Dewasa ini sering terdengar anggapan bahwa Konsili Vatikan II (KV II) merevisi Konsili Vatikan I (KV I) berkenaan dengan doktrin keselamatan/ EENS. Menurut anggapan tersebut, tidak seperti di KV I, KV II sekarang mengajarkan bahwa ada keselamatan di luar Gereja Katolik. Benarkah demikian?
Paus Yohanes XXIII dan dan Paus Paulus VI, mengajarkan bahwa “Konsili Vatikan II tidak bermaksud mengubah- dan maka tidak pernah mengubah- ajaran yang sebelumnya telah dipegang tentang Gereja.” ((Lih. Kongregasi Ajaran iman, Penjelasan tentang Dokumen- Tanggapan-tanggapan terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang beberapa aspek tertentu perihal ajaran tentang Gereja, untuk membaca teks selengkapnya, klik di sini))
Agar lebih jelas, mari kita mengacu kepada pernyataan dalam Konsili Vatikan I, Konsili Vatikan II dan Katekismus Gereja Katolik. Memang dari segi cara penyampaian ajaran, terdapat perbedaan gaya bahasa yang digunakan, antara Konsili Vatikan I dan Konsili Vatikan II. Namun sesungguhnya inti ajarannya tidak berubah. Mari kita lihat perbandingan teks antara kedua Konsili:
A. Konsili Vatikan I
Konsili Vatikan I (KV I) menyebutkan soal keselamatan dalam kaitannya dengan iman, yang diuraikan dalam Bab 3, Tentang Iman, yang keseluruhan teksnya dapat dibaca di sini, silakan klik. (Penomoran 1-4 adalah pengelompokan dari kami):
(1. Tentang iman dan wahyu)
“Karena umat manusia sepenuhnya tergantung kepada Tuhan sebagai Pencipta dan Tuhan mereka, dan akal budi yang diciptakan berada di bawah kebenaran yang tidak diciptakan, maka kita wajib menyerahkan kepada Tuhan yang mewahyukan, ketaatan yang penuh dari akal budi dan kehendak oleh iman. Iman ini, yang adalah awal dari keselamatan manusia, Gereja Katolik nyatakan sebagai kebajikan adikodrati, yang olehnya, dengan rahmat Allah yang mendorong dan membantu kita, kita percaya sebagai kebenaran apa yang telah diwahyukan-Nya, tidak karena kita percaya akan kebenaran yang melekat di dalamnya karena terang kodrati dari akal budi, tetapi karena otoritas Tuhan sendiri, yang membuat pewahyuan tersebut, dan yang tidak dapat menipu ataupun ditipu. Iman, menurut Rasul, adalah dasar segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibr 11:1)…..
Meskipun persetujuan iman tak lain adalah gerakan buta dari pikiran, namun tak seorangpun dapat menerima ajaran Injil dengan cara yang disyaratkan untuk memperoleh keselamatan tanpa inspirasi dan penerangan dari Roh Kudus, yang memberikan kepada semua orang kemampuan untuk menerima dan percaya akan kebenaran….
(2. Tentang wahyu yang diwariskan oleh Gereja dalam Kitab Suci, Tradisi dan ajaran Gereja)
Oleh karena itu, harus dipercaya dengan iman yang ilahi dan iman yang katolik, semua yang terkandung dalam Sabda Tuhan sebagaimana ada di dalam Kitab Suci dan Tradisi, dan yang diajarkan oleh Gereja sebagai hal-hal yang harus dipercaya sebagai wahyu ilahi, baik melalui pemakluman yang resmi ataupun melalui Magisterium biasa dan Magisterium universal.
Sebab tanpa iman, tak mungkin orang berkenan kepada Allah (Ibr 11:6) dan mencapai persekutuan sebagai putera-puteri-Nya, maka tak seorangpun dapat mencapai justifikasi tanpa iman, dan juga tak seorangpun dapat mencapai kehidupan kekal kecuali jika ia bertahan di dalam iman sampai pada akhirnya.
Maka agar kita dapat memenuhi tugas kita untuk memeluk iman yang benar dan bertahan tak tergoyahkan di dalamnya, Allah melalui Putera Tunggal-Nya, mendirikan Gereja, dan mengaruniai lembaga ini dengan tanda-tanda yang jelas sehingga ia dapat dikenali oleh semua orang sebagai penjaga dan pengajar Sabda yang diwahyukan tersebut. Di Gereja Katolik saja dimiliki semua hal ini, … yang telah ditentukan secara ilahi untuk membuat nyata kredibilitas dari iman Kristiani….
(3. Tentang Gereja yang menghantar kepada terang kebenaran)
Maka akibatnya, seperti sebuah standar yang ditinggikan di atas bangsa-bangsa, Gereja mengundang kepadanya mereka yang belum percaya dan juga menjamin putra dan putrinya bahwa iman yang mereka akui bersandar pada pondasi yang paling teguh.
Untuk kesaksian ini ditambahkan bantuan kuasa dari atas, yang berdaya guna. Sebab Tuhan yang mahabaik menggerakkan mereka yang menyimpang dan membantu mereka dengan rahmat-Nya sehingga mereka dapat sampai kepada pengetahuan akan kebenaran; dan juga dengan rahmat-Nya meneguhkan mereka yang telah beralih kepada terang (1Pet 2:9; Kol 1:13), sehingga mereka dapat bertahan dalam terang ini ….”
(4. Tentang keselamatan bagi mereka yang telah Katolik)
Konsekuensinya, keadaan orang-orang yang oleh karena karunia iman telah memeluk kebenaran katolik, tidak sama dengan keadaan orang-orang yang dipimpin oleh pendapat-pendapat manusiawi, mengikuti agama yang tidak benar; sebab mereka yang telah menerima iman di bawah bimbingan Gereja tidak dapat mempunyai alasan apapun yang benar untuk menggantikan iman ini, atau untuk meragukannya.
Semuanya terjadi, syukur kepada Allah Bapa yang telah membuat kita layak untuk mengambil bagian di dalam para kudus dalam terang (Kol 1:12), janganlah kita mengabaikan “keselamatan yang sebesar itu” (Ibr 2:3), tetapi sambil memandang Yesus…, mari kita berpegang kepada pengakuan yang mantap akan pengharapan kita. (lih. Ibr 10:12)” (Konsili Vatikan I, Bab 3 Tentang Iman).
B. Konsili Vatikan II
Sedangkan dalam Konsili Vatikan II hal iman dan keselamatan dibahas dengan lebih mendetail, menjabarkan apa yang sudah digariskan dalam Konsili Vatikan I, demikian:
(1. Tentang iman dan wahyu)
Salah satu dokumen Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum, mengajarkan:
“5. Kepada Allah yang menyampaikan wahyu manusia wajib menyatakan “ketaatan iman” (Rom 16:26 ; lih. Rom1:5 ; 2Kor10:5-6). Demikianlah manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan “kepatuhan akalbudi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan“[4], dan dengan secara sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang dikurniakan oleh-Nya. Supaya orang dapat beriman seperti itu, diperlukan rahmat Allah yang mendahului serta menolong, pun juga bantuan batin Roh Kudus, yang menggerakkan hati dan membalikkannya kepada Allah, membuka mata budi, dan menimbulkan “pada semua orang rasa suka cita dan kemudahan dalam menyetujui dan mempercayai kebenaran”[5]. Supaya semakin mendalamlah pengertian akan wahyu, Roh Kudus itu juga senantiasa menyempurnakan iman melalui kurnia-kurnia-Nya.” (Konsili Vatikan II, Dei Verbum, 5)
[4] lih. Konsili Vatikan I, Konstitusi Dogmatis tentang Iman katolik bab 3, DENZ 1789 (3008).
[5] lih. Konsili Vatikan I, bab 3, DENZ. 1791 (3010).
(2. Tentang wahyu yang diwariskan oleh Gereja dalam Kitab Suci, Tradisi dan ajaran Gereja)
“7. Dalam kebaikan-Nya Allah telah menetapkan, bahwa apa yang diwahyukan-Nya demi keselamatan semua bangsa, harus tetap utuh untuk selamanya dan diteruskan kepada segala keturunannya. Maka Kristus Tuhan, yang menjadi kepenuhan seluruh wahyu Allah yang Mahatinggi (lih. 2Kor1:30 ; 2Kor3:16 ; 2Kor4:6), memerintahkan kepada para Rasul, supaya Injil, yang dahulu telah dijanjikan melalui para Nabi dan dipenuhi oleh-Nya serta dimaklumkan-Nya dengan mulut-nya sendiri, mereka wartakan pada semua orang, sebagai sumber segala kebenaran yang menyelamatkan serta sumber ajaran kesusilaan[8], dan dengan demikian dibagikan kurnia-kurnia ilahi kepada mereka. Perintah itu dilaksanakan dengan setia oleh para Rasul, yang dalam pewartaan lisan, dengan teladan serta penetapan-penetapan meneruskan entah apa yang telah mereka terima dari mulut, pergaulan dan karya Kristus sendiri, entah apa yang atas dorongan Roh Kudus telah mereka pelajari. Perintah Tuhan dijalankan pula oleh para Rasul dan tokoh-tokoh rasuli, yang atas ilham Roh Kudus itu juga telah membukukan amanat keselamatan.[9]
Adapun supaya Injil senantiasa terpelihara secara utuh dan hidup dalam Gereja, para Rasul meninggalkan Uskup-uskup sebagai pengganti mereka, yang “mereka serahi kedudukan mereka untuk mengajar….”[10]
8. Oleh karena itu pewartaan para Rasul, yang secara istimewa diungkapkan dalam kitab-kitab yang diilhami, harus dilestarikan sampai kepenuhan zaman melalui penggantian- penggantian yang tiada putusnya. Maka para Rasul, seraya meneruskan apa yang telah mereka terima sendiri, mengingatkan kaum beriman, supaya mereka berpegang teguh pada ajaran-ajaran warisan, yang telah mereka terima entah secara lisan entah secara tertulis (lih. 2Tes2:15), dan supaya mereka berjuang untuk membela iman yang sekali untuk selamanya diteruskan kepada mereka (lih. Yud 3) [11]. Adapun apa yang telah diteruskan oleh para Rasul mencakup segala sesuatu, yang membantu Umat Allah untuk menjalani hidup yang suci dan untuk berkembang dalam imannya. Demikianlah Gereja dalam ajaran, hidup serta ibadatnya melestarikan serta meneruskan kepada semua keturunan dirinya seluruhnya, imannya seutuhnya….
9. Jadi Tradisi suci dan Kitab suci berhubungan erat sekali dan berpadu. Sebab keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama, dan dengan cara tertentu bergabung menjadi satu dan menjurus ke arah tujuan yang sama. Sebab Kitab suci itu pembicaraan Allah sejauh itu termaktub dengan ilham Roh ilahi. Sedangkan oleh Tradisi suci sabda Allah, yang oleh Kristus Tuhan dan Roh Kudus dipercayakan kepada para Rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti mereka, supaya mereka ini dalam terang Roh kebenaran dengan pewartaan mereka memelihara, menjelaskan dan menyebarkannya dengan setia. Dengan demikian gereja menimba kepastian tentang segala sesuatu yang diwahyukan bukan hanya melalui kitab suci. Maka dari itu keduanya (baik Tradisi maupun Kitab suci) harus diterima dan dihormati dengan cita-rasa kesalehan dan hormat yang sama.[13]
10. Tradisi suci dan Kitab suci merupakan satu perbendaharaan keramat sabda Allah yang dipercayakan kepada Gereja. Dengan berpegang teguh padanya seluruh Umat suci bersatu dengan para Gembala dan mereka dan tetap bertekun dalam ajaran para Rasul dan persekutuan, dalam pemecahan roti dan doa-doa (lih. Kis 2:42)…
Adapun tugas untuk menafsirkan secara otentik sabda Allah yang tertulis dan diturunkan itu[15] dipercayakan hanya kepada Wewenang Mengajar Gereja yang hidup[16], yang kewibawaannya dilaksanakan atas nama Yesus Kristus. Wewenang Mengajar itu tidak berada di atas sabda Allah, melainkan melayaninya, yakni dengan hanya mengajarkan apa yang diturunkan saja, sejauh sabda itu, karena perintah ilahi dan dengan bantuan Roh Kudus, didengarkannya dengan khidmat, dipeliharanya dengan suci dan diterangkannya dengan setia; dan itu semua diambilnya dari satu perbendaharaan iman itu, yang diajukannya untuk diimani sebagai hal-hal yang diwahyukan oleh Allah.
Maka jelaslah Tradisi suci, Kitab suci dan Wewenang Mengajar Gereja, menurut rencana Allah yang mahabijaksana, saling berhubungan dan berpadu sedemikian rupa, sehingga yang satu tidak dapat ada tanpa kedua lainnya, dan semuanya bersama-sama, masing-masing dengan caranya sendiri, di bawah gerakan satu Roh Kudus, membantu secara berdaya guna bagi keselamatan jiwa-jiwa. (Konsili Vatikan II, Dei Verbum 7-10)
[8] Lih. Mat 28:19-20 dan Mrk 16:15. Konsili Trente, Sidang IV, DENZ 783 (1591).
