Pertanyaan:
Syaloom,
Sekarang saya sedang membaca kisah2 hidup santo dan santa termasuk Santa Theresia Liseux. Di sana saya melihat cara dia bermati raga mulai dr hal kecil sampai menyesah diri dan ada pula selipan kisah dari santo lain yang menyiksa dirinya.
Saya pun kadang melakukan hal kecil untuk tidak makan kesukaan saya. Tetapi ketika saya membaca kisah Santa dan Santo entah kenapa saya teringat dengan ayat ( yang saya percaya Tuhan berikan ayat ini kepada saya sebelum saya operasi tumor) yaitu 1 Petrus 1:18-19 “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyang kamu….”
Lalu ayat 1 Petrus 2:24 ” Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam Tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya, kamu telah sembuh”
Pertanyaan saya:
1. Apakah cara hidup yang sia-sia itu? Kalau ketika saya renungkan lagi ini seperti pembenaran dia sudah tanggung semuanya lg sebagai Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia. Jadi kalau dilihat dari agama Yahudi mungkin ga usah lagi mempersembahkan “korban” sebagai penghapusan dosa lagi? Dan ini ujung2 nya ke paham sekali selamat tetap selamat. Jadi ga usa susah payah lagi wong sudah ditanggung semua dosa masa lalu, masa kini, dan masa depan kita. Apakah benar ?
2. Apakah arti dr ayat 1 Petrus 2:24? Dulu saya pas awal2 tobat mikirnya seperti Martin Luther dibenarkan oleh iman. Karena kita nggak mgkn berbuat dosa. Jadi berusaha ga buat dosa dan Tuhan yang tanggung semua nya. Apakah benar?
3. Mati raga seperti menyiksa diri apakah termasuk cara hdup yang sia2? Karena saya jg melihat jaman dulu orang Hindu menyiksa dirinya tdr di atas paku untuk dekat dengan Tuhan atau mencapai kesempurnaan. Seperti sia-sia saja. Saya jadi sdikit byk mgkn ngerti pikiran Martin Luther yang saya kutip dr Wikipedia
“Luther dedicated himself to monastic life, devoting himself to fasting, long hours in prayer, pilgrimage, and frequent confession.[20] He would later remark, “If anyone could have gained heaven as a monk, then I would indeed have been among them.”[21] Luther described this period of his life as one of deep spiritual despair. He said, “I lost touch with Christ the Savior and Comforter, and made of him the jailor and hangman of my poor soul.”[22]”
D satu sisi ada keindahan dr pemikiran itu karena semata-mata menggantungkan kepada Tuhan Yesus sehingga kita tidak bisa “membeli” keselamatan kita dengan cara bebuat baik atau puasa atau siksa diri, atau doa terus2an. Tapi di sisi lain seperti mau kabur saja dari pengkudusan diri. Jadi apakah itu sia2 utk “membeli” keselamatan seperti itu?
Terima Kasih,
Leonard
Jawaban:
Shalom Leonard,
1 Pet 1:18-19 mengatakan: “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat.”
1. Apa itu cara hidup yang sia- sia?
Cara hidup sia-sia yang dimaksud dalam 1 Pet 1:18-19 adalah hidup dalam dosa; dan dari cara hidup macam inilah kita telah ditebus oleh Kristus, sehingga selanjutnya kita dimampukan oleh-Nya untuk menolak dosa (“mati” terhadap dosa), dan hidup bagi Allah (lih. Rom 6:11). Bagi kita umat Kristiani, rahmat penebusan Kristus ini kita terima pada saat Pembaptisan, dan kemudian kita dapat terus memperoleh rahmat Allah untuk mempertahankan rahmat penebusan ini melalui sakramen- sakramen lainnya.
Namun demikian, bukan berarti kalau sudah ditebus maka manusia sudah pasti tidak jatuh lagi ke dalam dosa, sebab Pembaptisan memang menghapus semua dosa (dosa asal dan dosa pribadi sampai pada saat dibaptis), namun tidak menghapus apa yang disebut sebagai concupiscentia (kecenderungan untuk berbuat dosa). Hal ini tetap ada pada diri manusia sebagai akibat dari dosa Adam; dan oleh karena itu perjuangan untuk mengalahkan kecenderungan inilah yang membuat kita bertumbuh di dalam kekudusan. Dalam usaha kita mengalahkan kecenderungan berbuat dosa inilah para Santa/o ini melatih diri dengan mati raga; agar mereka dapat bertumbuh dalam hal pengendalian diri dan kerendahan hati. Kristus sendiri berpuasa (Lih. Mat 4:2, Luk 4:2) dan mengajarkan hal doa dan puasa kepada para murid-Nya (lih. Mat 9:15; 17:21). Hal mati raga dan berpuasa hendaknya jangan diartikan sebagai tindakan sia- sia, melainkan sebagai upaya untuk memusatkan hati kepada Tuhan, dalam hal ini, untuk menyatukan mati raga kita dengan penderitaan Kristus, agar kita dapat mengambil bagian di dalam kebangkitan-Nya.
