Ada sejumlah orang mempertanyakan, apakah yang dapat dipelajari dari kisah hidup seseorang yang bernama Alexis (Alexius) di abad ke-5, yang kemudian dikenal sebagai Santo Alexis? St. Alexis diakui sebagai orang kudus, pertama-tama di Gereja Timur sebelum abad ke-9, namun kemudian juga ia diterima di Gereja Barat (Roma) menjelang abad ke-10.
Sekilas kisah hidup St. Alexis
Sebelum membahas lebih lanjut tentang St. Alexis, mari kita membaca sekilas kisah hidupnya ((sumber: Alban Butler, Lives of the Saints, volume III, Texas, USA: Christian Classics, Thomas More Publishing, 2nd edition, reprinted 1996, p. 123-124))
“St. Alexis adalah seorang anak tunggal dari seorang senator yang kaya di Roma, yang bernama Euphemian dan istrinya, Aglae. Ia lahir dan dididik di ibukota di abad ke-5. Melalui teladan kasih dari orang tuanya, ia belajar bahwa kekayaan yang dibagikan kepada kaum miskin akan tinggal pada kita selamanya, dan bahwa perbuatan amal kasih adalah adalah harta karun yang menghantar ke Surga, dengan bunga penghargaan yang sangat besar. Ketika masih kecil, ia telah mempunyai perhatian kepada orang-orang yang susah, dan menganggap dirinya harus bertanggungjawab terhadap mereka yang menerima perbuatan amal kasihnya dan menganggapnya sebagai penolong. Khawatir bahwa penghormatan duniawi akan mengalihkan perhatiannya dan membagi hatinya dari hal-hal yang lebih terhormat, ia memutuskan untuk meninggalkan hak-hak istimewanya yang diperolehnya sejak lahir, dan ingin mengundurkan diri dari kemewahan dunia. Setelah mengikuti kemauan orang tuanya untuk menikah dengan seorang gadis yang kaya, ia, di hari pernikahannya, meninggalkan istrinya itu setelah meminta persetujuan darinya. Alexis menyamar dan pergi ke Syria, hidup dalam kemiskinan yang sangat, tinggal di gubuk yang berhubungan dengan gereja St. Perawan Maria “Bunda Allah” di Edessa. Di sini Alexis hidup selama 17 tahun sampai sebuah penampakan Bunda Maria mengatakan dan menyatakan kesuciannya kepada orang banyak, dan menyebutnya “the Man of God” (pelayan Tuhan). Lalu Alexis kembali ke rumahnya, namun ayahnya tidak mengenalinya lagi. Ayahnya itu menerimanya sebagai pengemis dan memberikannya pekerjaan, dan ia diberikan sebuah tempat di sudut bawah tangga sebagai tempat tinggalnya. Selama 17 tahun kemudian ia hidup tanpa dikenal di rumah ayahnya sendiri, menanggung penghinaan dari para perlayan yang lain, dengan kesabaran dan keheningan. Setelah wafatnya, sebuah tulisan ditemukan padanya, yang menyatakan namanya dan keluarganya yang sesungguhnya, dan riwayat hidupnya.
Jalan luar biasa, yang tentangnya Allah berkenan, yang kadang berhubungan dengan jiwa-jiwa tertentu saja, lebih cenderung untuk dikagumi daripada diikuti. Jika orang-orang tersebut mau melakukan apa saja untuk mencari penghinaan, maka kita harus dengan sabar menghadapi penghinaan yang Tuhan izinkan terjadi dalam kehidupan kita. Hanya dengan merendahkan diri kita dalam setiap kesempatan, maka kita dapat berjalan di jalan kerendahan hati dan mengangkat dari hati kita segala jenis akar kesombongan yang tersembunyi. Racun dari kesombongan ini mempengaruhi semua keadaan; sering ia tersembunyi dalam hati, bahkan setelah seseorang telah dapat mengendalikan dirinya dari hawa nafsu yang lain. Kesombongan akan tetap ada, bahkan pada orang-orang yang sempurna, untuk dikalahkan…. jika kita tidak waspada maka tak ada dari perbuatan kita yang sempurna/ tak bercacat. Kesombongan akan selalu mengintai, merasuki setiap perbuatan terbaik kita, dan semakin dalamnya luka itu, semakin jiwa menjadi kebal dan semakin tak mampu mengetahui penyakitnya dan kelemahannya itu….”