[9] Lih. Konsili Trente, teks yang sama; Konsili Vatikan I, Sidang III, Konstitusi dogmatis tentang iman katolik, bab 2 tentang wahyu, DENZ. 1787 (3006).
[10] St. Irenaeus, Melawan bidaah-bidaah, III,3,1: PG 7,848; HARVEY, 2, hlm. 9.
[11] Lih. Konsili Nicea II: DENZ. 303 (602). Konsili Konstantinopel IV, Sidang X, kanon 1: DENZ. 336 (650-652).
[13] Lih. Konsili Trente, Sidang IV, dalam teks yang sama: DENZ. 783 (1501).
[15] Lih. Konsili Vatikan I, bab 3 tentang iman: DENZ. 1792 (3011).
[16] Lih. Paus Pius XII, Ensiklik Humani Generis, 12 Agustus 1950: AAS 42 (1950) 568-569: DENZ. 2314 (3886).
(3. Tentang Gereja yang menghantar kepada terang kebenaran dan keselamatan)
Selanjutnya, Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja, Lumen Gentium, mengajarkan:
“1. Terang para bangsalah Kristus itu. Maka Konsili suci ini, yang terhimpun dalam Roh Kudus, ingin sekali menerangi semua orang dalam cahaya Kristus, yang bersinar pada wajah Gereja, dengan mewartakan Injil kepada semua makhluk (Lih. Mrk 16:15). Karena Gereja itu dalam Kristus bagaikan sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia, Gereja bermaksud menyingkapkan dengan lebih penuh kepada umat beriman di Gereja dan kepada seluruh dunia, tentang hakekat dan perutusannya bagi semua orang…. (Konsili Vatikan II, Lumen Gentium 1)
8. Kristus, satu-satunya Pengantara, di dunia ini telah membentuk Gereja-Nya yang kudus, persekutuan iman, harapan dan cinta kasih, sebagai himpunan yang kelihatan. Ia tiada hentinya memelihara Gereja [9]. Melalui Gereja Ia melimpahkan kebenaran dan rahmat kepada semua orang. Adapun serikat yang dilengkapi dengan jabatan hirarkis dan Tubuh mistik Kristus, kelompok yang nampak dan persekutuan rohani, Gereja di dunia dan Gereja yang diperkaya dengan karunia-karunia sorgawi janganlah dipandang sebagai dua hal; melainkan semua itu merupakan satu kenyataan yang kompleks, dan terwujudkan karena perpaduan unsur manusiawi dan ilahi [10]. Maka berdasarkan analogi yang cukup tepat Gereja dibandingkan dengan misteri Sabda yang menjelma. Sebab seperti kodrat yang dikenakan oleh Sabda ilahi melayani-Nya sebagai upaya keselamatan yang hidup, satu dengan-Nya dan tak terceraikan daripada-Nya, begitu pula himpunan sosial Gereja melayani Roh Kristus, yang menghimpunkannya demi pertumbuhan Tubuh-Nya (lih Ef 4:16) [11].
Itulah satu-satunya Gereja Kristus yang dalam Syahadat iman kita akui sebagai Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik, [12]. Sesudah kebangkitan-Nya Penebus kita menyerahkan Gereja kepada Petrus untuk digembalakan (lih. Yoh 21:17). Ia mempercayakannya kepada Petrus dan para rasul lainnya untuk diperluaskan dan dibimbing (lih. Mat 28:18 dsl), dan mendirikannya untuk selama-lamanya sebagai “tiang penopang dan dasar kebenaran” (lih. 1Tim 3:15). Gereja ini, yang di dunia ini disusun dan diatur sebagai serikat, berada dalam Gereja Katolik, yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya [13], walaupun di luar persekutuan itupun terdapat banyak unsur pengudusan dan kebenaran yang merupakan karunia-karunia khas bagi Gereja Kristus dan mendorong ke arah kesatuan katolik. (Konsili Vatikan II, Lumen Gentium 8).
48. Adapun Kristus, yang ditinggikan dari bumi, menarik semua orang kepada diri-Nya (lih. Yoh. 12:32). Sesudah bangkit dari kematian (lih. Rom 6:9) Ia mengutus Roh-Nya yang menghidupkan ke dalam hati para murid-Nya, dan melalui Roh itu Ia menjadikan Tubuh-Nya, yakni Gereja, sakramen keselamatan bagi semua orang….” (Konsili Vatikan II, Lumen Gentium 48).
[9] Lih. Paus Leo XIII Ensiklik Sapientiae christianae, 10 Januari 1890: AAS 22 (1889-90) hlm. 392; Ensiklik Satis cognitum, 29 Juni 1896: AAS 28 (1895-96))hlm. 710 dan 724 dsl. PIUS XII, Ensiklik Mystici Corporis: AAS 35 (1943) hlm.199-200.
[10] Lih. Pius XII, Ensiklik Mystici Corporis, hlm.22 dsl.; ensiklik Humani generis, 12 Agustus 1950: AAS 42 (1950) hlm.571.
[11] Lih. Leo XIII, Ensiklik Satis cognitum, AAS 28 (1895-96) hlm. 713.
[12] Lih. Syahadat para Rasul, DENZ. 6-9 (10-30); Syahadat Nicea-Konstantinopel, DENZ. 86 (150); bandingkan dengan Pengakuan iman konsili Trente, DENZ. 994 dan 999 (1862 dan 1868).
(4. Tentang keselamatan bagi mereka yang telah Katolik)
14. Maka terutama kepada umat beriman Katoliklah Konsili suci mengarahkan perhatiannya. Berdasarkan Kitab suci dan Tradisi, Konsili mengajarkan bahwa Gereja yang sedang mengembara ini perlu untuk keselamatan. Kristus yang hadir bagi kita dalam tubuh-Nya, yakni Gereja adalah satu-satunya Pengantara dan jalan keselamatan. Dengan jelas-jelas Ia sendiri menegaskan perlunya iman dan baptis (lih. Mrk 16:16; Yoh 3:5), dan karena itu sekaligus menegaskan perlunya Gereja, yang dimasuki orang-orang melalui baptis bagaikan pintunya. Maka dari itu andaikata ada orang, yang benar-benar tahu, bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan.
Dimasukkan sepenuhnya ke dalam sertifikat Gereja, mereka, yang mempunyai Roh Kristus, menerima baik seluruh tata-susunan Gereja serta semua sarana keselamatan yang dikaruniakan kepadanya, dan disatukan dengannya sebagai bagian dari struktur himpunannya yang kelihatan, dan melaluinya digabungkan dengan Kristus yang membimbingnya melalui Imam Agung Tertinggi [Paus] dan para uskup. Ikatan-ikatan yang mengikat orang dengan Gereja dengan cara yang kelihatan adalah: yakni pengakuan iman, sakramen-sakramen dan kepemimpinan gerejani serta persekutuan. Tetapi tidak diselamatkan orang, yang meskipun termasuk anggota Gereja namun tidak bertambah dalam cinta-kasih; jadi yang “dengan badan” memang berada dalam pangkuan Gereja, melainkan tidak “dengan hatinya”[26]. Pun hendaklah semua putera Gereja menyadari, bahwa mereka menikmati keadaan yang istimewa itu bukan karena jasa-jasa mereka sendiri, melainkan berkat rahmat Kristus yang istimewa pula. Dan bila mereka tidak menanggapi rahmat itu dengan pikiran, perkataan dan perbuatan, mereka bukan saja tidak diselamatkan, malahan akan diadili lebih keras [27] (Konsili Vatikan II, Lumen Gentium 14).
[26] Lih. St. Agustinus, Tentang baptis melawan Donatus, V,28,39: PL 43,197: “Pasti sudah jelas, bahwa bila dikatakan: di dalam dan di luar Gereja, itu harus diartikan: dengan hatinya, dan bukan dengan badannya.” Lihat dalam karya tulis yang sama, III, 19, 26: kolom 152; V, 18,24: kolom 189; Tentang Yoh., uraian 61,2:PL 35, 1800; pun sering di lain tempat.]
[27] Luk 12:48: “Barang siapa menerima banyak, dari padanya akan dituntut banyak pula.” Lih. Mat 5:19-20; 7:2-22; 25:4-46; Yak 2:14.
Maka di sini terlihat bahwa Konsili Vatikan II (KV II) tidak mengubah apa yang telah disampaikan oleh Konsili Vatikan I (KV I). KV II hanya menjabarkan dengan lebih rinci, apa yang telah diajarkan dalam KV I, yaitu tentang Iman dan wahyu, tentang wahyu yang diwariskan kepada Gereja (dalam Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium), tentang Gereja yang menghantar pada terang dan kebenaran, dan tentang keselamatan bagi mereka yang telah Katolik. Tentang hal yang terakhir, yaitu keselamatan bagi mereka yang Katolik, tidak secara mendetail dibahas dalam KV I. KV I hanya menyatakan bahwa orang yang sudah beriman Katolik, tidak mempunyai alasan apapun yang benar untuk dapat meninggalkannya. Pernyataan selanjutnya adalah himbauan agar jangan mengabaikan anugerah keselamatan yang diberikan oleh Allah. KV II menjabarkan ajaran ini dengan menghubungkan kedua hal tersebut, yaitu jika seseorang sudah benar-benar mengetahui tentang ajaran Katolik, lalu meninggalkannya, maka ia tidak dapat diselamatkan.
Maka yang menjadi kata kunci di sini adalah keadaan “benar-benar tahu” bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu untuk keselamatan. Jika keadaan ini dipenuhi, maka artinya orang itu sesungguhnya telah menyadari akan kehendak Allah bagi dirinya, sehingga ia seharusnya juga memberikan tanggapan yang seharusnya diberikan, bagi Allah yang mewahyukan, yaitu dengan menaatinya. Maka keadaan “benar-benar tahu” ini tidak saja berlaku untuk orang yang sudah Katolik, tetapi juga berlaku untuk semua orang, sebab Allah mewahyukan bahwa Ia berkehendak “agar semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (1 Tim 2:4). Sedangkan bagi yang sudah Katolik, syarat keselamatan ini juga mencakup bahwa ia harus tetap bertahan dalam imannya dan bertambah dalam cinta kasih, agar ia menjadi anggota Gereja tidak hanya dengan badannya tetapi juga dengan hatinya (lih. LG 14).
C. Ajaran tentang EENS dalam KV I dan KV II tidak sama ?
Maka pernyataan tentang EENS (Extra Ecclesiam Nulla Salus/ Tidak ada keselamatan di luar Gereja Katolik), memang tidak secara eksplisit disebutkan dalam KV I. Namun pernyataan yang sering dihubungkan dengan EENS dalam KV I adalah pernyataan dalam Bab 3, “Sebab tanpa iman, tak mungkin orang berkenan kepada Allah (Ibr 11:6) dan mencapai persekutuan sebagai putera-puteri-Nya, maka tak seorangpun dapat mencapai justifikasi tanpa iman, dan juga tak seorangpun dapat mencapai kehidupan kekal kecuali jika ia bertahan di dalam iman sampai pada akhirnya.” Sebelum pernyataan ini, terdapat kalimat yang menyebutkan penjelasan tentang apa yang harus dipercaya dengan iman yang ilahi yaitu “semua yang terkandung dalam Sabda Tuhan sebagaimana ada di dalam Kitab Suci dan Tradisi, dan yang diajarkan oleh Gereja sebagai hal-hal yang harus dipercaya sebagai wahyu ilahi, baik melalui pemakluman yang resmi ataupun melalui Magisterium biasa dan Magisterium universal.” Maka banyak orang menghubungkan kedua kalimat ini, dan mengambil kesimpulan bahwa KV I mengajarkan bahwa tanpa iman yang ilahi dan katolik yang ditunjukkan dengan percaya kepada ajaran Kitab Suci, Tradisi Suci dan ajaran Gereja (Magisterium), seseorang tidak dapat diselamatkan. Namun demikian, kalau diteliti dengan seksama, KV I tidak secara eksplisit menghubungkan keduanya. Hanya memang, dalam kalimat selanjutnya, dikatakan bahwa agar kita dapat memeluk iman yang benar dan dapat bertahan di dalamnya, Allah melalui Putera-Nya mendirikan Gereja-Nya, yaitu Gereja Katolik, yang berperan sebagai penjaga dan pengajar Sabda-Nya. Demikianlah yang dinyatakan oleh KV I, “Maka agar kita dapat memenuhi tugas kita untuk memeluk iman yang benar dan bertahan tak tergoyahkan di dalamnya, Allah melalui Putera Tunggal-Nya, mendirikan Gereja, dan mengaruniai lembaga ini dengan tanda-tanda yang jelas sehingga ia dapat dikenali oleh semua orang sebagai penjaga dan pengajar Sabda yang diwahyukan tersebut. Di Gereja Katolik saja dimiliki semua hal ini, yang sangat banyak dan luar biasa, yang telah ditentukan secara ilahi untuk membuat nyata kredibilitas dari iman Kristiani….”
