Mungkin ada sejumlah orang yang berpandangan bahwa tata cara Misa setelah Konsili Vatikan II (yang umum dikenal dengan sebutan Novus Ordo) dengan arah imam yang menghadap ke umat, menghapuskan kekayaan Liturgi Gereja Purba. Benarkah demikian?

Sebelum kita dapat menjawab pertanyaan ini, mari melihat terlebih dahulu apakah yang disebut dengan misa Novus Ordo tersebut. Secara umum dalam Gereja Katolik, memang dikenal dua macam tata cara perayaan Ekaristi: 1) tata cara yang diterapkan setelah Konsili Vatikan II (1969), yang sering disebut sebagai cara baru (Novus Ordo); dan 2) tata cara yang diterapkan sebelum Konsili Vatikan II- yang dipromulgasikan setelah Konsili Trente (1545-1563), atau yang sering disebut sebagai cara tradisional (Tridentine Mass). Dalam surat apostoliknya, Motu Proprio, Summorum Pontificum (7 Juli 2007) Paus Benediktus XVI, tidak menggunakan kedua istilah ini, melainkan menyebutkan cara yang pertama sebagai cara biasa (Ordinary Form/ OF), yang dipromulgasikan oleh Paus Paulus VI; sedangkan cara kedua adalah cara luar biasa (Extraordinary Form/ EF), yang dipromulgasikan oleh Paus St. Pius V dan Paus Yohanes XXIII. Kedua cara tersebut menerapkan ritus Romawi yang satu dan sama (Lih. Summorum Pontificum, Art 1). Artinya adalah, walaupun dirayakan dengan ekspresi yang berbeda, namun keduanya berasal dari ritus Romawi yang sama. Karena yang dirayakan adalah perayaan yang sama, yaitu perayaan Ekaristi yang berasal dari zaman Kristus dan para Rasul.

Maka mungkin ada orang bertanya, mengapa dahulu sebelum Konsili Vatikan II (KV II), dalam ibadat umumnya imam menghadap ke tabernakel -searah dengan arah hadap umat- sedangkan setelah KV II, imam menghadap ke arah umat? Apakah yang berubah di sini?

Paus Paulus VI dalam Konstitusi Apostolik Missale Romanum, menjelaskan bahwa prinsip yang menjadi dasar bagi revisi umum tata cara Missale adalah bahwa: 1) Teks dan ritus disusun sedemikian sehingga mengekspresikan dengan lebih jelas hal-hal kudus yang dilambangkannya; 2) Ritus Misa direvisi sedemikian sehingga hakekat dan maksud dasar dari bagian-bagiannya, dan juga hubungan antara bagian-bagian tersebut, dapat lebih jelas dinyatakan dan sehingga partisipasi khidmat dan aktif dari umat beriman dapat tercapai dengan lebih mudah; 3) Harta Rohani dalam Kitab Suci dibukakan dengan lebih limpah, sehingga kekayaan ini dapat disampaikan kepada umat dalam liturgi Sabda; 4) Sebuah ritus untuk konselebrasi harus disusun dan dimasukkan ke dalam Missale. ((lih. Paus Paulus VI, Konstitusi Apostolik, Missale Romanum)).

