bipolar. Sejauh mana Anda tahu, atau seberapa parah penyakit bipolar yang diderita istri Anda itu, itulah yang perlu dibuktikan lebih lanjut. Saya bukan ahli psikolog ataupun psikiater, maka apa yang saya ketahui tentang penyakit bipolar itu hanya sebatas apa yang dapat dibaca di internet. Nampaknya penyakit itu ada tingkatannya, dan juga sepertinya ada treatment/ penanganannya. Maka pertanyaannya kembali kepada Anda dan istri: sudahkah Anda mencoba untuk mengobati penyakit istri Anda ini? Sebab, menurut ketentuan, jika Anda tidak tahu menahu tentang penyakit bipolar pada istri Anda, dan tahu-tahu istri kambuh setelah menikah, dan penyakit istri Anda ini dapat dibuktikan (ada keterangan dokter bahwa penyakitnya ini berpengaruh kepada kemampuan untuk membuat keputusan, dan ada saksi yang dapat meneguhkan fakta ini), maka memang Anda memiliki dasar untuk memohonkan anulasi perkawinan. Namun pada kasus Anda, sebelum menikah, Anda telah mengetahui bahwa istri Anda telah mempunyai penyakit bipolar, namun Anda tetap menikahinya, dan baru kemudian Anda merasa berat. Nah, maka kasus ini tidak sejelas kasus yang pertama. Namun apapun keadaan Anda, saya setuju dengan arahan Rm. Wanta, yaitu saat ini, dalam keadaan istri sedang sakit, nampaknya yang paling tepat adalah Anda mengantarnya berobat. Biar bagaimanapun, ia adalah istri Anda, yang kepadanya Anda telah berjanji di hadapan Tuhan untuk setia dalam untung dan malang dan dalam waktu sehat dan sakit. Lagipula, menurut informasi tentang bipolar, sepertinya penyakit itu dapat ditangani, dan keadaan lingkungan sekitar cukup berpengaruh bagi perkembangan para penderita penyakit ini. Maka, silakan diusahakan pengobatan ini terlebih dahulu, dan mengusahakan lingkungan yang kondusif untuk perbaikan keadaan psikologis istri Anda. Bawalah terus pergumulan Anda ini di dalam doa-doa Anda, semoga Roh Kudus membimbing Anda untuk menyikapi keadaan yang sekarang Anda hadapi. Kami di katolisitas akan turut mendoakan Anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear Pak Handes,
Mungkin kasus saya berbeda dengan bapak. Semoga share saya bisa membangkitkan semangat bapak untuk bisa menghadapi masalah bapak. Saya seorang bapak single parent dari 2 orang putra,awal Agustus 2013 lalu istri saya yang saya cintai divonis leukiemia akut,dokter mengatakan kepada saya umurnya tidak lebih dari 2 minggu, betapa menangisnya hati saya dan keluarga besar saya mendengarnya, namun di depan istri saya, saya tidak pernah menangis dan saya selalu memotivasi dia dan diri saya pribadi bahwa dia sembuh. Singkat cerita setelah dirawat 2 minggu di RS dia pulang, saya merawatnya di rmh dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang saya curahkan ke dia,terus terang hati saya menangis melihatnya tapi saya harus kuat menghadapinya,hingga tepat pada hari minggu tgl 25 Agustus tepat pkl 12 setelah dia muntah hebat dan tidak mampu berdiri dia berkata kepada saya “kamu sudah ikhlas aku tinggalkan?”jawab saya “kalau memang kehendak Tuhan saya ikhlas”akhirnya tepat pkl 14.00 hari dia meninggal di pangkuan saya. Terus terang saya sangat mencintai istri saya, susah, senang, sakit, sampai wafatpun saya di sisinya. Semoga bapak pun demikian, karena saya dan istri saya sangat menghormati janji setia pernikahan kita di depan altar gereja.
Semoga bapak dan keluarga di berkati Tuhan dan diberikan mujizat kesembuhan bagi istri bapak,syallom
Salam Damai KRISTUS
Robertus
Paroki St Servatius Kamp.Sawah
Terima kasih Pak Robertus atas dukungannya, semoga istri Bapak diampuni segala dosanya dan diterima di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa. Amin.
Shalom,
Terima kasih Rm Wanta, Ibu Ingrid, atas dukungan, saran, dan penjelasannya. Semoga Katolisitas semakin maju, Tuhan berkati selalu…Amin.
salam damai…
mohon penjelasan ..sehubungan dengan perceraian sipil yang dapat dikabulkan oleh negara (kekuasaan kehakiman) terhadap lembaga perkawinan Katholik yang hukumnya “tidak terceraikan kecuali anulasi” dan tanpa mendapatkan pertimbangan tribunal keuskupan …fenomena ini sudah menjadi keprihatinan kita bersama dalam karya pastoral keluarga khususnya pada daerah mayoritas katholik seperti kami di flores-ntt….apakah lembaga gereja (KWI) sebaiknya melakukan kerja sama dengan lembaga negara. .. DAN bagaimana seharusnya awam katholik di daerah kami bersikap….
Berthin Yth
Sangat setuju dengan usul anda, mestinya KWI bekerjasama dalam hal ini, namun dalam praktek para hakim di pengadilan sipil sudah mengetahui bahwa perkawinan antara orang-orang yang beragama Kristen Katolik tidak bisa diceraikan. Bahkan ada hakim yang meminta surat dari Gereja untuk proses di pengadilan. Itu berarti mereka sudah memahami ajaran Gereja dan menghormati ikatan perkawinan rohani di dalam Gereja Katolik.
salam
Rm Wanta
Saya ingin bertanya dan mohon solusi saya harus bagaimana….
