Perkawinan diatur oleh hukum Ilahi

Cikino pemuda Katolik telah berpacaran dengan Cikini gadis beragama Islam selama 3 tahun. Mereka merasa mantap untuk melanjutkan tali cinta mereka ke jenjang perkawinan. Tapi sayang, beda agama membuat mereka ragu apakah bisa perkawinan mereka diresmikan secara kanonik dan dipertahankan? Si gadis Cikini tetap kukuh dengan agama yang dianutnya sebagai muslimah, sementara Cikino tetap Katolik dan mau agar perkawinan diteguhkan secara Katolik. Apa dasar perkawinan mereka agar dapat disahkan secara kanonik? Apakah bisa mereka secara kanonik menerima peneguhan di dalam Gereja Katolik bagaimana dengan Cikini yang masih muslim yang tidak percaya (beriman) atas doa dan upacara perkawinan gerejani?

Perkawinan orang-orang Katolik meskipun hanya satu pihak yang Katolik, diatur tidak hanya oleh hukum ilahi melainkan juga oleh hukum kanonik (gereja), dengan tetap berlaku kewenangan kuasa sipil mengenai akibat-akibat yang semata-mata sipil dari perkawinan itu. Dalam kodeks baru KHK 1983, kanon 11 dinyatakan bahwa: “Yang terikat oleh undang-undang yang semata-mata gerejawi ialah orang yang dibaptis di dalam Gereja Katolik atau diterima di dalamnya dan yang menggunakan akal budinya dengan cukup dan jika dalam hukum dengan jelas tidak ditentukan lain, telah berumur genap tujuh tahun”. Jadi hanya mereka yang dibaptis dalam atau telah diterima dalam Gereja Katolik adalah subyek hukum gereja. Maka jika ada dua orang dibaptis non-Katolik menikah mereka bukan subyek hukum perkawinan gereja. Tetapi jika salah satunya adalah Katolik sementara yang lain bukan, maka yang Katolik dimasukkan dalam hukum gereja. Sebab kontrak itu tidak boleh pincang sebagaimana dikatakan oleh para ahli hukum gereja.

Hukum yang mengatur perkawinan

Sebelum diberlakukannya kodeks baru yakni sebelum tgl 27 November 1983, perkawinan antara dua orang non baptis diatur oleh hukum ilahi dan hukum gereja. Tetapi menurut kodeks yang baru 1983, perkawinan semacam itu bukan lagi diatur oleh hukum gereja yang semata-mata gerejawi. Perkawinan antara dua orang yang salah satu pihak telah dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima dan tidak meninggalkannya dengan tindakan formal dengan pihak lain tidak dibaptis adalah tidak sah (bdk. kan.1086, §1). Perkawinan itu menjadi sah kanonik jika mendapat kemurahan dari Ordinaris wilayah berupa dispensasi atas halangan tersebut dengan dipenuhinya syarat-syarat yang disebut dalam kanon 1125 dan 1126 (mohon dibaca dari KHK 1983).

Kan. 1125 Izin semacam itu dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah, jika terdapat alasan yang wajar dan masuk akal; izin itu jangan diberikan jika belum terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. pihak katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja katolik;
  2. mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak katolik itu pihak yang lain hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak katolik;
  3. kedua pihak hendaknya diajar mengenai tujuan-tujuan dan ciri-ciri hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya.

Kan 1126  Adalah tugas Konferensi para Uskup untuk menentukan baik cara pernyataan dan janji yang selalu dituntut itu harus dibuat, maupun menetapkan cara hal-hal itu menjadi jelas, juga dalam tata-lahir, dan cara pihak tidak katolik diberitahu.

Dari perkawinan campur itu, maka hak dan kewajibannya bersumber secara kodrati dari ikatan perkawinan yang tidak semuanya sama. Sebagian bersumber secara kodrati dari ikatan perkawinan menurut tata penciptaan; seperti hak-hak untuk melaksanakan tugas suami-isteri, kewibawaan dan tanggungjawab untuk mendidik anak. Ada pula akibat lain yang bersumber dari ikatan perkawinan, tetapi cenderung termasuk dalam tatanan sosial; seperti hidup bersama, biaya hidup dan ini yang disebut sebagai efek sipil. Yang terakhir ini sering berbeda antara satu negara dengan yang lain seperti hak dan warisan. Meskipun demikian perkawinan yang telah eksis dan sah itu harus tetap dipertahankan.

Perkawinan yang terjadi perlu dipertahankan

Kanon 1060: “perkawinan mendapat perlindungan hukum, karena itu dalam keragu-raguan haruslah dipertahankan sahnya perkawinan, sampai dibuktikan kebalikannya”

Kanon ini mau menyatakan bahwa kebahagiaan bersama mengandaikan adanya stabilitas perkawinan dan hukum yang membela hal itu. Hal itu dilaksanakan dengan beberapa cara, terutama dengan menerapkan pada perkawinan. Prinsip yang selalu diberlakukan oleh hukum pada suatu perbuatan iuridis; yakni jika sebuah tindakan telah dilakukan dengan pasti hal itu harus diandaikan sudah dilaksanakan secara sah. Oleh karena itu, dalam kasus-kasus di mana muncul keraguan akan keabsahan suatu perkawinan, hukum mengambil sikap bahwa perkawinan itu telah dilaksanakan secara sah, dan dengan demikian membela keabsahannya sampai ketidakabsahan itu terbukti.

Pengandaian ini berlaku untuk semua perkawinan yang dilaksanakan dengan tata peneguhan yang legitim. Tetapi hal itu tidak berlaku untuk sebuah perkawinan yang dilaksanakan oleh seorang Katolik yang tidak menggunakan tata peneguhan kanonik dan tidak mendapat dispensasi dari keharusan itu. Persatuan cinta antara dua orang semacam itu, tidak mencerminkan sebuah perkawinan menurut hukum Gereja.

Dari sebab itu, perkawinan yang sah dan kanonik mesti dipertahankan sampai akhir hidup. Salah satu kunci mempertahankan perkawinan adalah membangun cinta; menumbuhkan iman; membangun saling percaya; keintiman; mengatur ekonomi rumah tangga dengan baik; kehadiran anak buah perkawinan; menghindari pihak ketiga; menjaga romantisme; membiasakan berkomunikasi setiap hari secara intens; saling memuji dan memberi perhatian.