Paus Paulus VI mengatakan bahwa janganlah orang berpikir bahwa revisi Roman Missal ini terjadi begitu saja. Sebab kemajuan dalam hal ilmu pengetahuan liturgi yang terjadi sepanjang 4 abad terakhir ini, telah menyiapkan jalan terhadap perubahan ini. Paus St. Pius V melalui Konstitusi Apostoliknya, Quo Primum, telah sangat membantu revisi Roman Missal. Sejak saat itu, sumber-sumber liturgi kuno yang ditemukan, demikian juga rumusan liturgi Gereja Timur, menjadi semakin dikenal. Banyak orang mengharapkan semua ini tidak hanya menjadi kekayaan yang tersembunyi di perpustakaan, melainkan dimunculkan untuk menerangi jiwa umat Kristiani. ((lih. Ibid.)), dan teks-teks inilah kemudian yang mempengaruhi pembaharuan teks dalam Roman Missal. Maka jika diperhatikan titik perhatian pembaharuan liturgi adalah agar umat dapat semakin mengenal kekayaan doa-doa dalam liturgi dan berpartisipasi aktif di dalamnya. Sejujurnya dalam Missale Romanum ini tidak disebutkan secara eksplisit adanya perubahan arah hadap imam, namun pada saat yang sama, juga tidak ditegaskan bahwa arah hadap imam itu adalah hal mutlak yang harus tetap dipertahankan. Perubahan arah hadap imam ini baru dapat disimpulkan setelah kita membaca PUMR (Pedoman Umum Missale Romawi) yang menjabarkan rincian ketentuan, baik sikap imam (lih. PUMR, 124)maupun tata perletakan altar (PUMR, 299). ((Susunan Missale Romanum/ Roman Missale kemudian dijabarkan dalam General Instruction of the Roman Missal (GIRM) atau yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Pedoman Umum Missale Romawi (PUMR). Perubahan yang terbesar dalam Missale tersebut adalah rumusan Doa Syukur Agung. Demikian pula rumusan doa konsekrasi. Ritus Misa disederhanakan, walaupun tetap mempertahankan hakekatnya. Elemen-elemen duplikasi ditiadakan, namun elemen lain yang terabaikan dikembalikan, seperti contohnya homili dan doa umat. Maka secara umum perubahan dalam Roman Missale adalah: 1) Doa Syukur Agung, 2) Bentuk perayaan/ ritus Misa, 3) Bacaan-bacaan Kitab Suci; 4) doa/ bacaan disesuaikan dengan Masa Liturgi, perayaan Santo/a, Misa-misa ritual dan Misa untuk berbagai keperluan/ kesempatan.

Tentang arah hadap imam, disebutkan dalam PUMR, bahwa imam “menghadap ke arah umat” yaitu di Bab IV.I. Misa Umat, no. 124, tentang bagaimana sikap imam dalam Ritus Pembuka; no. 146: “Lalu imam memberi salam kepada umat. Ia menghadap ke arah umat …”, dalam doa Persembahan, yang dilanjutkan dengan doa Syukur Agung; no. 154, saat mengucapkan doa Damai; no. 156. saat mengucapkan Agnus Dei, no. 165, doa setelah Komuni; no. 185 saat memberi berkat penutup; sehingga praktis secara umum, dalam OF memang imam menghadap ke arah umat sepanjang perayaan Ekaristi. Demikian pula no. 299, tentang tata letak altar: “Altar utama hendaknya dibangun terpisah dari dinding gereja sehingga para pelayanan dapat mengitarinya dengan mudah, dan imam sedapat mungkin, memimpin perayaan Ekaristi dengan menghadap ke arah jemaat…))

Selanjutnya, Paus Benediktus XVI dalam surat apostolik Summorum Pontificum menegaskan bahwa pada intinya, yang dikehendaki oleh Konsili Vatikan II adalah agar penghormatan yang khidmat dari penyembahan ilahi harus diperbaharui dan disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan di masa kita sekarang. Paus menjelaskan bahwa untuk maksud inilah pendahulunya, Paus Paulus VI, mereformasi dan memperbaharui buku-buku liturgi Gereja Latin, yang kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia, dan diterima dengan senang hati oleh para uskup, imam dan umat beriman. Paus Yohanes Paulus II juga memodifikasi edisi ketiga dari Missale Romawi tersebut. Kedua Paus itu berkarya untuk memastikan bahwa perayaan liturgi seperti ini…. “harus kembali muncul bersinar agung demi martabatnya dan keharmonisannya.” ((St. Pius X, Apostolic Letter Motu propio data, “Abhinc duos annos,” 23 October 1913: AAS 5 (1913), 449-450; cf John Paul II, Apostolic Letter “Vicesimus quintus annus,” no. 3: AAS 81 (1989), 899.))