Maka yang diajarkan dalam KV I tentang Gereja Katolik sebagai Gereja yang didirikan Kristus (lih. Mat 16:18-20), itu pula yang ditegaskan kembali dalam KV II, dalam Lumen Gentium (LG). Gereja Katolik inilah yang merupakan Gereja, yang diserahkan oleh Kristus “kepada Petrus untuk digembalakan (lih. Yoh 21:17). Ia mempercayakannya kepada Petrus dan para rasul lainnya untuk diperluaskan dan dibimbing (lih. Mat 28:18 dsl), dan mendirikannya untuk selama-lamanya sebagai “tiang penopang dan dasar kebenaran” (lih. 1Tim 3:15)” (LG 8). Maka sebagaimana KV I mengajarkan bahwa di Gereja Katolik saja, yaitu Gereja yang didirikan Kristus, dimiliki tanda-tanda yang jelas yang menunjukkannya sebagai penjaga dan pengajar Sabda kebenaran; KV II juga mengajarkan demikian, yaitu bahwa Gereja yang didirikan Kristus itu adalah Gereja yang melaluinya Allah melimpahkan kebenaran dan rahmat pada semua orang (LG 8) Gereja ini ada dalam Gereja Katolik. Dengan demikian kedua Konsili sama-sama menekankan pentingnya Gereja Katolik sebagai pengajar dan penuntun semua orang kepada kebenaran.
Selanjutnya, KV II menjelaskan dengan lebih rinci apa hakekat Gereja yang didirikan Kristus itu, yaitu: 1) sebagai tanda dan sarana persatuan dengan Allah dan dengan sesama umat manusia (lih. LG 1); 2) sebagai persekutuan iman, harapan dan cinta kasih; 3) sebagai persekutuan dengan elemen manusiawi dan ilahi: yaitu sebagai himpunan yang kelihatan, di samping merupakan Tubuh Mistik Kristus. Dengan demikian, Gereja menjadi analogi dari misteri Inkarnasi, di mana Yesus juga mempunyai kodrat manusiawi dan ilahi, di mana kodrat manusiawi-Nya melayani kodrat ilahi-Nya, saat melaksanakan karya keselamatan Allah di dunia. Struktur Gereja -yang kelihatan- melayani persekutuan rohani -yang tidak kelihatan- dari Gereja sebagai Tubuh mistik Kristus. Nah, Gereja sedemikian ini berada (subsists) dalam Gereja Katolik, meskipun terdapat elemen-elemen pengudusan dan kebenaran yang ditemukan di luar struktur Gereja yang kelihatan itu. Di sini KV II mengakui, bahwa Gereja Katolik, sebagai penuntun semua orang kepada kebenaran, mengakui adanya berkas kebenaran di luar struktur Gereja yang kelihatan, namun kepenuhan kebenaran, atau yang disebut oleh KV I sebagai “tanda-tanda yang jelas” itu ada dalam Gereja Katolik saja. Demikianlah penjelasan lebih rinci dari KV II tentang berkas kebenaran yang ditemui juga di luar struktur Gereja Katolik:
Tentang agama-agama non-Kristiani:
“Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci di dalam agama-agama ini. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya. (KV II, Nostra Aetate, 2)
Tentang agama-agama Kristen non-Katolik:
“…beberapa dan bahkan banyak sekali unsur-unsur dan nilai-nilai yang berharga, yang keseluruhannya ikut berperan dalam pembangunan serta kehidupan Gereja sendiri, yang dapat ditemukan di luar batas-batas yang kelihatan dari Gereja Katolik: Sabda Allah dalam Kitab suci, kehidupan rahmat, iman, harapan dan cinta kasih, begitu pula kurnia-kurnia Roh kudus lainnya yang bersifat batiniah dan unsur-unsur lahiriah. Semua hal ini, yang bersumber pada Kristus dan mengantar kepada-Nya, memang sepantasnya dimiliki oleh Gereja Kristus yang tunggal.
Tidak sedikit pula upacara-upacara agama kristen, yang diselenggarakan oleh saudara-saudari yang tercerai dari kita. Upacara-upacara itu dengan pelbagai cara dan menurut bermacam-ragam situasi masing-masing Gereja dan jemaat sudah jelas memang dapat menyalurkan hidup rahmat yang sesungguhnya, dan harus diakui dapat membuka pintu memasuki persekutuan keselamatan.
Oleh karena itu Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat yang terpisah, walaupun menurut pandangan kita diwarnai oleh kekurangan-kekurangan, sama sekali bukannya tidak berarti atau bernilai dalam misteri keselamatan. Sebab Roh Kristus tidak menolak untuk menggunakan mereka sebagai sarana-sarana keselamatan, yang menerima daya gunanya dari kepenuhan rahmat serta kebenaran itu sendiri, yang dipercayakan kepada Gereja Katolik.
Akan tetapi saudara-saudari yang tercerai dari kita, baik secara perorangan maupun sebagai Jemaat dan Gereja, tidak menikmati kesatuan, yang oleh Yesus Kristus hendak dikurniakan kepada mereka semua, yang telah dilahirkan-Nya kembali dan dihidupkan-Nya untuk menjadi satu tubuh, bagi kehidupan yang serba baru, menurut kesaksian Kitab suci dan tradisi Gereja yang terhormat. Sebab hanya melalui Gereja Kristus yang Katoliklah, yang adalah “sarana umum keselamatan”, dapat dicapai seluruh kepenuhan sarana-sarana penyelamatan. Sebab kita percaya, bahwa hanya kepada Dewan Para Rasul yang diketuai oleh Petruslah Tuhan telah mempercayakan segala harta Perjanjian Baru, untuk membentuk satu Tubuh Kristus di dunia ….” (KV II, Unitatis Redintegratio, 3)
Demikianlah KV II menjelaskan hubungan antara Gereja Katolik dengan agama-agama yang lain dengan lebih jelas, yang belum dengan eksplisit dinyatakan oleh KV I, dengan mengacu kepada dokumen-dokumen Gereja yang lain, sebagaimana dinyatakan dalam surat ensiklik Quanto Conficiamur Moerore, oleh Paus Pius IX (1863) dan Mystici Corporis, oleh Paus Pius XII, (1943).
Paus Pius IX dalam ensiklik Quanto Conficiamur Moerore menyatakan:
“Di sini, juga, …, perlu lagi disebutkan dan dilarang dengan keras, kesalahan yang sangat berat yang menjerat beberapa umat Katolik yang percaya bahwa adalah mungkin untuk mencapai keselamatan meskipun hidup dalam kesalahan dan terpisah dari iman yang benar dan kesatuan Katolik. Kepercayaan ini jelas melawan ajaran Katolik. Tentu, ada orang-orang yang bergumul dengan ketidaktahuan yang bukan karena kesalahan sendiri (invincible ignorance) tentang agama kita yang paling suci. Dengan tulus melakukan hukum kodrat dan peraturan-peraturan yang ditanamkan oleh Tuhan di dalam hati semua orang, dan siap untuk menaati Allah, mereka menghidupi hidup yang jujur dan dapat mencapai kehidupan kekal oleh karena terang ilahi dan rahmat yang berdaya guna. Sebab Tuhan mengetahui, meneliti dan jelas memahami akal budi, hati dan pikiran, dan sifat semua orang, kebaikan-Nya dan belas kasih-Nya tidak mengizinkan siapapun yang tidak bersalah karena dosa yang disengaja untuk menderita hukuman kekal” (Paus Pius IX, Quanto Conficiamur Moerore, 7).
Selanjutnya Paus Pius XII dalam surat ensikliknya Mystici Corporis, menyatakan:
“103. … sejak awal mula Pontifikat Kami, Kami telah menyerahkan kepada perlidungan dan bimbingan ilahi, mereka yang tidak termasuk dalam Tubuh Gereja Katolik yang kelihatan. Kami menyatakan dengan resmi, seturut teladan Sang Gembala yang Baik, bahwa Kami menghendaki dengan sungguh-sungguh bahwa mereka dapat memperoleh hidup dan memperolehnya dalam kelimpahan. [194] Dengan memohon doa-doa dari seluruh Gereja, Kami bermaksud mengulangi deklarasi resmi ini dalam surat ensiklik ini, yang di dalamnya Kami telah mewartakan pujian tentang, “Tubuh Kristus yang agung dan mulia” [195] dan dari hati yang melimpah dengan kasih Kami meminta setiap dari mereka untuk menanggapi gerakan rahmat di dalam hati, dan untuk menarik diri dari keadaan di mana mereka tidak dapat yakin akan keselamatan mereka. [196]. Sebab meskipun dengan kehendak yang tidak disadari dan kerinduan, mereka telah mempunyai hubungan tertentu dengan Tubuh Mistik Sang Penebus, mereka masih tetap tidak dapat menikmati begitu banyak karunia-karunia ilahi dan bantuan-bantuan yang hanya dapat diperoleh dalam Gereja Katolik. Karena itu, semoga mereka masuk di dalam kesatuan Katolik, dan bergabung dengan Kami di dalam Tubuh Yesus Kristus yang satu…. Bertekun dalam doa kepada Roh kasih dan kebenaran, Kami menantikan mereka dengan lengan yang terbuka dan merangkul agar mereka datang bukan kepada rumah seorang yang asing, tetapi kepada rumah mereka sendiri, rumah bapa mereka.” (Paus Pius XII, Mystici Corporis, 103)
[194] Cf. Encyclical Letter, Summi Pontificatus: A.A.S., 1939, p. 419.
[195] St. Irenaeus, Adversus Haereses, IV, 33, 7: Migne, P.G., VII, 1076.
[196] Cf. Pius IX, Iam Vos Omnes, 13 Sept. 1868: Act. Conc. Vat., C.L.VII, 10.
Maka di sini, kita ketahui bahwa 5 tahun sebelum Konsili Vatikan I diadakan, Paus Pius IX telah mengajarkan adanya kemungkinan keselamatan bagi orang-orang yang bukan karena kesalahannya sendiri tidak mengenal Gereja Katolik. Dasarnya adalah bahwa belas kasihan Tuhan tidak akan menghukum orang yang tidak dengan sengaja melakukan kesalahan. Hal inilah yang kembali diajarkan oleh KV II. Demikian pula, Paus Pius XII mengajarkan adanya kemungkinan bahwa seseorang dapat terhubung dengan Gereja Katolik, sebagai Tubuh mistik Kristus, dengan “kehendak yang tidak disadari dan kerinduan”. Oleh KV II dan Katekismus Gereja Katolik, “kehendak yang tidak disadari” dan “kerinduan” tergabung dengan Gereja itu dijabarkan dengan keadaan seseorang “yang bukan karena kesalahannya sendiri” tidak mengenal Injil Kristus serta Gereja-Nya, tetapi dengan tulus hati mencari Allah dan berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka kenal melalui suara hati. Sedangkan keinginan yang eksplisit untuk bergabung dengan Gereja dinyatakan dengan menjadi katekumen. KV II dan Katekismus Gereja Katolik mengatakan demikian:
“Sebab mereka yang tanpa kesalahan mereka sendiri tidak mengenal Injil Kristus serta Gereja-Nya, tetapi dengan hati tulus mencari Allah, dan berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka kenal melalui suara hati dengan perbuatan nyata, dapat memperoleh keselamatan kekal [33]. Penyelenggaraan ilahi juga tidak menolak memberi bantuan yang diperlukan untuk keselamatan kepada mereka, yang tanpa bersalah belum sampai kepada pengetahuan yang jelas tentang Allah, namun berkat rahmat ilahi berusaha menempuh hidup yang benar. Sebab apapun yang baik dan benar, yang terdapat pada mereka, Gereja dipandang sebagai persiapan Injil [34], dan sebagai kurnia Dia, yang menerangi setiap orang, supaya akhirnya memperoleh kehidupan. (Lumen Gentium, 16, lih. KGK 847).
[33] Lih. Surat Kongegrasi S. Officii kepada Uskup Agung Boston, DENZ, 3869-72
[34] Lih. Eusebius dari Sesarea, Persiapan Injil, 1,1: PG 21, 28AB.
KGK 1260 “Sebab karena Kristus telah wafat bagi semua orang, dan panggilan terakhir manusia benar-benar hanya satu, yakni bersifat ilahi, kita harus berpegang teguh, bahwa Roh Kudus membuka kemungkinan bagi semua orang, untuk bergabung dengan cara yang diketahui oleh Allah dengan misteri Paska itu” (GS 22, Bdk. LG 16; AG 7). Setiap manusia yang tidak mengenal Injil Kristus dan Gereja-Nya, tetapi mencari kebenaran dan melakukan kehendak Allah sesuai dengan pemahamannya akan hal itu, dapat diselamatkan. Orang dapat mengandaikan bahwa orang-orang semacam itu memang menginginkan Pembaptisan, seandainya mereka sadar akan peranannya demi keselamatan.