177 COMMENTS

  1. Apakah gereja bisa memberikan pemberkatan apabila pasangan saya Muslim ? Syarat apa yg diperlukan ? Tolong penjelasannya. Terimakasih sebelumnya.

    Submitted on 2013/12/01 at 6:56 am

    Saya punya pasangan Muslim, apa syarat yg diperlukan apabila kami akan melakukan pernikahan di gereja katolik? Apakah itu bisa dilakukan ? Saya sangat berharap untuk penjelasannya. Terimakasih sebelumnya untuk jawabannya.

    [dari Katolisitas: Sebagai umat Katolik, Anda mempunyai kewajiban untuk mengusahakan agar perkawinan Anda diberkati secara Katolik. Silakan Anda menulis surat ke pihak Keuskupan untuk memohon dispensasi, karena pasangan Anda tidak Katolik. Silakan bicarakan dengan pastor paroki Anda. Namun sebelum itu silakan Anda membaca terlebih syarat-syaratnya sebagaimana ditulis oleh Rm Wanta di artikel di atas, silakan klik. Suami Anda memang tidak harus menjadi Katolik agar perkawinan Anda dapat diberkati secara Katolik. Namun demikian ia harus mengetahui dan menyetujui bahwa Anda mempunyai kewajiban untuk mengusahakan sekuat tenaga, agar Anda tetap Katolik, dan membaptis dan mendidik anak-anak secara Katolik. Jika ia setuju untuk hal ini, maka Anda dapat memohon dispensasi dari Keuskupan dan setelah diperoleh dispensasi maka pemberkatan perkawinan Anda dapat dilakukan di Gereja Katolik.]

  2. Yth. Romo / Team Katolisitas
    Berkah Dalem…
    Mohon penjelasannya mengenai permasalahan perkawinan sbb.:
    1. A (laki-2 muslim) menikah dengan B (wanita Katholik) dengan pemberkatan di Gereja Katholik
    2. 16 tahun kemudian mereka cerai
    3. Si B kemudian berencana menikah lagi dengan C (laki-2 Katholik, status liber / bebas)
    Pertanyaaanya : apakah si B terkena halangan pernikahan atau tidak, mengingat perkawinan sebelumnya pemberkatan di Gereja Katholik?
    Terima kasih..Berkah Dalem….

    [Dari Katolisitas: Perceraian secara sipil tidak memutuskan ikatan perkawinan, jika perkawinan tersebut sudah sah diberkati menurut hukum Gereja Katolik. Jika demikian keadaannya, maka B memang statusnya tidak bebas, ia masih terikat perkawinan dengan suaminya. Maka menurut hukum Gereja Katolik, yang mengambil dasar dari Mat 19:5-6, B tidak dapat menikah lagi. Kekecualian adalah jika ia dapat membuktikan bahwa perkawinannya yang terdahulu itu sudah tidak sah sejak awal mula. Namun untuk itu ia harus mengajukan surat permohonan kepada pihak Tribunal keuskupan, dan kasusnya harus diperiksa terlebih dahulu oleh Tribunal, dan ia harus dapat menyertakan bukti dan saksi yang mendukung permohonannya. Tanpa surat pernyataan persetujuan dari Tribunal ini, maka ikatan perkawinan yang terdahulu tetaplah sah, dan dengan demikian wanita itu terhalang untuk menikah lagi.]

  3. Shalom ibu Inggrid..
    saya ingin bertanya bolehkah seorang wanita meninggalkan suaminya yang non katholik untuk bersatu dengan seorang pria Kristen? Sebab Menurut 2 korintus 6:14 janganlah kamu merupakan pasangannya yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tidak Percaya…………….

    Berdasarkan Matius 19:9 Tetapi aku berkata kepadamu barangsiapa menceraikan istrinya kecuali karena zinah lalu kawin dengan perempuan lain,ia berbuat zinah.
    Apakah berarti seseorang boleh menceraikan pasangannya apabila berbuat zinah?

    Apakah matius 19:6 juga berlaku untuk pasangan Kristen Dan non-Kristen?

    Dan mengapa musa memberikan Surat cerai kepada orang yang ingin bercerai? (Mat 19 : 7-8)

    Terima kasih

    • Shalom Efemia,

      Harap dipahami, bahwa Gereja Katolik sangat menjunjung tinggi perkawinan, maka Gereja tidak mengakui perceraian. Nah jika seorang wanita Katolik menikah dengan seorang pria yang non- Katolik, maka pertanyaannya adalah, apakah wanita itu sudah Katolik saat menikah? Kalau ia belum Katolik saat menikah, namun perkawinannya sudah diberkati secara sah menurut agama yang dianutnya saat itu, maka ikatan perkawinan tersebut diakui juga oleh Gereja Katolik. Sedangkan kalau ia sudah Katolik waktu menikah, seharusnya ia menikah di Gereja Katolik (walaupun suaminya tidak Katolik saat itu). Seharusnya, sebelum menikah ia minta dispensasi kepada pihak otoritas Gereja Katolik (keuskupan) karena mau menikah dengan seorang yang berbeda agama dengannya. Jika ia tidak pernah meminta dispensasi dan menikah di luar Gereja Katolik, maka sesungguhnya perkawinannya itu cacat kanonik, yaitu tidak sesuai dengan ketentuan Gereja. Namun demikian, dapat terjadi bahwa faktanya pasangan itu sudah menikah secara sipil dan kemudian mempunyai anak-anak. Walaupun memang perkawinan itu tidak memenuhi ketentuan kanonik, namun secara kodrati pasangan itu adalah orang tua anak-anak mereka, dan karena itu keduanya terikat tanggungjawab untuk membesarkan dan mendidik anak-anak tersebut.

