Pertanyaan:
Syaloom….,
pada kesempatan ini, saya ingin bertanya tentang kasus-kasus perkawinan yang pernah saya temui, dan ini butuh sebuah pertimbangan moral yang sekiranya pas dengan kasus ini. Kasusnya seperti ini; dalam sebuah keluarga yang boleh dikatakan sebagai Pasangan Usia Subur (PUS) memiliki 8 orang anak. Keluarga ini hidup di bawah garis kemiskinan. Karena alasan ekonomi dan demi kesejaterahan keluarga ini, mereka (pasangan suami-isteri) memutuskan untuk mengikuti vasektomi. Nah, kasus inilah yang membuat saya menjadi bingung…..tolong ya ….
Fr. Christ Refileli
Jawaban:
Shalom Fr. Christ Refileli,
Terima kasih atas pertanyaannya apakah diperbolehkan mempergunakan kontrasepsi (dalam hal ini vasektomi) pada pasangan yang masih subur, hidup miskin dan telah mempunyai 8 anak. Memang kasus seperti ini, kita dihadapkan pada situasi yang sungguh sulit dan seringkali kita seolah-olah dihadapkan bahwa dogma dan doktrin dipandang menjadi sesuatu yang kaku dan “terlihat” kurang berperikemanusiaan. Mari kita menganalisa kasus ini, yang sebenarnya dapat dikatakan cukup ekstrem.
Secara prinsip, kita mengetahui bahwa Gereja Katolik melarang penggunaan kontrasepsi (Humanae Vitae, 14; Casti Connubi, 56), karena menghalangi salah satu aspek dari hakekat dari hubungan seksual, yaitu aspek keterbukaan terhadap kelahiran (procreation). Dengan kata lain, moral obyek (object moral) dari kontrasepsi sendiri adalah salah. Satu perbuatan baik dikatakan baik secara moral, harus baik dalam tiga hal, yang kalau kita kaitkan dengan kasus ini, maka dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) moral obyek: kontrasepsi, (2) keadaan: anak 8 dan hidup miskin; (3) tujuan (intensi): demi kesejahteraan keluarga. Dengan demikian, tujuan untuk melakukan kontrasepsi adalah baik, yaitu demi kesejahteraan keluarga, apalagi didukung dengan keadaan mereka yang hidup dalam garis kemiskinan, masih dalam masa subur dan telah mempunyai 8 anak. Walaupun tujuan dan keadaan mereka menunjang untuk melakukan kontrasepsi, namun moral obyeknya adalah salah, karena melakukan vasektomi, yang merupakan kontrasepsi. Pertanyaan ini, mungkin dapat dibandingkan dengan pertanyaan apakah seseorang yang miskin dan mempunyai banyak anak dibenarkan mencuri untuk memberi makan anak-anaknya? Tentu saja keadaan dan maksud perbuatan ini mendukung, namun moral obyek-nya – dalam hal ini mencuri – tidak dapat dibenarkan.
Tentu saja, kita harus dapat melakukan pendekatan yang tepat dan memberikan solusi bagi orang-orang yang berada dalam kondisi yang sulit ini. Namun, pendekatan pastoral yang dilakukan tidak dapat mengorbankan doktrin, yang kita terima sebagai satu kebenaran. Sebaliknya pastoral harus berdasarkan dogma dan doktrin, sama seperti kasih harus berdasarkan kebenaran. Dengan demikian, kita harus menyampaikan kebenaran tentang hakikat perkawinan yang harus tetap terbuka pada kelahiran. Namun, karena kondisi mereka, maka sudah seharusnya mereka mempelajari KB Alamiah (KBA), yang salah satunya dapat menggunakan metode Creighton – silakan klik. Di satu sisi, kalau memang kita ingin membantu keluarga mereka, maka bantulah agar mereka dapat melakukan KBA, membantu meringankan biaya pendidikan, biaya kehidupan sehari-hari, mencarikan pekerjaan, dll. Pendek kata, kita dapat menawarkan bantuan yang lain, sehingga beban mereka menjadi lebih ringan tanpa mengorbankan kebenaran. Semoga jawaban singkat ini dapat berguna. Semoga Fr. Refileli dapat diberikan kebijaksanaan untuk membantu keluarga ini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Fr Christ, Thanks ya, kasus perkawinan yang anda temukan persis dengan tugas sakramen perkawinan yang harus saya kerjakan, jadi bisa jadi rujukan tambahan.