Maka penebusan Kristus bukan untuk diartikan bahwa itu sudah otomatis membawa kita ke surga tanpa perlu kerjasama kita lagi. Sebaliknya kita harus turut mengambil bagian di dalamnya. St. Agustinus pernah mengajarkan demikian, “God who created you without you, cannot save you without you” (Tuhan yang menciptakan kamu tanpa kamu, tidak dapat menyelamatkan kamu tanpa kamu. Artinya, agar kita dapat selamat, kita harus turut berjuang mengalahkan dosa dan kecenderungan untuk berbuat dosa, dan bukannya malah sebaliknya, tetap berbuat dosa saja, karena dosa kita sudah ditanggung oleh Kristus. Prinsip ini malah bertentangan dengan Kitab Suci (lih. Rom 6:1-2); dan bahkan bertentangan dengan ayat sebelumnya yang mengajarkan agar kita harus menjaga perbuatan kita, sebab kita kelak akan dihakimi sesuai dengan perbuatan kita: “Dan jika kamu menyebut-Nya Bapa, yaitu Dia yang tanpa memandang muka menghakimi semua orang menurut perbuatannya, maka hendaklah kamu hidup dalam ketakutan selama kamu menumpang di dunia ini.” (1 Pet 1:17).
2. 1 Pet 2:24
Menurut penjelasan The Navarre Bible, Catholic Epistles, adalah sebagai berikut:
“Penderitaan Kristus yang menggenapi nubuat kitab Nabi Yesaya (lih. Yes 52:13- 53:12) tidaklah sia- sia, sebab penderitaan itu mempunyai nilai- nilai penebusan. Kristus telah memikul dosa- dosa kita dan membawanya ke kayu salib, dengan mempersembahkan diri-Nya sendiri sebagai korban penebus dosa. Dengan demikian kita dibebaskan dari dosa, (“mati terhadap dosa”) dan dapat hidup dalam kebenaran, yaitu dapat hidup kudus dengan bantuan rahmat Tuhan.”
Dengan mengimani Kristus, kita telah ditebus oleh Kristus, sehingga kita dimampukan oleh-Nya untuk menolak dosa; namun demikian kita sendiri harus terus berjuang agar tidak jatuh lagi ke dalam dosa ataupun kembali hidup seperti manusia yang lama. Jadi iman yang menyelamatkan itu adalah iman yang hidup yang disertai dengan perbuatan kasih yang mencerminkan pertobatan sejati.
Untuk pengertian Sola Fide yang benar, yang diajarkan oleh Paus Benediktus XVI, silakan klik di sini.
3. Apakah matiraga merupakan cara hidup yang sia- sia?
Tergantung motivasinya. Sebab jika motivasinya bukan kasih, melainkan misalnya untuk mencari kebanggaan diri ataupun pujian dari orang lain, maka ya, dapat dikatakan matiraga itu tidak mempunyai nilai yang berguna untuk keselamatan kekal. Namun jika matiraga didorong oleh motivasi kasih kepada Tuhan dan sesama, di mana kita mempersatukan matiraga kita dengan kurban Kristus, sebagai tanda pertobatan kita ataupun untuk mendoakan orang lain agar beroleh keselamatan kekal; maka perbuatan matiraga ini dapat disebut sebagai perbuatan kasih sebagai bukti iman. Perbuatan ini merupakan penggenapan ayat, “Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat.” (Kol 1:24). Sesungguhnya hal inilah yang dilakukan oleh para Santa/o yang bermatiraga dan berpuasa; yaitu mereka mendoakan banyak orang agar mereka dapat sampai kepada pertobatan dan pengenalan akan Allah; sehingga semakin banyak orang dapat diselamatkan.
Selanjutnya tentang Mengapa Kita Berpantang dan Berpuasa, silakan klik di sini.
