Agama hanya konsep?
Dewasa ini ada sejumlah orang berpendapat bahwa agama hanya konsep, maka lebih baik tak usah beragama. Menurut orang-orang macam ini, tanpa agamapun orang bisa sampai kepada Allah. Dalam kehidupan saya sehari-hari bahkan dalam lingkup keluarga terdekat, gejala ini terasa nyata dan bahkan menguat, di jaman teknologi tinggi dengan banjir informasi dan tawaran berbagai gaya hidup yang mengagungkan kebebasan atas nama hak asasi manusia. Terutama di kalangan kaum muda, dewasa muda dan paruh baya. Apalagi jika kita hidup di negara maju yang masyarakatnya sudah semakin liberal dan sekuler. Mereka menyebut dirinya spiritual tetapi menolak disebut religius, mengakui dan mengasihi Tuhan (atau “Tuhan” menurut konsep mereka sendiri) dengan caranya sendiri tetapi alergi dengan semua yang berkaitan dengan institusi (agama).
Yang lebih terasa memperihatinkan kalau mereka datang dari latar belakang keluarga Katolik, maka saudara-saudara kita ini (yang di KTP nya tetap Katolik) mengatakan dan mengakui mengasihi Yesus, menghormati dan bergantung kepada Yesus, tetapi mau sampai kepada Yesus dengan cara yang dipilihnya sendiri, dan menolak mengikuti ajaran Gereja dalam bentuk apapun juga termasuk mengikuti Misa Kudus. Adalah tantangan bagi kita sesama umat beriman untuk menyikapi hal ini dengan bijaksana di dalam kasih kerahiman Allah, agar mereka dapat sampai kepada Bapa. Serta suatu panggilan untuk mengintrospeksi diri kita sebagai murid-murid Kristus, apakah seluruh hidup kita sudah benar-benar mencerminkan Kristus. Apakah kita sudah mengimani Kristus lewat seluruh hidup kita ataukah hanya sampai sebatas label dan dokumen saja. Pada akhirnya, kesaksian hidup kita sebagai kaum beragama, sebenarnya diamati oleh orang-orang yang menolak agama. Semakin benar dan terang hidup kita dalam kasih, semakin mereka menemukan keindahan agama, yang mereka lihat kita peluk dan hayati dengan segenap hati. Apalagi anak muda cenderung haus akan idola dan mereka selalu perlu mempunyai seorang role model atau panutan dalam hidup mereka yang masih labil.
Kaum yang menolak agama (dan kadang bahkan menolak mengakui adanya Tuhan) umumnya sangat mengedepankan logika dalam segala hal. Padahal manusia terdiri dari badan dan jiwa. Di dalam jiwa, ada hati, perasaan, pikiran. Jika konsep mengenai Tuhan hanya ditelaah secara satu aspek saja yaitu pikiran (akal budi), maka sebenarnya konsep itu tidak utuh, karena masih ada aspek hati nurani dan perasaan, dan Tuhan juga menyapa manusia di sisi itu. Sapaan Tuhan yang demikian hanya dapat dirasakan dengan hati, tidak bisa diungkapkan sempurna dengan panca indera atau dengan kata dan pernyataan. Dan setelah manusia mati, yang hancur hanya badannya, sedangkan jiwanya kekal, melanjutkan perjalanan di dimensi lain. Tanpa pegangan yang baik yang sudah diwahyukan Tuhan melalui agama, bagaimana kita menyikapi masa depan manusia setelah melewati kematian?
Sisi yang menguntungkan dari mereka yang mengutamakan logika, mereka biasanya terbuka untuk berdiskusi, sepanjang diskusi itu mengikuti alur yang nalar. Keterbukaan mengandung harapan untuk berubah, maka kita bisa masuk dari sana. Tetapi untuk masalah hati, kita harus selalu mohon rahmat Tuhan untuk menyentuh dan mengubahnya. Berikut ini sharing yang dapat saya sampaikan dalam kerangka diskusi secara nalar:
Poin pertama: apa artinya mengakui Tuhan itu ada dan mengasihi Dia
Sebagaimana Ingrid Listiati menuliskan dengan indah dalam artikel ”Apa artinya menjadi Katolik”, (dalam hal ini konteks kita adalah agama Katolik), kalau kita mengaku mengikuti dan mengasihi Kristus, tentu kita tidak dapat menutup mata terhadap apa yang sebenarnya dikehendaki Kristus dari umat-Nya. Adalah absurd untuk mengasihi tapi tidak mau tahu apa sebenarnya yang disukai oleh Pribadi yang kita kasihi.. Berbicara mengenai Kristus tidak dapat dilepaskan dari Kitab Suci, karena Kristus mewahyukan diri-Nya kepada kita melalui Kitab Suci. Melalui Kitab Suci, kita mengetahui bahwa Kristus ingin kita menyembah Dia dalam komunitas, tidak sendirian saja (Ibr.10:25). Namun menolak agama berarti juga menolak Kitab Suci yang menjadi dasar dari agama (kekristenan dalam hal ini). Mau mengasihi dan menyembah Tuhan tetapi menolak Kitab Suci sebenarnya tidak bisa dipertanggungjawabkan secara nalar, apalagi secara rohani. Sejak awal mula dunia dan cara-Nya Tuhan menyapa manusia dan menyiapkan jalan bagi keselamatan manusia di dalam Kristus Putera-Nya adalah melalui manusia lain, yaitu melalui para nabi, melalui para umat Tuhan di masa lampau, dan akhirnya melalui para rasul-Nya, dan bersama mereka yang dibimbing oleh Roh Kudus, mereka menuliskan nubuat akan Kristus, perjalanan hidup-Nya di dunia, dan ajaran-ajaran-Nya kepada manusia, di dalam Kitab Suci. Kita juga mengetahui mengenai Tuhan di periode sangat awal dari hidup kita (setelah kita dilahirkan) juga dari orang lain bukan? Yaitu dari orangtua yang membesarkan kita serta para saudara dan kerabat. Sejak awal kelahirannya di dunia, bukankah manusia secara umum tidak berkenalan dengan Tuhan secara langsung (ditampaki Tuhan langsung dan diajak kenalan muka dengan muka)? Maka dari sudut pandang ini saja, beriman dengan sendirian dan dengan caranya sendiri menjadi sangat lemah keabsahannya. Untuk menutup poin pertama ini, saya kutipkan sekali lagi dari artikel Ingrid Listiati di atas sebagai berikut:
Pribadi yang kita ikuti dan kita jadikan pusat dalam hidup kita ini, adalah Pribadi yang mengasihi kita, yang menyatakan kasih-Nya itu dan mewahyukan Diri-Nya secara penuh kepada kita. Karena kasih-Nya yang sempurna inilah, Kristus ingin terus tinggal di tengah kita dan bersekutu/ bersatu dengan kita. Sebab kasih selalu menginginkan kebersamaan. Kristus menghendaki kebersamaan atau persekutuan antara kita dengan Dia, atas dasar kasih dan kebenaran, sebab Ia Allah yang adalah Sang Kasih (1 Yoh 4:8) dan Kebenaran (Yoh 14:6). Maka menjadi Katolik, pertama-tama adalah menanggapi dengan iman, pewahyuan Allah dan undangan-Nya kepada persatuan (komuni) dengan-Nya.
Dengan demikian, iman dapat digambarkan dengan perkataan ini: “Kalau Tuhan yang saya percayai sebagai Pribadi yang baik, penuh cinta kasih, dan bijaksana, telah mewahyukan sesuatu kepada saya, maka atas hormat dan kasih kepada-Nya, saya mau menerima apa yang diwahyukan-Nya itu.”
Lebih lanjut mengenai bagaimana kita membuktikan keberadaan Tuhan, kita dapat memperdalam wawasan kita dengan dasar filosofi dari St. Thomas Aquinas, yang dapat dibaca di artikel “Bagaimana membuktikan bahwa Tuhan itu ada”
Poin kedua: mencari jalan sendiri itu tidak realistis dan membatasi pertumbuhan kita
Jika kita memang sungguh mengasihi Tuhan dan mau mengakui Dia ada dan menyembahNya dalam hati kita (walau dengan cara kita sendiri) pasti kita tidak ingin relasi dengan Yang kita kasihi itu stagnan dan berlangsung ala kadarnya/sekedar ada. Secara prinsip manusiawi yang sehat, sebagaimana kita menyikapi relasi kita dengan sahabat atau orang terdekat, kita tentu ingin iman kita berkembang secara aktif dan progresif. Dan mampu mengubah kita menjadi pribadi yang lebih baik dalam segala hal. Jika kita tidak bersama-sama dengan orang lain, kita tidak pernah ditantang untuk berhadapan dengan berbagai perbedaan karakter, argumen, dan tata nilai sesama kita. Demikian iman yang dijalani sendirian tidak punya kesempatan untuk diuji dan ditantang untuk tetap berakar dalam kasih dan kehendak Tuhan yang kita kasihi. Iman yang tidak pernah mendapat tantangan lama-lama tidak berkembang dan mati.
Beriman sendiri dengan mencari jalan sendiri yang dianggap baik dan bebas menurut kemauan sendiri juga sangat rawan terhadap goncangan dan kebingungan. Karena tidak ada panduan mengenai hal yang baik dan yang tidak baik, tidak ada sesama yang saling mengingatkan, tidak ada orang yang saling memberi semangat, saling meneguhkan, saling menegur kalau ada yang salah, saling belajar dan tumbuh dari kesalahan, dan saling mendoakan saat kita lemah. Padahal lihatlah kepada kehidupan ini. Penuh dengan ketidakpastian, penderitaan dan kesalahpahaman, perlakuan tidak adil, tipu daya, keserakahan, sakit penyakit, dan inkonsistensi. Dan lihatlah diri kita sendiri. Penuh dengan kebimbangan, keterikatan kepada kebiasaan yang tidak mampu kita kendalikan, kelemahan pribadi, luka-luka batin karena interaksi dg orang lain, cita-cita yang tidak kesampaian, dan pertanyaan yang tidak mampu kita temukan jawabannya dalam aneka fenomena kehidupan. Mampukah kita sendirian saja menghadapi semua itu? Apakah kita akan bertahan, dan bisa mempunyai relasi bersama Tuhan yang tumbuh, aktif, progresif dan mengubahkan, dengan sendirian mencari jalan kita sendiri yang kita anggap baik dan bebas menurut kemauan sendiri? Mungkin kalau diibaratkan seorang musafir, seperti berjalan sendirian tanpa perbekalan yang memadai di padang pasir yang terik dan gersang mencekik leher dengan aneka binatang buas yang mengancam dari segala arah (bahasa anak mudanya: nekat. Dan keputusan yang tidak didasari perhitungan nalar maupun kebijaksanaan semacam itu tidak realistis, tidak klop dengan tuntutan kehidupan yang kompleks ini). Yakinkah kita hal itu adalah jalan yang memerdekakan kita dan mengantar kita sampai tujuan? Alangkah beraninya kita di hadapan Tuhan. Karena Tuhan saja tidak pernah bermaksud begitu. Kita diberikanNya sesama, keluarga, pasangan hidup, sahabat, dan Ia mengijinkan agama-agama berdiri dan bertahan selama ribuan tahun itu bukan tanpa maksud. Oleh karena itu, institusi agama sebenarnya merupakan jalan yang memberikan jawaban terhadap tantangan pertumbuhan dan kebutuhan kita untuk berubah demi menjalani kehidupan ini dengan lebih optimal dan berkepenuhan. Untuk bertumbuh, kita memerlukan umpan balik dari orang lain, sebuah jendela yang besar, tidak cukup hanya sebuah cermin kecil yang hanya memantulkan bayangan kita sendiri.