Mohon penjelasan, bila kita melihat seperti ini:
kita bandingkan dari sisi: motive , tujuan (goals) , dan cara (means)
Kasus-1:*motive = pasutri yg sudah punya anak banyak, pasutri tsb menghadapi halangan untuk memenuhi kewajiban membesarkan dan mendidik anak bila ada tambahan anak lagi. Halangan tsb termasuk dari eksternal: tekanan kapital (pemberi kerja), tekanan hukum (pemerintah), alasan medis (penularan penyakit), dll
*tujuan = menghindari tambahan kelahiran anak, tetapi tetap melakukan hubungan
*means = KBA yaitu melakukan hubungan terjadwal (di masa tidak subur), dalam hal ini kemungkinan hamil masih ada walaupun sangat kecil. DAN, suami/istri perlu pindah kerja bila jadwal cuti kerja tidak sama dgn siklus subur istri.
Kasus-2:
*motive = sama dgn di atas (sda)
*tujuan = sda
*means = sterilisasi, dlm hal ini kemungkinan hamil secara natural menjadi “nol”. (seringkali permanen)
Kasus-3:
*motive = sda
*tujuan = sda
*means = Kondom yaitu melakukan hubungan terjadwal (sesuai waktu yg tersedia di kedua pihak), dalam hal ini kemungkinan hamil masih ada walaupun sangat kecil.
Kasus-4:
*motive =sda
*tujuan = sda
*means = Kontrasepsi Abortif yaitu melakukan hubungan terjadwal (sesuai waktu yg tersedia di kedua pihak), dalam hal ini kemungkinan hamil nol karena aborsi (pembunuhan).
Kasus-5:
*motive=sda
*tujuan= menghindari kelahiran anak, dan pantang hubungan secara total.
*means= mengembangkan hidup doa dan sakramen, mengembangkan aspek unitive pasutri dgn cara aseksual.
Bila kita HANYA berpengangan pada Prinsip Moral ajaran GK: “kegiatan seksual dalam perkawinan tidak memisahkan tujuan prokreasi (menghasilkan keturunan) dan tujuan untive (mewujudkan persatuan kasih suami-istri)”, kelihatannya kasus 1, 3, 5 bisa dipertimbangkan. Tetapi bila kita JUGA mempercayai bahwa kontrasepsi dalam segala bentuk adalah “intrisically evil” (kontrasepsi buruk dari dalam dirinya sendiri, bukan karena motive dan tujuan nya) maka pilihan adalah kasus-1 dan 5.
Shalom Fxe,
Gereja Katolik mengatakan bahwa penggunaan alat kontrasepsi (termasuk kondom) adalah salah secara mendasar/intrinsically wrong, sehingga dalam kasus yang Anda tanyakan, maka yang dapat diterima oleh Gereja Katolik adalah kasus 1 dan 5. Sebab pemakaian kondom, di samping tidak mencerminkan persatuan total antara suami dan istri, secara prinsipnya menghalangi prokreasi (demikian juga sterilisasi ataupun alat kontrasepsi abortif lainnya, juga menghalangi prokreasi, sehingga dilarang Gereja).
Demikian yang dikatakan oleh Paus Paulus VI dalam Humanae vitae, 14:
[catatan: hubungan dengan kondom termasuk hubungan seksual yang secara sengaja bersifat kontrasepsi (karena memasang penghalang agar tidak terjadi pembuahan) sehingga ini adalah salah secara mendasar/ “intrinsically wrong“]
Demikian juga dalam Katekismus:
KGK 1643, “Cinta kasih suami istri mencakup suatu keseluruhan. Di situ termasuk semua unsur pribadi: tubuh beserta naluri-nalurinya, daya kekuatan perasaan dan afektivitas, aspirasi roh maupun kehendak. Yang menjadi tujuan yakni: kesatuan yang bersifat pribadi sekali; kesatuan yang melampaui persatuan badani dan mengantar menuju pembentukan satu hati dan satu jiwa; kesatuan itu memerlukan sifat tidak terceraikan dan kesetiaan dalam penyerahan diri secara timbal balik yang definitif, dan kesatuan itu terbuka bagi kesuburan. Pendek kata: itulah ciri-ciri normal setiap cinta kasih kodrati antara suami dan isteri, tetapi dengan makna baru, yang tidak hanya menjernihkan serta meneguhkan, tetapi juga mengangkat cinta itu, sehingga menjadi pengungkapan nilai-nilai yang khas Kristen”. (Familiaris Consortio 13).
KGK 2363 Melalui persatuan suami isteri terlaksanalah tujuan ganda perkawinan: kesejahteraan suami isteri dan penyaluran kehidupan. Orang tidak dapat memisahkan kedua arti dan nilai perkawinan ini satu dari yang lain, tanpa merugikan kehidupan rohani pasangan suami isteri dan membahayakan kepentingan perkawinan dan masa depan keluarga.
Dengan demikian cinta suami isteri antara pria dan wanita berada di bawah tuntutan ganda yakni kesetiaan dan kesuburan.