Maka jika puasa atau matiraga dianggap dapat ‘membeli’ keselamatan; itu adalah keliru. Sebab tanpa iman, segala perbuatan ini tidak ada artinya bagi keselamatan. Yang terjadi adalah dengan mengimani Kristus, kita memperoleh rahmat keselamatan, dan matiraga hanya merupakan partisipasi kita yang sangat sederhana dalam kurban Kristus yang telah membuka jalan bagi kita kepada keselamatan kekal. Jika Luther mempunyai pengalaman yang berbeda dengan para kudus, saya tidak dapat memberikan komentar, namun yang jelas, ada banyak orang kudus yang dapat menghayati kehidupan monastik dengan sungguh dan mereka bertumbuh dalam kerendahan hati dan kekudusan dengan melaksanakan matiraga dan kehidupan doa kontemplatif. St. Antonius Pertapa, St. Bernardus, St. Teresa dari Avila, St. Yohanes Salib, St. Theresia dari Liseux, St. Fransiskus Asisi, St. Thomas Aquinas, St. Padre Pio, St. Maria Faustina, hanya sebagian kecil saja di antaranya. Pengalaman Luther tidak dapat membatalkan kenyataan yang sudah terjadi selama sepanjang sejarah Gereja, yang dialami oleh orang- orang kudus ini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Syaloom Pak Stef,
Maksud saya hati saya yang menuduh saya terus, bukan orang lain. Saya hanya merasa Saya tidak mengasihi Allah hanya mengasihi diri sendiri, cuma tkut di hukum oleh Tuhan dan takut msuk ke Neraka.
Tidak ada kasih, seperti kata St Yohanes 1 Yoh 4:18. Merasa kurang sempurna dalam kasih, dan tidak tau apakah bisa mengasihi, mendekat kepada Tuhan dengan tuduhan2 hati ini ,karna pada dasar ny saya mencintai diri saya sendiri lebih baik dari siapapun.
Karena itu saya berharap kalau Komuni yang akan saya makan setelah selesai Katakumen akan mengubah saya.
Terima Kasih
Shalom Leonard,
Saya mencoba agar anda dapat melihat dari sisi yang lain. Apapun kekurangan kita seharusnya menjadi pemacu bagi kita untuk dapat menjadi lebih baik. Dengan rahmat Tuhan, maka kita dapat berjuang di dalam kekudusan, yang berarti dapat mengasihi Allah dan mengasihi sesama atas dasar kasih kepada Allah. Pada tahap awal, takut akan Tuhan karena takut akan hukuman (servile fear) kadang diperlukan sehingga kita dapat berjalan di jalan Tuhan. Namun, kemudian takut akan Tuhan harus berdasarkan kasih, seperti kasih anak kepada bapanya (filial fear). Ini adalah suatu proses yang terus menerus berjalan dan kita harus terus memurnikan kasih kepada kepada Allah.
Namun, tuduhan yang terus menerus dalam hati kita dan membuat kita terhalang dalam kemajuan spiritualitas kita harus dicermati lebih lanjut, apakah memang tuduhan ini dari Tuhan atau sebenarnya dari diri sendiri atau dari setan? Menurut saya pribadi, lupakan yang sudah berlalu dan berfokuslah ke depan dalam mempersiapkan baptisan anda. Bergembiralah dan bersukacitalah, karena anda telah dipanggil dan anda telah menanggapi panggilan ini. Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya TUHAN itu! (Mzm 34:8)
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Syaloom Pak Stef
Terima Kasih atas saran dan dukungannya,,
iya kadang saya merasa apakah tuduhan2 itu dtg dr si jahat bukan dr Tuhan
karena Tuhan tidak perna menuduh, hanya mengingatkan. Jadi apa saja yang membuat saya semakin mendekat kepada Tuhan pasti dr Tuhan. Terima kasih atas jawabannya
Tuhan Berkati
Damai Kristus
Mksd saya apakah perbuatan saya pantang itu hanya biar saya lega saja karena berbuat dosa. Jadi seakan2 tidak ingat sudah diampuni oleh Kristus yg mati d atas Kayu salib. Kalau saya ingat2 lagi waktu saya itu benar2 menyesal jadi tidak pikir panjang melakukan pantang itu. Apakah saya melakukan itu untukj memuaskan Hidup Duniawi
dan saya ada pertanyaan tentang 1 Korintus 8:1-13. Apakah ada hubungannya dengan Ekaristi? di ayat 8 di sebutkan “makanan tidak membawa kita dekat kepada Allah. Kita tidak rugi apa2, kalau kita tidak makan dan tidak untung apa-apa, kalau kita makan”
1. Makanan apa yang dimaksud? Apakah makanan untuk berhala
2. “Pengetahuan” apakah yang dimaksud di ayat 10?
3.Pada ayat 13 di sebutkan makanan bisa menjadi batu sandungan bagi saudara kita, Saya khawatir jgn2 sudah jadi batu sandungan dengan menceritakan soal mkanan di gereja Katolik adalah sungguh Daging Kristus dan Darah Kristus.