KGK 1259 Bagi para katekumen yang wafat sebelum Pembaptisan, kerinduan yang jelas [eksplisit] untuk menerima Pembaptisan, penyesalan atas dosa-dosanya, dan cinta kasih sudah menjamin keselamatan yang tidak dapat mereka terima melalui Sakramen itu.
Dalam hal KV II hanya menjabarkan apa yang telah diajarkan oleh Gereja sebelumnya, sebagaimana diajarkan dalam Konsili-konsili sebelumnya, ataupun ajaran Tradisi Suci yang diketahui dari tulisan para Bapa Gereja dan para Paus sepanjang sejarah Gereja, yang sudah pernah dijabarkan di artikel ini, silakan klik.
D. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, kita ketahui adanya konsistensi ajaran Gereja Katolik tentang keselamatan. KV II menjabarkan ajaran KV I dengan lebih rinci, namun dengan gaya bahasa yang positif. EENS (Tidak ada keselamatan di luar Gereja Katolik) tetap diajarkan oleh KV II, yang kemudian dijabarkan maknanya dalam Katekismus Gereja Katolik dengan rumusan yang positif menjadi: Keselamatan datang dari Kristus melalui Gereja Katolik. Selanjutnya, KV II menyampaikan sintesa ajaran Gereja tentang keselamatan sebagaimana disampaikan oleh Tradisi Suci dan Magisterium. Gereja Katolik mengajarkan bahwa memang terdapat kemungkinan bagi seseorang yang tidak tergabung secara penuh dengan Gereja Katolik untuk diselamatkan, namun ada syaratnya, yaitu bahwa: 1) keadaannya yang tidak mengenal Kristus dan Gereja-Nya itu terjadi bukan karena kesalahannya sendiri, 2) ia mencari kebenaran dan melakukan kehendak Allah sesuai dengan tuntunan suara hatinya; 3) ia bertobat/ menyesal atas dosa-dosanya; 4) ia hidup beriman dan melaksanakan cinta kasih. Sebab dengan hal-hal ini orang tersebut dapat diandaikan bahwa ia menginginkan Pembaptisan, seandainya mereka sadar akan peranannya demi keselamatan.
Maka kesimpulannya tentang ajaran Gereja Katolik tentang keselamatan adalah sebagaimana dijelaskan dalam Katekismus:
“Tidak ada keselamatan di luar Gereja Katolik” (EENS)
KGK 846 Bagaimana dapat dimengerti ungkapan ini yang sering kali diulangi oleh para bapa Gereja? Kalau dirumuskan secara positif, ia mengatakan bahwa seluruh keselamatan datang dari Kristus sebagai Kepala melalui Gereja, yang adalah Tubuh-Nya:
“Berdasarkan Kitab Suci dan Tradisi, konsili mengajarkan, bahwa Gereja yang sedang mengembara ini perlu untuk keselamatan. Sebab hanya satulah Pengantara dan jalan keselamatan, yakni Kristus. Ia hadir bagi kita dalam Tubuh-Nya, yakni Gereja. Dengan jelas-jelas menegaskan perlunya iman dan baptis, Kristus sekaligus menegaskan perlunya Gereja, yang dimasuki orang melalui baptis bagaikan pintunya. Maka dari itu andaikata ada orang, yang benar-benar tahu, bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan” (LG 14).
KGK 847 Penegasan ini tidak berlaku untuk mereka, yang tanpa kesalahan sendiri tidak mengenal Kristus dan Gereja-Nya:
“Sebab mereka yang tanpa bersalah tidak mengenal Injil Kristus serta Gereja-Nya, tetapi dengan hati tulus mencari Allah, dan berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka kenal melalui suara hati dengan perbuatan nyata, dapat memperoleh keselamatan kekal” (LG 16, Bdk. DS 3866 – 3872).
Dengan demikian, ajaran Gereja Katolik tentang keselamatan tidak pernah berubah, yaitu bahwa Gereja Katolik perlu untuk keselamatan. Walaupun demikian, terdapat kemungkinan keselamatan bagi orang-orang, yang bukan karena kesalahannya sendiri tidak mengenal Kristus dan Gereja-Nya, asalkan mereka hidup mencari Tuhan dan melakukan perintah-perintahNya sebagaimana diketahui lewat hati nurani, dan asalkan ia bertobat dan hidup dalam iman dan kasih. Jika ini yang terjadi, keselamatan yang dapat diperolehnya tersebut tetap diberikan melalui Kristus saja, dengan perantaraan Gereja-Nya; sebab rahmat keselamatan hanya diberikan Allah di dalam Kristus. Karena Kristus sebagai Sang Kepala, tidak terpisahkan dari Tubuh-Nya, maka rahmat keselamatan itu yang diberikan oleh Kristus, mengalir melalui Tubuh-Nya, yaitu Gereja Katolik.
Salam Damai Kristus,
Sekian lama postingan ini muncul, sekian lama pula saya turut menerungkannya, apa yang saya harus katakan ketika ada orang menanyakan pertanyaan ini kepada saya sebagai orang katolik? siapapun penanya itu, orang katolik, bukan, seumuran atau tidak, satu level pendidikan atau tidak, sampai-sampai saya bertanya pada diri saya sendiri: hei kau, orang katolik, tahukah ajaran katolik…. hihihi…. saya cuma bisa mringis, bahkan ketika mendiskusikannya dengan teman tentang EENS ini… sekali mendukung, sekali menolak… plin-plan… yang mantap bagaimana…. untuk melegakan hati…. baca ini terus… dan akhirnya ya dapat jawaban yang pendek banget….
Kompendium Katekismu Gereja Katolik:
171. Apa arti pernyataan ”di luar Gereja tidak ada keselamatan”?
Ini berarti bahwa semua keselamatan datang dari Kristus, Sang Kepala, melalui Gereja, yaitu tubuh-Nya. Jadi, mereka yang mengetahui bahwa Gereja didirikan oleh Kristus dan perlu untuk keselamatan, tetapi menolak untuk masuk atau tinggal di dalam Gereja, tidak dapat diselamatkan. Pada saat yang sama, berkat Kristus dan Gereja-Nya, mereka yang bukan karena kesalahan sendiri tidak mengenal Injil Kristus dan Gerejanya, tetapi secara jujur mencari Allah dan mencoba melaksanakan kehendak-Nya melalui suara hatinya, dapat mencapai keselamatan abadi.
Katekismus Gereja Katolik:
“Di Luar Gereja Tidak Ada Keselamatan”
846 Bagaimana dapat dimengerti ungkapan ini yang sering kali diulangi oleh para bapa Gereja? Kalau dirumuskan secara positif, ia mengatakan bahwa seluruh keselamatan datang dari Kristus sebagai Kepala melalui Gereja, yang adalah Tubuh-Nya:
“Berdasarkan Kitab Suci dan Tradisi, konsili mengajarkan, bahwa Gereja yang sedang mengembara ini perlu untuk keselamatan. Sebab hanyasatulah Pengantara dan jalan keselamatan, yakni Kristus. Ia hadir bagi kita dalam Tubuh-Nya, yakni Gereja. Dengan jelas-jelas menegaskan perlunya iman dan baptis, Kristus sekaligus menegaskan perlunya Gereja, yang dimasuki orang melalui baptis bagaikan pintunya. Maka dari itu andaikata ada orang, yang benar-benar tahu, bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan” (LG 14).
847 Penegasan ini tidak berlaku untuk mereka, yang tanpa kesalahan sendiri tidak mengenal Kristus dan Gereja-Nya:
“Sebab mereka yang tanpa bersalah tidak mengenal Injil Kristus serta Gereja-Nya, tetapi dengan hati tulus mencari Allah, dan berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka kenal melalui suara hati dengan perbuatan nyata, dapat memperoleh keselamatan kekal” (LG 16).
848 “Meskipun Allah melalui jalan yang diketahui-Nyadapat menghantar manusia, yang tanpa bersalah tidak mengenal Injil, kepada iman yang merupakan syarat mutlak untuk berkenan kepada-Nya, namun Gereja mempunyai keharusan sekaligus juga hak yang suci, untuk mewartakan Injil” (AG 7) kepada semua manusia.
PEMAHAMAN:
“berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka kenal melalui suara hati dengan perbuatan nyata, dapat memperoleh keselamatan kekal” & “yang tanpa bersalah tidak mengenal Injil Kristus serta Gereja-Nya”, bagi saya di sini termasuk merka yang melaksanakan ajaran agama warisan orangtuanya, sehingga tidak mengenal.
Penting ajaran EENS harus dipergunakan secara hati-hati! Penggunaanya EENS harus membuat dan menambah kegembiraan orang untuk mengikuti Kristus dan Gereja, bukan sebaliknya!
Alasannya:
Allah lebih besar dari Gereja, Ia dapat menyelamatkan siapapun yang dikehendakinya, dan Gereja tidak dapat menghalangi kehendak Allah ini. Sementara Gereja adalah Sakramen Keselamatan Allah melalui Kristus yang dihimpun oleh Roh Kudus untuk menyelamatkan banyak orang. Jelas, Konsili Vatikan II tidak mengubah apapun tentang ajaran ini, karena ajaran EENS masih diajarkan dan masuk dalam Katekismus Gereja Katolik.
[Dari Katolisitas: Ya, kutipan yang Anda sampaikan memang benar, dan menjadi acuan pada saat kita menjelaskan tentang EENS ini. Memang tidak mudah menjelaskannya, walaupun prinsipnya sesungguhnya sederhana dan mudah, yaitu bahwa Gereja adalah sakramen keselamatan, dan Gereja ini adalah Gereja Katolik. Nampaknya Anda telah menangkap prinsip dasar ini, walaupun untuk selanjutnya, memang diperlukan penjelasan yang lebih rinci untuk menjabarkannya agar ajaran ini tidak diartikan ‘terlalu ekstrim ke kiri ataupun ekstrim ke kanan’.]
Dear Katolisitas yang terkasih di dalam Tuhan.
Celinne hanya ingin menyampaikan hal-hal yang patut untuk kita semua renungkan tentang interpretasi sebagian atau banyak Umat Katolik khususnya rekan aku (sebut saja A) terhadap semangat Konsili Vatican II.
Semangat yang mengarah kepada keterbukaan pandangan terhadap kepercayaan Umat lainnya, yang akhirnya menjadi “bumerang” bagi perkembangan Gereja Katolik dewasa ini.
Adalah Paus St. Yohanes Paulus II berkata demikian: “Gereja Katolik bukan hanya jalan terbaik di antara banyak jalan, tetapi satu-satunya jalan keselamatan” – menjadi salah satu pemicu bagi si A untuk “berpindah” dari Gereja katolik ke gereja denominasi Kristen lainnya.
Ekaristi mengikuti Gereja Katolik tetapi kegiatan Gerejawi aktif di dalam gereja denominasi Kristen lainnya, karena menurut A; hanya di Katolik yang memperbolehkan sembahyang kepada para leluhur, menyantap makanan bekas sembahyang dan boleh mengikuti tradisi Imlek, sementara di denominasi Kristen dimana A aktif di dalamnya itu DILARANG.
Ekaristi pun dibuat sebagaimana maunya dia, yang penting hatinya.
Belajar teologi di denominasi Kristen lainnya hingga menyebarkan sebuah pemahaman tentang “haramnya” menggunakan Ucapan “Happy Easter” dan menggantikannya menjadi “Happy Passover”.
Terakhir A mengucapkan kalimat demikian, siapa bilang Keselamatan hanya berada di dalam Gereja Katolik? Bukankah Allah bebas untuk menentukan diri-Nya hadir di mana saja, bukan hanya berada di dalam Gereja katolik…?
Karena Paus pun berkata, “”Saya percaya akan Tuhan, tetapi bukan Tuhan Katolik,”
Sebelum meninggalkan Celinne yang termanggu-manggu akan alasannya itu, A pun berujar bahwa kegiatan denominasi Kristen PUN DIADOPSI Gereja Katolik, seperti “Pria Sejati”, hanya oleh Katolik ditambahkan judulnya menjadi “Pria Sejati Katolik”
Semua agama Kristen SAMA dan gak perlu harus menjadi Katolik dulu lah, jangan FANATIK lah…
Oh luar biasa.
Demikiankah pernyataan di atas bisa dibenarkan oleh para pengasuh Katolisitas dan juga para romo di sini?
Mohon Pencerahan.
Salam Kasih Tuhan.
Shalom Celinne,
Sejujurnya, memang ada banyak orang Katolik sendiri yang kurang memahami apa sebenarnya yang diajarkan oleh Konsili Vatikan II, karena tidak membaca sendiri dokumennya, sehingga mendasarkan pemahamannya kepada apa yang pernah didengarnya dari orang lain tentang ajaran Konsili Vatikan II. Seringkali inilah yang membuat pemahaman seseorang menjadi kurang tepat, sebab akan sangat tergantung dari persepsi dan kecondongannya sendiri terhadap apa yang ingin dipahaminya, namun bukan apa yang sebenarnya disampaikan oleh dokumen Konsili Vatikan II itu sendiri.
