Pertanyaan:

Shalom katolisitas

Kami pernah membaca disalah satu web katolik tentang darah.-
Memang dalam Perjanjian Lama cukup banyak ayat yang menyatakan larangan makan darah antara lain Kej 9:4, Im 7:26-27, Im 17:12, Ul 12:23 dan akan tetapi, itu Perjanjian Lama.-
Ada larangan lain dalam Perjanjian Lama yang tidak diindahkan lagi misalnya Kel 35:3 janganlah kamu memasang api dimanapun dalam tempat kediamaanmu pada hari Sabat.”
Im 19:19 kamu harus berpegang kepada ketetapan-Ku.Janganlah kawinkan dua jenis ternak dan janganlah taburi ladangmu dengan dua jenis benih, dan janganlah pakai pakaian yang dibuat dari pada dua jenis bahan dan banyak lagi seperti Im 19:9-10, Im 3:17, Im 7:23-25
Lebih daripada itu,larangan-larangan yang disebutkan diatas sebelumnya tidak pernah dicabut secara eksplisit dalam Perjanjian Baru. Namun,Kol 2 :16 karena itu janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari Sabat.-terus Mat 15:11=(Mrk 7:15,18) dengar dan camkanlah : bukan yang masuk kedalam mulut yang menajiskan orang,melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang.-
Ok, sampai disini kami setuju namun ada teman kami yang bertanya :
1. ini pertanyaan dari agama lain, bagaimana kalau yang masuk kemulut itu nakorba seperti : ektasi,ganja,morfin dll ??
2. tentang darah dan makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dimana diangkat kembali dalam Perjanjian Baru Kis 15:29 kamu harus menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari percabulan,Jikalau kamu memelihara diri dari hal-hal ini,kamu berbuat baik,sekianlah,selamat.”
Demikianlah pertanyaan kami, mohon pencerahaannya.-
Terima kasih sebelumnya.-

Salam kasih,
K.Paulus J.C

Jawaban:

Shalom Paulus,

  1. Kita memang harus bijaksana dalam hal menyikapi ayat Mat 15:11, yaitu “…bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang.”
    Pertama, kita harus memakai akal sehat kita, untuk menilai apakah makanan tersebut benar-benar makanan yang berguna untuk tubuh kita. Dalam kasus ganja. morfin, ekstasi, dll, silakan kita bertanya kepada diri sendiri, apakah barang tersebut adalah makanan yang layak dimakan. Mungkin  bagi orang yang terkena kanker stadium lanjut, morfin pada kadar tertentu dapat dipakai sebagai obat penahan sakit; namun bagi orang sehat dan normal, kita tahu dengan akal sehat, morfin bukanlah suatu makanan. Jadi tentu kita tidak makan morfin, ganja, ekstasi, dsb berdasar atas pertimbangan akal sehat.
    Kedua, kita harus menyikapi ayat tersebut justru dalam kaitannya dengan: ‘ apa yang keluar dari mulut kita, itulah yang menajiskan kita‘. Karena jika kita memakan barang tersebut, kita dapat terjebak dalam perbuatan dosa. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa orang yang makan narkoba, akan terjerat dalam bermacam dosa lainnya, entah berbohong, marah-marah jika tidak dapat mendapatkan narkoba (dosa dengan mulut), belum termasuk dosa lainnya (baik di pikiran maupun perbuatan) seperti halusinasi, percabulan, pencurian, perbuatan kekerasan, dst. Maka jika kita benar bijaksana, maka kita tidak mencoba makan narkoba tersebut, sebab kita tahu akibatnya yang pasti menajiskan kita.
  2. Tentang makanan sembahyangan, sudah pernah saya bahas dalam tulisan ini (silakan klik). Pada prinsipnya, kita memang harus menghindari makan makanan sembahyangan, walaupun pada kondisi yang sangat terpaksa (di sini maksudnya jika tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk menghindarinya tanpa menjadi batu sandungan bagi orang tua/ diusir dari keluarga, dst), kita dapat memakannya, dengan kondisi:1) kita tidak ikut sembahyangan dengan cara mereka ataupun makan dalam upacara sembahyangan mereka, 2) agar tidak menjadi batu sandungan, kita tidak makan makanan tersebut di muka umum, namun hanya di depan orang tua yang meminta kita memakannya; 3) memakai kesempatan itu untuk memperkenalkan Kristus kepada orang tua tersebut.
    Jujur saja, kondisi terpaksa seperti diusir dari keluarga dst. karena tidak mau makan makanan sembahyangan juga tidak sering terjadi, bahkan belum pernah saya dengar. Umumnya dari yang saya ketahui, kita dapat menjelaskan dengan kasih kepada orang tua, bagaimana pandangan iman kita tentang makanan sembahyangan tersebut. Dan mereka umumnya mengerti. Asalkan memang dalam kenyataan-nya anak yang beriman pada Kristus lebih mengasihi orang tuanya, sehingga tidak makanan makanan sembahyangan tidak menjadi hal yang terlalu ‘besar’ sebab perbuatan kasih yang terbesar sudah dilakukan oleh sang anak kepada orang tuanya.
  3. Mengenai makan darah dalam Perjanjian Lama itu termasuk “Ceremonial Law”/ hukum seremonial, yang dimaksudkan untuk mempersiapkan umat Israel pada kedatangan Yesus, yang mempersembahkan Tubuh dan Darah-Nya untuk keselamatan umat pilihan-Nya. Maka pada Perjanjian Lama, umat Israel dilarang minum darah, agar mereka dipisahkan dari kebiasaan bangsa-bangsa lain, dan juga agar mereka dapat dipersiapkan untuk menghargai “Darah Perjanjian Baru”, yaitu Darah Kristus. Menurut St. Thomas Aquinas, Kristus merupakan pemenuhan hukum Perjanjian Lama, yang terdiri dari Hukum Moral, hukum Seremonial dan hukum Yuridis. Setelah kedatangan Kristus di Perjanjian Baru, Hukum Moral Perjanjian Lama yaitu Sepuluh Perintah Allah, tetap berlaku, sedangkan hukum Seremonial dan hukum Yuridis tidak lagi berlaku. Lebih lanjut tentang hal ini silakan baca tulisan berikut ini (silakan klik).
  4. Di Konsili Yerusalem (Kis 15), para rasul memang mengajarkan agar umat menjauhkan diri dari makanan yang dicemarkan oleh berhala-berhala … dan dari darah (Kis 15:20). Maksud larangan tersebut bukanlah karena makanan itu haram atau najis, sebab Yesus sudah menyatakan bahwa yang menajiskan orang bukanlah makanan atau apa yang masuk ke mulut (lih. Mat 15:11, bdk. Kis 10:15; 1Tim 4:4). Maka konteks larangan itu adalah agar jemaat tidak menjadi sandungan bagi kaum Yahudi. Sebab disebut di ayat berikutnya, “Sebab sejak zaman dahulu hukum Musa diberitakan di tiap-tiap kota dan sampai sekarang hukum itu dibacakan tiap-tiap hari Sabat di rumah-rumah ibadat” (Kis 15:21). Diperlukan hikmat, agar jangan pesan Injil ditolak, karena jemaat melakukan sesuatu yang tidak bermakna apapun menurut iman Kristen, namun dianggap larangan besar oleh kaum Yahudi.
    Nah, dalam hukum Musa, ada hal-hal tertentu yang dianggap besar dan penting; contohnya, soal sunat, Sabat, dan larangan makan darah ini. Berdasarkan sabda Yesus, para rasul telah menetapkan bahwa sunat jasmani dalam PL telah diperbaharui oleh Kristus dengan Baptisan (lih. Kol 2:11-12). Juga, hari Sabat (hari Sabtu) sebagai hari ibadah kepada Tuhan telah diperbaharui menjadi hari Minggu, yaitu hari pertama minggu (lih. 1Kor 16:2) mengikuti hari Kebangkitan Yesus (lih. Mat 28:1; Mrk 16:2,9, Yoh 20:1, 19). Maka Sunat dan Sabat memiliki arti yang baru bagi umat Kristen. Dan setelah memiliki arti yang baru, ketentuan yang lama tentang hal tersebut tidak mengikat bagi umat Kristen. Meski demikian, agar tidak menjadi batu sandungan, Rasul Paulus menyuruh Timotius agar disunat, “karena orang-orang Yahudi di daerah itu” (Kis 16:3) ketika Rasul Paulus membawa serta Timotius dalam perjalanan mewartakan Injil.
    Dengan memerintahkan demikian, bukan berarti Paulus masih memegang hukum Taurat. Rasul Paulus jelas menyatakan bahwa hukum Taurat maksudnya adalah sebagai penuntun sampai Kristus datang, supaya kita dibenarkan karena iman. Setelah iman itu datang, kita tidak lagi berada di bawah pengawasan penuntun [yaitu hukum Taurat] itu. (lih. Gal 3:23-25).
    Demikianlah juga dengan hal memakan darah binatang itu. Sesungguhnya makan atau tidak makan suatu makanan tertentu, tidak ada pengaruhnya terhadap iman kita (lih. 1Kor 8:8-9); “Karena semua yang diciptakan Allah itu baik dan suatupun tidak ada yang haram, jika diterima dengan ucapan syukur” (1Tim 4:4).
    Demikianlah kita ketahui bahwa larangan untuk makan makanan tertentu di zaman para Rasul dimaksudkan agar jemaat tidak menjadi batu sandungan bagi pewartaan Injil, dan bukan karena jemaat berada di bawah kuasa hukum Taurat, atau masih terikat hukum Taurat, yaitu dalam hal ini yang menyangkut hukum seremonialnya. Sebab hidup Kristiani adalah hidup dalam Roh Kristus, dan bukan menurut daging/ ketentuan yang menyangkut jasmani. Tentang hal ini Rasul Paulus berkata, “Adakah kamu telah menerima Roh karena melakukan hukum Taurat atau karena pemberitaan Injil? Adakah kamu sebodoh itu? Kamu telah telah memulai dengan Roh, maukah kamu sekarang mengakhirinya di dalam daging?” (Gal 3:2-3)
    Yesus telah memberikan makna rohani pada segala ketentuan jasmani di hukum Taurat. Mari kita tidak lagi kembali kepada ketentuan jasmani itu, seolah-olah Yesus belum menggenapinya dengan memberikan makna rohani yang sesungguhnya.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati – https://katolisitas.org