Poin ketiga : institusi (agama) adalah mekanisme yang membuat usaha manusia untuk mengenal Tuhan, bertemu Tuhan, mencintai Tuhan dan akhirnya bersatu dengan Tuhan menjadi lebih efektif dan berhasil guna.
Saya mengutip pendapat seorang Rabi Yahudi, David Wolpe, yang menulis analogi berikut di blognya, yang bisa kita pinjam mengenai nilai sebuah agama, yaitu: jika buku-buku saja cukup, mengapa masih harus ada universitas? Jika senjata api saja sudah cukup, mengapa masih harus ada ketentaraan? Kalau mengatur diri sendiri dan jadi pemerintah terhadap diri sendiri dan keluarga saja cukup, mengapa masih harus ada sistem pemerintahan dan negara dengan birokrasinya? Agama melengkapi manusia dengan kekayaan yang tak terhitung jumlahnya dan tak ternilai harganya, untuk membuat manusia tumbuh dan kuat dalam imannya kepada Tuhan. Kekayaan agama hadir dalam hikmat Kitab Suci dan pengajaran Gereja, doa, sakramen, devosi, tata cara dan liturgi, pengakuan dosa, laku tobat, persekutuan doa dan pendalaman iman, kelompok-kelompok pengembangan keluarga, suami istri, orang muda dan pekerja, juga kelompok pelayanan bagi sesama yang menderita, dan daftarnya masih bisa panjang. Semua itu memberikan bekal yang menyiram, memupuk, dan memberikan buah bagi kehidupan iman dan kasih manusia kepada Tuhan dan manusia lain. Hal melayani sesama, sementara sejumlah orang yang menolak agama kadang berprasangka negatif terhadap agama, namun fakta juga menunjukkan bahwa di banyak kejadian dan kesempatan, agama-agama-lah yang melaksanakan perbuatan-perbuatan peduli kemanusiaan. Bantuan-bantuan kemanusiaan yang efektif dan menjadi besar untuk menjawab tantangan penderitaan yang real di seluruh dunia ini, secara konsisten dan berkesinambungan, lahir dari agama-agama, bukan dari perorangan atau sekelompok orang saja.
Poin keempat: Mencari jalan sendiri rawan tersesat.
Sekarang jika kita kembali kepada mengapa kita memilih agama Katolik, ini adalah masalah mempertaruhkan nasib jiwa kita (yang tidak musnah sekalipun kita sudah mati). Memutuskan mengikuti dan memeluk agama dengan semua konsekuensi dan tanggungjawabnya tidak lain adalah memutuskan pilihan terpenting bagi kelangsungan hidup kita baik selama di dunia ini maupun setelahnya. Gereja Katolik yang diwariskan oleh para Rasul Kristus dibangun sesuai dengan amanat Kristus dan bahwa Gereja tetap bertahan selama dua ribu tahun dan akan terus sesudahnya, adalah bukti nyata penyertaan Kristus yang telah Dia katakan sendiri kepada para rasul-Nya. Kita bisa membaca kembali poin-poin terpenting memutuskan bergabung dalam Gereja Katolik dalam artikel “Mengapa kita memilih Gereja Katolik”.
Ingin masuk sebuah kepercayaan hanya berdasarkan selera dan kemauan pribadi atas nama kebebasan pribadi juga beresiko tersesat yang bisa berakibat buruk bagi diri kita dan orang lain. Ada banyak sekali agama aneh-aneh di dunia ini, terutama di Amerika, Afrika, India. Misalnya agama “Nuaubianism” (yang menganggap orang kulit putih adalah turunan setan) dan agama “Nation of Yahweh” (Hulon Mitchell adalah anak Allah, dan kiprah kelompoknya tidak pernah jauh dari tindakan kekerasan), atau agama “Gereja Euthanasia” (save the planet, kill yourself).
Kadang-kadang saya merasakan juga bahwa alasan orang muda untuk tidak mau beragama sebetulnya sesederhana menghindari tanggung jawab dan aturan yang mereka rasakan kaku dan mengikat. Ingin mencari sendiri apa yang paling nyaman dan bebas sesuai kemauan dan kebutuhannya, aspirasinya. Orang-orang muda ini mungkin perlu diingatkan bahwa pengekangan diri dan mengikatkan diri kepada aturan yang baik itu perlu, sebab hidup itu sendiri tidak bisa dijalani dengan kebebasan tanpa batas dengan segalanya harus berjalan seperti yang kita sendiri anggap baik dan menyenangkan menurut nilai nilai kita pribadi. Karena hidup itu sendiri tidak seperti itu.
Dan mengapa kita mau berlelah-lelah untuk berdiskusi sepanjang ini? Karena kita hendak ikut mewartakan kepada sesama kabar gembira keselamatan yang ditugaskan Kristus di bahu kita, Kristus yang kita cintai, Kristus yang menghendaki semua manusia diselamatkan. Ia yang tidak menghendaki kita mencari jalan sendiri untuk sampai kepada Allah Bapa, tetapi melalui Dia. Sebab Kristus adalah “Jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6), yang selalu bersatu dan menyertai Gereja-Nya sampai akhir zaman (lih. Mat 28:19-20) untuk menghantar kita sampai kepada kehidupan yang kekal.
Apakah kehendak Tuhan bahwa manusia jatuh dalam dosa?
Untuk apakah Tuhan memberikan ujian kepada manusia? Karena Tuhan sudah tahu segalanya, bahkan sebelum kita diuji dan tahu.
Apabila jawabannya hanya untuk menguji iman kita, ya akan balik lagi ke polemik bahwa Tuhan tahu segalanya. Kalau Tuhan sudah tahu segalanya, untuk apa lagi menguji manusia.
Apakah agar manusia tahu bahwa Tuhan itu ada dan nyata?
Artinya untuk manusia yang tidak percaya Tuhan, akan masuk ke neraka dan menjalani api penyucian. Kalau begitu apa gunanya Tuhan menciptakan manusia. Kalau hanya untuk membagi manusia ke dalam surga dan neraka. Toh Tuhan sudah mengetahui siapa saja yang akan masuk ke dua kutub tersebut.
Saya percaya dengan suatu entitas yang diatas manusia, sebut saja Tuhan. Di alam semesta ini tidak ada yang bisa menentang gravitasi. Melalui gravitasi inilah dunia bisa hidup dan tercipta. Melalui gravitasi terbentuklah bintang dan planet. Melalui gravitasi jugalah kehidupan berakhir. Apakah Tuhan saya adalah gravitasi? Saya tidak tahu. Yang pasti gravitasi adalah amat sangat nyata, sementara Tuhan dari pola pandang Katolik adalah suatu konsep yang diwariskan turun temurun dan bergantung kepada iman.
Saya selalu tertarik dengan konsep yang diutarakan oleh Robert Langdon (tokoh rekaan Dan Brown dalam novelnya yang kontroversial). Bagaimana mungkin peradaban modern menyembah suatu ikon yang disiksa, ditusuk lambungnya dan disalib, berdarah, dimahkotai duri dan mengajarkan sesuatu tentang cinta kasih dan dianut oleh milyaran penduduk bumi. Sementara simbologi kepala kambing dan pentagram menjadi sesuatu yang menakutkan. Padahal pentagram dengan sudut-sudutnya yang harmonis dan membentuk suatu pola simetris tidak lebih berdarah-darah dan menggambarkan penyiksaan.
Shalom Question Everything,
1. Kalau Tuhan sudah tahu hasilnya, mengapa menguji manusia?
Sesungguhnya, dari pihak Tuhan memang Tuhan sudah tahu segalanya. Maka jika Ia menguji manusia dan menyatakan diri-Nya kepada manusia, itu adalah untuk kepentingan manusia itu sendiri. Maka Kitab Suci yang merupakan Wahyu ilahi, itu dimemang dituliskan untuk kepentingan manusia, bukan untuk kepentingan Tuhan. Tuhan tidak membutuhkan pujian ataupun penghargaan manusia, namun manusialah yang membutuhkan Tuhan, jika ia ingin sampai kepada kebahagiaan yang sejati.
Nah kebahagiaan sejati inilah yang juga dikehendaki oleh Tuhan, bagi semua manusia. Namun Allah juga mengetahui bahwa tidak semua orang menanggapi tawaran kebahagiaan sejati ini. Karena kasih Allah sifatnya tidak memaksa orang yang dikasihi, maka Allah memberikan kebebasan kepada orang tersebut, apakah akan menerima atau menolak tawaran kasih-Nya. Yang menerima, Tuhan selamatkan, sedangkan yang menolak, ya artinya orang tersebut memisahkan diri dari Tuhan, dan Tuhan mengizinkan terjadi demikian, karena menghormati pilihan orang tersebut. Maka tidak benar bahwa Tuhan telah sejak awal berinisiatif untuk menjebloskan sejumlah orang ke neraka. Pada dasarnya, Tuhan menghendaki semua orang diselamatkan (lih. 1 Tim 2:4), namun karena Ia maha tahu, Ia memang sudah tahu bahwa tidak semua orang mau menerima keselamatan ini. Namun jika sampai ada sejumlah orang yang menolak-Nya, ini bukan karena insisiatif Tuhan, tetapi adalah inisiatif/ kehendak orang itu sendiri. Tentang hal ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Sedangkan tentang mengapa Tuhan menciptakan manusia, klik di sini.