Dari pernyataan para Paus ini, nampaknya perlu diakui bahwa hal perubahan arah hadap imam tidak secara ekplisit dianjurkan ataupun dilarang. Memang arah hadap imam bersama umat yang menghadap ke timur lebih jelas menyampaikan makna simbolis akan Gereja yang mengharapkan kedatangan Kristus, dan dengan demikian merupakan sikap yang layak dalam perayaan liturgis. Namun sikap imam yang menghadap ke umat juga dapat dikatakan layak dalam perayaan liturgis, sebab keadaan ini memungkinkan umat untuk dapat mengikuti apa yang sedang dilakukan oleh imam dalam perayaan tersebut, sehingga dapat mendorong partisipasi aktif umat agar semakin menghayati makna perayaan tersebut. Untuk maksud partisipasi umat secara aktif inilah, Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Liturgi (Sacrosanctum Concillium/ SC), menetapkan bahwa di samping bahasa Latin, dimungkinkan penggunaan bahasa lokal/ vernakular (lih. SC 36), agar umat dapat memahami makna perayaan Ekaristi dengan lebih mudah. Selain itu, perubahan penting lainnya adalah dalam hal bacaan Kitab Suci, sebab Misa OF (Novus Ordo) yang menggunakan siklus bacaan 3 tahunan dimaksudkan untuk menyingkapkan dengan lebih limpah kekayaan rohani Sabda Tuhan dalam Kitab Suci, dibandingkan dengan siklus bacaan setahun dalam Misa EF. Selanjutnya tentang perbedaan OF (Novus Ordo) dan EF (Tridentine), sudah pernah ditulis di sini, silakan klik. Sedangkan tentang perbandingan teks dalam bahasa Inggris tentang EF (Tridentine Mass) dan OF (Novus Ordo Mass), silakan klik di sini.

Paus Benedictus XVI melalui Summorum Pontificum menghendaki agar liturgi seluruh Gereja diperkaya dengan diperkenankannya penyelenggaraan Misa EF (Tridentine Mass) bagi mereka yang menghendakinya, untuk menumbuhkan kembali keagungan dan penghormatan yang tinggi dalam perayaan Ekaristi. Namun demikian, tidak berarti bahwa Misa OF (Novus Ordo) itu menjadi keliru/ lebih rendah maknanya daripada Misa EF (ataupun dianggap menghapuskan kekayaan liturgis Gereja purba). Sebab kekayaan liturgis tidak hanya dilihat dari hal arah hadap imam, melainkan ada banyak hal lainnya, yang masih dipertahankan dalam Misa OF, dan bahkan dihadirkan dengan lebih luas dan lebih mudah dipahami oleh umat. Uskup Bruskowitz pernah berkata, “Ritus yang lebih tua tidak perlu dibenci, agar orang dapat menghargai ritus yang baru, atau ritus yang baru tidak perlu  direndahkan agar orang dapat mencintai ritus yang lama”. Atau meminjam perkataan Paus Benediktus XVI, “Terdapat penekanan yang jelas berbeda, tetapi terdapat identitas dasar yang tunggal yang tidak bertentangan antara liturgi yang diperbaharui dan liturgi sebelumnya.” (Paus Benediktus XVI, Konferensi Press, 12 Sept, 2008)

Sebab pada dasarnya kedua ritus hanya merupakan dua cara untuk merayakan/ menghadirkan misteri yang sama, yaitu misteri pengorbanan Kristus yang terus menyertai Gereja-Nya sampai akhir zaman. Dengan demikian, tidak benar jika dikatakan bahwa Misa Novus Ordo (Ordinary Form) tersebut menghapuskan kekayaan Gereja Purba, sebab walaupun dengan cara yang berbeda, namun tetap menyampaikan kekayaan Rohani yang sama, yaitu Kristus sendiri dalam kurban Paska-Nya.

2 COMMENTS

  1. salam untuk admin Katolisitas

    pendapat saya pribadi ni,

    masalah yg timbul dr Novus Ordo adalah karena banyak kebebasan berekspresi yang tidak terlalu terkontrol, sehingga kekhusyukan dan ciri khas Misa yang pada dasarnya terfokus pada Ekaristi, justru banyak teralih kepada aksi-aksi individu atau kelompok..bahkan penyimpangan2 yg ada seakan2 dibiarkan oleh Imam untuk kesenangan Umat..akhirnya misa Novus Ordo yang awalnya juga terkesan Agung, lama2 lebih terkesan seperti bentuk Ibadah Protestan atau sebuah acara persekutuan doa daripada sebuah Misa Katolik Roma, bisa dilihat perbandingan Novus Ordo ala Vatican yg tetap khusyuk & Novus Ordo ala Gereja lokal yg Ekspresif..

    sehingga di kalangan umat yang tradisionalis muncul kerinduan akan Misa Latin Tradisional yang tenang & terfokus pada Ekaristi, karena mereka merasa kehilangan ciri khas dari Misa Katolik itu sendiri, menyebabkan Novus Ordo mendapat cap jelek..