5 COMMENTS

  1. Shalom tim katolisitas..

    sy mau tanya, antara kita tidak memakan makanan yg tidak cocok di lidah kita dengan membuangnya karena alasan berdosa jika menyiksa perut kita dan/ terus memakannya sampai habis walaupun ingin muntah dengan alasan berdosa jika menyia2kan makanan dr Tuhan (selama tidak basi), yg manakah yg dikatakan dosa?

    • Shalom PJ,

      Dalam memutuskan segala sesuatu silakan menggunakan kebijaksanaan (prudence). Yang penting kita mengetahui bahwa kita tidak sepantasnya membuang-buang makanan, dan bahwa kita boleh memilih apa yang akan kita makan, yang sepantasnya adalah makanan yang layak dimakan. Maka silakan dicari jalannya agar kedua hal ini terpenuhi. Kalau kita tidak suka makanan itu, jangan mengambil. Kalau belum yakin apakah kita akan menyukai suatu jenis makanan yang dihidangkan, jangan mengambil terlalu banyak, sehingga kita tetap dapat menghabiskannya kalau sudah terlanjur diambil, sebab toh makanan itu tidak basi (kalau basi tentu lain ceritanya, silakan dibuang saja). Atau kalaupun sudah terlanjur diambil, dan tidak suka, adalah baik jika Anda mengalihkannya kepada kerabat/ sahabat di dekat Anda yang suka makanan itu, atau kalau tidak ada disisihkan untuk diberikan kepada anjing/ kucing. Silakan Anda pertimbangkan dengan bijak.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  2. Kpd team katolisitas

    mengapa umat Katolik boleh makan darah binatang? Apakah ada dasar Alkitabnya? Sedangkan kita tahu dalam Perjanjian Lama itu dilarang dalam hukum Taurat dan kita juga tahu bahwa saudara-saudara kita yg Protestan tidak diperbolehkan utk makan darah binatang. Saya sangat penasaran sekali dan mohon bantuannya karena pengalaman saya sangat kurang akan isi Alkitab. Trims.