KGK 2366 Kesuburan adalah suatu karunia, sebuah tujuan perkawinan, sebab kasih suami istri secara kodrati cenderung berbuah. Seorang anak tidak datang dari luar sebagai sesuatu yang ditambahkan kepada kasih timbal balik antara pasangan suami istri, tetapi lahir dari inti kasih yang saling memberi, sebagai buahnya dan kepenuhannya. Oleh sebab itu, Gereja, yang berpihak kepada kehidupan, mengajarkan bahwa “setiap dan masing- masing tindakan hubungan suami istri tetap ditujukan kepada penciptaan (procreation).” (Humanae Vitae 11). “Ajaran ini, yang diajarkan dalam banyak kesempatan oleh Magisterium, berdasarkan atas hubungan yang tak terpisahkan, seperti yang ditentukan oleh Tuhan, yang tidak dapat dilanggar oleh manusia atas inisiatifnya sendiri, antara makna persatuan (unitive) dan penciptaan (procreative) yang keduanya melekat pada tindakan hubungan suami istri.” (Humanae Vitae 12, lih. Paus Pius XI, Casti Connubii).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Terima kasih bu Ingrid, kelihatannya diskusi ttg hal ini tidak habis-habis. Semoga Katolisitas
tidak bosan membuka cakrawala baru — dgn argumentasi2 baru — untuk lebih memahami ajaran yg sulit ini.
Kalau melihat contoh kasus di atas, maka case-1(KBA), dan case-3(kontrasepsi non-abortif seperti kondom) keduanya mempunyai motive/context dan tujuan/intention yang sama. Yang membedakan keduanya adalah cara/means. Dimana case-3 menggunakan “kontrasepsi non-abortif” yg dianggap “intrisically evil”. Sejauh yg dapat saya pahami, suatu objek moral dianggap “intrisically evil” artinya dia itu selalu buruk dari dirinya sendiri, terlepas dari sebaik apapun context maupun intention-nya.
Sebagai contoh: “membunuh orang” adalah intrisically evil, dia adalah tindakan yg buruk, apapun konteksnya apapun intensinya. Tetapi “membunuh binatang” adalah tindakan yg netral (bukan intrisically evil), baik atau buruknya tindakan itu dinilai dari context dan intensi nya. Demikian juga “berdoa” adalah netral, baik atau buruknya dinilai dari intensi doa tsb.
Ajaran moral GK bahwa “seks harus menyatukan aspek prokreatif dan aspek unitif”, dapat dipahami oleh banyak orang. Tetapi memahami “kontrasepsi non-abortif” disebut sebagai “intrisically evil”, ini yg membutuhkan pencerahan/penjelasan lebih banyak. Tentunya penjelasan “kontrasepsi adalah intrisically evil” tsb tidak dapat mengacu ke context ataupun intention-nya. Kalau kontrasepsi non-abortif disebut intrisically-evil kenapa KBA tidak disebut intrisically-evil?
Demikian dulu, semoga Katolisitas berkenan memberi pengertian. Semoga Tuhan senantiasa memberkati kita semua. Amin.
Shalom Fxe,
Katekismus Gereja Katolik mengambil prinsip ajaran St. Thomas Aquinas dalam mengajarkan bagaimana menilai suatu perbuatan dapat dikatakan baik dan dapat diterima secara moral, yaitu: 1) moral obyeknya baik, 2) intensi/ maksudnya baik, dan 3) keadaan dilakukannya baik/ sesuai. Jika salah satu dari tiga syarat ini tidak dipenuhi maka perbuatan tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dapat diterima secara moral.
Nah, perbuatan yang kita lakukan tidak pernah berdiri sendiri, tetapi ada maksudnya dan dilakukan di dalam keadaan tertentu. Misalnya kita bernyanyi; pasti ada maksudnya dan ada keadaannya. Menyanyinya sendiri adalah perbuatan netral, yang cenderung baik secara intrinsik, sebab merupakan kegiatan menyalurkan kemampuan/ bakat yang positif, yaitu melagukan suatu lirik. Jika dimaksudkan sebagai pujian kepada Tuhan dan dinyanyikan di dalam gereja saat Misa, tentu ini baik. Ketiga syarat dipenuhi, dan perbuatan menyanyi sebagai ungkapan pujian kepada Tuhan di Misa, menjadi perbuatan yang secara moral baik. Tetapi halnya menjadi berbeda, jika perbuatan menyanyi untuk memuji Tuhan dilakukan di dalam keadaan yang keliru, misalnya pada saat guru mengajar matematika di dalam kelas, maka menyanyi ini, walaupun baik dan maksudnyapun baik, menjadi perbuatan yang mengganggu, dan tidak dapat dibenarkan.