Teladan hidup St. Alexis
Agaknya kita perlu membaca riwayat St. Alexis ini dengan kaca mata rohani, dan bukan dengan kaca mata jasmani semata, yang umum menjadi tolok ukur dunia. Sebab menurut pandangan umum, tentu saja lebih baik jika St. Alexis hidup sebagai orang kaya dan terhormat, lalu dengan kekayaannya ia membantu banyak orang miskin. Tentu hal ini baik juga, namun St. Alexis terpanggil untuk melakukan hal yang lebih tinggi melampaui pemikiran umum di dunia, yaitu dengan meninggalkan kemewahan hidupnya, dan dengan demikian memberikan teladan ketidakterikatannya akan hal-hal duniawi, untuk mengarahkan hati sepenuhnya kepada hal-hal surgawi. Ia memilih untuk hidup miskin, menjadi pengemis untuk berbagi dengan sesama pengemis. Ia kemudian memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuanya dan bekerja sebagai salah satu pelayan di rumah orang tuanya sendiri, tanpa dikenali. Ia tetap hidup miskin sampai wafatnya, dengan diam menanggung penghinaan yang diterimanya dari para pelayan yang lain yang dulu pernah menjadi pelayan-nya. Sejujurnya, jika direnungkan, tak banyak orang yang dapat melakukan hal ini.
Seseorang hanya perlu merenung sejenak untuk menemukan kemiripan kisah hidup Alexis dengan kisah hidup Kristus sendiri, yang juga meninggalkan segala-galanya untuk menjadi manusia, dan dalam keadaan-Nya sebagai manusia Ia memilih untuk hidup miskin sebagai hamba, dan taat sampai wafat di salib (lih. Flp 5:10). Walaupun kisah pengosongan diri Kristus tak dapat disejajarkan dengan kisah hidup siapapun, namun kisah hidup pengosongan diri St. Alexis tetaplah sesuatu yang istimewa, justru karena dalam skala yang lebih kecil mengikuti teladan Kristus, dan dalam ukuran itupun, tidak mudah untuk dilakukan oleh kebanyakan orang. Lebih mudah bagi orang kaya untuk menyumbang dalam keadaan kelebihannya, sementara ia tetap hidup dalam kelimpahannya. Namun diperlukan keteguhan batin dan keterpautan hati kepada Tuhan yang total dan luar biasa, bagi seseorang yang kaya untuk meninggalkan kekayaannya, untuk hidup miskin, dan menjalani kehidupannya dengan semangat pengosongan diri, mati raga, sambil memusatkan perhatian sepenuhnya kepada Allah dan sesama yang menderita. Itulah sebabnya Kristus mengatakan kepada orang muda yang kaya yang datang kepada-Nya, bahwa jika ia ingin sempurna, ia perlu meninggalkan segala kekayaannya untuk mengikuti Kristus (lih. Mat 19:21). Nampaknya hal ini terlalu berat bagi orang muda itu, namun tidak bagi St. Alexis. Sejujurnya, dalam sejarah Gereja, bukan hanya St. Alexis yang memilih untuk meninggalkan kemewahan dunia untuk hidup miskin dan memusatkan hati kepada Allah. St. Antonius pertapa, St. Dominic, St. Fransiskus dari Asisi, St. John Calybites, dan sejumlah orang kudus lainnya yang juga memilih jalan hidup sedemikian. Menurut ukuran dunia, mereka itu mungkin dipandang bodoh dan tidak waras, tetapi ukuran Tuhan bukan ukuran dunia. Dengan kemiskinan dan ketidakterikatan mereka terhadap hal-hal duniawi, para orang kudus itu mengikuti teladan hidup Kristus, yang lebih dahulu memilih untuk hidup miskin sepanjang hidup-Nya di dunia, untuk menjadi sahabat bagi kaum papa dan terbuang.