Saya seorang ibu dengan 1 anak yang sdh berusia 16th, saya dan suami berpisah yang ke 2xnya sdh 11th ini….. saya menikah thn 1996, dan setelah anak saya lahir th 1997,suami mulai berulah dan meninggalkan saya sewaktu anak saya berusia 11 bulan hingga anak saya berumur 5th baru dia datang dan menjemput saya untuk tinggal bersama di pulau jawa…setelah saya ikuti 2 minggu kemudian saya baru tahu bahwa dia menjemput kami karena di paksa oleh orang tuanya,karna di ancam akan di hapuskan dari daftar waris kalau dia jadi menikahi wanita pilihannya ( org katholik jg )kecuali dia kembali pada kami dan membawa kami pulang ke pulau jawa… Karna saya tahu hukum perkawinan katholik seperti apa jadi saya bertahan hingga 2,5th lamanya bersama suami di kota SM, selama itu banyak duka yg saya alami selain secara fisik juga mental….dan pada akhirnya saya di usir oleh suami dan kami berpisah kembali hingga sekarang (11th) dan anak saya besarkan seorang diri di bantu oleh ortu saya…..
Yang saya ingin tanyakan adalah saat ini ada seorang laki2 yang ingin menikahi saya dan dia seorang yang beragama khatolik, apakah ada kemungkinan saya bisa meminta dispensasi kepada gereja unk menikah kembali???
Karna untuk kembali dengan suami lagi saya tidak bisa bukan karna benci tapi selain dia ternyata tdk pernah mencintai saya dan saya sdh tdk mencintai dia lagi….. Juga saya pernah mendapat kabar dia pernah mencoba tinggal dengan wanita lain sebanyak 3x (nikah sirih)….
Mohon solusinya untuk problema saya ini…Trimkasih
Shalom Elisabeth,
Sambil menunggu jawaban dari Rm Wanta, izinkanlah saya menanggapi pertanyaan Anda.
Sejujurnya saya prihatin dengan keadaan Anda. Memang adalah suatu perjuangan yang tidak mudah bagi Anda, yang harus membesarkan anak Anda tanpa bantuan suami Anda. Anda benar bahwa hukum perkawinan Katolik tidaklah mengizinkan perceraian kepada pasangan yang sudah menikah secara sah. Nah, maka itu, silakan Anda teliti kembali, apakah memang Anda telah menikah secara sah di hadapan Tuhan dan Gereja? Sebab jika sudah sah, maka tidak dapat diceraikan ataupun dibatalkan, sebab ini adalah perintah Tuhan sendiri (lih. Mat 19:6). Pembatalan perkawinan atau istilahnya anulasi, itu hanya berlaku jika dapat dibuktikan bahwa perkawinan sudah tidak sah sejak awal mula. Tentang hal ini nampaknya hanya Anda yang mengetahui secara persis, apakah ada bukti dan saksi bahwa terdapat halangan perkawinan ataupun cacat konsensus dalam perkawinan Anda? Anda mengatakan bahwa suami Anda tidak pernah mencintai Anda dan Andapun tidak mencintai suami Anda, namun pertanyaannya mengapa Anda berdua memutuskan untuk menikah tahun 1996 yang lalu? Apakah ada paksaan yang kuat di luar Anda berdua? Jika ya, apakah ada bukti dan saksi? Sehubungan dengan kabar bahwa suami Anda menikah siri sebanyak 3 kali: Apakah dapat dibuktikan bahwa suami Anda telah mempunyai kebiasaan tersebut sebelum menikah dengan Anda? Adakah saksi/ buktinya? Jika setelah Anda periksa, memang ada cacat/ halangan menikah ini, maka, silakan Anda menuliskan surat permohonan pembatalan perkawinan kepada pihak Tribunal keuskupan, tempat perkawinan diteguhkan atau tempat Anda sekarang berdomisili. Mohonlah bantuan kepada pastor paroki Anda.
Namun, jika setelah Anda periksa, tidak ada alasan yang menyatakan bahwa perkawinan Anda tidak sah sejak awal mula, maka sejujurnya perkawinan Anda dengan suami Anda itulah yang sah di hadapan Tuhan. Jika Anda sudah menerima sakramen perkawinan, sesungguhnya Anda telah menerima rahmat yang cukup untuk dapat berjuang mempertahankan kesetiaan Anda terhadap janji perkawinan Anda. Lagipula menikah lagi juga belum tentu merupakan solusi yang terbaik, terutama buat keadaan psikologis anak Anda. Sebab sejumlah studi menunjukkan bahwa anak yang berasal dari perkawinan yang retak dan orang tuanya bercerai dan menikah lagi, akan mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mengikuti jejak orang tuanya (bercerai dan menikah lagi) di kemudian hari.