Sebagaimana telah disampaikan di atas, Konsili Vatikan II tidak mengubah ajaran Konsili Vatikan I dalam hal keselamatan (EENS). Silakan membaca artikel di atas, untuk penjelasannya, silakan klik.
St. Paus Yohanes Paulus II mengatakan, “Adalah kebenaran yang diwahyukan, bahwa keselamatan hanya ada di dalam Kristus. Gereja Katolik sebagai Tubuh Kristus adalah sebuah sarana bagi keselamatan ini (Crossing the Treshold of Hope, p. 136). Selanjutnya, St. Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa orang-orang diselamatkan melalui Gereja, di dalam Gereja, tetapi mereka selalu diselamatkan oleh rahmat Kristus. Maka selain keanggotaan resmi di dalam Gereja Katolik, lingkaran keselamatan dapat juga menjangkau berbagai bentuk hubungan terhadap Gereja. Paus Paulus VI telah menyatakan ajaran ini dalam surat ensikliknya yang pertama, Ecclesiam Suam, ketika ia mengisahkan tentang berbagai lingkaran dialog tentang keselamatan, yang sama dengan apa yang disebutkan dalam Konsili Vatikan II sebagai lingkaran-lingkaran keanggotaan di dalam dan yang terhubung dengan Gereja.
Silakan membaca lebih lanjut topik ini dalam artikel: Apakah itu EENS?, silakan klik.
Dan khusus tentang Keunikan dan Keselamatan bagi semua umat manusia dalam Yesus Kristus dan Gereja Katolik, dalam dokumen Dominus Iesus, dan Penjelasan tentang Deklarasi Dominus Iesus
Dari dokumen-dokumen yang menyampaikan ajaran Gereja Katolik, kita ketahui bahwa keselamatan umat manusia memang disebabkan oleh rahmat Allah, namun diperoleh di dalam Kristus sebagai Kepala Gereja, dan Gereja Katolik (satu-satunya Gereja yang didirikan-Nya di atas Rasul Petrus), yang adalah Tubuh-Nya. Maka adalah suatu ironi, jika orang yang sudah tahu bahwa Gereja Katolik adalah satu-satunya jalan keselamatan, namun menolak untuk bergabung ke dalamnya, atau memilih untuk tidak sepenuhnya taat kepada ajaran Gereja Katolik. Kasusnya tidak sama dengan orang-orang yang bukan karena kesalahannya sendiri, tidak mengenal Kristus dan Gereja Katolik.
Jika seorang Katolik memahami akan keselamatan di dalam Kristus dan Gereja Katolik, maka seharusnya, ia tidak berpaling kepada yang lain. Seharusnya ia mau menerima dan berjuang untuk melaksanakan keseluruhan ajaran Gereja, dan dengan demikian, tetap berada dalam kesatuan penuh dengan Gereja Katolik. Namun tak dapat disangkal kenyataan bahwa ada sejumlah umat yang memilih-milih sendiri ajaran iman mereka, menurut selera mereka sendiri. Mereka tidak tertarik untuk mempelajari ajaran Gereja Katolik, dan lebih condong kepada pengertian mereka sendiri, sehingga mau menerima ajaran-ajaran asing yang tidak sesuai dengan apa yang diajarkan ataupun dihayati oleh Gereja sejak awal mula. Contoh tentang kesalahpahaman interpretasi ucapan Happy Easter itu hanya salah satu contohnya, dan tentang hal ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.
Memang Allah bebas bekerja dengan cara apa saja untuk menyelamatkan umat-Nya, namun Ia sudah mengikatkan diri-Nya kepada sakramen-sakramen Gereja sebagai sarana keselamatan. Maka adalah lebih baik bagi kita untuk mencari sarana yang sudah pasti dikehendaki oleh-Nya, daripada memperkirakan sendiri, menurut kehendak dan pemikiran kita.
Ucapan Paus Fransiskus, “I believe in God, not in a Catholic God/ “Aku percaya akan Allah, (tapi) bukan akan Allah yang Katolik” diambil dari petikan dialog antara Paus dengan Eugenio Scalfari, seorang jurnalis koran Italia, L’espresso, yang adalah seorang atheis. Dalam dialognya ini, nampak bahwa memang Paus tidak berusaha ‘menyerang’ ataupun menyalahkan, namun lebih untuk menekankan belas kasih Allah yang tidak membeda-bedakan orang, agar mendorong pewawancaranya untuk mencari tahu akan Allah yang sedemikian. Maka ucapan tersebut, selayaknya dilihat dalam konteks itu. Sebab memang dalam Kredo (Syahadat) dikatakan, “Aku percaya akan Allah”, tanpa tambahan Katolik. Tetapi Allah yang sama itu adalah Allah yang mengutus Putera-Nya yang Tunggal, yang kemudian mendirikan Gereja-Nya, yang satu, kudus, katolik dan apostolik, sebagaimana disebutkan dalam Kredo Nicea-Konstantinopel, dan Gereja-Nya ini “berada di dalam Gereja Katolik” (Lumen Gentium, 8).
Kita tidak dapat mengacu kepada wawancara Paus sebagai patokan ajaran iman Katolik. Sebab ajaran/ doktrin iman tentang keselamatan dan lain-lainnya sudah secara jelas disebutkan secara tertulis dalam Katekismus Gereja Katolik, yang telah disusun sebagai rangkuman ajaran iman atas dasar Kitab Suci, Tradisi Suci dan ajaran Magisterium Gereja. Paus Fransiskus tidak dapat dan tidak akan mengubah ajaran Katekismus ini. Itulah sebabnya, Paus mengajarkan, kali ini kepada para superior ordo religius, agar dengan setia mengajarkan ajaran-ajaran Gereja Katolik (8 Mei 2013):
“It’s an absurd dichotomy to think one can live with Jesus, but without the Church, to follow Jesus outside the Church, to love Jesus and not the Church.” (Adalah suatu dikotomi yang rancu, untuk berpikir bahwa seseorang dapat hidup dengan Yesus, tetapi tanpa Gereja, dan untuk mengikuti Yesus di luar Gereja, dan untuk mencintai Yesus dan tidak mencintai Gereja- [yaitu Gereja Katolik])
Di sini Paus Fransiskus mengajarkan tentang EENS, walaupun merumuskannya dengan cara yang berbeda.
Sekarang tentang Program Pria Sejati. Sepanjang suatu program itu baik isinya, dan telah diperoleh izin dari pihak yang pertama kali mengadakannya, dan dilakukan sesuai dengan ajaran iman Katolik dan mendapat izin juga dari pihak otoritas Gereja Katolik, tentu saja hal itu dapat dilakukan. Gereja Katolik juga tidak mematenkan/ membatasi kegiatan-kegiatan gerejawinya hanya untuk umat Katolik. Ada banyak umat Kristen non- Katolik dan bahkan non-Kristen yang mengikuti retret Tulang Rusuk, yang dipimpin oleh Rm. Yusuf Halim, ataupun mengikuti weekend Marriage Encounter (ME). Konon ada juga komunitas-komunitas gerejawi non-Katolik yang mengadopsi cara-cara ME dalam komunitas mereka. Bukankah ini adalah hal yang baik, sebab Gereja Katolik juga menganggap umat Kristen non-Katolik sebagai sesama saudara dalam Kristus.
Akhirnya, jika kita membaca dokumen ajaran iman Katolik, maka kita akan mengetahui bahwa Gereja Katolik tidak mengajarkan bahwa semua agama atau semua gereja itu sama. Memang kita tidak perlu menjadi fanatik, tetapi mengatakan semua agama itu sama saja, tidak sesuai dengan ajaran iman Katolik, dan tidak sesuai juga dengan perkataan Yesus sendiri, sebagaimana disampaikan-Nya dalam Injil.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear Katolisitas,
Satu hal yang ingin saya tanyakan, mohon bimbingannya.
Orang muslim dalam menawarkan untuk masuk agamanya, bisa dengan mudah menyebutkan keuntungan-keuntungan yang didapat dari mulai sholat, puasa, sholat tahajud, berjilbab, wudhu, dsb.
Terus terang, saya dan saya yakin banyak umat kita yg khatolik, bingung, tidak bisa mengatakan dengan pasti “Apa yang bisa saya tawarkan dengan menjadi Khatolik?” Terlebih lagi dengan adanya ketentuan Konsili Vatikan II yang satu ini, pertanyaan baru muncul lagi, “Bagaimana saya bisa menyebarkan ajaran cinta kasih ini dan bagaimana saya bisa menyelamatkan orang lain?” apa lagi jika harus menjelaskan konsili Vatikan yang jelas sulit bagi awam untuk menjelaskannya. Sedangkan orang muslim “awam” saja mudah menjelaskan agama mereka.
Saya tahu, bahwa agama lain (khususnya Islam), memberikan nilai-nilai berharga yang tidak kelihatan oleh kita (seperti Bunda Maria yg dipersembahkan di Kenisah), tapi ingat bahwa segala kekurangan kitapun ditutupi Tuhan dengan orang kudusNya (B. Anna Catharina Emmerick menjelaskan juga hal ini dalam wahyu yang diberikan Tuhan). Dan saya percaya bahwa mereka yang tidak mau mengenal Allah melalui PuteraNya akan dihadapkan kepada Pengadilan Maha Tinggi, sedangkan kita yang telah dibeli dengan DarahNya akan dihadapkan pada Pengadilan KerahimanNya, yang kita sebut Api Penyucian.
Keberadaan Katolisitas.org ini sungguh membantu, jadi saya sangat memohon penjelasannya, karena terus terang ketentuan Vatikan II ini dan versus uraian dari “pernyataan iman” yang sudah saya bangun selama ini membuat iman saya tidak hanya terasa “linglung” tapi juga lelah.
Salam damai, semoga damai sejahtera dari Tuhan kita Yesus Kristus menyertai kita semua.
Shalom Johanes,
Silakan membaca artikel, Apakah artinya menjadi Katolik, silakan klik.
Sejujurnya pertumbuhan iman dalam kehidupan rohani kita sebagai seorang Katolik merupakan suatu proses. Proses ini memang umumnya tidak instan, seolah-olah dengan mengetahui suatu “resep ajaib”, lalu terjawablah semua pertanyaan di dalam hati kita. Sebab kita mengimani Allah yang mewahyukan diri-Nya di dalam Kristus, dan di dalam Kristus inilah Allah menghendaki agar kita dipersatukan dengan-Nya dan dengan sesama kita. Nah persatuan dengan Allah dan sesama ini, adalah Gereja. Dan Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik yang didirikan-Nya ada dalam Gereja Katolik. Allah menghendaki agar melalui Gereja-Nya inilah manusia diselamatkan. Itulah sebabnya Gereja Katolik mengajarkan bahwa keselamatan datang Kristus, melalui Gereja. Dan sesungguhnya ini adalah EENS jika dirumuskan dengan kalimat positif. Ajaran ini tidak pernah berubah dari dulu sampai sekarang, baik yang dirumuskan sebelum Konsili Vatikan I, sesudahnya ataupun dalam Konsili Vatikan II dan sesudahnya.
Wahyu umum yang disampaikan melalui Kitab Suci dan Tradisi Suci sudah merupakan ajaran yang lengkap. Wahyu pribadi seperti yang dialami oleh sejumlah para kudus tidaklah untuk dianggap sebagai tambahan yang melengkapi wahyu umum itu, seolah-olah yang disampaikan oleh wahyu umum itu masih kurang lengkap. Katekismus mengajarkan tentang hal ini demikian:
KGK 67 Dalam peredaran waktu terdapatlah apa yang dinamakan “wahyu pribadi”, yang beberapa di antaranya diakui oleh pimpinan Gereja. Namun wahyu pribadi itu tidak termasuk dalam perbendaharaan iman. Bukanlah tugas mereka untuk “menyempurnakan” wahyu Kristus yang definitif atau untuk “melengkapinya”, melainkan untuk membantu supaya orang dapat menghayatinya lebih dalam lagi dalam rentang waktu tertentu. Di bawah bimbingan Wewenang Mengajar Gereja, maka dalam kesadaran iman, umat beriman tahu membedakan dan melihat dalam wahyu-wahyu ini apa yang merupakan amanat otentik dari Kristus atau para kudus kepada Gereja. Iman Kristen tidak dapat “menerima” wahyu-wahyu yang mau melebihi atau membetulkan wahyu yang sudah dituntaskan dalam Kristus. Hal ini diklaim oleh agama-agama bukan Kristen tertentu dan sering kali juga oleh sekte-sekte baru tertentu yang mendasarkan diri atas “wahyu-wahyu” yang demikian itu.