Maka marilah kita menerima teladan hidup para orang kudus itu dengan kerendahan hati dan dengan kaca mata iman. Gereja, atas dasar Sabda Tuhan, tidak menilai pengorbanan dan perbuatan kasih seseorang hanya dari memberikan kekayaan dan hal-hal jasmani lainnya. Sebab kasih itu bahkan dapat dinyatakan dengan lebih sempurna dengan pengorbanan, mati raga, pemberian diri seutuhnya bagi kaum miskin. Semangat inilah sebenarnya yang makin langka dihayati di dunia sekular sekarang ini, namun yang masih dijumpai dalam Gereja-Nya, dalam pelayanan dari berbagai kongregasi hidup bakti kepada kaum miskin, cacat dan terpinggirkan. Selayaknya kita sebagai umat Katolik menghargai karya-karya ini, dan mendukungnya dengan doa-doa dan amal kasih. Selanjutnya, bagi kita sendiri, mari kita mengikuti teladan St. Alexis dalam hal kerendahan hati, dan ketidakterikatannya terhadap harta duniawi, nama baik dan kekuasaan. Dalam semangat kemiskinan ini, semoga kita dapat semakin memusatkan hati dan perhatian kita kepada Tuhan, yang telah lebih dahulu meninggalkan segala-galanya dan menjadi miskin dan papa, ketika Ia mengambil rupa manusia untuk menyelamatkan kita.
Kebetulan nama saya Diambil dr nama Santo Alexius… Awalnya pd saat say bergelimang harta dr orang tua, saya mencemooh, kenapa org tua saya mengambil nama dari Santo yg seperti itu? Meninggalkan harta, tahta dan kekuasaan.
Setelah saya tdk mempunyai pekerjaan, tdk punya uang, saya merenung kembali apa yg telah dilakukan Santo Alexius. Awal2nya pahit! Setelah saya trs berdoa dr awalnya mohon rejeki, sampai saya berpasrah, ada satu hal yg ajaib, saya, istri saya dan anak saya tdk berkekurangan, msh bisa makan, masih bisa sekolah, tapi saya tidak dapat hidup seperti sebelumnya.
Sampai pada satu titik saya memahami bahwa kita bisa melepaskan diri dari ketergantungan hal2 yg duniawi, cukuplah berfokus pada yg dibutuhkan untuk hidup. Ternyata jauh lebih membahagiakan, ga perlu pusing mikirin pajak kendaraan mobil, bayar cicilan gadget, bayar tv cable, ga perlu belanja spare part mobil.
Kebutuhan pokok cukup terpenuhi, mau makan, ada tempe goreng.. Nikmaat. Dulu makan steak, alot sedikit jd kesal. Sekarang tidak lagi ada kesal krn makanan tidak enak, semua nikmat, dan otomatis mulut mengucap syukur padaNya. Aneh tapi nyata, makan di restoran mewah, muka cemberut, tapi makan di pinggir kompor hanya dengan tempe rasanya nikmat sekali, dan berulang2 mengucap syukur. Inilah contoh kebahagiaan yg dijanjikan Tuhan apabila kita tidak “menuhankan” uang.
Note : lebih mudah memasukan unta ke dalam lubang jarum, daripada memasukan orang kaya ke dalam surga.. (gmn mau masuk surga, wong udah bs makan steak aja masih merengut… Hehehe)
Salam..
Sama seperti tanggapan saudara2 pembaca, dahulu juga saya menganggap orang2 seperti St. Alexis adalah tidak waras dan aneh.
Pandangan saya berubah setelah membaca kisah hidup St. Theresia Lisieux (St. Theresia dari Kanak2 Yesus) di buku biografinya, di Indonesia diterjemahkan dengan judul “Aku percaya akan cinta kasih Allah”. Buku tersebut dahulu saya beli di Lembah Karmel – Cikanyere.
Sangat dianjurkan membaca buku tersebut untuk lebih memahami bagaimana perbuatan2 yang dianggap aneh dan “gila” oleh dunia dapat berkenan di mata Allah.