Dengan prinsip yang sama, maka kita mengatakan bahwa berdoa merupakan perbuatan yang secara intrinsik baik (yaitu perbuatan berkomunikasi dengan Tuhan), namun jika intensinya untuk dipuji orang, maka perbuatan doa sedemikian itu menjadi tidak benar secara moral.
Nah, sekarang tentang pemakaian kontrasepsi non- abortif, contohnya kondom. Dengan prinsip yang sama kita mengetahui bahwa secara intrinsik perbuatan tersebut sudah keliru, karena merupakan perbuatan yang bertentangan dengan makna hubungan suami istri. Penggunaan kontrasepsi merupakan penolakan terhadap kodrat memberi dan menerima yang seutuhnya dari seorang suami istri yang sedang berhubungan tersebut, dengan menghalangi bertemunya sel sperma dan sel telur. Penggunaan kontrasepsi ini secara intrinsik merupakan perwujudan perkataan, “Saya memberikan diri saya kepadamu kecuali kesuburanku”. Pemberian diri secara bersyarat ini yang secara intrinsik keliru, dan tidak sesuai dengan hakekat hubungan seksual suami istri yang diajarkan oleh Gereja sebagai lambang pemberian diri seutuhnya tanpa syarat antara suami dengan istri, yang mengikuti teladan Kristus yang memberikan diri seutuhnya tanpa syarat kepada Gereja-Nya, tanpa ada yang ditahan, tanpa ada yang dibuang. Maka karena secara intrinsik sudah keliru, pemakaian kondom, walaupun non- abortif, tetap tidak dapat dibenarkan secara moral, walaupun intensinya baik dan keadaannya baik.
Hal ini tidak sama dengan pelaksanaan KB alamiah. Dalam penerapan KB alamiah, jika tidak diinginkan tambahan jumlah anak karena alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka yang dilakukan suami istri adalah tidak melakukan hubungan suami istri pada saat- saat subur istri. Mereka tetap dapat berhubungan suami istri pada saat- saat lainnya, dan hubungan ini dapat mencerminkan totalitas pemberian diri (tanpa ada yang dibuang), yang sesuai dengan hakekat hubungan suami istri sebagaimana dikehendaki Tuhan. Saat mereka tidak melakukan hubungan suami istri pada saat subur istri, hal itu dapat diterima, sebab mereka tetap dapat menyatakan kasih dengan cara lain; dan memakai saat- saat pantang tersebut sebagai kesempatan untuk berdoa. Hal ini sesuai dengan pengajaran Rasul Paulus kepada suami istri, “Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa. Sesudah itu hendaklah kamu kembali hidup bersama-sama, supaya Iblis jangan menggodai kamu…” (1Kor 7:5).
Jadi pertama- tama, penggunaan kontrasepsi (walaupun non- abortif) secara intrinsik sudah keliru karena merupakan bentuk ‘pengingkaran’ akan hakekat hubungan seksual suami istri, yang merupakan ungkapan pemberian diri yang total.
KGK 2361 Oleh karena itu seksualitas, yang bagi pria maupun wanita merupakan upaya untuk saling menyerahkan diri melalui tindakan yang khas dan eksklusif bagi suami isteri, sama sekali tidak semata-mata bersifat biologis, tetapi menyangkut inti yang paling dalam dari pribadi manusia. Seksualitas hanya diwujudkan secara sungguh manusiawi, bila merupakan suatu unsur integral dalam cinta kasih, yaitu bila pria dan wanita saling menyerahkan diri sepenuhnya seumur hidup” (FC 11)…
KGK 2362 “Maka dari itu tindakan-tindakan, yang secara mesra dan murni menyatukan suami-isteri, harus dipandang luhur dan terhormat; bila dijalankan secara sungguh manusiawi, tindakan-tindakan itu menandakan serta memupuk penyerahan diri timbal-balik, cara mereka saling memperkaya dengan hati gembira dan rasa syukur” (GS 49,2). ….
Sedangkan pelaksanaan KB alamiah tidak melibatkan ‘pengingkaran’ ini, karena suami istri yang menerapkannya memang tidak melakukan hubungan suami istri pada saat- saat subur istri, sehingga pada saat itu tidak ada hubungan [yang diingkari hakekatnya]. Saat mereka melakukan hubungan suami istri di luar saat subur istri, mereka melakukannya dengan total/ sepenuhnya, sehingga dengan ini mereka tidak mengingkari hakekat persatuan dan penyerahan diri timbal balik yang dikehendaki Tuhan.