Jika Anda ditinggal suami dan tidak menikah lagi, Anda tetap berada dalam kesatuan dengan Gereja, dan Anda tetap dapat menerima Komuni kudus. Namun jika Anda memutuskan untuk menikah lagi di luar Gereja Katolik, itu artinya Anda memutuskan sendiri kesatuan Anda dengan Gereja, dengan tidak mau hidup seturut ajaran Kristus dalam hal perkawinan yang sangat sakral menurut ajaran iman Kristiani. Selanjutnya tentang hal ini, silakan klik di sini. Ada banyak surat masuk ke Katolisitas, yang mengisahkan penyesalan karena telah berkeras menikah di luar Gereja Katolik. Sungguh keputusan untuk menikah, apalagi menikah lagi, adalah suatu keputusan yang tidak sederhana, dan jika diputuskan tergesa-gesa, umumnya akan menyisakan penyesalan yang panjang seumur hidup. Mohonlah hikmat dari Tuhan, sehingga Anda dapat mengetahui apa yang menjadi kehendak-Nya bagi Anda dalam keadaan yang sulit ini.
Akhirnya, silakan membawa pergumulan Anda ini di dalam doa-doa Anda sehari-hari. Temuilah pastor paroki Anda, mohonlah bimbingan rohani darinya. Terimalah sakramen tobat secara teratur, jika mungkin ikutilah perayaan Ekaristi setiap hari, berdoalah novena, dan tekunlah merenungkan firman Tuhan. Semoga Tuhan menyatakan kehendak-Nya kepada Anda dan memberikan kekuatan kepada Anda untuk melaksanakannya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam Katolisitas
Saya mau bertanya mengenai “bagaimana pandangan gereja Katolik terhadap perkawinan beda RAS?”
Sbab tak dapat di pungkiri masih banyak kasus dimana sepasang kekaasih yang sm” Katolik namun krn perbedaan RAS mereka harus berpisah krn orang tua yg menentang,bagaimana cr menjelaskan nya kepada para orang tua yang masih kolot ini,di satu sisi memang taat dan restu orang tua penting,namun di satu sisi koq seperti nya tidak sesuai dengan ajaran agama yang ga boleh membeda-bedakan,mohon bimbingan dan penjelasan dari para pembimbing katolisitas,
Trima Kasi
Berkah Dalem
[Dari Katolisitas: Dari segi ajaran iman Katolik, tidak ada larangan untuk menikah bagi pasangan yang berbeda bangsa/ suku bangsa/ ras. Jika Anda menemukan masalah dengan orang tua, silakan membicarakan hal ini baik-baik atas dasar kasih. Silakan mendengarkan kekuatiran ataupun pertimbangan dari pihak orang tua, agar menjadi masukan buat Anda. Jika Anda-pun telah mempertimbangkan hal-hal tersebut, silakan dikomunikasikan kepada orang tua. Di atas semua itu silakan membawa pergumulan Anda dalam doa-doa Anda setiap hari.]
Salam Katolisitas
Trima kasi banyak bu inggrid atas pendapat dn masukan nya,sy sangat setuju skali dengan masukan ibu,smoga setiap orang yang menghadapi permasalahan seperti ini dpt d beri jalan keluar yang terbaik,Amin
*bu klo boleh tau adakah ayat KS pendukung masukan ibu di atas
Trima Kasi
Berkah Dalem
Shalom Michael,
Pada dasarnya, di dalam Kristus, kita semua ini adalah satu. Rasul Paulus mengatakan, “Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus. Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” (Gal 3:28).
Maka memang penting dalam perkawinan adalah kesatuan iman di dalam Kristus. Sebab harapannya, segala perbedaan yang ada ataupun yang mungkin akan timbul, dapat diselesaikan dengan iman dan kasih yang mempersatukan itu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
,,Syalom,,,
saya mempunyai kekasih,umurnya masih muda,saya sangat sayang pada permpuan itu,bahkan ingin menikahinya,tapi ada satu hal yang membuat saya bimbang dan kecewa,,setelah saya paksa dia bercerita dan mantan mantan kekasihnya bercerita,akhirnya saya tahu bahwa dia sudah sering melakukan hubungan layaknya suami istri dengan beberapa laki laki, jujur saya sangat kecewa mengetahuinya,dan saya bingung harus bagaimana,saya pernah mau putusin hubungan ini,tetapi dia nekat dan hampir bunuh diri,,
saya sangat bingung harus bagaimana,,saya ingin mempertahankan dia,tapi masalalunya sangat menggangu pikiran saya,
saya mohon masukannya romo,,,
Shalom Ryan,
Bagi umat Katolik, perkawinan adalah ikatan yang sakral antara satu orang pria dan satu orang wanita, yang bertahan sampai seumur hidup; karena ikatan itu adalah untuk menggambarkan kasih Allah dengan umat-Nya; ataupun kasih Kristus kepada Gereja-Nya (lih. Ef 5:22-33). Silakan membaca lebih lanjut dalam artikel Indah dan Dalamnya Makna Perkawinan Katolik, silakan klik.