Menurut cerita yang saya dengar, Paus Fransiskus juga mengidolakan santa tersebut. Bahkan, menurut cerita, foto St. Theresia dipajang di perpustakaannya (saat beliau masih menjabat Kardinal – dan mungkin sampai sekarang juga) agar beliau dapat memandang foto tersebut saat menghadapi masalah. Dan berdoa bukan supaya masalahnya terselesaikan, tapi menyerahkannya pada perantaraan St. Theresia.
Semoga teladan2 para kudus yang dianggap “gila” oleh dunia ini semakin kita pahami dan kita beroleh kekuatan dariNya untuk melakukannya juga.
[Dari Katolisitas: Ya, mari melihat dengan mata rohani kita, teladan para orang kudus itu. Walaupun mungkin kita belum sanggup untuk melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh St. Alexis, namun mari kita mohon rahmat Tuhan agar kita dapat mengikuti teladan St. Alexis, St. Theresia dari Liseux dan para orang kudus lainnya dalam hal kerendahan hati, dan ketidakterikatan terhadap harta duniawi, nama baik dan kekuasaan. Dalam semangat kemiskinan ini, semoga kita dapat semakin memusatkan hati, perhatian dan kasih kita kepada Tuhan, yang telah terlebih dahulu meninggalkan segala-galanya dan menjadi miskin dan papa, ketika Ia mengambil rupa manusia untuk menyelamatkan kita.]
Menurut saya tindakan sr alexis memang tdk dapat ditiru pada jaman sekarang. Kita tidak mungkin jadi pengemis. Namun yg tdk boleh dilupakan adalah penyerahan atau cinta alexis yg total pada Yesus. Bayangkan ia menikah tapi rela tdk menikmati malam pertama dan sya yakin ia menjaga keperawanannya sampai akhir. Ia juga meninggalkan kekayaan krn solider dg orang mizkin.
[dari katolisitas: Bagaimana dengan sikap ketidakterikatan akan hal-hal duniawi? Dapatkah diterapkan dalam zaman ini?]
bagaimana ingin meneladani semagat para santo dalam kehidupan cthnya dalam kerja..dsebabkan kita perlu bergaul seperti mereka yang d tempat kita bkerja agar selesa bkerja..thanks..
Shalom Well,
St. Thomas Aquinas mengatakan bahwa hal pertama yang dilakukan untuk menjadi santo/a adalah menginginkannya. Setelah kita menginginkannya, maka kita juga harus bekerja sama dengan rahmat Tuhan, sehingga kita dapat menangkap hal-hal kecil dan keseharian untuk bertumbuh dalam kekudusan. Sebagai contoh dalam pekerjaan: tidak korupsi waktu, barang dan uang; bekerjasama dalam tim secara baik; berkata-kata secara sopan namun tegas jika diperlukan; berlaku jujur dan berinovasi terus untuk memajukan perusahaan; tidak terjerumus dalam pergaulan yang tidak sehat; mensyukuri berkat-berkat yang diterima; mengambil bagian dalam memecahkan masalah dan bukan menjadi bagian dari masalah; menjadi pendamai; kalau sebagai pemimpin, maka harus berusaha untuk menjadi pemimpin yang baik, adil dan jujur; dll. Coba pikirkan hal-hal lain, walaupun itu adalah hal-hal kecil. Yang terpenting adalah seperti yang dikatakan oleh St. Teresia kanak-kanak Yesus, yaitu melakukan hal-hal kecil dengan kasih yang besar. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Memiskinkan Diri dan Ahkirnya Menjadi Pengemis
Santo Alexis melepaskan kekayaannya dan menjadi peminta-mainta. Bahkan saking kurusnya, ketika ia menjadi peminta-minta di orang tuanya, ia sama sekali tidak dikenal lagi. Nanti sesudah meninggal , baru diketahui oleh keluarganya.
Dari segi pandang jaman sekarang, Santo Alexis tidak waras. Aneh, mengapa Gereja memberi gelar santo kepadanya. Apakah tindakan aneh tersebut dapat dianggap bahwa dia menjalankan Kehendak Tuhan?