    [dari Katolisitas: silakan membaca jawaban dari pertanyaan serupa yaitu di artikel di atas, klik di sini, khususnya jawaban pada poin ke-tiga]

  3. Tim katolisitas,
    ada hal yang hendak sy tanyakan,
    Sy tidak tau apakah hal ini sudah pernah ditanyakan karena sy tidak bisa mengikuti pesan2 sebelumnya.
    Disini para Bapa Gereja menentang hal makan darah:
    Tertulian (± 60-230 M), ”Hendaklah engkau malu di hadapan umat Kristen dengan cara-caramu yang tidak wajar. Kami bahkan tidak makan darah binatang, karena makanan kami terdiri dari makanan biasa. . . . Dalam pengadilan terhadap umat Kristen, kalian [orang-orang Romawi yang kafir] menawarkan kepada mereka sosis yang diisi dengan darah. Tentu kalian yakin bahwa justru perkara yang kalian pakai untuk mencoba menyelewengkan mereka dari jalan yang benar terlarang bagi mereka. Jadi, jika kalian yakin bahwa mereka merasa jijik akan darah binatang, bagaimana kalian dapat percaya bahwa mereka haus akan darah manusia?”—Tertullian, Apologetical Works, and Minucius Felix, Octavius (New York, 1950), diterjemahkan oleh Emily Daly, hlm. 33.

    Minucius Felix (abad ketiga M), ”Kami benar-benar menjauhkan diri dari darah manusia, sehingga kami tidak menggunakan bahkan darah binatang-binatang yang boleh kami makan.”—The Ante-Nicene Fathers (Grand Rapids, Mich.; 1956), diedit oleh A. Roberts dan J. Donaldson, Jil. IV, hlm. 192.

    Mohon penjelasan dari tim katolisitas.

    Syalom,

    Yosafat

    • Shalom Yosafat,

      Untuk lain kali kalau anda mau menyertakan kutipan, silakan anda menyampaikan sumbernya dengan jelas dan lengkap agar dapat kami periksa kebenarannya, jika kami mempunyai buku yang memuat sumber aslinya. Kebetulan untuk tulisan lengkap dari Tertullian dan Minucius Felix, kami mempunyainya, yaitu seperti yang tercantum dalam buku Ante-Nicene Fathers yang terdiri dari 10 jilid (10 buku) yang diterbitkan oleh Hendrickson Publishers, Inc, Massachusetts, Amerika Serikat.

      Namun setelah membaca sekilas dari sub-judulnya (dari kedua buku setebal 2x 700-an halaman yang memuat tulisan Tertullian), saya tidak menemukan kutipan pertama yang anda sebutkan. Mungkin kutipan itu memang ada, tapi saya tidak berhasil menemukannya. Sedangkan kutipan kedua dari Minucius Felix, The Octavius, saya temukan sebagai kalimat terakhir di Bab XXX, di buku ANF jilid 4, yang merupakan sanggahan perihal tuduhan bahwa umat Kristen meminum darah bayi yang mereka bunuh. Minucius Felix dengan jelas mengungkapkan bahwa umat Kristen dilarang membunuh manusia, apalagi bayi, dan kemudian meminum darahnya. Felix malah menyebutkan bahwa tuduhan itu lebih cocok ditujukan kepada orang- orang pagan (non- Yahudi), yang membunuh bayi mereka sendiri untuk dipersembahkan kepada dewa- dewa, ataupun dibunuh di dalam rahim ibunya sendiri/ diaborsi, dengan meminum semacam ramuan obat- obatan. Orang- orang tersebut mengajarkan bahwa penyakit ayan dapat disembuhkan dengan darah manusia. Mereka tidak urung untuk melahap [daging] binatang buas dari arena yang baru saja mati dan berlumuran darah, … ataupun jerohan manusia. Baru sebagai kalimat kesimpulan, Felix mengatakan demikian, “Bagi kami tidak diperbolehkan entah untuk melihat ataupun mendengar pembunuhan/ pembantaian manusia, dan sama seperti kami begitu menjauhkan diri dari darah manusia, maka kami tidak menggunakan darah, bahkan darah binatang- binatang yang dapat dimakan di dalam makanan kami.” (“To us it is not lawful either to see or to hear of homicide; and so much do we shrink from human blood, that we do not use the blood even of eatable animals in our food“- Minucius Felix, The Octavius, Ante-Nicene Fathers, Book 4, (Massachusetts, USA: Hendrickson Publishers, Inc, 1999 ), p. 191-192)