2. Tuhan sama dengan gravitasi?
Jelas tidak. Gravitasi itu hanyalah suatu hukum alam, yang menjelaskan adanya suatu daya yang terkandung dalam suatu ciptaan. Maka gravitasi itu ada sebagai akibat, dan bukan sebagai sebab. Kalau tidak ada langit dan bumi dan segala isinya, maka tidak ada gravitasi, tidak perlu ada gravitasi. Tetapi bahwa langit dan bumi dan segala isinya itu ada, maka ada hukum alam yang menyertainya, salah satunya adalah daya gravitasi. Jika kita dengan mudah menerima bahwa tenaga pembangkit listrik itu ada karena ada penyebabnya (entah tenaga surya, tenaga uap, atau tenaga air, dst) dan sebuah kota yang indah ada perancangnya, maka seharusnya kita tidak mengalami kesulitan untuk percaya bahwa seluruh alam semesta ini dengan segala keteraturan dan keindahan alam ini, ada Perancangnya. Pemikiran yang mengatakan bahwa ini hanya terjadi kebetulan adalah pemikiran yang tidak masuk akal. Sebab mustahil dari segala kebetulan itu dapat terjadi sesuatu yang demikian teratur dan indah.
Seseorang tak bisa memberi kalau dia sendiri tidak mempunyai terlebih dahulu. Dengan demikian sesuatu hanya bisa terjadi kalau ada sesuatu yang sudah ada sebelumnya. Dan penyebab segala sesuatu yang sudah selalu ada sejak kekekalan itulah yang dikenal oleh umat beriman sebagai Allah. Ialah yang menyebabkan adanya gravitasi, dan segala hukum alam. Gravitasi itu tidak bisa ada dengan sendirinya. Ilmu pengetahuan tidak akan dapat membuktikan hal itu, sebab sesuatu yang ada tidak mungkin berasal dari yang tidak ada. Teori big bang dst, tidak menjawab suatu pertanyaan besar, apakah yang menyebabkan timbulnya big bang itu. Logika dan iman bertemu, jika seorang dengan terbuka menerima bahwa ada “Sesuatu” yang kuasanya melebihi segala ciptaan, yang menyebabkan terjadinya semuanya itu. Justru kalau orang berpendapat bahwa sesuatu yang demikian indah, teratur dan kompleks dapat terjadi dengan sendirinya, ia sesungguhnya menentang logikanya sendiri, sebab contohnya tidak ada, bahwa hal ini dapat terjadi, dan karena itu buktinyapun tidak ada.
Selanjutnya tentang bagaimana membuktikan adanya Tuhan, klik di sini.
3. Bagaimana mungkin ikon Yesus yang disiksa mengajarkan cinta kasih?
Manusia diciptakan Tuhan untuk mengasihi. Itulah sebabnya, manusia akan merasa bahwa hidupnya tidak berarti kalau ia tidak dikasihi ataupun mengasihi. Lihatlah kenyataannya dalam realita kehidupan, betapa kasih itu sangat berperan dalam kehidupan manusia. Dengan melihat kenyataan ini saja, kita mengetahui bahwa Sang Penyebab keberadaan manusia, pasti adalah Pribadi yang sempurna di dalam Kasih, sebab jika tidak demikian, tak mungkin dapat tercipta manusia yang sedemikian merindukan kasih. Dalam sinilah, kita mengetahui bahwa Allah Pencipta manusia, adalah Sang Kasih. Dan karena Sang Kasih ini tidak tergantung oleh mahluk ciptaan-Nya, maka kita mengetahui bahwa di dalam Allah yang satu itu, terdapat kehidupan ilahi di antara Pribadi-Nya yang mencerminkan kasih yang sempurna. Dari sinilah kita mengetahui adanya Pribadi Allah dan Putera, dan Kasih yang sempurna yang mengikat kedua-Nya adalah Roh Kudus. Ketiganya adalah satu, dan selalu ada bersama-sama dalam kekekalan. Selanjutnya tentang hal ini, klik di sini.
Nah, Allah Sang Kasih itu tentu perlu menyatakan diri-Nya agar dapat dikenali oleh manusia, sebab tujuan Allah menciptakan manusia, adalah agar manusia dapat disatukan dengan-Nya dalam kasih-Nya. Nah, karena kenyataannya manusia itu telah berdosa dan memisahkan diri dari Allah, maka Allah itu melakukan rencana-Nya yang terbesar untuk membawa manusia kembali. Karena manusia itu sendiri tidak dapat menebus dosanya sendiri, maka Allah-lah yang mengutus Putera-Nya untuk menebus dosa manusia itu. Dengan demikian Allah menyatakan keadilan dan kasih-Nya secara sempurna. Kristus rela menanggung akibat dosa manusia, Ia didera dan disalibkan, agar kita menerima buah pengorbanan-Nya, yaitu kehidupan kekal di dalam Allah. Selanjutnya tentang hal ini, klik di sini.
Dengan mengenali bahwa Pencipta manusia pastilah adalah Pribadi yang sempurna dalam kasih, maka tidak ada alasan yang masuk akal untuk memilih pentagram dengan pola simetris sebagai Tuhan. Pentagram itu benda mati, tidak punya akal budi, tidak punya kompleksitas seperti pada manusia, dan yang jelas tidak mempunyai kasih, maka tak mungkin ia merupakan pernyataan diri Allah kepada manusia. Lain halnya dengan Kristus, yang adalah Pribadi Allah, yang memang diutus ke dunia, untuk menebus dosa-dosa manusia yang menghalangi hubungan kasih antara Allah dan manusia. Jika kita tahu bahwa ibu kita yang mempertaruhkan nyawanya saat melahirkan kita adalah seseorang yang mengasihi kita, maka terlebih lagi Allah, yang di dalam Kristus merelakan diri-Nya berkorban bagi kita, wafat di salib bagi kita, sebagai tebusan atas dosa-dosa kita. Dengan pengorbanan-Nya, Kristus memulihkan hubungan kasih antara kita dengan Allah, sehingga kita dapat diterima kembali sebagai anak-anak-Nya. Maka penyiksaan atas Kristus menjadi bukti kasih Allah yang tiada batasnya: Ia rela disiksa oleh manusia yang diciptakan-Nya, dan tidak membalasnya, sebab besarlah kasih-Nya. Dengan teladan kasih ini Ia menantikan balasan kasih dari manusia, dan mengajarkan kepada manusia akan hakekat kasih yang sejati, yaitu rela berkorban bagi pihak yang dikasihi. Tentunya hal ini tidak bisa dilakukan oleh pentagram atau apapun lainnya di atas bumi ini.
Mungkin ada sejumlah orang yang merasa ajaran sedemikian terlalu abstrak, namun sesungguhnya jika seseorang telah mengalami kasih Tuhan secara nyata di dalam hidupnya, ia tidak akan mengalami kesulitan untuk percaya. Namun iman memang pada dasarnya merupakan karunia Tuhan, yang harus diterima dengan keterbukaan dan kerendahan hati. Pada saat orang menutup hati dan mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa ia tidak membutuhkan Allah, maka akan sulit baginya untuk melihat maupun mengalami kasih Tuhan. Sebaliknya jika orang dengan tulus mencari Tuhan, maka Tuhan akan membiarkan Diri-Nya ditemukan olehnya. “Ia membiarkan diri-Nya ditemukan oleh yang tidak mencobai-Nya… ” (Keb 1:2). Dan besarlah suka cita, jika kita telah menemukan Tuhan yang sedemikian mengasihi kita!
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
1. Artinya Tuhan menciptakan sesuatu dan kemudian sesuatu itu di luar kendali-Nya? Walaupun jelas bahwa sebenarnya Tuhan sudah tahu apa yang terjadi? Bukankah manusia hanya akan jadi boneka yang istilahnya dipermainkan oleh nasib (baca: ujian Tuhan)?
2. Ketika dulu manusia berandai-andai untuk terbang, apakah manusia tersebut dibilang gila, penghujat dsbnya? Ketika dulu Wabah Hitam melanda Eurasia, apakah itu disebut hukuman Tuhan? Ketika Copernicus mengatakan bahwa bumi mengelilingi matahari, beliau dianggap bidaah? Jadi manusia terbiasa menggunakan kuasa Ilahi sebagai penjelasan, ketika mereka belum berhasil menemukan penjelasan. Dan menariknya (kalau tidak ingin disebut konyol), hal tersebut berlanjut hingga kini. Apalagi dengan hukum sebab akibat. Kita terlalu terpaku pada hukum ini, krn selama berabad-abad hal ini terbukti benar. Jika tidak belajar, ujiannya jelek. Jika tidak menabung, tidak bisa kaya. Jika mencuri, akan berdosa. Dstnya. Sayangnya dalam fisika kuantum, akibat dapat muncul sebelum sebab. Segala sesuatu dalam aras kuantum, beroperasi di luar nalar fisika tradisional dan hukum fisika biasa tidak bekerja.
3. Satu lagi contoh mengenai sebab-akibat. Karena ini, maka itu.
Shalom Question Everything,
1. Tidak. Tuhan tidak menciptakan sesuatu yang kemudian di luar kendali-Nya. Allah sudah mengetahui sejak awal mula bahwa sebagai akibat dari kehendak bebas yang diberikan kepada manusia, maka sejumlah orang akan menolak-Nya dan Allah mengizinkan hal itu terjadi. Sebab Ia tidak mungkin menentang hakekat Diri-Nya sendiri yang adalah Kasih, karena Kasih itu pada dasarnya tidak memaksa pihak yang dikasihi untuk harus mengasihi-Nya kembali sebagai balasannya. “Kasih yang tidak memaksa” ini tidak sama dengan membiarkan “sesuatu terjadi di luar kendali”. Menjadi di luar kendali kalau Allah tidak tahu bahwa sebagian akan menolak Dia, dan Dia terkejut karena hal itu. Namun tidak ada yang membuat Allah terkejut (nothing takes Him by a surprise), sebab sejak awal mula Allah sudah tahu konsekuensi dari memberikan kehendak bebas itu, dan Ia mengizinkan konsekuensi itu terjadi. Sebab sebaliknya, jika kasih itu mendominasi sampai menjadikan semua orang menerima kasih-Nya, malah itu bertentangan dengan hakekat kasih itu sendiri. Padahal Allah tidak mungkin menentang/ menyangkal diri-Nya sendiri yang adalah Kasih (lih. 2Tim 2:13).
Nampaknya Anda belum membaca artikel ini, silakan klik. Silakan membacanya terlebih dahulu, jika Anda tertarik untuk mengetahui ajaran Gereja Katolik.