      Prasyarat untuk menikah dengan sah di Gereja Katolik adalah, masing-masing pihak dari pasangan tersebut harus berstatus liber, artinya, sebelumnya tidak pernah menikah ataupun terikat perkawinan dengan siapapun. Maka dengan keadaan bahwa wanita itu sudah pernah menikah (walaupun mungkin secara sipil saja) dan terikat tanggungjawab kodrati dengan seseorang, maka itu tidak dengan mudah diabaikan. Kalau sampai wanita itu mau menikah secara sah menurut ketentuan Gereja maka ia harus terlebih dahulu membereskan status perkawinannya yang terdahulu. Ia harus menulis surat kepada pihak otoritas Gereja (dalam hal ini Keuskupan), sambil menyertakan data dan bukti sehubungan dengan keadaan perkawinannya yang tidak sesuai dengan ketentuan itu, dan mohon agar pihak Keuskupan mengeluarkan surat pernyataan bahwa perkawinan yang terdahulu tersebut tidak sah menurut hukum Gereja. Jika surat ini sudah dikeluarkan, baru ia dapat menikah secara sah di Gereja Katolik.

      Ayat 2 Kor 6:14-16 mengatakan, “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? Persamaan apakah yang terdapat antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan orang-orang tak percaya? Apakah hubungan bait Allah dengan berhala? Karena kita adalah bait dari Allah yang hidup ….” Terjemahan ayat ke 14 tersebut dalam bahasa Inggris, adalah, “Do not be unequally yoked together with unbelievers.Yoke di sini dihubungkan dengan bajak, maka jika dikatakan jangan dihubungkan sebagai pasangan dalam bajak, ini mengacu kepada Ul 22:9 yang melarang pasangan hewan yang berbeda dalam satu bajak. Maka yang dimaksudkan di sini oleh Rasul Paulus adalah kontras antara orang percaya dan orang yang tidak percaya, secara khusus di sini Rasul Paulus memperingatkan jemaat Korintus agar tidak terpengaruh ajaran kaum pagan. Pengaruh ini memang bisa lewat bermacam hal, termasuk lewat perkawinan. Maka Rasul Paulus memang memberikan peringatan kepada jemaat akan perbedaan ini dan resiko pengaruh ajaran kaum pagan. Namun, larangan ini diberikan sebagai peringatan umum, sehingga tidak dapat diinterpretasikan sebagai pembenaran untuk meninggalkan pasangan, jika sudah secara kodrati terikat sebagai suami istri. Seorang komentator Kitab Suci yang terkenal, Adam Clarke, pernah mengatakan demikian tentang ayat ini, “A man who is truly pious, marrying with an unconverted woman, will either draw back to perdition, or have a cross during life.’  The same may be said of a pious woman marrying an unconverted man.  Such persons cannot say this petition of the Lord’s prayer, Lead us not into temptation. They plunge into it of their own accord.

       

      Sedangkan untuk interpretasi Mat 19:9 (dan Mat 5:32), mari mengacu kepada ajaran St. Klemens dari Aleksandria (50-216), mengajarkan maksud ajaran Yesus pada ayat tersebut, “Setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah…” Zinah di sini artinya adalah perkawinan antara mereka yang sudah pernah menikah namun bercerai, padahal pasangannya yang terdahulu itu belum meninggal (St. Clement of Alexandria, Christ the Educator, Bk. 2, Chap.23). Jadi, dalam hal ini, Yesus mengakui perkawinan yang pertama sebagai yang sah, dan perkawinan kedua itulah yang harusnya diceraikan agar pihak yang pernah menikah secara sah dapat kembali kepada pasangan terdahulu.

      Mat 19:5-6 mengisahkan tentang kehendak Allah sejak awal mula untuk memberikan ikatan yang tak terceraikan kepada seorang pria dan seorang wanita yang menikah (lih. Kej 2:24). Maka ayat ini memang tidak menyatakan secara spesifik, bagaimana jika pasangan tersebut tidak seiman. Bagi umat Katolik, pemberkatan ataupun sakramen perkawinan merupakan tanda dan sarana di mana Allah mempersatukan sang pria dan wanita itu. Maka jika hal ini sudah sah dilakukan, maka perkawinan tidak terceraikan.

      Bahwa di zaman Perjanjian Lama Nabi Musa pernah mengizinkan surat cerai, itu disebabkan karena ketegaran hati orang Israel pada saat itu (lih. Mat 19:7-8). Maka ini tidak dapat dijadikan patokan, sebab Yesus sendiri mengatakan, bahwa pada mulanya Allah tidak menghendaki demikian. Yang dikehendaki Allah adalah kesatuan perkawinan yang monogam, tak terceraikan, sampai seumur hidup, sebab perkawinan dikehendaki oleh Allah untuk menjadi gambaran kesatuan kasih antara Kristus dengan Gereja (lih. Ef 5:22-33).

      Demikianlah tanggapan saya, semoga berguna.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • syalom katolisitas..

        bu ingrid mengatakan “Jika ia tidak pernah meminta dispensasi dan menikah di luar Gereja Katolik, maka sesungguhnya perkawinannya itu cacat kanonik, yaitu tidak sesuai dengan ketentuan Gereja.”

        pertanyaanya :
        1. apakah jika orang katolik yang menikah secara non-katolik tanpa meminta dispensasi dapat/boleh cerai?(belum dan sudah punya anak)
        2. bagaimana jika si katolik sebelum menikah menjadi non-katolik (pindah agama sesuai agama pasangan) terlebih dahulu?
        sebab kasus ini ada!

        “Namun demikian, dapat terjadi bahwa faktanya pasangan itu sudah menikah secara sipil dan kemudian mempunyai anak-anak. Walaupun memang perkawinan itu tidak memenuhi ketentuan kanonik, namun secara kodrati pasangan itu adalah orang tua anak-anak mereka, dan karenanya terikat tanggungjawab satu sama lain dan tanggungjawab membesarkan anak-anak tersebut.”

        pertanyaan :
        1. apakah perkawinan yang cacat kanonik/tidak sah=bisa dibatalkan menjadi sah dan tak terceraikan karena alasan anak? apakah hukumnya? KHK? KGK?

        terimakasih, mohon tanggapanya..

        • Shalom Xells,

          Sebelum saya menjawab pertanyaan Anda mari memegang prinsip dasarnya terlebih dahulu bahwa Gereja selalu mengandaikan perkawinan itu sah, sampai dapat dibuktikan kebalikannya. Hal ini jelas disebutkan dalam Kitab Hukum Kanonik:

          KHK 1060 Perkawinan mendapat perlindungan hukum (favor iuris); karena itu dalam keragu-raguan haruslah dipertahankan sahnya perkawinan, sampai dibuktikan kebalikannya.