      Dengan mengetahui konteks arti keseluruhan bab XXX, kita dapat semakin memahami arti dari kalimat yang dikutip. Kalimat tersebut bukan ditujukan sebagai ajaran khusus untuk melarang makan darah, namun merupakan konsekuensi apologis dari tuduhan bahwa umat Kristen memakan darah bayi. Tentu tuduhan ini salah besar, dan Felix menjawab, bahwa umat Kristen tidak makan darah bayi/ darah manusia, bahkan darah binatang- binatang yang dapat dimakan. Di sini disampaikan semacam kontras, bahwa bukan darah manusia saja yang tidak digunakan sebagai makanan, tetapi juga darah binatang tidak dijadikan makanan. Bukankah ini terjadi secara umum, bahwa kita tidak menjadikan darah sebagai makanan, seperti misalnya dijadikan sosis darah?

      Sebenarnya nampaknya hal ini juga yang ingin disampaikan oleh Tertullian (walaupun saya belum berhasil menemukan teks aslinya). Sebab nampak dalam kalimat terakhir alinea itu, bahwa sepertinya Tertullian bermaksud memberikan jawaban atas tuduhan para heretik/ bidat bahwa orang Kristen haus akan darah manusia, dengan mengatakan bahwa orang Kristen bahkan tidak makan darah binatang, maka tidak mungkin mereka makan/ haus darah manusia. Maka tidak makan darah binatang di sini bukan ditampilkan sebagai perintah, tetapi sebagai suatu praktek yang dilakukan oleh orang- orang Kristen pada jaman itu.

      Maka nampaknya yang perlu dikutip adalah pengajaran Tertullian yang khusus menyebutkan prinsip ajaran tentang pantang/ puasa. Berikut ini saya sampaikan ringkasan dan terjemahannya, yang disampaikan dalam tulisannya yang berjudul, “On Fasting” (Tentang Puasa):

      Bab XV: Tentang bahasa Rasul [Paulus] mengenai Makanan (Tertullian, On Fasting, Ante-Nicene Fathers, Book 4, Ibid., p. 112)

      “Rasul [Paulus] juga menentang seperti “berpantanglah dari daging” tetapi ia melakukannya atas kebijaksanaan Roh Kudus, [dengan demikian] lebih dulu mengecam para bidat yang mengajarkan tentang pantang selamanya sampai ke tingkat penghancuran dan penghinaan terhadap karya Sang Pencipta; seperti yang saya jumpai dalam diri seorang pengikut Marcion, Tatian, Jupiter atau Phytagorean …… Sebab betapa terbatasnya tingkatan dari “larangan kami tentang [makan] daging!” Dua minggu masa puasa (prapaska dalam Gereja Timur) dalam setahun, dan pada hari Sabat yaitu Hari Tuhan, menjadi kekecualian) kita mempersembahkan kepada Tuhan, berpantang dari hal- hal yang tidak kami tolak tetapi kami hindari. Namun selanjutnya: ketika menulis kepada orang- orang Roma, Rasul Paulus memberikan kamu suatu perintah…: “Jangan karena demi makanan,” katanya, “[kamu] merusakkan pekerjaan Tuhan.” (Rom14:20) Pekerjaan apa? Tentang itu ia berkata. “Baiklah engkau jangan makan daging atau minum anggur, atau sesuatu yang menjadi batu sandungan bagi saudaramu.” (Rom 14:21) … “Seseorang percaya bahwa semuanya dapat dimakan; tetapi orang lain, karena lemah, makan hanya sayuran. Biarlah ia yang makan sedikit menghargai orang yang tidak makan [berpantang]. Siapakah kamu, yang menghakimi sesama pelayan?” “Baik ia yang makan maupun yang tidak makan [berpantang], berterima kasihlah kepada Tuhan.” …. Maka ia [Rasul Paulus] mengetahui bagaimana menunjukkan ketidaksetujuan kepada para pelarang dan penentang makanan tertentu, seperti berpantang karena jijik (contempt), bukan karena kewajiban (duty); tetapi untuk menyetujui sedemikian demi menghormati dan bukan menghina Sang Pencipta. Dan jika ia memberikan kepadamu kunci tentang hal daging di pasar, dengan memperbolehkan kamu makan “apa saja”, dengan pandangan kekecualian terhadap “segala yang telah dipersembahkan kepada berhala- berhala”; ia tidak memasukkan Kerajaan Allah ke dalam pasar daging. “Sebab,” katanya, “Kerajaan Allah bukan makanan dan minuman” (Rom 14:17)…. ketika ia menambahkan, “Jangan, jika kita makan kita menjadi berlebihan; atau kalau kita tidak makan kita menjadi kekurangan,” perkataan ini sesuai dengan, kamu, yang berpikir bahwa kamu sungguh “berlebihan” jika kamu makan, dan ‘kekurangan’/ tidak sempurna jika tidak makan [pantang]; dan untuk alasan ini memperlemah pelaksanaan pantang ini….”