2. Tidak pernah Gereja mengatakan bahwa manusia yang berandai-andai untuk terbang sebagai manusia gila.
Selanjutnya, adalah anggapan yang tergesa-gesa jika disimpulkan bahwa wabah Eurasia (mungkin maksud Anda, ‘black flu’ yang pernah terjadi di tahun 1918), di daerah Eropa, Amerika dan kemudian menyebar ke bagian-bagian dunia lainnya, bukan merupakan hukuman Tuhan ataupun sesuatu yang datang dari inisiatif Tuhan, tetapi sebagai konsekuensi dari kesalahan manusia. Walau memang masih merupakan spekulasi, tetapi sejauh ini para ahli memperkirakan bahwa virus yang mematikan tersebut merupakan akibat dari onggokan akibat Perang Dunia I (1914-1918), penggunaan senjata gas, dan akibat asap yang dihasilkan dari perang tersebut. Bahwa Tuhan mengizinkan hal itu terjadi, itu tidak sama dengan bahwa Tuhan lah yang menyebabkan timbulnya wabah itu. Sebab Tuhan memang mengizinkan hal itu terjadi, agar manusia belajar dari pengalamannya sendiri bahwa perang itu membawa akibat buruk bagi manusia secara umum di seluruh dunia.
Tentang kasus Copernicus, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Gereja Katolik tidak pernah mengutuk Copernicus sebagai bidat. Anggapan ini merupakan opini yang dibangun oleh sejumlah orang, namun tidak sesuai dengan kenyataan. Sebab kalau seandainya Gereja Katolik mengutuknya sebagai bidat, pihak otoritas Gereja tidak akan mengizinkan ia dimakamkan di katedral Frambork (batu nisannya dibuat tahun 1735, setelah nisan aslinya yang dari abad ke-16 itu hancur akibat perang).
Akhirnya, tentang fisika kuantum. Jika dalam fisika kuantum dikatakan dapat muncul akibat sebelum sebab, kita harus mendefinisikannya dengan lebih jelas. Karena jika sebab itu belum diketahui, itu tidak sama artinya dengan “tidak ada sebab”.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
syalom katolisitas,,
saya ingin mempertegas pertanyaan Question Everything,sesuai yang saya tangkap : Jika Tuhan sudah tahu bahwa saya akan masuk neraka, mengapa Tuhan masih menciptakan saya??
bukankah lebih baik Tuhan menciptakan manusia yang sudah pasti (dia tahu) masuk surga??
jika untuk menyelamatkan manusia, mengapa Tuhan tidak menciptakan manusia yang sudah pasti selamat? sehingga Dia tidak perlu repot-repot berkorban di kayu salib hanya untuk menyelamatkan manusia
jika untuk mengajarkan kasih, mengapa Tuhan tidak menciptakan saja manusia yang sudah mampu mengasihi? sehingga Dia tidak perlu turun ke dunia hanya untuk mengajarkan kasih
bagi saya (manusia) lebih mudah menciptakan robot dengan kemampuan matematika, daripada menciptakan robot ‘kosong’ yang harus saya sekolahkan hanya untuk belajar matematika. apalagi saya tahu bahwa robot yang saya ciptakan tidak akan bisa menguasai matematika, mengapa pula masih saya ciptakan??
terimakasih.
Shalom Damay,
Silakan untuk terlebih dahulu membaca artikel ini, yang baru saja kami tayangkan untuk menjawab pertanyaan Anda, silakan klik.
Kita harus mengakui bahwa pikiran kita sungguh terbatas, dan bahkan kasih kita juga terbatas, sehingga umumnya kita manusia selalu menginginkan agar jika kita mengasihi orang, maka orang yang kita kasihi itu akan membalas mengasihi kita. Namun ukuran yang kita pakai ini terlalu kecil untuk mengukur kasih Tuhan yang tidak terbatas. Sebab memang menurut ukuran ataupun pikiran manusia, sepertinya terlalu ‘repot-repot’ sampai Tuhan harus mengutus Yesus Peutera-Nya wafat di kayu salib untuk mengajarkan kita bagaimanakah kasih yang sejati. Tetapi bagi Tuhan hal yang merepotkan itu merupakan kesempurnaan rencangan keselamatan-Nya bagi manusia. Karena itu bagi Tuhan sama sekali bukan hal yang sia-sia, walaupun mungkin ada sejumlah manusia menganggap-Nya demikian.
Kasih yang sejati itu tidak memaksa, maka demikian pula Tuhan yang adalah Kasih (1Yoh 4:8) tidak memaksa mahluk yang diciptakan-Nya untuk membalas mengasihi-Nya. Kasih Allah begitu besar dan tak terbatas, sehingga Ia mau melakukan apa saja, untuk menyampaikan kasih dan kebaikan-Nya kepada manusia, walaupun itu berarti harus menyerahkan Putera-Nya sendiri, untuk menjelma menjadi manusia, sengsara dan wafat di kayu salib demi menebus dosa-dosa manusia, sebelum Ia bangkit dengan mulia. Keterbatasan manusia sering menolak rencana Allah ini, entah karena menganggapnya sebagai batu sandungan, ataupun hal yang bodoh, atau sebaliknya, sebagai sesuatu yang terlalu baik, too good to be true, sehingga sepertinya tidak mungkin.
Memang pada akhirnya diperlukan keterbukaan dan kerendahan hati dari pihak kita manusia untuk menerima dan bekerjasama dengan rahmat Tuhan yang berkehendak menyelamatkan kita. Mari saling mendoakan, agar kita diberi keterbukaan dan kerendahan hati itu, agar selalu bekerjasama dengan rahmat-Nya sampai akhir hidup kita.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Agama Katolik adalah agama yang mengajarkan cinta kasih.Ajaran Tuhan Yesus juga mengutamakan cinta kasih.
Tetapi mengapa Paus membiarkan dan bahkan merestui terjadinya Perang Salib dengan iming-iming mati sahid.Perang salib diasumsikan sabagai “just war” perang yang adil,tidak berdosa membunuh musuh demi memberikan keadilan,demi memajukan kebaikan,demi menghindari kejahatan???????????????????
Apakah yang tercantum dalam Injil? Bukankah Yesus memerintahkan kita utk mengasihi musuh kita? Pernahkah Anda mendengar firman “jika seseorang menampar pipi kirimu,berikanlah pipi kananmu”
Menurut hemat saya,Paus seharusnya berpasrah pada kehendak Tuhan dan tidak mendekritkan perang.Kalau memang Tuhan menghendaki hancurnya the Holy Sepulchre (kubur Yesus yang kudus) dan semua kawasan Kristen di Yerusalem,umat Kristen dianiaya dengan kejam oleh pasukan Turki,biarlah hal itu terjadi.Semuanya sudah diatur oleh Tuhan.Percaya bahwa Tuhan akan
membuat baik semuanya.Hanya Tuhan yang berhak melakukan pembalasan.Kalau memang Tuhan menghendaki selamatnya Holy Sepulchre,Tuhan pasti akan bertindak dengan caranya sendiri.Entah dengan mengirimkan malaikat dari surga utk membinasakan pasukan Turki,adanya gempa bumi,hujan api,dsb.
Tetapi kenyataannya Paus bertindak dengan caranya sendiri.Apakah bedanya perilaku orang Kristen dengan orang beragama lain yg mengutamakan perang bila kaumnya dizalimi?
Inilah pembenaran yang dibuat-buat.Kalau memang demikian maka orang fakir miskin yang lapar tidak berdosa kalau mencuri makanan utk bertahan hidup,ayah miskin yang mencuri roti untuk anaknya yg lapar menjadi tidak berdosa
Percayakah Anda bahwa agama hanyalah topeng? Bila seorang ayah yang mempunyai bayi dan bayi itu dibunuh dengan dimutilasi,bukankah ayah itu akan kalap dan menghabisi pembunuh anaknya???Walaupun ayah tsb setiap minggu selalu mengikuti misa di gereja,aktif di lingkungan,aktif di komunitas Katolik.
Tahukah Anda,angka pembunuhan tertinggi ada pada negara2 yg mengaku religius?Angka pembunuhan rendah di negara2 atheis
Jumlah pemerkosaan terbanyak ada di negara yg mengaku religius
Terimakasih atas jawabannya
Shalom Tarsisius,
Sejujurnya, kita tidak mengetahui persis gentingnya keadaan pada saat itu, sehingga tidak sepantasnya kita menghakimi Paus (dalam hal ini Paus Urban II) yang memang memprakarsai dikirimnya pasukan dari negara-negara Barat ke Yerusalem di abad ke-11. Tujuan pengiriman pasukan tersebut pertama-tama adalah untuk melindungi jemaat di sana, sehingga bukan semata-mata mempertahankan Holy Sepulchre (meskipun itu memang menjadi tempat ziarah umat Kristen yang terpenting, yaitu tempat di mana Yesus wafat dan dikuburkan, sebelum Ia bangkit dengan mulia). Sebab dikatakan bahwa pada tahun 1009, Hakem, kalifah Mesir memerintahkan pemusnahan Holy Sepulchre dan semua daerah/ pemukiman Kristen di Yerusalem. Selanjutnya bertahun-tahun kemudian umat Kristen di sana dianiaya (lih. Iahja of Antioch, in Schlumberger’s “Epopée byzantine”, II, 442).
Kita mungkin tidak dapat membayangkan, tetapi jika kita berada dalam situasi Paus, maka harus diakui bahwa Paus memiliki pilihan yang sangat sukar. Gereja (jemaat) itu bagaikan Ibu rohani bagi kita (karena Gerejalah yang membaptis kita dan melahirkan kita menjadi anak-anak angkat Allah di dalam Kristus). Lalu di Yerusalem, Gereja (jemaat) dianiaya untuk maksud ditumpas habis. Lalu Paus sebagai pimpinan tertinggi, tentu sangat terbeban dengan hal ini. Jika ibu Anda dan saudara-saudara Anda disiksa di hadapan Anda, apakah Anda melawan penjahat itu untuk melindungi ibu dan saudara-saudara Anda, atau diam saja, seperti saran Anda: ‘sambil mengharapkan bahwa Allah akan mengirimkan malaikat-Nya atau hujan api ke atas penjahat itu?‘ Tentu sulit sekali pilihan ini, namun biarlah Tuhan saja yang menilai apakah tindakan perlawanan untuk mempertahankan diri itu dibenarkan, daripada diam saja dan membiarkan semuanya wafat.