Nah, sekarang kondisinya pada Anda, Anda mempunyai rencana menikah dengan seorang wanita, yang mempunyai masa lalu yang suram karena sebelumnya terlibat dalam pergaulan yang tidak sehat. Memang hal ini secara obyektif berpotensi dapat mengganggu hubungan Anda berdua di kemudian hari, terutama jika dia belum sepenuhnya bertobat, dan masih membina hubungan dengan para kekasihnya yang dulu. Namun dapat terjadi ia memang sudah sungguh bertobat dan mau memulai hidupnya yang baru bersama Anda. Jika ini keadaannya, memang kini tergantung Anda, apakah Anda mau menerima dia apa adanya, dan tidak mengungkit-ungkit masa lalunya, jika kelak Anda berselisih paham dengan dia. Sebab dapat terjadi, sekarang mungkin karena jatuh cinta, Anda pikir hal itu tak menjadi masalah, namun kelak jika ada perselisihan paham, luka lama di batin Anda ini mencuat, dan malah semakin memperkeruh suasana. Maka sebelum membuat keputusan, silakan Anda timbang di dalam batin, apakah calon Anda itu seorang yang benar-benar dapat menjadi pasangan Anda seumur hidup? Kiranya, dapatkah ia mengasihi dan setia pada Anda? Dapatkah Anda mengasihi dia apa adanya, meskipun masa lalunya sangat menyakiti hati Anda? Kiranya dapatkah ia membawa Anda lebih dekat kepada Tuhan? Apakah kiranya ia dapat menjadi ibu yang baik bagi anak-anak yang dapat dipercayakan Tuhan kepada Anda berdua? Dan banyak pertanyaan lain lagi, yang dapat Anda renungkan, sebelum Anda membuat keputusan. Ajaklah keluarganya berbicara, agar mereka dapat membantu menjaganya agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Dalam proses yang tidak mudah ini, mohonlah bimbingan dan pertolongan Tuhan. Tekunlah berdoa dan bawalah ujud permohonan Anda ini dalam doa-doa Anda di hadapan Tuhan. Silakan berdoa novena dan mengikuti perayaan Misa Kudus, jika memungkinkan, setiap hari. Kami di Katolisitas tidak dapat membantu Anda memutuskan tentang hal ini. Anda sendiri yang dapat mengambil keputusan untuk masa depan Anda. Asalkan Anda melibatkan Tuhan dalam pergumulan Anda, dan memohon tuntunan-Nya, Anda akan dapat mengetahui di dalam hati Anda, apakah memang ia adalah jodoh yang Tuhan kehendaki bagi Anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam damai Kristus
Saya wanita 32 tahun dan suami usia 30 tahun. Kami sama2 katolik dan menikah secara katolik di Medan. Dalam pernikahan kami selama 3 tahun kami belum dikaruniai keturunan dan selama menjalani pernikahan (dimulai sejak 3 bln setelah menikah sampai sekarang) kalo penyakitnya kambuh suami sangat sering mengatakan ingin cerai atau menyuruh saya menceraikannya secara sipil, tapi saya masih coba bersabar dan bertahan hidup bersamanya dan saya sadari mungkin krn watak kami yg sama2 keras krn kami sama2 seprofesi sebagai Hakim dan tinggal di daerah yg berbeda. Namun dibalik semua itu, sebelum pernikahan kami ternyata suami mengidap sakit jiwa (Shizoprenia) sejak tahun 2006 suami sdh harus minum obat dr dokter ahli jiwa sampai sekarang selama seumur hidupnya dan apabila suami lupa minum obat atau sering berkhayal sering berhalusinasi (ada bisikan) kata2 kotor dan saya sering melihat suami bertapa ditempat tidur sambil mulutnya komat kamit (seperti org yg kerasukan/menyembah iblis) saya mengetahui hal tersebut setelah adanya pernikahan (krn kami menikah tanpa proses pacaran, baru kenal sdh ingin menikah). Dalam hal ini saya merasa tertipu namun Saya ingin punya keturunan dr pernikahan ini dengan berusaha berobat dari dokter kandungan yg satu ke dokter lainnya dan semuanya menyatakan saya sehat sedangkan suami tidak bersedia untuk diperiksa, sampai pada akhirnya di akhir tahun 2013 saya mengajak suami untuk meraih mimpi punya keturunan dengan cara untuk pergi ke Penang ikut program bayi tabung dan ternyata setelah suami diperiksa, dokter disana menyatakan suami impotensi (azoosperma), krn suami tidak bisa secara alami mengeluarkan sperma dan hrs dilakukan operasi kecil untuk mengeluarkan spermanya langsung dr buah zakarnya. namun dalam menjalani program tsb lebih lanjut suami menghentikan semuanya krn tidak bersedia utk melakukan pemeriksaan lanjutan, dengan alas an yg sangat klise dan sering marah2 dan juga mertua saya sering sekali mencampuri urusan RT kami (ibu mertua sudah angkat bicara memaki saya via sms) dan suami pun sering ucapkan kata cerai, dengan tegas saya menolak jika harus bercerai namun terserah suami bila ingin bercerai secara sipil karena saya tidak ingin meninggalkan Iman Katolik saya. Saya sungguh merasa tertipu dengan kondisi ini.
yang saya ingin tanyakan, Walaupun saya belum bercerai secara sipil. apakah ada kemungkinan bagi saya supaya pengajuan anulasi yang rencananya akan saya ajukan dapat dikabulkan. Saya tidak ingin meninggalkan iman katolik saya dan tidak ingin menikah lagi, saya pikir biarlah saya hidup melajang dengan status sebagai janda namun saya merasa sangat bingung, seperti menjalani hidup tanpa tujuan dan saya hanya ingin hidup tenang dan nyaman.
Bantu saya dalam doa dan mohon pencerahan. Tuhan Memberkati.