          Maka:

          1. Jika orang Katolik menikah secara non- Katolik

          Jika orang Katolik menikah secara non- Katolik, artinya perkawinannya itu cacat kanonik. Maka jika ia ingin membereskan perkawinannya, yang harus dilakukannya adalah ia menulis surat permohonan pembatalan perkawinan kepada Tribunal Keuskupan, agar pihak Tribunal dapat memberikan pernyataan bahwa perkawinan yang terdahulu sesungguhnya cacat kanonik, sehingga tidak sah. Silakan berkonsultasi dengan Romo Paroki sebelum menuliskan surat permohonan tersebut, agar dapat disertakan data-data yang diperlukan. Tribunal nanti akan memeriksa kasus tersebut, dan baru setelah surat pernyataan dari Tribunal ini diperoleh, orang tersebut dapat menikah secara sah di Gereja Katolik. Maka istilahnya bukan cerai, tetapi menyatakan secara resmi bahwa perkawinan tersebut tidak sah sejak awal mula. Adanya anak atau tidak adanya anak tidak mempengaruhi dalam hal ini, jika nyatanya perkawinan tersebut memang cacat kanonik (peneguhannya tidak dilaksanakan menurut ketentuan Gereja Katolik). Jika surat persetujuan pembatalan perkawinan sudah dikeluarkan oleh pihak Tribunal, maka kedua pihak dinyatakan bebas/ liber sehingga jika diinginkan dapat menikah secara sah di Gereja Katolik. Namun demikian, pasangan tetap terikat oleh tanggung jawab kodrati dan tanggung jawab moral terhadap anak-anak mereka, dan untuk hal ini yang berlaku adalah hukum sipil.

          Kalau ia tidak mengurus pemberesan status perkawinannya seturut hukum Gereja, artinya, status perkawinannya ada di dalam ranah ‘keragu-raguan’ yang disebut dalam KHK 1060, namun karena perkawinan secara umum memiliki favor iuris, maka sebelum dibuktikan ketidaksah-annya, perkawinan tersebut tetap dianggap sah.

          2. Jika yang Katolik itu meninggalkan iman Katolik dan masuk memeluk agama non- Katolik sebelum perkawinannya itu?

          Gereja Katolik mengajarkan bahwa jika seseorang telah secara sah dibaptis, maka Baptisannya berlaku selamanya (lih. KHK kan. 845). Maka seseorang tak bisa menghapuskan Baptisannya dan menjadi tidak terbaptis karena pindah agama, meskipun ia dapat kehilangan efek-efek Baptisannya, akibat dosa-dosa berat yang dilakukannya. Nah, salah satu dosa itu adalah meninggalkan imannya sampai mau memeluk agama lain, sehingga dengan demikian ia tidak sepenuhnya berada dalam kesatuan dengan Gereja Katolik. Hal kesatuan penuh dengan Gereja Katolik yang disebut dalam KHK kan. 205 mensyaratkan pengakuan iman, dalam partisipasi sakramen-sakramen dan kepatuhan kepada kepemimpinan Gerejawi. 

          Nah, bagi seorang yang dibaptis Katolik, maka peneguhan perkawinannya harus dilakukan secara Katolik. Hal ini dinyatakan dalam Kan 1117:

          KHK kan. 1117   
          Tata peneguhan [Perkawinan] yang ditetapkan di atas harus ditepati, jika sekurang-kurangnya salah seorang dari mempelai telah dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya, dan tidak meninggalkannya dengan suatu tindakan formal, dengan tetap berlaku ketentuan Kanon 1127 § 2.

          KHK kan.  1127 § 2
          Jika terdapat kesulitan-kesulitan besar untuk menaati tata peneguhan kanonik, Ordinaris wilayah dari pihak katolik berhak untuk memberikan dispensasi dari tata peneguhan kanonik itu dalam tiap-tiap kasus, tetapi setelah minta pendapat Ordinaris wilayah tempat perkawinan dirayakan, dan demi sahnya harus ada suatu bentuk publik perayaan; Konferensi para Uskup berhak menetapkan norma-norma, agar dispensasi tersebut diberikan dengan alasan yang disepakati bersama.

          Memang kitab KHK tidak mendefinisikan secara mendetail tentang “meninggalkannya [Gereja] dengan tindakan formal”, tetapi secara umum hal ini dihubungkan dengan mendaftarkan diri secara formal di dalam agama lain, secara khusus jika disertai dengan mendukung karya-karya dalam agama tersebut dan partisipasi dalam ibadah religius mereka. Untuk hal tersebut, pernyataan publik penarikan diri dari [keanggotaan] Gereja, dianggap sebagai tindakan formal meninggalkan Gereja. Karena Baptisan di Gereja Katolik mengakibatkan asumsi afiliasi keanggotaan bagi Gereja Katolik, maka harus ada bukti kanonik sehubungan dengan penarikan keanggotaan Gereja, agar asumsi tersebut tidak berlaku.

          Maka, dalam kasus yang Anda tanyakan: Apakah orang Katolik yang pindah agama itu sudah pernah menuliskan surat penyataan kepada otoritas Gereja (dalam hal ini keuskupan dan parokinya) bahwa ia telah secara resmi meninggalkan Gereja Katolik? Jika belum, maka  kasusnya adalah seperti pada point 1. Artinya jika suatu saat dia ingin kembali ke Gereja Katolik dan ingin menikah secara sah di Gereja Katolik, maka dia dapat memohon pembatalan perkawinannya yang terdahulu kepada pihak Tribunal Keuskupan, karena secara kanonik memang perkawinan orang yang sudah dibaptis Katolik harus diadakan secara Katolik, dan jika tidak maka cacat kanonik dan tidak sah. (Tentu setelah ia terlebih dahulu mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan Dosa, karena telah pernah meninggalkan imannya).