Hal penganiayaan memang selalu dialami oleh Gereja sejak awal, namun nampaknya tingkatnya sudah mencapai tingkat genting, sehingga Paus memilih untuk berjuang melawan kekerasan bangsa Turki demi membela saudara-saudaranya di Gereja Timur, walaupun saat itu sebagian besar Gereja Timur (dipimpin oleh Michael Caerularius 1054) telah memisahkan diri dari kesatuan yang penuh dengan Gereja Roma. Tahun 1073 terjadi pertukaran surat antara kaisar Konstantinopel Michael VII dengan Paus Gregorius VII, yang isinya adalah kaisar meminta bantuan perlindungan dari Paus. Maka sejak saat itulah Paus memikirkan untuk mengirimkan bantuan ke Gereja Timur untuk membantu mereka mempertahankan diri dan untuk mempertahankan Holy Sepulchre. Sebab nyatanya, Yerusalem telah jatuh ke tangan Turki tahun 1070, Antiokhia tahun 1084, dan tahun 1092 praktis semua daerah metropolitan di Asia. Paus penerusnya, yaitu Paus Urban II kemudian memutuskan untuk merealisasikan bantuan itu (1095-1097), yang kemudian dikenal dengan pasukan Perang Salib, sebab mereka menyematkan gambar salib merah pada bahu mereka.
Bahwa ternyata dalam pelaksanaannya terdapat kekacauan/ kesulitan besar, yang juga mengakibatkan salah paham antara Gereja Timur (Yunani) dan Barat (Latin), tentu itu tidak menjadi rencana Paus. Atau bahwa ternyata perang salib mengakibatkan jatuhnya banyak kurban, tentu itu membuat kita sama-sama prihatin. Namun bahwa sekarang masih ada umat Kristiani di sana dan kita masih mempunyai gereja Holy Sepulchre dan beberapa tempat ziarah penting yang tetap eksis sampai sekarang (seperti gereja di Betlehem, di Nazaret, di bukit 8 Sabda Bahagia, dst), itu antara lain adalah karena perjuangan dari Gereja untuk mempertahankannya. Dan syukurlah tempat-tempat itu masih ada.
Maka jika memang ada hal-hal yang buruk terjadi di masa lalu dalam sejarah Gereja, biarlah kita serahkan pemahaman kita yang terbatas ini kepada Tuhan. Nanti saat Penghakiman Terakhir, kita akan mengetahui sepenuhnya apakah yang benar dan yang salah. Tuhan akan menyatakan semuanya kepada kita. Namun sampai saat itu, janganlah kita menghakimi, apalagi menghakimi Paus. Sebab jika kita ada di posisi Paus dengan tanggung jawab dan tekanan yang sungguh besar pada saat itu (yang tak dapat terbayangkan oleh kita sekarang), kita belum tentu dapat membuat keputusan yang lebih baik daripada keputusan Paus.
Tingkat pembunuhan yang tinggi, tentu membuat kita semua prihatin. Tetapi sepertinya terlalu tergesa-gesa, jika menghubungkannya dengan agama. Sebab negara yang paling banyak tingkat pembunuhannya, yaitu Honduras (91.6 per 100,000 orang), dan negara yang paling aman yaitu Swiss (0 per 100,000 orang) itu sama-sama negara mayoritas Kristiani. Jadi nampaknya ada faktor lain yang berperan di sini, seperti tingkat kemiskinan, adanya coup de tat/ kekacauan politik dan tatanan masyarakat di Honduras di tahun akhir-akhir ini, yang menyebabkan tingginya tingkat pembunuhan dan kriminal di sana. Namun tingkat aborsi (pembunuhan janin) tertinggi di dunia, ada di Vietnam (83.3 per 1000 wanita), dan negara ini memang mayoritas penduduknya tidak beragama.
Sedangkan untuk tingkat pemerkosaan tertinggi di dunia, jika kita klik di google, nampaknya memberikan hasil yang bervariasi, ada yang mengatakan Thailand, ada yang mengatakan Swedia ada yang mengatakan Afrika Selatan. Namun kalau kita membaca keterangannya kita mengetahui nampaknya bukan karena isu agama, namun lebih kepada keadaan masyarakat yang khusus pada negara-negara tersebut, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa semuanya adalah karena isu agama.
Agaknya memang menjadi tantangan bagi umat beragama untuk memberikan teladan hidup yang lebih pantas dengan ajaran iman, sehingga tidak menjadi batu sandungan bagi mereka yang tidak beragama. Namun jika kita melihat faktanya, nampaknya terlalu tergesa-gesa jika disimpulkan bahwa orang-orang yang tidak beragama akan dapat hidup dengan moralitas yang lebih baik daripada orang-orang yang beragama.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Mohon ijinkan saya untuk ikut dalam perbincangan ini.
Setelah membaca reply Ibu Ingrid Listiati, saya sedikit termenung. Sungguh mulia sekali apabila alasan yang digunakan oleh gereja saat itu adalah untuk melindungi peziarah yang diserang.
Tapi ketika saya tempatkan diri saya pada posisi pemimpin agama (Paus) yang ketika itu disegani dan bahkan raja-raja pun mempertimbangkan perkataan Paus (apalagi permintaan), saya jadi meragukan alasan tersebut.
Mari kita berandai-andai, karena jelas catatan sejarah pada saat itu dan kapanpun juga, tidak dapat dipercaya. Sejarah hanya diisi oleh mereka yang berkuasa dan menurut hemat mereka.
Saya seorang Paus. Perkataan saya adalah perkataan Tuhan. Siapapun mendengarkan saya atau akan menerima konsekuensinya. Saya begitu berkuasa, hingga raja-raja Eropa meminta restu saya. Tiba2 bangsa Arab, Seljuk dan Turki menguasai wilayah tersebut. Ibaratkan diri anda sebagai tuan tanah dan ketika “meleng” sebentar, tanah anda tiba2 diklaim jadi milik orang lain. Apa respon anda? Marah, murka, sedih, dendam, benci, dsb dsb…….
Bagaimana mungkin saya yang seorang Paus kehilangan muka saya ketika melihat kota suci kami dikuasai oleh pihak lain? Apa yang akan terjadi dengan pengaruh saya? Bagaimana kekayaan gereja nantinya? Kekuasaan saya terancam!!! Oleh karena itulah Paus Urbanus II mulai mengobarkan semangat Perang Salib. Bebaskan tanah suci!!! Binasakan penjajah!!! dll. Tapi satu hal yang paling saya ingat adalah Deus le volt!!! Tuhan akan menyediakan.
Ini semua adalah pandangan yang sangat manusiawi. Baik dulu, sekarang dan selamanya. Jadi kalau kita baca catatan sejarah bahwa Perang Salib dimulai dari serangan terhadap peziarah, silahkan pertimbangkan ulang.
Makna politis dalam Perang Salib sangat kuat, dan bahkan perseteruan ini terus berlanjut sampai sekarang.
Jadi dalam kaitannya dengan agama, sudah jelas kalau agama itu adalah sumber perseteruan. Bahkan Yesus pun berseteru dengan imam Yahudi dan berujung pada penyaliban-Nya. Sekarang konflik meluas ke antar agama. Padahal jelas sekali Tuhan bangsa Yahudi, Kristiani dan Muslim adalah satu dan sama.
Selama pemahaman bahwa cara saya adalah yang terbaik tetap ada (Btw, mohon jangan bawa2 iman dalam hal ini. Iman adalah pengalaman spiritual seseorang dan dibentuk oleh lingkungannya), selama itu pula konflik tidak bisa dihindari.
Apakah mereka yang tidak beragama tidak ikutan konflik? Tergantung. Tapi dengan tidak memilih agama tertentu, paling tidak sumber konflik ini akan berkurang. Mohon jangan samakan pihak tidak beragama ini dengan mereka yang tidak bermoral ataupun tidak berakhlak. That’s a different animal.
Shalom Question Everything,
Untuk memahami sejarah secara obyektif, kita tidak bisa berandai-andai dengan menempatkan diri kita sendiri sebagai Paus, lalu mengira-ngira bahwa Paus pasti sepemikiran dengan kita. Sebab itulah yang nampaknya terjadi pada Anda. Anda memasangkan pemikiran Anda, lalu Anda meyakinkan diri Anda sendiri bahwa Paus pasti sepemikiran dengan Anda, yaitu bahwa ia takut kehilangan kuasa, dst. Bukankah itu namanya Anda mengadili Paus. Pemahaman semacam ini lebih didasari atas praduga bahwa Paus itu seorang yang gila kuasa, namun bukan atas dasar fakta catatan korespondensi antara Paus dan Kaisar Konstantinopel yang memohon kemurahan hati Paus untuk membantu melindungi jemaat di Gereja Timur, yang sedang diserang.
Sdr. Question, kami tidak sedang memaksa Anda untuk menjadi Katolik. Anda bebas menentukan apakah Anda mau percaya atau tidak, mengenai apa yang kami tuliskan di situs ini. Namun fakta juga jelas berbicara bahwa tidak beragama ataupun menganut sekularisme, juga tidak menjadi jaminan bahwa itu akan mengurangi konflik. Sebab korban jiwa yang dimotori oleh paham sekularisme itu jauh melebihi korban konflik religius. Sebagai contohnya, hanya korban konflik non- religius di China (hanya di China dan belum termasuk negara-negara yang lain, belum termasuk korban Perang Dunia I dan II, dst) dari tahun 1928-1987 (59 tahun) adalah 76,702,000 jiwa (lihat important note dari R.J. Rummel), sumber klik di sini. Jumlah ini jauh melebihi korban akibat perang salib. Memang terdapat variasi perkiraan jumlah korban: menurut John Shertzer Hittell, “A Brief History of Culture” (1874) p.137, 1 juta orang, menurut Robertson, John M., “A Short History of Christianity” (1902) p.278., 3 juta orang, atau ada sumber lain yang memperkirakan sekitar 7-11 juta jiwa sepanjang periode 200 tahun. Katakanlah 11 juta jiwa itu yang benar sekalipun, itu masih jauh di bawah angka kematian akibat perang di China yang tidak bermotifkan agama (77 juta jiwa), atau Perang Dunia I dan Perang Dunia II (sekitar 70 juta jiwa), atau perang Khmer merah Kamboja yang menewaskan 2 juta jiwa hanya dalam beberapa tahun di sekitar tahun 1970an.