Dwi yth
Penyakit seperti yang anda sampaikan schizofrenia adalah berat dalam perkawinan, apalagi jika bisa dibuktikan bahwa penyakit itu sudah ada sebelum menikah. Silakan diajukan dalam proses anulasi perkawinan. Perceraian sipil biasanya menyertai setelah proses anulasi dinyatakan afirmatif.
salam
Rm Wanta
Shaloomm… bagaimana dengan perkawinan yg pada awalnya tidak ada kejujuran kalau salah satu dari pasangan tidak jujur dengan dirinya yaitu yg bersangkutan sdh pernah punya keturunan dengan orang lain sebelum perkawinan saat ini yg sdh berjalan +/_ 17 tahun. yang mana selama hidup perkawinan tsb si wanita sering menyumpahi dan tidak mau mempunyai keturunan dgn suami selama perjalanan hidup perkawinan tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang mengaku klo dy anak dari siwanita tsb dgn usia antara 28 – 29 th dan pd saat ini mrk berdua sedang menjalani sidang perceraian di pengadilan negeri dan bag lembaga tribunal gereja dlm melihat kasus tersebut?
Salam Arif Purwantoro,
Perkawinan dapat dianulir jika ada cacat dalam konsensus dan itu sudah ada sebelum perkawinan. Seorang yang telah menikah dan tidak jujur / menipu dengan intensi yang sungguh disadari saat konsensus dapat menjadi pokok pembatalan perkawinan, asalkan dapat dibuktikan.
salam
Rm Wanta
Selamat siang Romo dan bu Inggrid,
Kami berdua sama-sama katolik, menikah selama 8 tahun dan sudah mempunyai 2 anak. Suami saya ex frater. Sejak tahun 2011, kami tinggal berjauhan, suami di Timor Leste (karena dia buka usaha disana). Dan sejak tahun 2011- sekarang, ternyata dia selingkuh dan sudah kumpul kebo juga. Selama itu pula, dia tidak memberi kami nafkah lahir dan batin. Saya sudah memaafkannya dan berharap dia pulang ke rumah demi anak-anak, saya tidak menginginkan perceraian. Akan tetapi dia lebih memilih perempuan itu dan menyuruh saya jatuh cinta sama orang lain. Dia bilang pernikahan yang ternoda tidak bisa diperbaiki. Dan apabila kami bersatu kembali rasanya sudah tidak sreg lagi.
Saya bingung dengan keadaan ini. Apakah saya bisa mengajukan pembatalan pernikahan? Apakah untuk mengajukan pembatalan pernikahan saya harus cerai secara sipil terlebih dahulu?
Seperti apakah surat labulus (mohon koreksi apabila salah tulis.)? Saya sudah lost kontak dengan suami. Tidak tahu alamatnya dimana? No. telponya sudah tidak bisa dihubungi.
Mohon bantuannya dan sarannya. Terima kasih.
Ajeng yth
Saya ikut prihatin dengan keadaanmu. Memang tidak mudah dan tidak semua permasalahan dibawa ke tribunal untuk anulasi perkawinan. Tidak semua masalah berujung pada perceraian sipil dan pemutusan ikatan melalui anulasi. Oleh karena itu sebaiknya sejak dini mengatasi masalah agar tidak menjadi besar dan kita kesulitan mengatasi masalah. Perkawinan essensinya adalah hidup bersama bukan berpisah tempat. karena itu bisa dimaklumi situasi yang terpisah domisili cenderung ada affair dan rentan keretakan perkawinan. Apakah bisa diminta seorang romo yang tahu duduk masalah anda ini memanggil anda dan pasangan untuk bersama mencari solusi yang tepat. Semoga tidak terlalu lama. Langkah awal pendekatan kekeluargaan dan pastoral agar sekuat tenaga rujuk kembali. Jika tidak bisa apakah ada cacat sebelum perkawinan anda? Karena permohonan anulasi dikabulkan kalau memang ada benih cacat dan cacat sebelum peneguhan perkawinan.
Semoga anda bisa memahami penjelasan saya. Surat libellus bisa anda tanyakan ke romo paroki akan membantu anda.
salam
rm wanta
Dear Romo Wanta,
Terima kasih atas responnya. Saat ini dia sudah balik ke Jakarta, tetapi dia malah tinggal ditempat lain (kost) dengan alasan dia sdh tidak punya rumah dan siapa2. Bingung juga saya, lha kami bertiga di rumah dianggap apa?
Tapi saat ini saya pasrah. Tuhan pasti berikan saya dan anak-anak yang terbaik. Toh ternyata banyak wanita2 Katolik yang mengalami seperti saya, dan ujung-ujungnya tidak bisa menikah lagi karena pertimbangan kami banyak, takut akan dosa zinah, takut nggak bisa terima komuni, yang pastinya takut akan Tuhan.
Shalom Ajeng,
Nampaknya Anda membutuhkan konseling perkawinan. Dari sekilas kisah yang Anda sampaikan, sepertinya akan dapat ditemui titik terang, seandainya ada pihak yang dapat berbicara kepada pihak suami Anda untuk menyadarkan dia bahwa ia masih memiliki istri dan anak-anak yang mengasihinya dan mengharapkannya kembali, sebagai suami dan ayah. Maka alangkah baik jika diusahakan sedapat mungkin kemungkinan ini, yaitu mencari pihak lain yang dapat membantu Anda, apakah itu romo, saudara, kerabat atau sahabat. Tentu juga perlu dibarengi dengan doa-doa bahkan juga dengan doa bersama anak-anak. Di surat Anda yang pertama, Anda katakan sudah lost kontak dengan suami, namun di surat berikutnya, Anda tahu bahwa ia sudah kembali di Jakarta, namun kost, dan Anda tahu alasannya. Maka sepertinya Anda telah mendapat titik terang untuk menghubungi suami Anda?