          Jika pada saat meninggalkan agama Katolik, orang itu sudah pernah secara resmi menulis surat kepada pihak otoritas Gereja, maka ia dapat terbebas dari aturan tata peneguhan perkawinan menurut Gereja Katolik. Namun sesungguhnya, dalam keadaan ini, ikatan perkawinannya malah diakui sah secara kodrati oleh Gereja Katolik, sebab Gereja Katolik mengakui ke-sahan perkawinan pasangan non Katolik, yang dilakukan secara sah di agama lain tersebut (lih. Kan. 1060). Dalam keadaan ini memang orang yang telah meninggalkan Gereja tersebut tidak lagi terikat hukum Gerejawi, tidak lagi dapat menerima sakramen-sakramen dari Gereja Katolik (kecuali sakramen tobat). Jika suatu saat ia ingin kembali menjadi Katolik, ia perlu mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan Dosa dan menulis surat resmi kepada otoritas Gereja (yaitu Keuskupan dan parokinya) akan keputusannya untuk kembali lagi ke Gereja Katolik.

          Nah maka pertanyaan Anda berikutnya “Apakah perkawinan yang cacat kanonik/tidak sah bisa dibatalkan, menjadi sah dan tak terceraikan karena alasan anak? Apakah hukumnya? KHK? KGK?

          Perkawinan yang cacat kanonik, jika dapat dibuktikan, dapat dibatalkan oleh Tribunal Keuskupan, setelah yang bersangkutan menulis surat permohonan pembatalan perkawinannya (Anulasi) ke Tribunal, dan setelah kasus itu melalui proses pemeriksaan oleh Tribunal. Anulasi perkawinan artinya, perkawinan dinyatakan tidak sah sejak awal mula, jadi bukan perceraian. Nah jika Anulasi sudah disetujui, maka artinya baik pihak yang laki-laki maupun perempuan mempunyai status liber/ bebas tidak terikat oleh ikatan perkawinan. Namun demikian mereka tetap terikat tanggungjawab secara kodrati dan secara moral terhadap anak-anak karena mereka adalah orang tua yang melahirkan anak-anak tersebut. Maka ikatan antara keduanya menjadi tidak langsung namun hanya sebagai akibat, sebab keduanya sama-sama mempunyai tanggung jawab terhadap anak-anak mereka. Atau lebih lebih tepat jika dikatakan, “secara kodrati pasangan itu adalah orang tua anak-anak mereka, dan karena itu keduanya terikat tanggungjawab untuk membesarkan dan mendidik anak-anak tersebut.” [Terima kasih, sudah saya koreksi pernyataan saya kepada Efemia]. Tak boleh dilupakan bahwa pada dasarnya, perjanjian perkawinan di mana pasangan suami istri membentuk kebersamaan seluruh hidup, secara kodrati terarah kepada untuk kesejahteraan pasangan dan kelahiran dan pendidikan anak (KGK 1601). Maka meskipun kebersamaan seluruh hidup itu tidak dapat terpenuhi (jika pasangan berpisah) namun secara kodrati, mereka tetap mempunyai tanggungjawab sebagai orang tua bagi anak-anak mereka, dan terutama ayah, tetap bertanggungjawab untuk memberikan dana untuk membesarkan anak-anak. Untuk ketentuan minimal sehubungan dengan hal ini sudah diatur dalam hukum sipil, yang jelas disyaratkan untuk suatu perceraian.

          Semoga uraian di atas berguna.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

          • syalom bu ingrid,,

            terima kasih jawabanya,,
            ada beberapa point yang perlu ditegaskan :

            1. memang yang jadi masalah adalah, apakah dengan kepindahan agama seorang katolik menjadi non katolik, menjadikan pernikahannya yang dilakukan secara non-katolik) adalah sah menurut gereja?

            2. kenyataannya, pindahnya seorang katolik menjadi pemeluk agama lain, jarang disertai dengan pernyataan resmi kepada gereja, malah, pihak gereja banyak yang tidak tahu bahwa orang tersebut, telah pindah agama….walaupun, tentunya ada inisiasi untuk agama lain yang dilakukan dihadapan saksi….
            jika demikian, apakah penryataan saksi yang menyaksikan inisiasi orang tersebut, dapat meresmikan bahwa orang tersebut telah “meninggalkan gereja secara formal”?

          • Shalom Xellz,

            Antara lain untuk menjelaskan Kan 1117, pihak Tahta Suci telah mengeluarkan Notifikasi, tentang apakah yang dimaksud dengan ACTUS FORMALIS DEFECTIONIS AB ECCLESIA CATHOLICA yang mengatakan bahwa harus terpenuhi tiga kondisi ini pada tindakan meninggalkan Gereja Katolik secara formal:

            a. keputusan internal/ dari diri sendiri untuk meninggalkan Gereja Katolik
            b. realisasi dan pernyataan eksternal dari keputusan itu, dan
            c. penerimaan dari keputusan tersebut oleh otoritas Gereja yang berwewenang.

            Melalui surat resmi tersebut maka efeknya bukan hanya pemutusan ikatan persekutuan (iman, sakramen, bimbingan pastoral) dengan Gereja, ataupun konsekuensi administratif (dicoretnya nama orang tersebut dalam catatan keanggotaan Gereja Katolik), namun juga sebagai pemisahan diri dari kehidupan Gereja Katolik, yaitu tindakan apostasy (murtad), heresy (sesat), atau schism (skisma). Keputusan yang demikian ini sesungguhnya berakibat resiko yang sangat besar terhadap keselamatan jiwanya.

            Dengan dituliskannya surat ini, maka orang tersebut memang dapat terlepas dari ketentuan kanonik tentang perkawinan, namun konsekuensinya, Gereja tidak akan melayani jika kelak ternyata perkawinannya bermasalah, dan ia tak dapat memohon Anulasi perkawinan kepada pihak Tribunal Gereja Katolik, jika suatu saat ia ingin kembali ke Gereja Katolik. Maka Kan. 1117 justru dituliskan untuk melindungi pihak yang akan dinikahi oleh orang Katolik yang pindah agama tersebut, supaya orang Katolik itu tidak dengan mudahnya meninggalkan keluarganya jika terdapat masalah perkawinan di kemudian hari, dengan alasan, karena perkawinannya yang diadakan di luar Gereja Katolik adalah tidak sah. Jika ia sudah menulis surat resmi keluar dari Gereja Katolik, maka Gereja menghormati keputusannya, dan juga menghormati ikatan kodrati yang diakibatkan oleh peresmian/ pemberkatan nikah di agama non- Katolik tersebut, dan dengan demikian Gereja tidak dapat membatalkannya.