Selanjutnya, Gereja Katolik mengajarkan bahwa terdapat dua jenis Pengadilan Allah terhadap setiap orang, yaitu Pengadilan Khusus dan Pengadilan Umum, silakan klik. Pengadilan Allah itu tidak sama dengan Api Penyucian. Tentang Api Penyucian, silakan membaca di sini, silakan klik.
St. Agustinus pernah berkata kurang lebih demikian, “Kita tidak bisa mengasihi kalau kita tidak mengenal, tetapi kalau kita mengasihi, kita akan berusaha untuk semakin mengenal orang yang kita kasihi.” Demikianlah, mari kita resapkan perkataan ini. Jika kita ingin mengasihi Allah, mari kita berjuang untuk semakin mengenal Dia, dan mengenali serta melakukan ajaran-ajaran-Nya. Selanjutnya, jika kita sungguh mengasihi Allah, maka selayaknya kita tidak cepat menyerah untuk berusaha semakin mengenal Dia. Jika kasih menjadi motivasinya, maka perjalanan iman ini selayaknya menjadi proses yang membahagiakan dan bukannya melelahkan.
Semoga Tuhan memberikan rahmat-Nya agar kita dapat semakin mengenal dan mengasihi Dia.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
saya Ingin tahu, apakah EENS itu satu Dogma atau doktrin?
[Dari Katolisitas: EENS itu adalah doktrin dan dogma Gereja. Tentang pengertian mengenai doktrin dan dogma, klik di sini. Sedangkan untuk melihat daftar Dogma Gereja Katolik, klik di sini. Silakan melihat point VI.20, tentang Gereja Katolik, di situ tertulis bahwa Gereja Katolik perlu untuk keselamatan. Demikianlah Gereja mengartikan frasa EENS itu. EENS secara eksplisit disebutkan dalam Katekismus Gereja Katolik, yaitu sebagai judul sebelum KGK no. 846.]
Dear Katolisitas,
Jika ada “cendekiawan Katolik” mengatakan tidak ada perubahan apa pun dalam Gereja Katolik melalui Konsili Vatikan II, rasanya sungguh mengejutkan. Lha, untuk apa Konsili itu kalau begitu?
Para pakar ilmu politik sekuler itu saja mengatakan bahwa perubahan sikap GK melalui Konsili Vatikan II berdampak langsung terhadap lahirnya demokrasi di negara-negara yang didominasi Katolik seperti Spanyol, Philippina, Portugal, Hungaria, Negara-negara Amerika Latin, dan seterusnya, mengikuti negara-negara yang didominasi Protestan yang sudah mengibarkan demokrasi sebelumnya selaras dengan otonomi individu, akses langsung ke Tuhan dan menekankan partisipasi yang luas atau supremacy of the congregation oleh Protestan itu.
Sebelum Konsili Vatikan II, GK dikenal sebagai anti demokrasi. Pengakuan hak-hak individual dan penarikan dukungan atas penguasa yang dipandang “menindas” rakyat dan penekanan pada pelayanan kaum miskin melalui Konsili Vatikan II itulah pendulum baru GK yang telah melahirkan demokrasi babak kedua, pelayanan kaum miskin yang berperan kuat mengubah ke:”tata dunia baru” di seantero jagad ini.
Sudah menjadi pengetahuan umum pula bahwa semenjak Konsili Vatikan II, ramai pakar agama Islam dan Katolik saling mendalami, yang jelas berbeda dengan pendekatan “pedang” di masa silam itu. Bahkan penasehat Paus Benediktus XVI, suster Gera biarawati kelahiran India itu adalah pakar filsafat Islam dan Tasawuf, mantan dosen Universitas Paramadina pula. Di Universitas Katolik Georgetown University bahkan berdiri Common Understanding antara Islam dan Katolik. Sebelum Konsili Vatikan II, manalah terbayangkan ada demikian itu.
Sepemahaman sy, Deklarasi Dignitatis Humanae,Konsili Vatikan II itu, sebagaimana dapat ditemukan dalam tulisan para “ahli kitab” di situs internet, katanya sebagai sikap resmi GK atas keyakinan lain itu menyebutkan ada empat sikap yang dapat timbul : Pertama, sikap eksklusif yang memandang bahwa keselamatan hanya ada dalam Gereja sedangkan di luar Gereja tidak ada keselamatan. Kedua, sikap inklusif, yang mengakui pewahyuan dalam agama lain dan meyakini bahwa orang beragama lain juga akan diselamatkan melalui Yesus Kristus, juga jika mereka tidak menyadari atau mengakuinya. Ketiga, sikap pluralis yang menganggap “semua agama sama saja”. Keempat, sikap pluralis berintegritas terbuka yang mengakui dan menerima kekhasan agama masing-masing sekaligus saling belajar, saling memperkaya dari yang lain. Sikap terakhir atau keempat inilah yang disebut sebagai yang diakui GK sebagai sikap terbaik dalam berhadapan dengan umat yang berlainan agama atau kepercayaan.
Tentunyalah, berdasar Hukum Kasih, sebagai hukum tertinggi, sebuah perubahan seiring perubahan tantangan dan kondisi manusia di era ini, adalah keharusan demi “kasih / kemuliaan Tuhan dan kasih / keselamatan manusia”. Tokh agama Katolik itu pun tidak datang sekali jadi. Ia pun melalui proses evolusi ribuan tahun.
Pertanyaan sy kepada Katolisitas dan para imam pengasuh di sini sy buat lebih jelas saja: mengapa perubahan pendulum pasca Konsili Vatikan II itu tidak dikedepankan di sini demi keselamatan umat, untuk lebih kontekstual, untuk dapat bernas di lingkungan majemuk ini, untuk memperoleh dasar “teologis” untuk menjawab persoalan umat dan agar memastikan semua doktrin diselaraskan / disesuaikan pula dengan ROH Konsili Vatikan II? Agar konsisten dan tunduk Hukum Utama itu?
Ironisnya, sejauh penjelajahan sy, tak satu orang pun umat awam Katolik menyebut pernah mendengar terminologi Pluralis berintegritas terbuka itu apalagi memahami maksudnya. Maka kesan yang timbul di GK ini: para “ahli kitab” berlari di kilometer 2000, sedangkan umat sibuk bertikai, berkutat di kilometer Nol.
Dalam tesisnya di STF Driyarkara awal April 2012, Sr Gera mengatakan bahwa bahkan pluralisme sudah tidak memadai, perlu upaya lebih jauh yaitu OPEN INTEGRITY (integritas terbuka) khususnya antara Islam dan Kristen. Dan tesisnya itu lulus dengan pujian dari para ahli kitab papan atas GK itu.
Dalam Kitab Kejadian diriwayatkan bahwa Tuhan menghibur hati Abraham bahwa keurunannya dari Ismail itu pun akan dipeliharakan Tuhan, dijadikanNya bangsa besar dengan dua belas raja-raja, TETAPI perjanjian Tuhan (hal Imanuel, red) adalah dengan keturannya dari isterinya Sara itu, yaitu Ishak atau Israel itu….
Ketika kemudian umat Islam itu datang kepada kita dan mengatakan bahwa merekalah keturunan Ismail itu dan Muhammad itu Nabi untuk memelihara mereka, dan Al Quran itu adalah petunjuk dari Tuhan bahwa mereka pun harus percaya Taurat, Injil dan Wahyu Tuhan lainnya,bahwa ‘Isa Almasih Putera Maryam itu adalah Kalimat Allah, Roh daripadaNya, Imam Mahdi di hari kiamat itu…dst… dan Islam itu agama dari Tuhan bagi mereka, apakah jawab kita sesudah 1400 tahun ini? Pokoknya sama dari dulu hingga sekarang,tak ada perubahan sikap apa pun: angkat pedang dan EENS, di luar GK go to HELL? Perintah Kristus manalah yang mengatakan begitu ya?
Bukankah kita “cuma” diperintahkan untuk mengasihi Tuhan dan sesama kalau mau selamat? Mengasihi sesama seperti diri sendiri bukankah artinya memperlakukan sesama SAMA, SETARA DENGAN DIRI SENDIRI DI HADAPAN TUHAN? Jika jawaban kita adalah KASIH maka keselamatan buahnya. Ketika jawaban kita adalah angkat pedang, maka kita pun mendapat jawaban pedang. Ketika jawaban kita adalah menghakimi : go to hell, maka kita pun dihakimi sama: go to hell. Apa yang kita semai, itulah yang kita tuai. Sy bukan ahli kitab, cuma umat biasa yang mencoba mencari dan memahami Tuhan dengan karuniaNya kepada sy dan tak mau main pedang sesudah menjelajah dan diperkaya sekembali dari WONDERLAND, tradisi tetangga itulah. Sy menemukan Tuhan pun ada di sana. Kata orang, tak kenal tetangga, tak kenal diri sendiri. GBU
Shalom Irwan Saragih,
Berikut ini adalah jawaban kami atas beberapa komentar Anda yang masuk ke katolisitas. Secara prinsip, kami melihat bahwa kasih tidak pernah terpisah dari kebenaran. Kasih yang terpisah dari kebenaran sebenarnya bukanlah kasih. Namun, kalau Anda ingin mengatakan bahwa kasih adalah dapat melakukan apa saja dan harus mengakui semuanya adalah sama saja, maka itu adalah hak Anda. Namun, menjadi hak kami untuk memberikan pernyataan bahwa kasih yang sesungguhnya adalah kasih yang tidak terpisahkan dengan kebenaran, seperti yang berkali-kali dinyatakan oleh Paus Benediktus XVI. Ada begitu banyak komentar Anda yang senantiasa mengutarakan hukum kasih dan melihat perbedaan dalam dialog sebagai sesuatu yang “terlihat” bertentangan dengan kasih. Namun, dialog bukanlah bertentangan dengan kasih, sejauh dialog dilakukan dengan dewasa, hormat dan lemah lembut. Dan memang, dalam dialog tidak dapat dihindari adanya perbedaan-perbedaan.Dialog yang cenderung menyetujui segala sesuatu dengan alasan kasih, justru dapat menutupi kebenaran, sehingga terjadi toleransi yang semu. Itu bukanlah kasih. Dan bukan itulah yang ingin dicapai oleh situs ini.
Anda menuliskan “Jika ada “cendekiawan Katolik” mengatakan tidak ada perubahan apa pun dalam Gereja Katolik melalui Konsili Vatikan II, rasanya sungguh mengejutkan. Lha, untuk apa Konsili itu kalau begitu?” Artikel tersebut ingin membahas tentang satu topik, yaitu “EENS”, sesuai dengan judulnya, yaitu “Apakah Vatikan II mengubah ajaran Vatikan I tentang EENS”. Bahwa ada pengaruh Vatikan II terhadap kehidupan sosial, bernegara, dll, bukanlah bahasan dari artikel tersebut. Oleh karena itu, pada saat ini kami tidak menanggapi komentar Anda yang lain di luar topik ini. Untuk dapat mengupas tentang EENS, apakah ada perubahan dari Vatikan I dan Vatikan II, maka tidak ada cara lain, kecuali kita harus membaca dan mengerti tentang konsep EENS, yang pasti akan berhubungan dengan: ekklesiologi: Gereja yang didirikan oleh Kristus dan satu tubuh mistik Kristus, Kristus sebagai mempelai pria dan Gereja sebagai mempelai wanita, Kristus sebagai kepala dengan Gereja sebagai tubuh-Nya, dualitas Gereja, yaitu yang kelihatan dan tak kelihatan; pengertian akan bukan karena kesalahan sendiri / invincible ignorance dibandingkan dengan culpable ignorance. Di satu sisi, kita juga harus membaca dokumen Vatikan I dan kemudian membandingkannya dengan dokumen Vatikan II, terutama yang menyangkut tentang EENS – yaitu ada di dalam Lumen Gentium; tentang konsep keselaman: rahmat, iman, pengharapan, kasih, baptisan. Dengan melihat semua itu, maka harapannya kita dapat memperoleh pemahaman yang cukup. Dan setelah itu, kita memang harus menganalisa dan membandingkannya dengan interpretasi dari Gereja tentang topik ini secara khusus. Inilah yang telah kami coba paparkan dalam beberapa link berikut ini: silakan klik, klik ini, dan klik ini. Semoga link tersebut dapat membantu untuk memaparkan tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan EENS, yang harus dimengerti sebagaimana Gereja mengerti dan bukan sebagaimana kita menginterpretasikannya. Kalau kita mengerti dengan sungguh-sungguh akan konsep EENS dari Gereja Katolik, maka sesungguhnya kita melihat adanya kebijaksanaan yang luar biasa. Jauh lebih baik dibandingkan kalau kita bersikeras akan pengertian kita sendiri.