Akhirnya, memang dalam menghadapi persoalan apapun kita selayaknya berserah kepada Tuhan. Namun jangan dilupakan, bahwa tetap ada bagian yang harus kita lakukan, untuk melaksanakan kehendak Tuhan. Yang kita ketahui adalah Tuhan selalu menghendaki kesatuan dalam keluarga, dan mungkin ada baiknya Anda tanyakan kepada diri sendiri, sejauh mana Anda sudah dengan sungguh-sungguh dan tidak menyerah, mengusahakan hal itu. Demi janji Anda di hadapan Tuhan dan demi anak-anak yang telah Tuhan percayakan kepada Anda berdua.
Teriring doa dari kami di Katolisitas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Syalom,
Saya telah menikah secara katolik dg laki-laki moslem. Saya sudah tidak ingat lagi, apakah pernikahan kami ini mendapatkan dispensasi. Awalnya pernikahan kami baik-baik saja meskipun suami saya masih tetap moslem sampai sekarang. Namun 6th belakangan ini kami sering bertengkar yang awalnya bukan karena masalah agama, tetapi akhrinya mmasalah agama di jadikan bahan pertengkaran kami.dan anak-anak kami pun mulai diajarkan ajaran agama suami saya. Sedangkan semua anak saya sudah di baptis bayi. Saya sudah tidak tahan dengan semua ini. Dan jika saya ingin mengajukan pembatalan pernikahan, apakah akan di setuji oleh pihak gereja?
Terima kasih sebelumnya.
[Dari Katolisitas: Walau Anda tidak ingat, tetapi Anda perlu memeriksa dulu dengan seksama, apakah pernikahan Anda sudah mendapatkan dispensasi, artinya, Anda menikah di Gereja Katolik, dengan dispensasi. Sebab jika sudah, maka memang perkawinan Anda sudah diakui sah oleh Gereja Katolik. Anda dapat memohon pembatalan perkawinan hanya jika Anda mempunyai dasarnya, sebagaimana telah disampaikan di artikel di atas. Nampaknya yang Anda butuhkan adalah konseling perkawinan, silakan Anda menemui pastor paroki Anda terlebih dahulu untuk menanyakan tentang hal ini.]
shalom katolisitas,
saya hanya mau bertanya , saya punya seorang teman dia pernah menikah dengan seorang pria yang adalah seoarang muslim awalnya, kemudian ia setuju untuk pindah agama katolik dan diteguhkan perkawinannya bersama teman saya dalam gereja katolik,,lalu tidak berapa lama kemudian suami teman saya ini meninggalkan teman saya dan tidak lagi perdulikan teman dan anak mereka (hasil dri perkawinan ini),,, kemudian teman saya ini setelah anaknya sudah SD bermaksud kawin lagi dengan seorang protestan yg bersedia pindah katolik… suami teman saya yg kabur itu kemudian diketahui telah kembali ke islam dan kawin lagi di islam dan punya anak..karena tidak bisa menikah di katolik , kemudian akhirnya teman saya ini kawin di protestan mengikuti suami barunya, walaupun ia sebenarnya masih amat cinta dengan katolik…apakah ada cara lagi dia bisa kembali ke katolik setelah menikah di protestan? Terima kasih..Tuhan memberkati
Shalom Melchior,
Memang memprihatinkan kisah teman Anda itu. Namun karena perkawinan yang terdahulu itu telah diteguhkan secara Katolik, maka sesungguhnya di mata Gereja Katolik perkawinan tersebut itulah yang sah, sampai dapat dibuktikan/ dinyatakan kebalikannya. Bahwa kemudian suaminya meninggalkannya dan menikah dengan orang lain, dan menceraikannya secara sipil, tidak serta merta membatalkan ikatan perkawinannya dengan teman Anda.
Kekecualian memang adalah, apabila, dapat dibuktikan bahwa perkawinan tersebut sesungguhnya tidak memenuhi persyaratan sebagai perkawinan Katolik yang sah sejak awal mula. Silakan membaca hal-hal yang menghalangi/ yang menjadikan perkawinan tersebut cacat/ tidak memenuhi ke-absah-an menurut hukum Gereja Katolik. Jika salah satu itu terjadi sebelum/ pada saat perkawinan, maka teman Anda itu berhak untuk mengajukan surat permohonan pembatalan (anulasi) perkawinan ke pihak Tribunal Keuskupan tempat perkawinan tersebut diteguhkan. Diperlukan pula bukti dan saksi, yang dapat disertakan jika kelak pemeriksaan oleh Tribunal dilakukan. Silakan menemui pastor paroki, dan mohonlah pengarahan beliau untuk menuliskan surat permohonan anulasi tersebut.