            Keadaan lainnya, adalah jika orang tersebut meninggalkan/ keluar Gereja Katolik, tetapi tanpa memberitahukan secara tertulis kepada pihak otoritas Gereja. Maka sepertinya, karena tidak adanya bukti meninggalkan Gereja secara resmi, dapat terjadi orang tersebut di kemudian hari ingin kembali menjadi Katolik dan memohon pembatalan perkawinannya atas dasar cacat kanonik. Jika orang tersebut telah mempunyai maksud negatif sedemikian sejak awal mula, ini adalah perbuatan dosa, sebagaimana telah dikatakan oleh Rm. Wanta, sebab ia mempermainkan celah hukum, dan telah dengan sengaja menikah tanpa mengikuti ketentuan Gereja dengan motivasi yang tidak jujur. Besarlah juga resiko yang harus ditanggung oleh seseorang jika dengan sengaja melakukan hal yang tidak terpuji ini. Pihak otoritas Gereja mempunyai hak untuk menolak permohonan Anulasi-nya, jika dalam perkawinan tersebut terdapat motivasi yang buruk ini.

            Selanjutnya, silakan mengacu kepada jawaban Romo Wanta di bawah ini.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            Ingrid Listiati- katolisitas.org

          • Xells yth,

            Sesungguhnya, pendasaran yuridis selain Kan. 1060 juga adalah Kan 11 sebagai Norma umum:

            Kan. 11  Yang terikat oleh undang-undang yang semata-mata gerejawi ialah orang yang dibaptis di dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya, dan yang menggunakan akal-budinya dengan cukup, dan jika dalam hukum dengan jelas tidak ditentukan lain, telah berumur genap tujuh tahun.

            Kanon 11 ini menjadi kunci jawaban bahwa norma hukum kanonik melulu gerejawi berlaku untuk semua orang katolik yang telah dibaptis dan diterima di dalam Gereja Katolik yang menggunakan akal budinya dengan cukup.

            Di Indonesia, tidak lazim orang Katolik pindah agama dengan menuliskan surat formal keluar dari Gereja Katolik. Seorang yang murtadpun umumnya tidak menuliskan surat formal. Secara teologis sakramen Pembaptisan adalah kekal tak terhapuskan. Norma hukum untuk mengatur mereka yang secara sah menjadi Katolik dan tidak melihat apakah formal dipraktekkan ataukah tidak. Ada surat baptis berarti orang tersebut Katolik secara sah. Maka mereka harus dilayani oleh Gereja dan terkena aturan KHK 1983. Namun tidaklah boleh bahwa setiap orang dengan motivasinya yang tidak baik melakukan tindakan dengan mempermainkan celah hukum (lacuna iuris). Seperti orang pindah agama dulu,  baru menikah supaya tidak kena norma KHK 1983. Atau sengaja tidak meminta dispensasi beda agama supaya nanti kalau ada masalah perkawinan, maka perkawinan tersebut dapat dianulasi. Perbuatan yang sengaja demikian, tidak akan dilayani dalam proses anulasi dan dikategorikan berdosa, karena dengan sengaja dan bertanggungjawab melawan aturan Gereja.

            Maka untuk mencegah terjadinya kejahatan hukum dengan mempermainkan aturan Gereja, petugas pelayan pastoral harus teliti saat penyelidikan kanonik, saat melihat data dan pembicaraan pribadi ketika orang hendak menikah di Gereja Katolik. Sebab dapat terjadi orang yang telah menerima anulasi tersebut kemudian bermaksud untuk menikah di Gereja Katolik. Maka harus diadakan penyelidikan kanonik yang baik, untuk kasus-kasus anulasi ataupun dispensasi perkawinan. Karena bisa jadi perkawinan pertama gagal dengan sengaja dan sekarang ingin menikah kembali,  baik yang bertobat kembali ke Katolik maupun orang yang non- baptis akan menjadi Katolik.

            Seluruh perkawinan yang dilakukan secara sadar, benar dan lurus dan disaksikan oleh umat adalah mendapat perlindungan hukum secara sah sampai terjadi pembuktian kebalikannya (kan 1060) di dalam pengadilan Gereja. Karena itu tindakan yang mengajukan permohonan anulasi dalam libellus harus dilihat apakah layak dilanjutkan atau tidak jika ada motivasi yang tidak baik/ kejahatan hukum, maka permohonannya tidak dapat diproses selanjutnya. Saat permohonan Anulasi diajukan, selalu libellus (surat permohonan Anulasi tersebut) harus dibaca dengan teliti oleh pihak Tribunal dan pihak pemohon dapat dipanggil jika ada keraguan sebelum dekret penerimaan libellus dikeluarkan oleh Tribunal untuk menghindari permainan celah hukum.

            Konteks Kan. 1117 perlu dilihat dalam koridor tata peneguhan luar biasa, sebagaimana disebutkan dalam Kan 1116, di mana dalam keadaan luar biasa, kaum awam beriman kristiani dapat meneguhkan perkawinan dengan dua orang saksi. Keadaan luar biasa misalnya dalam bahaya maut dan perang atau kekacauan umum yang tidak dapat lagi mencari imam atau pastor paroki. Dalam keadaan seperti itu perlu adanya kepastian apakah orang yang menikah ini Katolik atau sudah tidak Katolik maka, kata “tidak meninggalkannya dengan suatu tindakan formal” tercantum di sana. Penafsirannya, berkaitan dengan keadaan darurat karena tidak ada imam yang meneguhkan. Tindakan formal yang dimaksud adalah dalam bentuk dokumen pernyataan meninggalkan Gereja Katolik dan hal itu telah dilakukannya. Pada saat keadaan luar biasa di mana ketiadaan imam, maka hal memeriksa apakah pernah dilakukan “tindakan formal meninggalkan Gereja” menjadi penting, untuk memastikan secara formal bahwa pihak yang akan menikah salah satunya Katolik. Tentu karena beda agama/gereja perlu mengikuti aturan perkawinan campur (mixta matrimonium).