Demikian, semoga dapat menjadi masukan bagi Anda. Memang untuk melakukan KB Alamiah dibutuhkan pengorbanan dari kedua belah pihak, terutama juga hal pengendalian diri. Namun jika hal ini dilakukan, malah Allah memberikan rahmat berlimpah bagi pasangan, karena mereka akan dimampukan untuk mengasihi dengan lebih tulus dan murni, tidak mementingkan keinginan sendiri, dan dengan demikian mampu menemukan cara mengungkapkan kasih dengan cara- cara yang paling sederhana sekalipun. Inilah yang dapat memperkokoh hubungan kasih suami istri, yang menghindarkan mereka dari perselingkuhan dan perceraian.
Selanjutnya tentang metoda KB Alamiah yang akurat, yaitu Metoda Creighton, silakan klik di sini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Maaf saya kirimkan postingan saya kemarin sbb. :
Selamat siang Sahabat Kristus ! Damai Kristus beserta kita !
Saya mau mengajak saudara berdoa melalui Bunda Maria kepada Yesus Kristus
dan Allah Bapa dalam karya dan kuasa Roh Kudus, agar supaya gereja Katholik
lebih bijaksana tentang alat kontrasepsi bagi umat manusia, khususnya mereka
… yang di daerah miskin dan atau sudah punya anak cukup, namun tidak ingin lagi mempunyai anak, dengan alasan yang baik dan tidak mau telantarkan anaknya
dan atau sudah tidak siap lagi untuk menambah anak baik secara mental, apalagi
finansial, yang benar2 dapat diterima di dalam satu keluarga, bukan untuk hal-hal
yang lain dan tidak menganjurkan “sistem kalender”, yang mengikat pasangan
suami istri menjadi “robotik”, tidak alami mengungkapkan hubungan pasutrinya.
Apakah irama hubungan intim itu saat sebelum punya anak dan sesudah punya
anak 2 dan keluarga memutuskan sudah cukup dan tidak mau lagi ditentukan
harus beda ! ditahan, ditunggu, dipilih ! Apakah keinganan yang alami itu mesti
dikalenderin. Saya kira ada kebijaksanaan yang dapat diterima akan lebih baik dari
pada “menggugurkan” kandungan alias aborsi.
Saya juga mengajak berdoa sekaligus, agar manusia tidak mengadakan aborsi,
karena alasan apapun, kecuali sudah diketahui embrionya cacat ! dan dianjurkan
aborsi oleh team dokter, sebab aborsi adalah tindakan pembunuhan !
Demikian juga program pemerintah yang sesuai dengan UUD ’45 dijalankan dengan tuntas, tegas dan tidak dikorupsi oleh oknum dan oknum ditindas tegas atas penye-
lewengan atas hak rakyat yang hakiki.
Saya kira sudah banyak keluarga Katholik yang sudah mengambil kontrasepsi dalam
keluarga, tanpa mengetahui ajaran-ajaran gereja !
Firman Tuhan waktu kitab Kejadian 1 ayat 28 kepada manusia: “Beranakcuculah dan
bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan
di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”
Saya percaya Allah/Tuhan akan berfirman lagi kepada ” Gereja Mengajar ” Katholik
untuk mengeluarkan kebijaksanaan yang baik dan benar, sesuai dengan kehendak Allah/Tuhan/Roh Kudus dan para kudus gerejaNya. Sesuai dengan perkembangan
jaman dan tidak hanya mengandalkan ayat diatas yang merupakan cita-cita luhur
ALLAH saat permulaan saja, kalau diteruskan firman itu sepertinya tidak mungkin,
sebab ALLAH yang maha rahim, maha tahu, maha mengerti, maha adil dan
bijaksana, namun tegas dan jelas ! Amin.
Shalom Hendrik Tang,
Agaknya dari komentar Anda secara implisit Anda berpikir bahwa Gereja Katolik tidak bijaksana karena melarang penggunaan alat konstrasepsi, lalu Anda mangajak kita semua mendoakan Gereja. Tentu boleh kita mendoakan Gereja, tetapi jangan dilupakan bahwa Gereja juga termasuk adalah kita semua, sebab kita semua adalah anggotanya. Jika Magisterium Gereja Katolik sudah mengajarkan sesuatu secara definitif, maka bagian kita anggotanya adalah memberikan ketaatan iman, dan bukan menentangnya, karena itu membuat kita malah melawan Roh Kudus yang telah membimbing Magisterium untuk mengajar umat-Nya.
Bahwa larangan penggunaan alat kontrasepsi itu mengakibatkan perlunya dipahami dan disosialisasikan secara lebih meluas metoda KB alamiah, itu benar, tetapi bukan karena alasan kesulitan ini, maka larangan tersebut boleh diabaikan. Lagipula sistem KB alamiah itu tidak sama dengan sistem kalender, walaupun memang mensyaratkan pengenalian diri, baik dari pihak suami maupun istri. Gereja Katolik mengajarkan bahwa hal hubungan suami istri adalah sesuatu yang sakral, sehingga tidak sama dengan pemuasan keinginan jasmani semata, tetapi harus merupakan pernyataan pemberian diri yang total antara suami dan istri. Silakan membaca terlebih dahulu artikel- artikel di bawah ini, yang sudah membahas panjang lebar mengenai hal ini:
Humanae Vitae itu Benar!