Perang ataupun korban pembunuhan memang merupakan tragedi kemanusiaan, maka selayaknya dihindari. Bahwa jika sejarah mencatat bahwa perang toh tetap terjadi, tentu itu menjadi keprihatinan kita semua. Namun nampaknya keliru kalau menuding bahwa agama-lah yang paling bersalah dalam hal ini, sebab fakta tidak menunjukkan demikian. Agaknya hal perdamaian dunia merupakan sesuatu yang perlu diusahakan oleh semua bangsa, entah bangsa itu religius atau tidak. Dan dengan cara yang kecil dan sederhana, marilah mulai mengusahakannya di dalam rumah kita sendiri, dengan keluarga, kerabat, teman-teman maupun lingkungan sekitar kita.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Perang Salib dimulai pada abad ke-11 (sesuai dengan tulisan Ibu Ingrid diatas)saya tidak tahu pastinya jumlah populasi dunia pada saat itu berapa. Sementara pada saat perang dalam kurun waktu 1928-1987, populasi dunia adalah diatas 2 milyar (1927), menjadi diatas 5 milyar (1987). Artinya dalam 60 tahun terjadi penambahan sekitar 3 milyar orang. Kalau kita bisa tarik mundur dan menggunakan perhitungan Malthus, pada abad ke-11, populasi dunia pastilah dibawah 1 milyar. Jadi kalau kita korelasikan jumlah penduduk dunia dan korban perang, terlihat kalau mana yang akan menelan korban jiwa lebih besar. Perang Salib atau perang di China. Pada abad ke-11 juga belum ada senjata pemusnah massal, dibandingkan dengan abad ke-20.
Saya mengucapkan terima kasih atas semua penjelasan Ibu Ingrid dan teman-teman di Katolisitas. Saya sejak kecil dibesarkan secara Katolik di keluarga dan di sekolah (dari playgroup hingga SMA). Saya juga mengikuti sekolah minggu, tp sy menolak untuk dibaptis. Semakin banyak saya membaca, semakin asing konsep agama untuk saya. Saya percaya dengan keberadaan Tuhan (entitas di atas manusia), tapi blm bisa menerima konsep agama. Sekali lagi, terima kasih untuk semua penjelasannya.
Shalom Question Everything,
Nampaknya, kita setuju bahwa hal jatuhnya korban manusia karena pembunuhan itu adalah sesuatu yang memprihatinkan, dan karena itu, selayaknya dihindari. Yang kita tidak setuju adalah, bahwa Anda menganggap bahwa agama-lah yang menjadi sumber perseteruan/ konflik, dan menganggap bahwa dengan tidak beragama, maka akan mengurangi konflik. Saya tidak berpandangan demikian.
Sebab sejarah mencatat tentang begitu banyaknya konflik-konflik masyarakat ataupun bangsa yang tidak bermotifkan agama. Silakan klik di Wikipedia dengan kata kunci revolutions and rebellions, dan di sana terpampang berbagai konflik dan perang yang terjadi di berbagai penjuru dunia sepanjang sejarah sampai sekarang. Memang nampaknya ada di antara konflik itu yang berbau religius, namun sebagian besar adalah konflik antara rakyat dan pemerintah/ penguasa, yang tak ada hubungannya dengan agama.
Memang di jawaban saya sebelumnya saya menyebutkan contoh Perang Dunia I dan II, yang mencapai sekitar 70 juta jiwa, perang konflik di China 77 juta, namun angka ini sama sekali belum mewakili dan bahkan tidak dapat dibandingkan dengan keseluruhan korban yang terjadi akibat bermacam konflik non-religius yang pernah terjadi di seluruh dunia. Maka Anda tidak dapat hanya mengambil angka tersebut (147 juta itu) dibandingkan dengan populasi dunia di abad-20, lalu membandingkannya dengan prosentase korban perang salib terhadap populasi dunia di Abad Pertengahan, lalu menyimpulkan bahwa prosentase korban konflik agama itu lebih besar daripada prosentase korban konflik non-agama, atau secara umum menganggap agama itu sumber konflik yang menimbulkan korban manusia. Mengapa?
1. Yang pertama, angka 147 juta itu sama sekali tidak mewakili jumlah semua korban perang di abad ke-20. R.J Rummel, seorang profesor politik yang ternama, menulis bahwa jumlah democide/ korban jiwa akibat pembunuhan oleh pemerintah/ penguasa di dunia di abad ke-20 adalah sekitar 262 juta jiwa (klik di sini). Maka jika dibandingkan dengan populasi dunia di abad ke 20, sekitar 6 milyar, 262 juta (korban democide) + 70 juta (korban perang dunia PD I dan II)= 332 juta, adalah sekitar 5,53%.
2. Dan yang kedua, angka yang saya sebut sebelumnya sebagai perkiraan korban perang salib, itu merupakan perkiraan yang sangat kasar, selama dua abad, dari 1097-1270. Para ahli sejarah sebagaimana telah disebutkan di atas menyebutkan bahwa korban jiwa akibat perang salib, diperkirakan sekitar 1-3 juta orang. Sumber yang menyatakan sampai 8-11 juta itu adalah sumber dari situs Kristen non- Katolik, namun tidak menyertakan siapa ahli sejarah yang mengatakan demikian. Namun anggaplah 11 juta itu benar untuk jumlah korban perang salib selama 2 abad itu (yaitu abad ke 11-13, di mana jumlah populasi dunia saat itu relatif tetap, yaitu sekitar 400 juta, menurut ensiklopedia Britannica). Maka angka 11 juta itu tinggal kita bagi 2, menjadi 5.5 juta. Demikianlah, maka diperoleh prosentase jumlah korban perang salib adalah sekitar 1.38 % dari total populasi dunia saat itu. Prosentase ini akan jauh lebih kecil, jika ternyata jumlah korban perang salib itu adalah sekitar 1-3 juta orang selama 2 abad seperti menurut para ahli sejarah sebagaimana saya kutip di atas (maka prosentasenya sekitar 0.125 s/d 0.375%).
3. Namun di atas semua itu, nyawa manusia adalah sungguh berharga, sehingga tidak untuk dinilai dari segi prosentasenya saja, atau dari segi perangnya saja yang mengakibatkan terjadinya korban jiwa manusia. Sekarang ini di seluruh dunia telah terus terjadi korban jiwa manusia setiap detik, dengan peningkatan jumlah aborsi. Silakan Anda klik di situs ini, silakan klik, dan menemukan jumlah korban jiwa manusia yang dibunuh melalui aborsi adalah sekitar 1.3 milyar jiwa, dihitung hanya sejak tahun 1980 sampai sekarang (hanya sekitar 33 tahun, belum satu abad).
Dengan perhitungan kasar saja, misalnya diambil angka 2 milyar untuk satu abad (angka ini pasti jauh lebih rendah dari angka sebenarnya), dan diterapkan pada populasi dunia, taruhlah sekarang sekitar 8 milyar, sampai akhir abad 21 nanti, itu sudah seperempat atau 25 % dari total seluruh penduduk dunia. Dan aborsi ini marak dilakukan di negara-negara yang non-religius, ataupun di negara-negara sekular, seperti di China, Rusia, Vietnam, Amerika dan Ukraina. Prosentase korban jiwa manusia ini akan lebih besar, jika memperhitungkan juga jumlah korban bunuh diri dan euthanasia.
Gereja Katolik sejak awal sampai sekarang, menolak aborsi, euthanasia dan bunuh diri. Selanjutnya tentang Mengapa Aborsi itu Dosa, dapat dibaca di sini, silakan klik, dan tentang Kekejaman Aborsi, klik di sini.
Demikianlah Question Everything, saya ingin menutup diskusi dengan Anda. Saya juga berterima kasih kepada Anda atas pertanyaan-pertanyaan Anda yang kritis, yang sejujurnya membuat saya semakin mempelajari apakah memang agama layak disebut sebagai sumber perseteruan/ konflik. Namun setelah mempelajarinya, walau dalam segala keterbatasan saya, saya semakin yakin bahwa agama tidaklah dapat dipersalahkan sebagai yang paling bertanggungjawab atas terjadinya berbagai konflik di dunia. Agama dapat justru mempersatukan seluruh umat manusia, yang sungguh-sungguh mencari Tuhan dan berjuang untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya, yang pada dasarnya adalah perintah kasih, terutama kepada mereka yang paling lemah dan membutuhkan pertolongan.
Anda mungkin dapat saja tidak setuju, dan untuk itu saya tidak dapat memaksa Anda. Namun semoga para pembaca lainnya, yang mau melihat fakta dengan lebih terbuka, dapat menyikapi informasi tentang topik ini dengan lebih berimbang dan obyektif. Jika Anda percaya bahwa ada Tuhan (walaupun tidak mau beragama), silakan setiap hari Anda berdoa kepada Tuhan yang Anda percayai itu untuk menuntun setiap langkah hidup Anda. Semoga dengan cara-Nya sendiri, Ia menunjukkan Kebenaran-Nya kepada Anda, pada waktu-Nya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
surga – konsep
neraka – konsep
dosa – konsep
allah – konsep
agama – konsep
Yg riil tidak ada toh?
[dari katolisitas: yang riil adalah manusia yang mengalami Allah dalam agama yang dianutnya dan akan menuntunnya ke Sorga atau melakukan dosa yang terus menerus sehingga menuntunnya ke neraka]
Dengan sedemikian banyaknya agama dan aliran kepercayaan yang ada di muka bumi ini sebenarnya sudah menunjukkan bahwa agama tidak lebih dan tidak kurang dari sebuah konsep. Itu sudah merupakan fakta, jadi, tidak perlu diperdebatkan lagi apakah agama merupakan sebuah konsep atau tidak. Jawabannya jelas: Agama hanya sekedar konsep.
Buat saya, sebagai sebuah konsep, agama tidak lebih menarik ketimbang humanisme. Sebaliknya malah, bumi lebih membutuhkan humanisme ketimbang agama. Lenyapnya agama, akan berarti menyebabkan hilangnya sebuah penyebab konflik di atas bumi.
Shalom Kristo,
Ijinkan saya memberikan tanggapan atas pernyataan Anda ini. Sesungguhnya, bagi manusia yang menghidupi agama untuk sampai kepada Tuhan dan dengan konsekuen serta rendah hati mencoba untuk setia menjalankan ajaran-ajaran Tuhan tentang kebaikan di dalamnya, justru manusia menemukan agama adalah jawaban atas konflik, di mana kasih dan kuasa Tuhan yang mewahyukan Diri dalam agama menjadi sumber kekuatan, kedamaian, kesembuhan, pengampunan, dan perubahan sikap kepada yang lebih baik. Pada dasarnya manusia kan sulit sekali untuk berubah. Tapi penghayatan akan kasih Tuhan melalui agama mampu membuatnya berubah terus menjadi lebih baik.
Agama ada supaya manusia mengenal dan mencintai Penciptanya, melalui karunia iman dari Dia. Iman itu membuat kita tahu dan percaya bahwa Tuhan ada, Ia menciptakan kita dan mencintai kita. Anda dapat membaca lebih lanjut uraian mengenainya dalam artikel “Bagaimana membuktikan bahwa Tuhan itu ada.”