            Harus diakui bahwa definisi “tindakan meninggalkan Gereja secara formal” sebagaimana disebutkan dalam Notifikasi, memang bermasalah, justru karena pada umumnya orang tidak melakukannya, sehingga menyulitkan pemeriksaan di Tribunal, jika suatu saat mereka memohon pembatalan perkawinannya. Oleh karena itu, pihak otoritas dalam Tribunal Gereja mempunyai tugas yang berat untuk memeriksa hal ini, agar dapat memutuskan dengan adil dan benar, sehubungan dengan perkara permohonan Anulasi yang diajukan.

            Salam,
            Rm. Wanta

          • syalom bu ingrid dan romo wanta,,

            Benar, saya disini memang ingin melihat celah hukum tersebut,,yang ternyata memang ada…

            saya setuju dengan jawaban bu ingrid :
            “Jika orang tersebut telah mempunyai maksud negatif sedemikian sejak awal mula, ini adalah perbuatan dosa, sebagaimana telah dikatakan oleh Rm. Wanta, sebab ia mempermainkan celah hukum, dan telah dengan sengaja menikah tanpa mengikuti ketentuan Gereja dengan motivasi yang tidak jujur.”

            juga dari romo wanta:
            “Seperti orang pindah agama dulu, baru menikah supaya tidak kena norma KHK 1983. Atau sengaja tidak meminta dispensasi beda agama supaya nanti kalau ada masalah perkawinan, maka perkawinan tersebut dapat dianulasi. Perbuatan yang sengaja demikian, tidak akan dilayani dalam proses anulasi dan dikategorikan berdosa, karena dengan sengaja dan bertanggungjawab melawan aturan Gereja.”

            memang kita tidak bisa berprasangka terhadap sebagian orang, yang sebenarnya juga memainkan hukum perkawinan,, adalah penting bahwa gereja memiliki tindakan nyata terkait kasus-kasus perkawinan yang gagal, entah sengaja atau tidak.

            khususnya dalam jawaban romo wanta yang saya kutip yaitu untuk “tidak akan dilayani dalam proses anulasi dan dikategorikan berdosa, karena dengan sengaja dan bertanggungjawab melawan aturan Gereja.” perlu kiranya diberi landasan hukum (kanon?) supaya tidak ada tuntutan jika seandainya terjadi tidak ada pelayanan…..

            terima kasih

          • Xellz yth,

            Pendasaran hukum Kan 1505, hakim tunggal maupun kolegial dapat menolak surat gugat (libellus) jika ada cacat.

            salam
            Rm Wanta

    • Shalom Stayloo,

      Terima kasih atas pertanyaan Anda. 2Kor 6:14 menuliskan “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?” di ayat ini, Rasul Paulus ingin menekankan bahwa memiliki pasangan menyembah berhala (konteks dari orang-orang di Korintus) dapat menyebabkan seseorang menjauh dari imannya dan jatuh ke dalam dosa. Tentu saja, bukan berarti bahwa kita tidak boleh berhubungan dengan pendosa. Kita harus mengasihi pendosa namun kita harus membenci dosa. Kalau dekat dengan orang-orang yang berdosa dapat menyebabkan kita sendiri dapat jatuh ke dalam dosa dan membahayakan keselamatan kita, maka sudah seharusnya kita menjauhi pendosa dan memperkuat pondasi iman kita, sehingga pada saatnya, kita juga dapat membantu mereka ke dalam pertobatan.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef- katolisitas.org

  4. Apa kabar Bu? Bu belakangan ini saya mendengar bahwa gereja katolik tidak bisa / tidak mau lagi menikahkan pasangan yg berbeda agama /berbeda gereja.Saya sendiri kurang jelas mengenai duduk masalahnya .Benarkah itu ? Seandainya itu benar maka sangatlah disayangkan karena itu akan semakin menjauhkan umat katolik dari gerejanya ,fungsi gereja sebagai penjala manusia tidak berjalan .Saya kembalikan kepada diri saya sendiri , andai yg akan menikah itu saya dan mengalami penolakan kr alasan seperti itu . Maka saya akan tetap melangsungkan pernikahan dg cara apapun , kr bagi saya menjadi katolik adalah relationship saya dengan tuhan secara pribadi , bukan relationship dengan gereja .Gereja bisa salah , tapi tuhan tidak…..

    • Shalom Gedhang Kukus,

      Sebenarnya ketentuan tentang perkawinan dalam Gereja Katolik, secara khusus tentang perkawinan beda agama ataupun beda Gereja sudah lama ada, bukan hanya baru belakangan ini. Secara umum memang Gereja menganjurkan perkawinan seiman (sama-sama Katolik), agar pasangan tidak mengalami ketidaksatuan hati, justru di inti kehidupan keluarga itu sendiri. Namun jika untuk satu dan lain hal, perkawinan seiman ini tidak dapat terwujud, maka Gereja dapat memperbolehkan perkawinan beda gereja ataupun beda agama. Untuk perkawinan beda gereja agar dapat disahkan di Gereja Katolik, dibutuhkan izin dari pihak otoritas Gereja Katolik, sedangkan untuk perkawinan beda agama dibutuhkan dispensasi dari pihak otoritas Gereja Katolik. Izin maupun dispensasi ini dapat diberikan jika dipenuhi persyaratan tertentu, sebagaimana disebutkan di bawah ini.

      Demikian saya sertakan ketentuannya dari Katekismus Gereja Katolik dan Kitab Hukum Kanonik 1983:

      KGK 1633    Perkawinan campur [antara orang Katolik dengan orang yang dibaptis bukan Katolik], yang sering terjadi di banyak negara, membutuhkan perhatian khusus, baik dari pihak kedua mempelai maupun dari para pastor. Dalam hal perbedaan agama (antara orang Katolik dan orang yang tidak dibaptis) dibutuhkan sikap waspada yang lebih besar lagi.

      KGK 1634    Kenyataan bahwa kedua mempelai bukan anggota Gereja yang sama, bukan merupakan halangan Perkawinan yang tidak dapat diatasi, kalau mereka berhasil menggabungkan apa saja yang setiap pihak sudah terima dalam persekutuan Gerejanya, dan belajar satu dari yang lain, bagaimana setiap mereka menghayati kesetiaannya kepada Kristus. Tetapi masalah yang berkaitan dengan Perkawinan campur, jangan dianggap remeh. Mereka timbul dari kenyataan bahwa perpecahan umat Kristen belum diatasi. Untuk suami isteri bahayanya, bahwa mereka merasakan nasib sial dari ketidaksatuan umat Kristen dalam pangkuan keluarganya. Perbedaan agama malahan dapat memperberat masalah ini. Pandangan yang berbeda-beda mengenai iman dan juga mengenai Perkawinan, tetapi juga sikap semangat religius yang berbeda-beda, dapat menimbulkan ketegangan dalam Perkawinan, terutama dalam hubungan dengan pendidikan anak-anak. Lalu dapat timbul bahaya untuk menjadi acuh tak acuh terhadap agama.