Konsili Vatikan II mempunyai semangat “aggiornamento” dan “ressourcement“. Yang terakhir menyerukan untuk kembali ke sumber, yaitu: Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Sedangkan yang pertama adalah untuk menyajikan semua pengajaran sesuai dengan zamannya, sehingga dapat diterima dengan lebih baik dan lebih jelas. Kalau Anda membaca penjelasan dari Konsili Vatikan II, maka terlihat bahwa memang bukan menjadi tujuan dari Konsili Vatikan II untuk membuat dogma yang baru, namun hanya ingin memaparkan dogma dan pengajaran yang ada secara lebih pastoral. Maka kalau mau disebut ada perubahan dalam Konsili Vatikan II, perubahannya adalah cara penyampaian ajaran Gereja secara lebih pastoral, namun bukan isi ajarannya itu sendiri, yang memang tidak pernah berubah.
Semoga, minimal Anda dapat melihat bahwa hukum kasih memang yang tertinggi, namun tidak pernah terlepas dari kebenaran. Dan dalam rangka untuk memaparkan kebenaran ini, maka ada dialog dalam situs ini. Namun, kami menyadari bahwa kasih juga tidak memaksakan kehendak. Maka kami juga tidak pernah memaksakan kehendak kami bahwa semua pembaca harus menerima semua hal yang kami tuliskan. Jadi, kami kembalikan lagi semuanya kepada pembaca situs ini. Pada akhirnya setelah menulis, kami hanya dapat mengiringinya dengan doa, mohon agar Roh Kudus sendiri yang berkarya. Semoga demikian.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef & ingrid – katolisitas.org
Dear Pak Stef,
Terimakasih banyak atas tanggapan Bapak. Sejauh perjalanan sy, sy dapat mengerti di antara pembaca postingan sy ada yang sependapat, setengah sependapat, tidak sependapat bahkan ada yang marah dan jengkel. Tanggapan Bapak sangat melegakan sy, meski tidak menjawab point penting antara lain terkait sikap terbaik menurut Deklarasi Dignitatis Humanae itu dan statement Bapak bahwa “kasih tidak dapat dipisahkan dari kebenaran” ketika kebenaran yang Bapak maksud itu sepertinya “hanya” sebatas atau didasarkan pada sudut pandang unik golongan atau GK.
Daniel S. Lev, guru besar di Washington University, mengatakan bahwa ketegangan kelas tinggi sama sekali bukan hal baru terkait soal agama. Justru yang sangat berbahaya adalah ketenangan yang keterlaluan. Ketika manusia menyerahkan urusan-ursan agama sebagai urusan kalangan “ahli kitab” yang sangat terbatas dan berhenti memperdebatkan kepercayaannya, maka pembekuan agama terjadi.
Berdasar Hukum Utama setiap manusia berhak dan harus/wajib menggunakan segala akal budi dan jiwanya untuk mengasihi / memuliakan Tuhan dan mengasihi sesamanya seperti diri sendiri. Itulah hukum tertinggi untuk keselamatan. Keselamatan bukan digantungkapn pada pemahaman atau kebenaran unik menurut paham golongan tertentu. Maka, Deklarasi Dignitatis Humanae menyebut sikap terbaik adalah mengakui dan menerima kekhasan agama masing-masing dan saling belajar, saling memperkaya.
Perbedaan paham hal Tuhan itu, meminjam istilah tetangga itu, adalah sunatullah, kebesaran Tuhan. Mengapa aneka bunga di taman? itulah otoritas Pemilik Taman. Tuhan di luar akal pikir, misteri, di luar pengetahuan, beyond knowledge, tetapi dapat dan wajib dicintai kalau mau selamat. Sedangkan bapa-ibu mengasihi sdan menghendaki semua anak-anaknya selamat, apalagi Tuhan? Kata orang, pemahaman orang atas Tuhan itu ibarat warna dan bentuk air : tergantung wadahnya. Memutlakkan kebenaran /paham dan menganggap semua paham lain itu sebagai salah, sesat, tidak benar, bukankah itu pembatasan Tuhan sebatas paham / akal pikir sendiri? Bukankah itu namanya menuhankan paham dan bukannya menuhankan Tuhan? Bukankah itu pelanggaran fatal atas hakekat Tuhan?
Injil pun mengisahkan tiga raja dari Timur bahwa mereka jsutru yang mendapat khabar gembira itu sebelum para gembala, umat terpilih itu. Mereka itu bahkan dituntun bintang untuk menemui dan menyembah Raja Segala Raja itu. Bukan itu pesan KS bahwa Tuhan pun memelihara manusia di luar bangsa terpilih itu? Injil tidak menyebut apa bentuk paham dan tradisi mereka di negerinya itu dan siapa mereka sebut Raja Segala Raja itu, tetapi mereka adalah orang-orang yang diwahyukan pula.
Pesan kedatangan Yesus jelas bahwa tawaran keselamatan oleh Tuhan tidak hanya bagi kaum tertentu Yahudi itu dan keselamatan tidak digantungkan pada “tradisi” (seperti sunat, etc) dan “paham kaum Yahudi itu tentang kebenaran”. Yesus tidak melarang tradisi dan paham “kebenaran” oleh kaum Yahudi itu, tetapi menegaskan bahwa : semua hukum, semua praktek iman harus digantungkan pada Hukum Utama: demi kasih / kemuliaan Tuhan dan kasih / keselamatan manusia.
Sudahkah kita menggantungkan semua hukum, semua tafsir, semua teologia, semua doktrin, semua ajaran, semua liturgi, semua praktek iman, semua ulasan, semua “kekayaan” GK, semua upaya di situs ini: demi kasih / kemuliaan Tuhan dan kasih/keselamatan manusia? Sesuai komen-komen sy sejauh ini, menurut sy belum. Maka sy “ributi” untuk pula memperkaya dan diperkaya, demi kasih tentunya. Itulah kewajiban kita semua sebagaimana karya Pak Stef dan Ibu di sini. Upahnya? Ya tentunya sebagai upaya menabung untuk ke sono-lah.
Tak ada gading tak retak. Mohon maaf jika ada kata yang kurang berkenan. GBU.
Shalom Irwan Saragih,
Mohon maaf, bahwa berikut ini adalah postingan terakhir saya untuk menjawab komentar Anda, yang saya nilai mempunyai muatan yang sama dan dinyatakan secara berulang-ulang dalam semua diskusi. Secara prinsip, saya telah memberikan argumentasi bahwa kita tidak dapat melepaskan kasih dari kebenaran. Sebagai contoh, adalah menjadi manifestasi kasih untuk menjawab semua pertanyaan dan diskusi yang masuk ke katolisitas. Namun, adalah tidak benar untuk melayani semua diskusi yang ada, sehingga pada akhirnya harus mengabaikan pertanyaan-pertanyaan lain yang juga memerlukan perhatian. Apalagi kalau diskusi tersebut sebenarnya telah berulang-ulang dan untuk melayani diskusi tersebut harus mengorbankan pelayanan yang lain. Contoh yang lain, seorang ibu yang mengasihi anaknya tidak akan membiarkan anaknya untuk makan coklat setiap hari, karena hal tersebut tidak benar. Walaupun seseorang atas nama kasih dapat saja mempertanyakan mengapa ibu tersebut tidak menyayangi anaknya. Namun, sebenarnya, dengan melarangnya, maka ibu tersebut telah menyayangi anaknya secara nyata, yaitu melindungi kesehatan anaknya.
Dengan kata lain, kebenaran menjadi satu kunci untuk dapat menguak misteri kasih. Adalah menjadi perbuatan kasih untuk memberitakan kebenaran akan Kristus, akan Gereja-Nya. Namun, pemberitaan ini tidak bersifat memaksa, karena kasih tidaklah memaksa. Semua pembaca mempunyai akal budi dan keinginan untuk menelaah setiap tulisan, sehingga dengan kebebasannya mereka dapat mengambil kesimpulan sendiri tanpa merasakan adanya paksaan. Namun, dalam diskusi, kita juga tidak dapat mengaburkan iman kita, karena justru malah terjadi kesalahpahaman yang tidak perlu. Diskusi yang baik sebenarnya justru membuka kesempatan bagi semua orang – tidak terbatas pada kaum beragama maupun ahli kitab – untuk membahas tentang iman yang diyakininya. Namun, pada saat diskusi seperti ini dianggap justru bertentangan dengan kasih, maka sebenarnya anggapan ini menjadi kontra produktif terhadap jalannya satu dialog.
Anda berkali-kali mengutip dokumen dari Konsili Vatikan II, yaitu deklarasi Dignitatis Humanae, yaitu pernyataan tentang kebebasan beragama. Saya mengundang Anda untuk membaca secara tuntas tentang dokumen ini di sini – silakan klik. Dengan demikian, kita dapat melihat, bahwa inti dari dokumen tersebut memang kita tidak dapat memaksakan agama kita kepada orang lain, karena kehidupan beragama adalah hak dari setiap individu. Walaupun demikian, Konsili juga secara jelas menyatakan bahwa kita harus menyadari jati diri kita, sebagai umat Allah, yang mempunyai kewajiban untuk mewartakan kebenaran. Silakan membaca artikel 1 dari dokumen tersebut sebagai berikut:
Jadi, kalau kita ingin menggali secara mendalam dari dokumen Dignitatis Humanae, maka salah satu kunci yang harus kita pegang adalah seperti yang dituliskan dalam dokumen tersebut: “Maka Konsili ini meneliti Tradisi serta ajaran suci Gereja, dan dari situ menggali harta baru, yang selalu serasi dengan khazanah yang sudah lama.” Dengan kata lain, konsili menginginkan kita menyadari jati diri kita, dan kemudian menerapkannya dengan cara yang bijaksana, sehingga pewartaan Kristus menjadi berdaya guna. Semoga dapat diterima.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
“.. Maka dari itu andaikata ada orang, yang benar-benar tahu, bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan…”
Banyak yang tidak mengetahui secara keseluruhan dalam pengajaran Iman Katolik maupun katekese ataupun KV II .. tadi dia katolik terus keluar tak lagi pernah ke Gereja Katolik lagi tetapi ikut persekutuan yang lain … apa di tetap Selamat? masalah banyak orang Katolik yang lari dari Iman Katolik ..
trima kasih
[Dari Katolisitas: Sejujurnya, kita tidak pernah dapat mengetahui dengan pasti keadaan hati setiap orang, namun yang jelas Allah mengetahuinya. Biarlah Tuhan sendiri yang menilai apakah orang itu benar-benar tahu atau tidak, akan ajaran imannya. Adalah bagian kita untuk menyampaikan kebenaran ajaran iman ini, dengan kesabaran dan kelemahlembutan; namun selanjutnya, biarlah Roh Kudus sendiri yang berkarya di dalam hati orang tersebut. Jika mereka menolaknya sekarang, belum tentu mereka tetap menolak sampai akhir hidup mereka. Maka, kalau kita sudah melakukan bagian kita untuk menyampaikan kebenaran ini, selanjutnya kita serahkan saja kepada Tuhan, sebab kita percaya bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik, seturut kehendak-Nya].
Dear Katolisitas,
Sy hanya sekedar menyajikan kembali uraian di atas dengan logika penulis : EENS : TIDAK ADA KESELAMATAN DI LUAR GK, TETAPI ADA yaitu jika 1 s/d 4….
Yang menarik bagi sy khususnya Butir 4: Jika ia hidup beriman dan melaksanakan cinta kasih. Bukankah itu artinya: KESELAMATAN ADALAH BAGI SIAPA SAJA YANG BERIMAN DAN MELAKSANAKAN CINTA KASIH? Mengapa GK tidak mengatakan begitu saja? Sesuai pemaparan itu? Dan, menurut sy memang benar begitulah seharusnya, karena kasih adalah ketentuan tertinggi untuk selamat sesuai ajaran Kristus. Ajaran Kristus sebagaimana terbaca di KS itu rasanya sesederhana itu. Uraian para ahli kitab itu rasanya muter-muter ke sana ke mari dan malah menempatkan HUKUM UTAMA itu di butir 4 sebagai perkecualian pula. GBU
Shalom Irwan,
Gereja Katolik adalah Gereja yang mengajarkan keseluruhan ajaran Kristus. Oleh karena itu Gereja disebut “katolik” yang artinya “universal, keseluruhan”.
Ajaran iman Kristiani tentang keselamatan, itu tidak hanya melibatkan cinta kasih, tetapi juga iman oleh karena rahmat karunia Allah, pertobatan, Pembaptisan, dan peran Gereja sebagai Tubuh Kristus, yang menyalurkan rahmat keselamatan tersebut.
Maka kalau kita sungguh mengasihi Kristus, maka selayaknya kitapun mau juga menerima keseluruhan ajaran-Nya, dan bukan hanya memilih sebagian saja, yang nampaknya lebih mudah kita terima ataupun lebih sesuai dengan kehendak kita.