Bukankah lebih baik jika dia tetap mampu mengendalikan diri seutuhnya sambil tetap memiliki kekayaan agar dapat diberikan kepada mereka yang membutuhkan? Dalam bahasa latin terdapat ungkapan,”nemo dat quod non habet”.Apa yang diberikan seorang Santo Alexis ketika masih hidup dalam kemiskinan yang sengaja dilakukannya?
Shalom Herman Jay,
Terima kasih atas pertanyaan Anda, yang membuat saya juga merenungkan tentang kehidupan St. Alexis.
Silakan membaca di artikel yang baru saja kami tayangkan untuk menanggapi pertanyaan Anda, silakan klik, tentang keteladanan St. Alexis.
Pepatah Latin “Nemo dat quod non habet“- tak seorangpun memberi apa yang tidak dimilikinya-memang tetap berlaku. Namun Gereja tidak pernah menilai bahwa apa yang dapat diberi hanyalah harta milik jasmani saja. Walau membagikan sebagian harta milik kepada sesama itu baik, namun itu bukan satu-satunya cara melakukan amal kasih yang berkenan di hadapan Tuhan. Sebab Tuhan juga menghargai apa yang tidak terlihat di dalam hati, yaitu iman, pengharapan dan kasih, yang merupakan harta ilahi yang dapat juga dibagikan kepada sesama, bahkan dalam keadaan kemiskinan jasmani. Kita tak dapat lupa tentang persembahan janda miskin yang dipuji oleh Yesus (Mrk 12:43, Luk 21:3); yang menunjukkan bahwa bukan banyaknya jumlah harta yang diperhitungkan oleh Allah, namun pengorbanan dan pemberian diri seutuhnya yang lebih berkenan bagi Allah. Nampaknya hal inilah yang dilakukan oleh sejumlah para orang kudus yang diakui oleh Gereja Katolik. Dunia memang dapat saja memandang para orang kudus itu aneh dan tidak waras; dan bahkan Gereja yang mengakui kekudusan mereka juga dianggap aneh. Namun jangan lupa, dunia itulah yang juga sudah menganggap Tuhan Yesus yang hidup miskin dan menyerahkan nyawa-Nya di kayu salib, juga sebagai Pribadi yang aneh: batu sandungan bagi bangsa Yahudi, kebodohan bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi. Namun demikian bagi orang percaya, Kristus adalah kekuatan Allah (1Kor 1:22-24).
Mari kita menajamkan mata rohani kita, agar tidak gagal melihat teladan iman orang-orang kudus ini, yang dengan rela hati mengikuti perintah Kristus untuk meninggalkan segala-galanya demi mengikuti Dia, termasuk mengikuti jalan hidup kemiskinan yang dipilih-Nya. Dengan jalan hidup sedemikian, mereka memberikan kepada dunia sesuatu yang mereka miliki: teladan hidup seperti Kristus, yang tidak terikat akan dunia: tak terikat keinginan mata, keinginan daging dan keangkuhan hidup (1Yoh 2:15). Dengan demikian, para kudus itu memusatkan hati mereka hanya kepada Allah dan sesama yang menderita, dan menggenapi dengan sempurna firman Tuhan ini: “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Mat 5:3).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
PS: Teladan merekalah yang menjadi inspirasi sejumlah besar kaum religius di seluruh dunia, contohnya juga RD. Yance Laka dari keuskupan Atambua, NTT, yang baru saja dipanggil Tuhan semalam, 6 Agustus 2013, diduga akibat serangan jantung. Rm. Yance berkarya di Atambua, mengabdikan hidupnya untuk kaum miskin, seperti para tukang ojek. Kisahnya dapat dibaca di sini, silakan klik. Semoga Tuhan berkenan menggabungkan Rm Yance ke dalam bilangan para orang kudus-Nya yang telah mempersembahkan hidup mereka kepada Tuhan dengan memperhatikan kaum miskin dan papa.
Comments are closed.