“Once we take our eyes away from ourselves, from our interests, from our own rights, privileges, ambitions – then they will become clear to see Jesus around us.”
– Beata Teresa dari Kalkuta-

Mengikuti Misa harian, di manapun itu, biasanya saya akan menjumpai wajah-wajah yang hampir selalu sama. Bahkan beberapa orang hampir bisa dipastikan akan selalu hadir karena senantiasa bertugas entah dalam koor kecil, petugas tata laksana, petugas lektor, atau misdinar remaja. Kalau agak lama mereka tidak muncul saya jadi bertanya-tanya jangan-jangan orang itu sedang sakit atau mungkin tengah berlibur ke luar kota. Terasa sukacita bisa melihat wajah-wajah yang sama itu hampir setiap hari di dalam Misa pagi. Sebab di dalam wajah-wajah yang damai itu, baik yang diam dalam sikap doa di bangku, yang sedang menyanyi dengan semangat walau hari masih pagi, atau yang sedang sibuk menyiapkan pernak pernik ibadat di altar atau ambo, saya menyadari karya kasih Tuhan sedang bergerak dengan sangat dinamis di dalam diri mereka.

Suatu hari, saya berkesempatan menyapa seorang ibu yang selalu saya lihat hadir sendirian dan duduk di deretan depan. “Ibu, selamat pagi,” sapa saya. Ia membalas dengan senyum lebar dan tak lama kemudian ia telah asyik bercerita mengenai anak-anaknya yang telah berkeluarga dan tinggal di kota-kota lain. Ia merayakan Misa pagi setiap hari untuk membawa anak-anaknya dan setiap pergumulan mereka kepada Kristus di dalam Ekaristi. Itulah caranya menyatakan cinta dan dampingannya kepada anak-anaknya yang secara fisik sudah tidak lagi berada di sisinya dan tak lagi dapat segera ia tolong manakala mereka membutuhkannya, seperti ketika mereka dulu masih kanak-kanak.

Agak sukar bagi saya sendiri, untuk menuliskan dengan kata-kata, keindahan mengawali sebuah hari yang baru yang diberikan Tuhan, dalam keheningan pagi bersama orang-orang lain yang juga begitu rindu kepadaNya, mengalami lagi momen teramat berharga di mana Kristus hadir dan memecah-mecahkan Diri-Nya, supaya saya menjadi utuh kembali, saya yang juga sudah pecah akibat berbagai tekanan hidup dan rutinitas kesibukan, akibat kelelahan melayani ego yang tiada habisnya, dan akibat dosa dan kelalaian saya. Tentu saya bisa berdoa di rumah dan merenungkan Kitab Suci di kamar, namun hadir dalam Misa di mana Kristus menantikan saya untuk menyambutNya bersama teman-teman seiman, membuat saya merasa dipeluk olehNya, merasakan relasi yang demikian intim dengan Kristus. Kasih di dalam hati yang terbatas dan kering, dibarui lagi dan dimampukan untuk memberikan kasih kepada dunia, sebagaimana Dia telah memberikannya tanpa syarat untuk saya.

Saya dibaptis sejak bayi. Di awal masa remaja, saya kadang merasa bosan dan mengantuk saat merayakan Misa. Pikiran melayang ke berbagai penjuru kecuali ke altar. Mata agak segar jika sudah tiba pada lagu “Bapa Kami”, karena berarti Misa sudah hampir usai. Wajah semakin ceria ketika tiba pada ‘salam damai’. Memasuki pujian lagu “Anak Domba Allah”, saya mulai membayangkan sepulang dari gereja enaknya sarapan di mana ya bersama bapak ibu saya. Yang tidak saya ketahui pada saat itu adalah bahwa nyanyian “Kudus” dan “Anak Domba Allah” adalah nyanyian bala tentara surgawi yang tengah tak henti memuji Allah Tritunggal, sebuah aktivitas puji-pujian yang kelak seluruh umat beriman akan lakukan di dalam kekekalan (Why 4: 8) dalam persekutuan dengan Kristus dan para Kudus, dalam kemuliaan dan sukacita abadi di Surga. Scott Hahn menulis bahwa dalam Kitab Wahyu, Yesus disebut sebagai ‘Anak Domba’ setidaknya sebanyak 28 kali dalam 22 bab.

Saya tidak ingat persisnya kapan saya mulai sedemikian rindu buat merayakan Misa, mungkin terbantu terpupuk sejak mengikuti Legio Maria di bangku SMP dan melakukan rantai Misa pagi, bergiliran dengan teman-teman sesama legioner. Ada dorongan kerinduan tak tertahankan kepada Kristus, Kristus yang begitu rindunya dan kasihnya padaku, hingga memberikan Diri-Nya sehabis-habisnya di kayu salib, Tuhan yang sedemikian rendah hati, untuk hadir dalam rupa roti anggur yang begitu sederhana, agar Tubuh dan Darah-Nya itu selalu dapat dipersatukan-Nya dengan tubuh dan darahku yang fana ini di setiap perayaan Ekaristi. Sukacita akan kehadiran-Nya yang nyata itu, secara sederhana terasa seperti saat saya menerima sebuah kartupos yang dikirimkan sahabat saya di negeri yang jauh, kartu pos dengan gambar indah dengan perangko yang unik, yang bisa saya pegang dengan tangan dan dapat saya simpan sebagai kenangan, walaupun dengan sahabat saya itu saya email-emailan dan kontak dengan BB messenger hampir setiap hari.

Demi kasih Kristus dan kenangan kurban kudus-Nya bagi seluruh umat manusia, perayaan Misa adalah saat untuk sesaat saja meninggalkan apa yang menarik bagi saya atau apa yang menguntungkan diriku. Saya sudah memakai hampir seluruh waktu saya untuk memikirkan diri sendiri dan demi mencari apa yang menyenangkan diriku. Ini saatnya untuk mengarahkan seluruh perhatianku kepada Kristus di Tabernakel dan menyenangkan hati-Nya, Kristus dalam perayaan Ekaristi, yang sudah melupakan Diri-Nya sendiri menjadi nol dan mati, agar saya juga belajar mati bagi sendiri, sehingga mampu berbuah bagi sesama, dan hidup bagi Dia.

Tuhan, aku datang memenuhi undangan-Mu dalam Ekaristi, mengenang kurban salib-Mu, yang tlah membuat aku hidup. Ya, untuk aku, seorang pendosa yang suka membuat keonaran, yang begitu sering memalingkan diri dariMu. Di Tubuh Kudus-Mu yang telah Engkau serahkan buatku dengan penuh cinta dan kerelaan, yang kuterima dengan kedua tanganku, kusambut dengan segenap hatiku, di tengah segala kegalauan dan kepedihanku, kudengar Engkau berbisik, “ Aku ini, …Aku di sini, jangan takut”.