Fakta bahwa sekarang teman Anda itu telah menikah kembali, meskipun ia tahu sesungguhnya hal itu tidak diperkenankan sebagai seorang Katolik (sebab Gereja Katolik hanya mengakui satu kali perkawinan seumur hidup, jika itu sudah sah dilakukan), maka sejujurnya, teman Anda telah melakukan pelanggaran yang serius di sini. Maka jika ia ingin kembali menjadi Katolik, ia perlu mengakui dosa/ pelanggaran ini dalam sakramen Tobat, terutama jika pelanggaran tersebut dilakukan dengan sengaja, (walau sudah mengetahui itu tidak dapat dilakukan, tetapi tetap dilakukannya juga). Selanjutnya, ia dapat mengikuti perayaan Ekaristi, namun ia tidak dapat menerima Komuni Kudus. Mengapa demikian, silakan membaca di sini, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
ttg penjelasan di atas sy sdh paham. Yg ingin sy tanyakan adl apakah gereja mempunyai peraturan baru ttg pembatalan perkawinan. Krn di paroki sy tinggal, romo kami mengatakan bhw jk ada masalah dlm perkawinan dan suami istri pisah bisa dilakukan pembatalan perkawinan setelah melewati masa 5 th. Apakah itu benar dan sudah sesuai dgn hukum perkawinan gereja? Mohon penjelasannya? Terima kasih.
[Dari Katolisitas: Menurut pengetahuan kami, tidak ada ketentuan semacam itu. Ketentuan tentang hal-hal apa yang menyebabkan perkawinan tidak sah sudah dinyatakan dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, sebagaimana telah diulas di atas.]
saya menikah secara Gereja Katolik th 1998, dengan Pria non Katrholik 9kong hu cu), th 99 saya di karuniai anak perempuan… th 2000 suami pamit cari kerja di luar negri (tdk dijelaskan di negara mana), sampai sekarang +/- sudah 14 th saya dan anak ditinggal suami, tanp[a kejelasan, tanpa kiriman nafkah… Puji Tuhan, putri saya bisa paham kalo papanya MINGGAT (pergi tanpa pesan), Puji Tuhan pula saya juga punya pekerjaan tetap, namun masalahnya… sampai kapan saya sendiri?.. saya pasti juga akan menikahkan anak saya kelak… dan pasti akan banyak pertanyaan dimana suami saya…
apakah saya bisa menunggu menikah jika sudah mendengar SUAMI SAYA WAFAT?… Sedangkan saya TIDAK PERNAH LAGI BERHUBUNGAN DENGAN KELUARGA SUAMI YG DI PALEMBANG… DAN TIDAK ADA KABAR APAPUN DARI SUAMI?… bagaimana saya bisa tau dia sudah MENINGGAL DUNIA agar saya dapat memberikan seorang BAPAK bagi anak saya, dan pelindung bagi saya dan anak saya?… mohon penjelasan… saat ini saya berusia 43 th… terima kasih JBU
Shalom Irene,
Sejujurnya saya prihatin dengan kasus Anda. Tentunya Anda bertanya-tanya di mana keberadaan suami Anda. Mungkin Anda juga menyayangkan mengapa sampai Anda dahulu dapat mengizinkan ia pergi tanpa memberitahukan dengan pasti ke mana ia pergi. Namun hal yang telah berlalu tidak dapat diputar kembali, dan karena itu lebih baik jika Anda memikirkan apa yang dapat Anda lakukan sekarang.
Jika Anda memikirkan janji perkawinan Anda dan masa depan anak Anda tentu jalan yang terbaik adalah agar Anda dan anak Anda dapat berkumpul kembali dengan suami Anda. Oleh karena itu, walaupun sulit, tetap adalah baik, jika Anda mengusahakan untuk bertemu ataupun berhubungan kembali dengan keluarga atau sanak saudara suami (mereka tinggal di Palembang?). Kemungkinan mereka masih menerima kabar dari suami Anda. Agaknya tidaklah bijak, jika Anda mengandaikan suami Anda sudah meninggal dunia, tanpa mencari tahu terlebih dahulu tentang informasi keberadaan suami Anda dari pihak keluarga suami. Maka sebelum membuat langkah apapun sehubungan dengan rencana Anda untuk mencari bapak bagi anak Anda dan pelindung bagi Anda, menurut hemat saya, langkah yang perlu dilakukan adalah menghubungi pihak keluarga/ sanak saudara suami Anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Irene Yth,
Dalam keadaan yang demikian itu untuk memperjelas bahwa suami sudah meninggal maka perlu anda cari saksi yang menyampaikan bahwa dia sudah meninggal. Di bawah surat bermeterai dan sumpah bahwa dua orang saksi yang tahu suami anda telah meninggal dapat menjadi bukti untuk pihak berwenang di dalam Gereja pastor paroki untuk meneguhkan perkawinan anda yang baru dengan pasangan baru yang tentu bebas dari halangan
salam
Rm Wanta
Apakah jika dalam perjalanan pernikahan, kemudian ternyata suami menderita cacat psikis yang dinyatakan dokter tidak dapat disembuhkan sehingga tidak dapat mencari nafkah juga merupakan cacat konsensus yang dapat dimohonkan anulasi perkawinan?
Valentina yth,
jawabannya tidak. Cacat konsensus harus terjadi sebelum perkawinan dan saat pernyataan konsensus dalam diri orang yang berjanji dalam perkawinan itu sudah ada. Jika dalam perjalanan cacat itu muncul, mungkin (perlu dibuktikan) bahwa cacat itu tersembunyi dan tidak diketahui oleh semua pihak dan ada sebelum perkawinan. Kalau sesudah konsensus baru muncul, itulah resiko konsekuensi memilih pasangan dalam perkawinan. Perlu penelitian lanjut apakah cacat psikis itu ada sebelum perkawinan? Ahli kejiwaan dan dokter bisa membantu menjawab persoalan anda.