Kemurnian dalam Perkawinan
Metoda Creighton, KB Alamiah yang cukup akurat
Indah dan Dalamnya Makna Sakramen Perkawinan Katolik
Efek- efek Negatif Kontrasepsi
Jadi mari jangan melihat bahwa larangan kontrasepsi itu untuk menjadikan suami istri menjadi seperti robot. Justru sebaliknya, pemakaian konstrasepsi menjadikan manusia seperti robot, yang tidak lagi dapat mengendalikan dirinya sendiri; ia menjadi robot atas dorongan keinginan jasmaninya, tanpa dapat menahan diri dan menghargai pasangannya dengan lebih penuh dan tulus; sebab kecenderungan yang ada adalah menjadikan pasangan sebagai obyek penyaluran keinginannya dan bukan sebagai subyek untuk dikasihi secara penuh, yang harus diperhatikan kehendaknya dan keadaannya.
Selanjutnya, tidak benar bahwa aborsi diperbolehkan jika diketahui bahwa embrionya cacat. Itu bukan ajaran Gereja Katolik. Gereja Katolik tidak memperbolehkan aborsi, baik embrionya cacat atau normal, sebab tetap berlaku bahwa aborsi adalah pembunuhan seorang manusia. Jika kita mempunyai seorang anak yang cacat (misal akibat kecelakaan, dst), tentu tidak dapat dikatakan kita mempunyai alasan untuk membunuhnya; demikian pula kita tidak punya alasan untuk membunuh anak yang cacat di kandungan, sebab biar bagaimanapun ia adalah anak kita dan ia adalah seorang manusia.
Selanjutnya, firman Tuhan dalam Kej 1:28, tetap belaku, yaitu bahwa Allah menghendaki manusia beranak cucu, sebab dengan demikianlah bangsa mempertahankan eksistensinya. Bangsa yang tidak menghargai kehidupan anaknya dan dengan demikian menolak generasi penerusnya akan menghadapi masalah untuk mempertahankan dirinya sebagai bangsa dalam kurun waktu ke depan, dan ini sudah terjadi di Eropa [dan Amerika], di mana pertumbuhan penduduknya sudah negatif. Selain itu penggunaan alat kontrasepsi juga membawa resiko/ dampak negatif terhadap moralitas generasi muda, dan terhadap keutuhan perkawinan karena suami dan istri tidak terbiasa untuk mengendalikan diri dalam hal seksual, dan ini dapat membawa pengaruh buruk lainnya kepada hubungan suami istri.
Allah Maha Rahim, Maha Adil, dan Bijaksana; oleh karena itu Sabda-Nya diberikan demi kebaikan kita manusia. Bukan bagian kita untuk menginterpretasikannya menurut pemahaman kita sendiri, sebab jika demikian kita menempatkan diri kita melawan hukum Allah dan hukum kodrat, yang dapat membawa resiko negatif terhadap diri kita sendiri.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shallom katolisitas,
Sy seorang dokter..masalah kontrasepsi ini menjadi pergumulan bagi sy seorg dokter Katolik
Sbg seorg Katolik, sy paham bahwa cara yg diperbolehkan adalah KBA..sy sendiri menjalankan cara KBA
Namun,sulit sekali utk menerapkan KBA pd pasien..apalagi mayoritas pasien tdk beragama sama
Masalah kesehatan yg dihadapi saat ini adalah tingginya angka kematian ibu&anak, krn kehamilan berisiko tinggi, yaitu ibu terlalu banyak anak atau hamil terlalu tua ataupun hamil yg tdk terkontrol (krn pendidikan yg rendah)..sy sendiri saat ini berada di tanah papua,di mana pria sangat dominan&wanita tdk ckp punya suara..
Masih byk ibu2 yg memiliki anak banyak, hamil di usia tua, hamil di usia remaja..smua terjadi krn budaya&pendidikan yg kurang..utk memberi penyuluhan&pengertian sdh dicoba walaupun hasil nampaknya blm ada..bahkan sy pernah mengisi materi ttg metode ovulasi billing dlm KPP, tp romo yg bersangkutan mengatakan sebaiknya tdk usah dibahas krn percuma mereka tdk akan mengerti, tp bagaimanapun sy tetap coba sampaikan ttg KB alami sesederhana mungkin..