      Dalam satu paragraf ini Tertullian menjelaskan mengenai hal pantang daging, dan terus terang saya heran, mengapa ajaran prinsip yang penting ini tidak dikutip untuk menjelaskan mengenai larangan/ pantangan terhadap daging/ darah. Sebab seperti dikatakan oleh Rasul Paulus dan Tertullian, pantang seharusnya dilaksanakan atas kebijaksanaan Roh Kudus, yaitu dalam rangka merenungkan misteri Paska; dan pantang dilaksanakan bukan karena kita menganggap suatu ciptaan Tuhan sebagai ciptaan yang harus ditolak karena menjijikkan, tetapi karena kita menghindarinya demi merenungkan kasih Tuhan Yesus yang rela menyerahkan nyawa-Nya bagi kita. Kita mempersatukan pengorbanan diri kita yang sederhana ini dengan pengorbanan Kristus di kayu salib, demi mendoakan pertobatan dunia, termasuk pertobatan kita sendiri; demikianlah makna pantang bagi umat Kristen.

      Melalui tulisan Tertullian mengenai ajaran Rasul Paulus ini kita memahami, bahwa walaupun sesungguhnya kita boleh makan ‘apa saja’ [tentu asalkan itu makanan yang layak dimakan], namun ada catatannya, yaitu 1) bukan makanan sesaji yang dipersembahkan kepada berhala; 2) tidak boleh makan berlebihan; 3) tidak boleh memakannya, jika menjadi batu sandungan bagi orang lain; 4) berpantang pada masa prapaska; 5) jika kita berpantang/ tidak memakannya, maka kita tidak boleh merasa kekurangan/ tidak sempurna karenanya; 6) orang yang tidak berpantang harus menghargai orang yang berpantang; 7) tidak perlu menghakimi orang lain sehubungan dengan hal makanan, sebab Kerajaan Surga bukan hal makan dan minum. Prinsip ajaran tentang pantang makanan yang diajarkan oleh Tertullian dan Felix di tahun 200-an ini masih dipegang oleh Gereja Katolik sampai sekarang. Jadi silakan jika ada orang yang mau pantang daging dan darah, boleh saja, dan tentu ini baik, tetapi tidak perlu menghakimi orang yang tidak berpantang. Sebab pada dasarnya bukan apa yang masuk ke dalam mulut yang menjadikan kita cemar/najis (lih. Mat 15:11), namun apa yang kita keluarkan dari mulut, seperti pikiran dan perkataan yang jahat, yang dapat membuat orang berbuat kejahatan. Mari bersama kita menangkap esensi dari ajaran Kristus ini, agar tidak terperangkap pada pemahaman sempit, yang akhirnya malah melanggar prinsip utama yang diajarkan Yesus. Sebab tak jarang mereka yang sudah mempunyai maksud baik untuk berpantang, (entah pantang daging atau pantang darah) kemudian melecehkan/ berkata kasar terhadap orang yang tidak berpantang, ataupun sebaliknya, dan dengan demikian malah melanggar ajaran yang lebih mendasar yang jelas diajarkan Kristus, “Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang. Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat. Itulah yang menajiskan orang….” (Mat 15:18-20).

      Demikian tanggapan saya atas pertanyaan anda, semoga berguna.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

Comments are closed.