Terima Kasih
Shalom Leonard,
Terima kasih atas pertanyaan anda. Saran saya, lupakan yang telah lewat dan berfokuslah pada saat ini dan apa yang ada di depan. Jadi kalau anda meneliti bahwa niat anda untuk berpantang pada waktu itu didasari niat yang tidak murni, maka hal ini menjadi pelajaran ke depan, agar kita dapat melakukan satu tindakan didasari oleh niat yang lebih murni. Perlu diingat bahwa satu tindakan yang dianggap baik secara moral harus baik dalam: obyek moral, keadaan dan intensi (lihat ini – silakan klik).
1 Kor 8:1-13 adalah berbicara tentang persembahan berhala, jadi tidak ada hubungannya dengan Ekaristi. Di ayat 8, rasul Paulus ingin menekankan bahwa makanan – entah telah dipersembahkan kepada berhala atau bukan – adalah tetap makanan, hanya berfungsi sebagai makanan, yang tidak mendatangkan untung atau malang. Namun, tindakan seseorang jangan sampai menjadi batu sandungan bagi orang lain. Seseorang yang mempunyai pengetahuan bahwa makanan hanyalah sebagai makanan jangan sampai menggoncangkan iman orang lain dengan makan makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala. Dalam konteks inilah, rasul Paulus menutup perikop ini di ayat 13, dengan mengatakan “Karena itu apabila makanan menjadi batu sandungan bagi saudaraku, aku untuk selama-lamanya tidak akan mau makan daging lagi, supaya aku jangan menjadi batu sandungan bagi saudaraku.” Kalau anda menceritakan tentang Kristus yang hadir secara khusus dalam Sakramen Ekaristi, maka ini bukanlah menjadi batu sandungan, bahkan merupakan ajaran yang harus kita ceritakan, karena Kristus sendiri menginginkan bahwa Dia diperingati dengan cara seperti ini.
Kita tidak dapat memutar waktu kembali. Jadi, kalau anda telah memutuskan untuk menjadi katekumen, maka berfokuslah pada proses ini, dan tidak perlu lagi dipikirkan apa yang telah dilakukan di belakang. Rasul Paulus yang telah menangkap dan membunuh orang Kristen namun akhirnya bertobat menuliskan “13 aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, 14 dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.” (Fil 3:12-14)
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Syaloom Pak Stef,
Terima kasih atas jawabannya, sebenarnya saya merasa selalu salah ketika melakukan sesuatu, misalnya ketika bantu orang lain, saya berpikir ada bagian dari saya yang lagi “beli” keselamatan dan bukan pure 100% karena kasih, mksd nya itu tuduhan2 yang perna saya tanyakan ke tim katolisitas ttg 1 Yoh 3:20.
Apakah saya cuek2 saja dengan tuduhan itu dan jalan trus aja atau gmana? karena saya bingung saja.
Terima Kasih atas penjelasan ttg 1 Kor 8:1-13, kalau yang ada di Kolose 2:16, itu berbicara ttg makanan apa ya? karena ketika saya ceritakan ttg Ekaristi, dia jg ungkit ayat di Kolose itu. terima Kasih
Shalom Leonard,
Kalau ada orang menuduh kita bersalah, maka yang penting adalah kita telah melakukan semuanya dengan intensi (tujuan) yang baik, sesuai dengan keadaan dan mempunyai obyek moral yang baik. Kalau mengenai pengajaran, maka perbuatan dilakukan sesuai dengan apa yang diajarkan iman Katolik dan dilakukan atas dasar kasih kita kepada Allah. Kalau orang lain menuduh kita, namun hati kita tidak menuduh kita dan apalagi telah sesuai dengan iman Katolik, maka kita jalan saja terus dan tidak perlu memperhatikan tuduhan-tuduhan tersebut. Pada akhirnya kita harus memegang kebenaran dengan dasar yang kuat, sehingga tidak mudah diombang-ambingkan oleh pengajaran-pengajaran yang berbeda-beda.
Kol 2:16 menyatakan agar umat Kristen jangan lagi terikat oleh Ceremonial Law – salah satu hukum Taurat – yaitu hukum-hukum yang mengatur seperti makanan yang halal atau tidak, hukum persembahan, dll. Hukum ini telah diperbaharui di dalam Kristus, yaitu dengan pengorbanan-Nya di kayu salib. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Syaloom Bu Inggrid
Terima Kasih atas Jawabannya.
Saya akan membaca Artikel mengapa kita berpantang dan berpuasa
Tuhan Memberkati
Comments are closed.