    Namun umat modern yg jg merasa terganggu kebebasan berekspresinya bila kembali ke bentuk Tridentine akan mencap buruk Tridentine..

    salah satu kelebihan Novus Ordo adalah penggunaan bahasa lokal, namun itu menjadi kelemahan, karena saat kita ke luar negeri & mengikuti misa, kita akan kebingungan dengan bahasa lokal setempat..tapi dengan Tridentine yg menggunakan bahasa latin peninggalan Roma, justru malah jadi kelebihan yakni dimanapun kita bepergian, kita tidak akan kehilangan ciri khas Misa Katolik Roma & perbedaan bahasa, karena umat sudah terbiasa dengan penggunaan bahasa latin, kita akan merasa merayakan Misa yang BENAR2 KATOLIK(universal) Satu & Sama..

    jadi pada dasarnya saya tidak mempermasalahkan siapa yang benar, sebenarnya serupa tapi tak sama..namun pada akhirnya kebebasan Novus Ordo yg diekspresikan umat modern membuat Novus Ordo seakan2 ada di bawah Tridentine yang berkesan Agung..mungkin dalam musik kita bisa memperbandingkan genre POP sebagai Novus Ordo & KLASIK sebagai Tridentine..

    Saya pribadi tidak menyalahkan Novus Ordo namun saya lebih tertarik akan Misa yang tenang, sehingga fokus pikiran, penyembahan & doa saya lebih tertuju pada Tuhan dalam Ekaristi, daripada teralih ke musik, penyanyi, dekorasi, tepuk tangan dll

    • Shalom William,

      Sesungguhnya walaupun dikatakan sebagai pendapat pribadi, namun nampaknya pendapat Anda tentang adanya “terlalu banyak kebebasan berekspresi dalam Misa Novus Ordo sehingga mengurangi kesakralannya” ada benarnya, sebab memang di banyak tempat terjadi hal sedemikian, entah sengaja atau tidak. Dewasa ini ada banyak hal yang nampaknya kurang ‘pas’ dalam pelaksanaan perayaan Misa Novus Ordo (OF), sehingga pihak Vatikan sendiri merasa perlu untuk mengeluarkan dokumen yang disebut sebagai Redemptionis Sacramentum, yang berisikan instruksi-instruksi agar dihindari pelanggaran ataupun penyimpangan dalam liturgi. Sekilas tentang pelanggaran liturgi ini pernah kami bahas di artikel ini, silakan klik.

      Maka memang adalah tugas dan kewajiban kita bersama, untuk berpartisipasi mengusahakan pelaksanaan perayaan liturgi dengan layak dan benar, agar kesakralannya terjaga. Memang perayaan Misa Tridentine (EF) sangat berkesan agung dan khidmat, tetapi ada kelemahannya, yaitu jika tidak memahami bahasa Latin, dimungkinkan terjadinya pelanturan/ kesulitan untuk berfokus/ mengikuti apa yang sedang dilakukan di altar Tuhan. Diperlukan kebiasaan, dan lebih baik lagi, pengenalan terhadap bahasa Latin, untuk dapat semakin “menikmati” keindahan Misa Tridentine (EF). Namun ada banyak orang yang lebih menyukai hal yang mudah dimengerti, sehingga Misa Novus Ordo (OF) tetap menjadi pilihan bagi kebanyakan umat, karena dirayakan dalam bahasa lokal. Di sini kita melihat bahwa memang ada kekhasan dari masing-masing cara, dan sudah selayaknya kita menghargai keduanya. Misa Novus Ordo sesungguhnya juga dapat dirayakan dengan khidmat dan ‘klasik’, tak harus menjadi seperti ajang pertunjukan musik pop. Contohnya, Perayaan Ekaristi di Vatikan, atau di Shrine EWTN (Eternal World Television Network) di Alabama, dilakukan dengan cara Novus Ordo dalam bahasa Latin, sungguh agung dan khidmat.

      Akhirnya, mari kita sadari, bahwa diperlukan niat yang sungguh dari pihak kita untuk mempersiapkan diri mengikuti perayaan Misa (baik itu Tridentine/ EF ataupun Novus Ordo/ OF) agar kita dapat menghayati maknanya dan menerima buah-buahnya.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

Comments are closed.