Mengenal dan mencintai Penciptanya membuat manusia bahagia dan mampu menjalani hidupnya dengan utuh selama di dunia ini, karena manusia diciptakan dengan kerinduan alami untuk berkontak dengan Penciptanya dan berelasi di dalam cinta kasih dengan Sang Pencipta. Relasi kasih dengan Pencipta itu juga membuat manusia mampu mengasihi sesama manusia lain. Itulah tujuan sejati dari agama, melayani manusia untuk sampai kepada Penciptanya dalam keharmonisan dengan sesama dan lingkungannya.
Agama membuat manusia mempunyai tujuan. Hidupnya menjadi punya makna, tidak hidup untuk semata meraih target-target duniawi saja dan setelah itu di akhir hidupnya ia bingung untuk apa semua itu karena toh berakhir juga, lenyap juga. Namun agama membuat manusia mengerti mengapa ia ada di dunia, mengapa ia diciptakan, ke mana dia setelah ia meninggal dunia, dan semua itu membuat hidupnya selama di dunia menjadi utuh, punya arti, dan berkelimpahan, tidak berakhir begitu saja dengan kematian.
Agama menjadi sumber konflik bila manusia menyalahgunakannya untuk kepentingan egonya, namun hal itu bukan tujuan Tuhan yang telah mewahyukan agama kepada manusia, karena tujuanNya adalah keselamatan bagi manusia
Dalam pengertian dunia, agama adalah sarana untuk mencapai Tuhan, namun umat Kristiani menghayatinya dengan jauh lebih mendalam, Gereja bukan hanya agama dan sarana, tetapi juga tujuan hidup kita, karena Gereja bukan hanya berupa agama yang berisikan ajaran dan ketentuan moral, tetapi merupakan realitas yang bersifat ilahi, karena di dalamnya manusia dipersatukan dengan Allah, dan karena persatuan dengan Allah ini maka manusia juga disatukan dengan sesamanya. Tentang hal ini Ibu Ingrid telah menguraikannya dengan terinci dalam artikel “Gereja Tonggak Kebenaran dan Tanda Kasih Tuhan (bagian 2)”.
Kami mengundang Anda membaca penjelasannya lebih lebih lanjut dalam artikel tersebut
Terima kasih, dan salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Triastuti – katolisitas.org
Sapaan Tuhan yang demikian hanya dapat dirasakan dengan hati, tidak bisa diungkapkan sempurna dengan panca indera atau dengan kata dan pernyataan.
lalu bagaimana kita memeriksanya dalam tujuan tidak tersesat?
Submitted on 2013/05/11 at 11:19 am
kamu bilang mencari jalan sendiri rawan sesat, tapi percaya tanpa bukti juga rawan
Submitted on 2013/05/11 at 11:16 am
apa benar yang kamu rasa adalah tuhan? jika tidak tertangkap pikiran bagaimana kita memeriksanya? apa kamu yang sok tahu? apa persis dengan tindakan manusia yang percaya bahwa di suatu ruangan ada hantu jika bulu kuduknya merinding?
Submitted on 2013/05/11 at 11:10 am
jangan membutakan mata sendiri dengan doktrin iman tak boleh di perdebatkan. apa belum tahu yang namanya kebohongan? aku mengklaim dapat menyanggah konsep maha dan tak terbatas pada agama dan filsafat setelah dihubungkan dengan proses belajar, ruang, dan keberuntungan.
link to happenfuturekritikmaha.blogspot.com
don’t blind yourself eye with doctrin that faith unallowed to criticed. You already know what is lie aren’t? I claim to refute the concept of infinite and unlimited on religion and philosophy after being linked with the process of learning, space, and good luck.
link to happenfuturekritikmaha.blogspot.com
Shalom Har Mikel,
Terima kasih untuk pertanyaan-pertanyaan ini, saya mencoba menanggapinya dalam satu rangkaian jawaban karena pertanyaan Anda berkaitan satu sama lain. Sebelum berdiskusi, sangat baik jika Anda berkenan membaca terlebih dahulu artikel yang ditulis oleh Pak Stef dalam artikel “Bagaimana membuktikan bahwa Tuhan itu ada”, https://katolisitas.org/bagaimana-membuktikan-bahwa-tuhan-itu-ada
Selanjutnya, berkaitan dengan pertanyaan Anda, Tuhan yang telah menciptakan manusia dan sangat mengasihinya sebagai ciptaan yang secitra denganNya, menyatakan diri-Nya kepada manusia melalui berbagai cara yang bisa ditangkap oleh manusia. Karena kasih-Nya, Tuhan selalu ingin bersama dan berkomunikasi dengan manusia ciptaanNya. Salah satu pernyataan Diri-Nya misalnya melalui alam semesta dan dunia di sekitar kita ini, dengan segenap keteraturannya. (Segala sesuatu di alam ini termasuk sistem tubuh kita sendiri, sedemikian teratur mengikuti pola tertentu yang sistematis dan konsisten. Sulit membayangkan dan menalar bahwa keteraturan seperti itu terjadi begitu saja. Pasti ada Penciptanya, yang sangat Mahaagung, yang telah mendesainnya dengan begitu rumit dan mengagumkan). Pernyataan Diri (wahyu) Tuhan yang paling puncak dan utama bagi manusia hadir di dalam diri Yesus Kristus, Putera-Nya, yang telah lahir sebagai manusia, kemudian menderita, wafat dan bangkit dari kematian, agar manusia diselamatkan dari dosa dan kematian kekal sebagai akibat dari dosa-dosa yang telah dilakukan manusia sejak awal penciptaannya di dunia. Semua pewahyuan Tuhan itu dikenal manusia melalui agama dan sarana-sarana yang menyertainya.
Manusia dikaruniai Tuhan berbagai sarana untuk menangkap apa yang diwahyukan Tuhan itu, lewat jati dirinya yang terdiri atas tubuh dan jiwa. Tubuh manusia dilengkapi panca indra untuk berinteraksi dengan lingkungan fisiknya. Sedangkan jiwa manusia menangkap hal-hal yang tidak dialaminya secara fisik, melainkan secara rohani (spiritual), ditangkap oleh unsur-unsur dari jiwa yaitu akal budi (pikiran), hati nurani, perasaan, emosi, insting. Tuhan menyapa (berkomunikasi) dengan manusia lewat semua sarana itu dan manusia dapat memberikan responnya. Apa yang dialami dan diterima manusia dengan hati tentu bisa diklarifikasi dengan sarana lain yang Dia berikan, misalnya dengan pikiran (akal budi) sebagai bagian dari unsur jiwa tadi.
Agama sebagai wahyu Tuhan diterima manusia tidak hanya dengan hati tetapi juga dengan akal budinya. Gereja yang Tuhan Yesus dirikan di atas Rasul-Nya yaitu Santo Petrus dan para penerusnya, bekerja melanjutkan pewartaan wahyu Tuhan itu demi keselamatan manusia sepanjang jaman. Selain lewat hati nurani, dengan akal budi (pikiran)lah wahyu-wahyu Tuhan dinyatakan dalam agama. Di sinilah keindahan agama, karena agama merupakan sarana yang holistik (menyeluruh) yang menyediakan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan mendasar manusia mengenai Tuhan, dan dengan akal budi kita dapat selalu mencari hikmat melalui agama untuk memeriksa / mengklarifikasi apa yang kita alami dengan hati kita. Tuntunan Tuhan melalui Kitab Suci, Magisterium Gereja, dan Tradisi Suci adalah tuntunan yang dapat kita terima tidak hanya dengan hati tetapi juga dengan akal budi, sehingga keduanya saling melengkapi kita untuk mengalami Tuhan dan bersekutu selalu dengan Tuhan di dalam menjalani hidup yang berkepenuhan dan berkelimpahan, sebagaimana telah dirancangNya sejak semula bagi kesejahteraan manusia, lahir dan batin, badan dan jiwa.
Percaya tanpa bukti rawan? Di sinilah kita mengenal karunia Tuhan yang lain lagi kepada manusia untuk bisa menanggapi wahyu yang Dia karuniakan melalui agama, yaitu karunia iman. Dengan rahmat iman inilah kita mampu mengenal Tuhan dan mendengarkan suara-Nya di dalam keseharian hidup. Prosesnya timbal balik, iman memungkinkan manusia mengenal dan memeluk agama, dan agama mendampingi dan memfasilitasi manusia supaya bisa tumbuh dan berkembang dalam iman itu. Dalam mempercayai Tuhan melalui agama yang diwahyukan Tuhan sendiri kepada kita, kita tidak mengandalkan kekuatan diri kita sendiri yang serba terbatas, karena kodrat manusiawi sebagai mahluk ciptaan memang terbatas. Agama mengajarkan agar kita selalu mengandalkan Tuhan dan bukan kekuatan manusiawi kita, sehingga kita dapat selalu dituntun dalam kepenuhan kebenaran dengan terang Roh Kudus dari Tuhan, yang bisa bekerja jika kita membuka diri dan mengundangNya merajai hati dan hidup kita, lewat doa, Ekaristi, Sakramen, dan membaca Firman-Nya dalam Kitab Suci. Semua pengalaman bersama Tuhan yang difasilitasi oleh agama itu adalah pengalaman yang nyata, pengalaman itu masuk ke dalam hati dan jiwa, dan sekaligus juga membuat pikiran dan nalar kita menemukan ketenangan (jawaban).
Demikianlah Tuhan dialami manusia dalam berbagai dimensi yang sangat kaya, tidak hanya secara spiritual tetapi juga secara kasat mata dan panca indera, dan semua itu dapat terjadi karena bantuan agama. Maka agama adalah karunia Tuhan yang sangat berharga dan agama memastikan manusia tidak tersesat dalam ilusinya sendiri yang tidak bisa diklarifikasi (seperti analogi Anda bahwa kalau ada hantu bulu kuduk akan merinding itu). Sekali lagi itulah keindahan, kekuatan, dan hikmat yang nyata dari agama, yang merupakan karunia Tuhan sendiri di mana Dia menyatakan Diri-Nya secara penuh dan berkelimpahan kepada manusia.
Semoga tanggapan sederhana ini dapat membantu Anda menemukan jawaban atas pertanyaan dan keraguan Anda. Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Triastuti – katolisitas.org
Agama tidak membuat seseorang masuk surga tetapi sifat dan perilaku sehari-hari orang tsb yang menentukan.Berbuat kasih ataukah berbuat jahat? itulah kira2 yg menjadi penilaian Tuhan untuk diselamatkan.
Seseorangpun bila atheis tetapi banyak berbuat kasih dan kebaikan akan diselamatkan daripada seseorang yang rajin beribadah tetapi suka menindas orang miskin,tidak peduli terhadap penderitaan sesama,dsb.
Apakah arti iman tanpa perbuatan?
Secara pribadi saya sangat membenci kemunafikan.