Ganjalan yg sy rasakan&ingin sy tanyakan adl:
1. Jika masalah sosial yg dihadapi sedemikian besar,apakah kontrasepsi dpt menjadi pembenaran?
2. Jika ada pasien yg berbeda agama minta kontrasepsi kpd sy, apakah sy dosa jk mengiyakan permintaan pasien? Krn berarti sy tdk mendukung prokreasi?
3. Lalu pernah ada yg mengatakan, bahwa sebenarnya kontrasepsi yg mutlak tdk boleh adalah kontrasepsi yg mengganggu pertumbuhan janin, misal spiral..tp yg mencegah pertemuan sperma&ovum masih diperkenankan, seperti kondom, KB hormonal..bgm pendapat Gereja Katolik mengenai hal ini..
Terima kasih..semoga semakin byk berkat yg dpt disalurkan oleh katolisitas..Tuhan berkati
Shalom Lina,
Terima kasih atas pertanyaannya dan keteguhan hati anda untuk memberikan contoh yang baik dalam menggunakan KBA serta pengabdian anda di tanah Papua. Memang, seringkali kita dihadapkan pada kondisi yang sulit dalam menerapkan prinsip-prinsip pengajaran yang kita yakini sebagai satu kebenaran. Namun, di satu sisi, kesulitan untuk menerapkan kebenaran tidak dapat membenarkan kita untuk melanggar kebenaran. Dengan demikian, kita tetap tidak dapat memberikan justifikasi terhadap kontrasepsi, yang obyek moralnya adalah salah.
Bagaimana dalam kasus pasangan yang berbeda agama? Kalau ada yang berbeda agama dan dalam kondisi yang sungguh sulit (misal terancam perceraian karena melaksanakan KBA), maka yang harus dilakukan adalah pihak yang Katolik tidak melakukan kontrasepsi, namun pihak yang tidak Katolik dapat menggunakan kontrasepsi, dan mereka tetap dapat berhubungan untuk menghindari akibat buruk yang ditimbulkan, seperti perceraian, dll. Namun, tentu saja cara ini adalah merupakan cara yang terakhir, setelah mereka diberi pengertian tentang arti seksualitas dalam perkawinan menurut pengajaran Gereja Katolik, serta berusaha agar mereka dapat melaksanakan KBA. Dengan cara ini, maka pihak yang Katolik tetap dapat menjalankan pengajaran iman dan pada saat yang bersamaan menghindarkan akibat yang buruk ketegangan hubungan suami istri. Inilah sebabnya perkawinan beda agama akan memberikan banyak kesulitan, karena perbedaan iman dan termasuk perbedaan dalam melihat hakikat perkawinan dan seksualitas.
Dalam menghadapi kasus-kasus yang sulit, kita sendiri mencoba memberikan solusi berdasarkan kebenaran pengajaran Gereja Katolik, namun jangan terlibat dalam perbuatan yang salah. Dalam kasus anda sebagai dokter, maka tidak dibenarkan kalau anda memberikan solusi kepada pasien dengan menyarankan atau membantu pasien melakukan kontrasepsi, karena secara tidak langsung maupun langsung, anda dapat terlibat dalam perbuatan yang salah. Dalam kasus yang lebih ekstrem, dokter yang berpartisipasi dalam aborsi telah melakukan dosa berat. Bahkan dalam hukum kanonik, orang yang membantu aborsi dan yang melakukan aborsi terkena ekskomunikasi.
Tentang pertanyaan anda yang ketiga, maka secara lengkap anda dapat membaca artikel tentang Humanae Vitae – silakan klik dan juga artikel kemurnian dalam perkawinan ini – silakan klik. Secara khusus, dapat diperhatikan artikel 14 dari Humanae Vitae yang dikeluarkan oleh Paus Paulus VI tahun 1968
Dengan kata lain, selain KBA maka semua jenis kontrasepsi, termasuk kondom, pill, dll tidak dapat dibenarkan. Semoga jawaban singkat ini dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Syaloom….,
pada kesempatan ini, saya ingin bertanya tentang kasus-kasus perkawinan yang pernah saya temui, dan ini butuh sebuah pertimbangan moral yang sekiranya pas dengan kasus ini. Kasusnya seperti ini;
Karena alasan pekerjaan, Bapak Robby tinggal d Jayapura sedangkan istrinya tinggal di Jakarta.mereka mempunyai 4 anak dan tidak ingin mempunyai anak lagi demi kesejahteraan suami istri dan pendidikan anak-anak. Mereka meminta nasehat untuk membantu mereka menentukan pilihan metode KB manakah yang tepat untuk membantu mereka.