Salam
Rm Wanta
susah mendapatkan pria yg bisa menghargai komitment perkawinan dalam kristus, tapi terkadang kita hanya bisa menjalani dan mensyukuri dng apa yang Tuhan berikan jalan hidup kepada kita.
[Dari Katolisitas: “Susah” bukan berarti tidak mungkin. Sebab tiada yang mustahil bagi orang-orang yang mengandalkan Tuhan. Doa bersama sebagai pasangan suami istri, penerimaan sakramen, terutama Ekaristi dan Tobat, serta keterlibatan pasangan dalam kegiatan-kegiatan gerejawi akan sangat membantu pasangan suami istri untuk tetap setia dalam komitmen sebagai suami dan istri]
Bilamana suami sebagai kepala keluarga tidak pernah bekerja mencari nafkah mulai dari pertama menikah (meskipun tubuh & pikiran sehat)- sampai berlangsung 4 tahun lebih. Apakah secara iman katolik, istri bisa menceraikannya/ menggugat cerai? (keterangan: Belum ada anak)
Apakah ini dianggap sebagai pembatalan atau perceraian?
Dan apakah ini tergolong dalam CACAT KONSENSUS, nomor 3) Ketidakmampuan mengambil kewajiban esensial perkawinan, ATAU 4) Ketidaktahuan (ignorance) akan hakekat perkawinan, ATAU 6) Salah dalam hal kualitas pasangan, yang menjadi syarat utama, ?
Mohon penjelasannya bisa di email kan. Terima kasih sebelumnya.
Shalom Imelda,
Sambil menunggu jawaban Rm. Wanta, saya menanggapi pertanyaan Anda.
Sesungguhnya situs Katolisitas tidak berkompeten untuk menilai kasus- kasus ini, yang sejujurnya memerlukan deskripsi yang lebih jelas dan rinci, sebelum dapat disimpulkan memang terdapat cacat konsensus dalam perkawinan tersebut. Alangkah baiknya jika pasangan tersebut melibatkan pastor paroki/ pastor yang memberkati perkawinan tersebut, yang sebelumnya sudah mengadakan penyelidikan kanonik dengan kedua pasangan tersebut. Sebab di sini terdapat sesuatu yang perlu dijelaskan, mengapa kalau sehat dan tidak ada kelainan psikologis apapun, tetapi ia sampai tidak mau bekerja? “Tidak pernah bekerja” ini disebabkan apa: apakah memang sudah mencoba tapi gagal terus, ataukah memang, maaf, malas atau manja (berasal dari keluarga yang memanjakan dia) sehingga ia tidak terbiasa mengambil tanggung jawab? Apakah istri selama ini sudah cukup mendukung suami untuk bekerja/ memulai usaha? Sudahkah dilakukan usaha yang semaksimal mungkin untuk mengubah keadaan ini, agar suami dapat bekerja dan mencari nafkah? Ada banyak pertanyaan yang bisa digali sehubungan dengan hal ini, jika memang sesungguhnya sang suami sehat tubuh maupun jiwanya, sehingga tak terhalang untuk mencari pekerjaan, apalagi jika mempunyai latar belakang pendidikan yang cukup memadai.
Harap dipahami bahwa tidak ada istilah cerai dalam perkawinan Katolik. Yang ada memang pembatalan perkawinan, namun hal itu juga hanya jika terdapat bukti-bukti dan para saksi yang mendukung, yang membuktikan bahwa perkawinan tersebut memang sudah tidak sah sejak awal mula, entah karena ada halangan menikah, cacat konsensus, atau cacat forma kanonika. Tentang hal ini harus dilihat, sebab misalnya, ketidakmampuan mengambil kewajiban esensial perkawinan atau ketidaktahuan akan hakekat perkawinan umumnya berkaitan dengan penyakit/ kelainan psikologis ataupun mungkin ketidakmatangan usia pada saat memasuki perkawinan (Jika pasangan sehat walafiat dan tidak ada gangguan apapun maka sepertinya harusnya tidak demikian, sebab pasangan yang memperoleh pendidikan yang cukup seharusnya sudah tahu akan kewajiban perkawinan dan hakekat perkawinan. Apalagi jika kedua pasangan sudah mengikuti kursus persiapan perkawinan yang diadakan sebelum pemberkatan perkawinan). Sedangkan untuk hal salah dalam hal kualitas pasangan, memang dapat terjadi, tetapi tentu ini juga harus dibuktikan, dan harus ada saksi-saksinya.
Jadi kalau saya boleh menyarankan, pertama-tama, silakan mengusahakan komunikasi terlebih dahulu antara suami dan istri. Silakan menghubungi pastor paroki atau seksi kerasulan keluarga di paroki yang bersangkutan, untuk memperoleh bantuan. Atau silakan mengikuti terlebih dahulu retret pasangan suami istri, seperti Retret Tulang Rusuk (oleh Rm. Yusuf Halim SVD) dan Week-end Marriage Encounter. Semoga melalui retret itu dapat terjadi komunikasi yang lebih baik antara suami dan istri, sehingga dapat dicarikan/ diusahakan jalan keluarnya yang disepakati bersama.
Silakan dicoba jalan rekonsiliasi terlebih dahulu, sebab dari sekilas informasi yang diberikan, nampaknya masih ada kemungkinan agar perkawinan dapat dipertahankan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Comments are closed.