Mohon maaf bila tulisan saya tdk terstruktur dgn baik karena saya menyampaikan secara spontan saja.
Terima kasih
Shalom Tarsisius,
Terima kasih atas tanggapan Anda, ijinkan saya menguraikan sedikit lagi untuk menanggapi apa yang Anda sampaikan ini. Sesuai dengan definisi agama yang telah diuraikan Ibu Ingrid Listiati di dalam artikel “Agama universal adalah kemanusiaan”, https://katolisitas.org/agama-universal-adalah-kemanusiaan, agama adalah sesuatu yang mengikat (binding) antara manusia dengan Tuhan, yang mempersatukan antara Allah dan manusia. Di sini kita perlu kembali kepada awal dan tujuan akhir penciptaan manusia, yaitu bahwa manusia berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Manusia diciptakan Allah karena Allah ingin menyampaikan kemuliaan-Nya kepada manusia, dan setelah manusia berdosa, Allah ingin memulihkannya dan membawanya kembali kepada persatuan dengan-Nya dalam kemuliaan-Nya. Untuk ini, Allah telah memberikan jalannya, yaitu melalui Yesus Kristus; dan ini kita ketahui dari Wahyu Ilahi yang dinyatakan oleh Allah sendiri kepada manusia. Untuk segala kebaikan dan kasih-Nya ini, maka Allah layak menerima segala penyembahan dan ucapan syukur kita; dan penyembahan kepada Allah yang sesuai dengan apa yang diwahyukan-Nya inilah yang disebut ‘agama’. Maka, sejatinya, agama yang dimaksudkan di sini adalah penyembahan kepada Allah dalam bentuk yang dikehendaki-Nya sebagaimana diwahyukan-Nya. Namun di dunia sekarang ini, tidak semua yang disebut ‘agama’ bersumber dari pewahyuan Allah.
Manusia mempunyai kebebasan, yang diberikan Tuhan padanya karena kasih-Nya kepada manusia. Manusia bebas untuk menerima karunia itu dengan semua implikasi rahmat dan peneguhannya, tetapi ia juga bisa menolak karunia itu, misalnya karena latar belakang keluarga atau lingkungan hidupnya, atau karena terlalu mengagungkan logika akal budi saja, atau karena kekerasan hatinya yang menganggap bahwa semua itu hanya karangan / ilusi manusia.
Walau manusia bisa menerima atau menolak karunia, tapi di dalam hati manusia, Tuhan sudah meletakkan kerinduan alamiah untuk menemukan Penciptanya, dan di dalam hati nurani manusia, Tuhan meletakkan kesadaran akan apa yang baik dan tidak baik, yang secara umum dalam masyarakat disebut dengan norma. Maka seorang atheis, yang menolak mengakui adanya Tuhan dengan segala implikasinya, juga mengetahui apa yang baik dan tidak serta ia bisa tetap terpanggil untuk melakukan yang baik, walau ia tidak mengakui adanya Tuhan yang adalah sumber segala kebaikan itu. Kebaikan itu sendiri motivasinya bisa macam-macam. Orang beragama (Katolik dalam hal ini) belajar untuk berbuat kebaikan tanpa alasan lain apapun selain dari karena kasih Tuhan kepadanya dan karena ia ingin merespon kasih Tuhan itu melalui kasihnya kepada sesama manusia. Inilah motivasi berbuat kebaikan yang paling hakiki. Tapi bisa saja orang beragama pun mempunyai motivasi berbuat kebaikan yang keliru, misalnya demi kepentingan tersembunyi bagi diri sendiri atau motivasi lain yang tidak tulus. Bedanya dengan orang atheis, orang atheis tidak mempunyai kekayaan pengetahuan mengenai kebenaran yang mutlak, karena itu bagi mereka apa pun yang mereka pilih untuk yakini secara pribadi dapat menjadi kebenaran bagi mereka.
Perlu diingat bahwa menurut Sabda Allah (Wahyu Ilahi), keselamatan diperoleh manusia oleh karena kasih karunia Allah, oleh iman (Ef 2:8-9) yang bekerja oleh kasih (Gal 6:5), dan bukan semata karena perbuatan baik manusia. Inilah yang dalam iman kita, kita kenal dengan istilah “justifikasi” Jika Anda tertarik mengetahui lebih jauh tentang justifikasi, silakan menyimak secara berurutan artikel artikel ini :
“Deklarasi Bersama Lutheran dan Katolik tentang Doktrin Justifikasi”, https://katolisitas.org/deklarasi-bersama-lutheran-dan-katolik-tentang-doktrin-justifikasi
“Deklarasi Bersama Lutheran dan Katolik tentang Doktrin Justifikasi, 25 Juni 1998”, https://katolisitas.org/deklarasi-bersama-lutheran-dan-katolik-tentang-doktrin-justifikasi-25-juni-1998
“Tanggapan Gereja Katolik terhadap Deklarasi Bersama Gereja Katolik dan Federasi Lutheran Sedunia Tentang Doktrin Justifikasi”, https://katolisitas.org/tanggapan-gereja-katolik-terhadap-deklarasi-bersama-gereja-katolik-dan-federasi-lutheran-sedunia-tentang-doktrin-justifikasi
Walaupun manusia diselamatkan bukan karena perbuatan baiknya tetapi karena kasih karunia Allah dan oleh karena imannya, namun perbuatannya harus mencerminkan imannya itu. Sebab seperti yang Anda tuliskan juga, iman tanpa perbuatan adalah mati. Iman yang tidak dihidupi dalam seluruh perilaku hidupnya sehari-hari bukanlah iman yang benar yang membawa manusia kepada keselamatan. Bila orang beragama menghayati iman agamanya dengan benar, maka tidak akan terjadi hal-hal yang Anda tuliskan itu, yaitu rajin beribadah tetapi suka menindas orang miskin, tidak peduli terhadap penderitaan sesama, dsb. Dengan sendirinya penghayatan agama yang benar juga tidak mengenal kemunafikan dan tidak menginginkan kemunafikan. Agama yang dihayati dengan benar sesuai yang diwahyukan Tuhan akan membawa manusia ke Surga, karena memang itulah tujuan awal mengapa Tuhan mewahyukan diri-Nya melalui agama. Iman yang dinyatakan dalam perbuatan membuat manusia selalu berada dalam rancangan keselamatan Allah. Itulah tujuan kasih yang sempurna dari Tuhan yang senantiasa menginginkan semua ciptaan-Nya selamat dan baik, baik sekarang dalam hidupnya di dunia, maupun nanti setelah manusia meninggalkan dunia karena kematian.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan
Triastuti – katolisitas.org
Menurut saya setelah melakukan berbagai pengamatan dalam setiap diskusi, ada beberapa faktor yang menjadikan mereka memilih untuk menganut agnostik,
1.Mereka memilih menjadi agnostik setelah mengkaji pengalaman intelektual. Tidak terperangkap dalam dogma. Dogma jelas melarang pemikiran yang membahayakan ideologi dengan ancaman bagi yang mencoba berpikir menggunakan otak sendiri (cenderung membelenggu akal).
2.Agnostik berlandas pada Eksistensialisme dan positivistik, bahwa Kebenaran tunggal baru dapat diyakini ketika rasio menerimanya, sementara Tuhan tidak dapat dirasionalkan.
[Dari Katolisitas: Meskipun tak dapat dirasionalkan, namun bukan berarti Tuhan tak dapat dipahami dengan rasio/ akal budi dan pikiran manusia (lih. Rom 1:19-20)]
3.Para penganut agnostik merasa tetap bisa beribadah kepada Tuhan, tanpa harus terjebak pada organisasi keagamaan dan ritual-ritual keagamaan yang kadang disalahgunakan oleh oknum pemuka agama. Agnostik lahir salah satunya didasari atas keprihatinan dengan penyalahgunaan agama oleh ‘oknum pemuka agama’ yang menetapkan bahwa satu-satunya jalan untuk bertemu Tuhan ialah melalui agama.
[Dari Katolisitas: Penyimpangan/ penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oknum pemuka agama memang bukan tindakan bijaksana. Namun meninggalkan agama karena perbuatan oknum, tanpa melihat kepada kebenaran ajaran yang disampaikan, juga bukan tindakan yang bijaksana. Sebab dalam hal ini unsur yang ilahi ditinggalkan hanya karena melihat unsur manusiawi, dan unsur manusiawi ini, yang dilihat juga hanya hal-hal yang negatifnya saja. Padahal pada saat yang sama terdapat juga banyak fakta, di mana ada unsur manusiawi lainnya yang oleh kesatuan dengan rahmat ilahi, menghasilkan teladan yang bertolak belakang dengan skandal/ penyimpangan yang dilakukan oleh oknum-oknum itu. Contohnya adalah yang ada pada pra orang kudus dan martir. Pada dasarnya, sikap agnostik adalah sikap ingin mengembalikan keputusan tentang segala yang baik dan buruk tentang iman dan moral, kepada penilaian pribadi, terlepas dari apa yang telah diwahyukan Tuhan. Ini serupa dengan dosa asal Adam dan Hawa, yang ingin menentukan sendiri -terpisah dari Allah- tentang hal yang baik dan buruk dengan memakan buah pohon pengetahuan.]
Agama hanyalah Konsep
Pengalaman beragama ( religious experience) dianggap sesuatu perasaan belaka oleh para agnotisis.
Bahkan agama hanyalah hasil olah pikir manusia. Konsep belaka.
Oleh karena itu tidak ada gunanya beragama.
Bagaimana menghadapi dan ” menobatkan ” (membuat bertobat) para anak muda yang berpikir dan berkeyakinan demikian teguh seperti itu?
[dari Katolisitas: pertanyaan berikut ini digabungkan karena masih satu topik:]
Memilih Agnotisisme dibanding Agama
Bentrok antar penganut agama menyebabkan agama sering dianggap pemecah belah manusia.Fakta ini menyebabkan sebagian orang tidak mau beragama. Menurut mereka , toh mereka bisa berkomunikasi dengan Tuhan tanpa agama.
Ada pula yang berargumen: kalau tujuan semua agama sama, mengapa saya harus memilih salah satu agama. Lebih baik saya hidup tanpa agama, sehingga saya lebih mudah berkomunikasi dengan penganut agama mana saja.
Bagaimana memberi argumentasi yang telak sehingga para penganut paham agnotisisme ini, mau kembali ke agama semula ( katolik ) yang dimilikinya.
[dari Katolisitas: silakan menyimak sharing kami di artikel di atas, “Agama hanya konsep? Maka lebih baik agnostik?” untuk menjadi masukan bagi pertanyaan Anda ini]
Comments are closed.