Shalom Theys,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang beberapa kasus yang anda hadapi. Kita harus kembali ke prinsip awal, bahwa sebuah tindakan secara moral dapat dibenarkan, kalau memenuhi tiga hal: obyek moral, keadaan, tujuan. Dalam kasus yang anda sebutkan, maka tujuannya baik – untuk kesejahteraan suami istri dan pendidikan yang baik bagi anak-anak; keadaannya menunjang, karena alasan pekerjaan yang terpisah dan telah mempunyai empat anak; namun obyek moralnya tidak dapat dibenarkan kalau disarankan dengan menggunakan kontrasepsi. Oleh karena itu, kalau kita mau menolong mereka, maka ada beberapa hal yang dapat dilakukan: (1) Mencarikan pekerjaan atau menyarankan agar dia dapat mencari pekerjaan yang memungkinkan mereka dapat hidup bersama-sama, karena itu yang paling baik untuk kehidupan berkeluarga; (2) Mengajarkan bagaimana menerapkan KBA, seperti dengan metode Creighton yang dapat dilihat di sini – silakan klik; (3) Membantu keluarga ini agar dapat berakar pada doa dan Firman Tuhan serta mempunyai kehidupan sakramen yang baik, sehingga mereka diberi kekuatan oleh Tuhan untuk menjalankan perintah yang sulit ini. Semoga prinsip ini dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Shalom Katolisitas,
Bagaimana jika kasusnya adalah pemerintah mempunyai peraturan pembatasan kelahiran jumlah anak seperti misalnya di China 1 orang anak, lalu di Vietnam 2 orang anak? Bagaimana harus menyikapinya?
Tuhan memberkati,
Teddy
Shalom Teddy,
Terima kasih atas pertanyaannya. Secara prinsip, pertanyaan yang anda ajukan sebenarnya sungguh kompleks, karena menyangkut dua hal yang saling bertentangan: di satu sisi, pembatasan anak melanggar hukum kodrat dan menyebabkan masalah-masalah lain dan di satu sisi, umat Katolik yang tidak memenuhi peraturan ini akan mendapatkan hukuman – baik dengan pajak yang lebih tinggi, kehilangan pekerjaan, pemaksaan aborsi dan kontrasepsi, denda (seperti yang terjadi di Vietnam). Akibat buruk dari peraturan ini adalah negara Cina pada saat ini mengalami permasalahan karena ketidakseimbangan jumlah pria dan wanita karena peraturan hanya satu anak ini dan banyak orang tua memilih untuk mendapatkan bayi laki-laki. Akibatnya di tahun 2010 Cina mempunyai rasio tertinggi perbandingan bayi laki-laki dengan bayi perempuan, yaitu 120 bayi laki-laki dibanding 100 bayi perempuan. Dan diperkirakan pada tahun 2020, maka akan ada 40 juta pria siap menikah tidak akan mendapatkan pasangan hidup.
Bagaimana umat Katolik harus bersikap untuk menghadapi situasi ini? Tentu saja ini bukan masalah yang mudah. Di Vietnam, Catherine Pham Thi Thanh yang hidup di provinsi Thua Thien-Hue, sejak tahun 1966 harus membayar kepada pemerintah sebanyak 3,800 kg beras sebagai hukuman karena memiliki enam anak. (sumber: klik ini) Namun, pastor Joseph Nguyen Van Chanh yang bertugas di daerah tersebut mengatakan bahwa 90% dari 1,200 anggota parokinya tetap menggunakan KBA. Ini adalah sebagai gambaran akan sikap yang heroic. Mereka tetap menjalankan KBA di tengah-tengah tekanan dari pemerintah. Di satu sisi, tentu saja walaupun pemakaian kontrasepsi dalam tekanan seperti ini tetap berdosa, namun dapat memperkecil bobot dosa yang dilakukan. Secara prinsip, kita tidak dapat memberikan justifikasi terhadap cara yang salah untuk mencapai tujuan akhir. Walaupun hal ini berat, namun tidak mungkin kita dapat menyetujui hukum yang menentang kodrat manusia dan menentang akal budi. Semoga jawaban ini dapat diterima.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Syaloom….,
pada kesempatan ini, saya ingin bertanya tentang kasus-kasus perkawinan yang pernah saya temui, dan ini butuh sebuah pertimbangan moral yang sekiranya pas dengan kasus ini. Kasusnya seperti ini; dalam sebuah keluarga yang boleh dikatakan sebagai Pasangan Usia Subur (PUS) memiliki 8 orang anak. Keluarga ini hidup di bawah garis kemiskinan. Karena alasan ekonomi dan demi kesejaterahan keluarga ini, mereka (pasangan suami-isteri) memutuskan untuk mengikuti vasektomi. Nah, kasus inilah yang membuat saya menjadi bingung…..tolong ya….
[dari katolisitas: silakan melihat jawaban di atas – silakan klik]
Comments are closed.