Dengan prinsip ini, kami di Katolisitas, tidak dapat hanya menekankan satu segi saja dalam ajaran iman Katolik tentang keselamatan, namun keseluruhannya, sebagaimana yang diajarkan oleh Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja Katolik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear Katolisitas,
Yg hendak sy pertanyakan adalah: mengapa hukum kasih itu diletakkan sebagai butir 4 itu dan sebagai pengecualian pula? Lalu, apa maksud Kristus bahwa HUKUM KASIH ITU sebagai hukum tertinggi untuk keselamatan dan bahwa semua hukum/aturan/ketentuan harus digantungkan pada hukum utama itu? Kok jadi terbalik: Hukum EENS mendahului/lebih tinggi dari HUKUM UTAMA? GBU
Shalom Irwan,
Pengelompokan nomor 1 sampai 4 itu adalah pengelompokan yang kami buat untuk memudahkan perbandingan teks antara dokumen Konsili Vatikan I (tentang Iman) dan Konsili Vatikan II, yang membahas tentang ajaran Gereja Katolik tentang keselamatan. Oleh sebab itu, kami tulis (dalam kurung). Pengelompokan itu kami buat berdasarkan urutan penjabarannya dalam dokumen Konsili Vatikan I tentang Iman tersebut. Adalah sesuatu yang logis, bahwa karena pembahasannya tentang iman, maka penekanannya adalah: apa itu definisi iman, apa itu yang harus diimani, dan apa implikasinya terhadap keselamatan. Mungkin akan berbeda penekanannya, jika dokumen tersebut berjudul Tentang Cinta Kasih.
Nah memang, Sabda Tuhan mengajarkan kepada kita, bahwa keselamatan pertama-tama disebabkan oleh kasih karunia Tuhan, oleh iman, yang merupakan pemberian Allah (lih Ef 2:8); walaupun selanjutnya, diajarkan pula bahwa iman itu harus bekerja oleh cinta kasih (lih. Gal 5:6). Atau dalam perkataan Rasul Yakobus, iman harus disertai dengan perbuatan (yaitu perbuatan kasih), baru dapat menyelamatkan (lih. Yak 2:14-26).
Dengan demikian cinta kasih itu tidak dapat dipisahkan dari iman, dan sebaliknya iman tak dapat dipisahkan dari cinta kasih, agar dapat membawa kita kepada keselamatan. Karena kasih karunia Allah, manusia dapat mempunyai iman, yang olehnya manusia memberikan persetujuan akal budi akan apa yang diwahyukan oleh Allah itu, yaitu kasih-Nya yang tak terhingga yang dinyatakan di dalam Kristus, dan yang masih secara tak terbatas dicurahkan sampai sekarang melalui Gereja-Nya sampai akhir zaman. Sebab dengan mengalami kasih Tuhan yang total dan tak terbatas inilah, maka manusia dipanggil untuk melakukan hukum kasih kepada Tuhan dan sesama, sedapat mungkin juga secara total dan tak terbatas. Maka yang dibahas di sini adalah apakah definisi iman itu terlebih dahulu, yang menjadi dasar yang tak terpisahkan bagi hukum cinta kasih tersebut, agar dapat menyelamatkan. Maka, penjabaran tentang apakah arti iman, tidak dimaksudkan untuk mengecilkan peran cinta kasih bagi keselamatan, tetapi untuk memberikan pengertian akan makna iman yang menjadi dasar dari segala perbuatan kasih dan kebaikan, agar dengan memahami dasarnya, kita dapat melakukan kasih dan kebaikan tersebut dengan semaksimal mungkin, dan dengan motivasi yang benar sesuai dengan kehendak Allah.
Sebab cinta kasih (yang didasari oleh iman) yang dapat menghantar kepada keselamatan itu sesungguhnya adalah kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama manusia atas dasar kasih kepada Allah. Nah, orang tidak dapat sungguh mengasihi, kalau ia tidak lebih dahulu mengenal pihak yang dikasihi. Demikianlah maka pengenalan akan Allah dan segala kehendak/ perintah-Nya menjadi penting, sebelum seseorang dapat mengatakan bahwa ia sungguh mengasihi Allah. Baru kalau ia sudah dapat mengasihi Allah dengan segenap akal budi, jiwa dan kekuatan, maka ia memiliki motivasi yang benar untuk dapat mengasihi sesama. Dan baru kalau kedua hal ini dilakukan, artinya ia sungguh-sungguh mengasihi Allah dan sesama dengan kasih sejati yang tulus, yang tidak mengharapkan balasan. Kasih yang total yang didasari oleh kasih kepada Allah inilah yang diajarkan oleh Tuhan Yesus, sebagaimana dilakukan-Nya sendiri di kayu salib bagi kita manusia.
Maka Gereja mempunyai tugas untuk pertama-tama menjelaskan bahwa yang pertama harus dipahami adalah apakah iman itu, agar cinta kasih yang tulus dan total itu kemudian dapat dihasilkan sebagai buah yang tak terpisahkan darinya. Kristus tidak mengajarkan perbuatan cinta kasih saja tanpa iman, atau pemisahan perbuatan kasih dari iman, dan karena itu, Gereja Katolik juga tidak mengajarkan demikian. Sebab Sabda Tuhan melalui Rasul Paulus dan Silas mengatakan, “Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat, engkau dan seisi rumahmu.” (Kis 16:31). Dengan demikian, peran iman, yaitu kepercayaan akan Kristus, penting untuk keselamatan. Peran iman bagi keselamatan tidak dapat begitu saja diabaikan, dengan menekankan ‘hanya’ perbuatan kasih. Sepanjang sejarah, Gereja hanya mengulangi pengajaran ini, dan menjelaskan dengan lebih rinci, namun tidak dapat mengubah ataupun menguranginya. Penjelasan yang lebih rinci tentang iman akan Kristus inilah yang disampaikan oleh Konsili Vatikan I dan Konsili Vatikan II.
Maka, Konsili Vatikan II (ataupun Konsili Vatikan I) tidak mengurutkan hukum cinta kasih itu di urutan ke-4. Hukum kasih itu tetap adalah hukum yang terutama dan bahkan menjadi pesan utama Konsili Vatikan II, yaitu yang disampaikan di dalam Bab yang tersendiri, yaitu Bab ke V, judulnya: Panggilan umum untuk kekudusan dalam Gereja. Tentang hal ini, silakan membaca di sini, silakan klik. Berikut ini sedikit kutipannya:
“…. Memang, kepada semua orang diutus-Nya Roh Kudus, untuk menggerakkan mereka dari dalam, supaya mengasihi Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap akal budi dan dengan segenap kekuatan mereka (lih. Mrk 12:30), dan agar mereka saling mencintai seperti Kristus telah mencintai mereka (lih. Yoh 13:34; 15:12). Para pengikut Kristus dipanggil oleh Allah bukan berdasarkan perbuatan mereka, melainkan berdasarkan rencana dan rahmat-Nya. Mereka dibenarkan dalam Tuhan Yesus, dan dalam Pembaptisan iman sungguh-sungguh dijadikan anak-anak Allah dan ikut serta dalam kodrat ilahi. Dengan cara ini, mereka sungguh dijadikan kudus. Maka juga dengan karunia Allah, mereka wajib mempertahankan dan melengkapi dalam hidup mereka, kekudusan yang telah mereka terima. Oleh rasul [Rasul Paulus] mereka dinasehati, supaya hidup “sebagaimana layak bagi orang-orang kudus” (Ef 5:3); supaya “sebagai kaum pilihan Allah, sebagai orang-orang Kudus yang tercinta, mengenakan sikap belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemah-lembutan dan kesabaran” (Kol 3:12); dan supaya menghasilkan buah-buah Roh dalam kekudusan (lih. Gal 5:22; Rom 6:22). Akan tetapi karena dalam banyak hal kita semua bersalah (lih. Yak 3:2), kita terus-menerus membutuhkan belas kasihan Allah dan wajib berdoa setiap hari: “Dan ampunilah kesalahan kami” (Mat 6:12).
Jadi bagi semua jelaslah, bahwa semua orang Kristiani, bagaimanapun status atau jenjang hidup mereka, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup Kristiani dan kesempurnaan cinta kasih; dengan kekudusan sedemikian, cara hidup yang lebih manusiawi dapat dikembangkan di dalam masyarakat di dunia ini. Untuk memperoleh kesempurnaan itu hendaklah kaum beriman mengerahkan tenaga yang mereka terima menurut ukuran yang dikurniakan oleh Kristus. Mereka harus mengikuti jejak-Nya dan menyesuaikan diri mereka dengan citra-Nya, dengan melaksanakan kehendak Bapa dalam segala sesuatu. Mereka harus dengan segenap jiwa membaktikan diri bagi kemuliaan Allah dan pengabdian terhadap sesama. Dengan demikian, kekudusan Umat Allah akan bertumbuh dan menghasilkan buah berlimpah, seperti dalam sejarah Gereja telah diperlihatkan secara mengagumkan oleh kehidupan sekian banyak orang kudus…. ” (Lumen Gentium, 40)
Akhirnya, Anda benar bahwa cinta kasih memang adalah hukum yang terutama yang diajarkan oleh Kristus. Namun demikian, cinta kasih ini tidak dapat dipisahkan dari iman kepada Kristus, yang mendasari hukum cinta kasih ini. Sebab kita dipanggil untuk mengasihi Allah dan sesama secara total, seperti Kristus telah mengasihi kita dengan memberikan diri-Nya sehabis-habis-Nya, melalui Gereja-Nya. Maka dengan menerima dan mengimani Kristus yang tak terpisahkan dari Gereja-Nya, kita membalas kasih-Nya yang total itu. Melalui iman kepada Kristus itulah, kemampuan untuk mengasihi sebagaimana Kristus telah mengasihi kita itu, dapat diberikan Allah kepada kita.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom Katolisitas.org
Saya ingin menanyakan pendapat dari saudara saya yang seorang Protestan. Dia mengetahui keinginan saya untuk menggabungkan diri dengan Gereja Katolik, oleh karena itu mungkin karena dia sayang kepada saya, dia sempat SMSan dengan saya, intinya dia ingin mengemukakan bahwa Gereja Katolik itu banyak salah, dan lain sebagainya.
Ini salah satu SMS saudara saya yang ingin saya tanyakan kepada tim Katolisitas.org:
“Mayoritas teolog Katolik menafsirkan bahwa hsl keputusan Konsili Vatikan II sbg keputusan yg lbh menekankn bhw agama2 non kristen memang menyediakan jln2 keselamatan. Telah ada bbrp inkonsistensi dlm teologi Roma Katolik seblm n setlh Vatikan II. Stlh vatikan II Teologi Katolik Roma mjd cair n tdk pasti dgn pendirian inklusivistiknya. Pergeseran paradigma dr inklusivisme mnju pluralisme (kristosentrisme mnju teosentrisme)”
Demikian SMS dari saudara saya. Mohon bantuan jawaban dari tim Katolisitas atas pendapat saudara saya diatas.
Terimakasih. Tuhan memberkati.
Shalom Sonny Ng,
Konsili Vatikan II tidak mengubah ajaran Gereja sebelumnya tentang keselamatan. Konsili Vatikan tetap mengajarkan perlunya Gereja untuk keselamatan, dan dengan demikian tetap bersifat kristosentris, yaitu berpusat pada Kristus, yang tak terpisahkan dengan Tubuh-Nya yaitu Gereja Katolik. Silakan membaca artikel di atas, yang juga membahas masalah ini, silakan klik.
Nampaknya pemahaman saudara Anda keliru, sebab tidak ada maksud dari Magisterium Gereja Katolik untuk mengubah ajarannya tentang keselamatan. Jika ada pandangan yang mengatakan demikian, itu adalah pandangan pribadi, dan bukan ajaran resmi Gereja Katolik. Untuk memperoleh penjelasan yang lebih otentik, silakan membaca langsung penjelasan CDF (Kongregasi Ajaran Iman) yang telah disetujui oleh Paus Benediktus XVI tentang hal ini, yang baru saja selesai kami terjemahkan, silakan klik di sini.
Jika Anda tertarik akan topik ini, silakan juga membaca beberapa artikel di bawah ini:
Apakah arti EENS? (Extra Ecclesiam Nulla Salus)?
Dominus Iesus
Penjelasan tentang Dominus Iesus
Apakah hanya orang Katolik yang masuk Surga dan yang lain masuk neraka?
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
[Dari Katolisitas: edit], Apakah Konsili Vatikan 2 merevisi Konsili Vatikan 1, perkataan merevisi bisa diartikan bahwa Konsili Vatikan l ada kesalahan, khususnya tentang EENS. Sedang dikatakan bahwa Paus tidak bisa salah dalam hal iman dan moral, mohon penjelasan dari katolisitas. Thanks.
[Dari Katolisitas: Silakan membaca artikel di atas, silakan klik. Karena Konsili Vatikan II tidak mengubah apapun sehubungan dengan isi ajaran tentang EENS (yang diubah hanya cara menyampaikannya, yaitu disampaikan dengan kalimat positif), maka tidak benar bahwa dalam hal EENS, Paus ataupun Magisterium melakukan kesalahan dalam mengajarkan iman dan moral. Konsili Vatikan hanya menjabarkan dengan lebih detail ajaran tentang EENS yang telah pernah diajarkan oleh Gereja sebelumnya.]
Comments are closed.