      KGK 1635    Sesuai dengan hukum yang berlaku dalam Gereja Latin, maka Perkawinan campur membutuhkan izin eksplisit dari otoritas Gereja, supaya diizinkan. (Bdk. KHK, kan. 1124). Dalam hal perbedaan agama dibutuhkan dispensasi eksplisit dari halangan ini demi keabsahannya (Bdk. KHK, kan. 1086). Izin dan dispensasi ini mengandaikan bahwa kedua mempelai mengetahui dan tidak menolak tujuan dan sifat-sifat hakiki perkawinan, demikian pula kewajiban yang dipikul pihak Katolik menyangkut pembaptisan dan pendidikan anak-anak dalam Gereja Katolik (Bdk. KHK, kan. 1125).

      KHK 1124    Perkawinan antara dua orang dibaptis, yang diantaranya satu dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya setelah baptis dan tidak meninggalkannya dengan tindakan formal, sedangkan pihak yang lain menjadi anggota Gereja atau persekutuan gerejawi yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja katolik, tanpa izin jelas dari otoritas yang berwenang, dilarang.

      KHK 1125    Izin semacam itu dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah, jika terdapat alasan yang wajar dan masuk akal; izin itu jangan diberikan jika belum terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

      1.  

        1. pihak katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja Katolik;
        2. mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak katolik itu pihak yang lain hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak katolik;
        3. kedua pihak hendaknya diajar mengenai tujuan-tujuan dan ciri-ciri hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya.

      KHK 1126    Adalah tugas Konferensi para Uskup untuk menentukan baik cara pernyataan dan janji yang selalu dituntut itu harus dibuat, maupun menetapkan cara hal-hal itu menjadi jelas, juga dalam tata-lahir, dan cara pihak tidak Katolik diberitahu.

      KHK 1086

      § 1     Perkawinan antara dua orang, yang diantaranya satu telah dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya dan tidak meninggalkannya dengan tindakan formal, sedangkan yang lain tidak dibaptis, adalah tidak sah.
      § 2     Dari halangan itu janganlah diberikan dispensasi, kecuali telah dipenuhi syarat-syarat yang disebut dalam Kanon 1125 dan Kanon 1126.

      Jadi yang dilarang adalah, jika perkawinan beda gereja/ beda agama itu tidak memperoleh izin/ dispensasi.

      Namun di atas semua itu, perlu disadari bahwa jika Gereja menentukan sesuatu itu adalah demi kebaikan kita semua sebagai anggota-anggotanya. Gereja itu seperti seumpama Ibu bagi kita umat beriman, selalu bermaksud melindungi dan mengarahkan kita kepada keselamatan kekal. Itulah sebabnya dibuat peraturan, termasuk tentang perkawinan, agar keluarga-keluarga dapat diarahkan kepada keselamatan kekal tersebut.

      Perkawinan beda gereja atau beda agama memang dapat menyebabkan kesulitan tersendiri, (walaupun dapat juga menumbuhkan sikap toleransi dalam keluarga), dan jika tidak dapat diatasi dapat menimbulkan masalah yang dapat membahayakan keadaan iman pihak yang Katolik. Sejujurnya perkawinan memang sudah mempunyai tantangannya tersendiri, oleh sebab kedua pihak yang terlibat mempunyai latar belakang yang berbeda, kepribadian maupun cara berpikir yang berbeda (antara pria dan wanita) dan perbedaan agama akan lebih lagi menambah tantangan ini. Maka jika Gereja menganjurkan perkawinan seiman, tentu ada alasannya. Jika Gereja yang mengizinkan perkawinan beda gereja ataupun beda agama, mari kita pandang sebagai kemurahan hati Gereja yang memperhatikan kebutuhan umatnya. Namun demikian, sebagai umat beriman yang sudah dibaptis Katolik, kita tetap mempunyai tanggung jawab di hadapan Tuhan untuk menjaga dan menumbuhkan iman kita itu, dalam kesatuan dengan Gereja.

      Sesungguhnya Gereja Katolik tidak mengajarkan bahwa menjadi Katolik adalah hanya urusan kita secara pribadi dengan Tuhan. Hubungan secara pribadi dengan Tuhan memang penting, tetapi iman bukan hanya menyangkut hal itu saja. Sebab Pembaptisan yang menjadikan kita sebagai Katolik, itu bukan semata bermakna hubungan yang subyektif (hanya antara saya dan Tuhan). Melalui Baptisan kita digabungkan menjadi anggota Tubuh Kristus, artinya kita tergabung dengan Gereja yang didirikan Kristus, dan oleh sebab itu, kita menerima pertumbuhan kehidupan rohani kita dari Gereja. Sakramen Ekaristi, rahmat pengampunan dalam sakramen Tobat, Penguatan rahmat Baptisan, pengurapan jika sakit, pemberkatan perkawinan maupun pentahbisan sebagai imam adalah kelanjutan dari rahmat Baptisan yang menggabungkan kita dengan Kristus dan Gereja-Nya. Selain itu, dengan disatukannya kita dengan Kristus, kita juga disatukan dengan sesama anggota Kristus yang lain. Maka jika kita mengatakan bahwa kita sungguh mengasihi Kristus, kita harus juga mengasihi Tubuh-Nya, yang juga disebut sebagai Mempelai-Nya, yaitu Gereja. Sebab sebagai Kepala, Kristus tak pernah terpisah dari Tubuh-Nya, yaitu Gereja.

      Maka benar, jika Anda mengatakan bahwa Tuhan tidak mungkin salah, dan karena itu Ia tidak mungkin salah saat menjanjikan bahwa Gereja-Nya akan tetap disertai-Nya sampai akhir zaman (lih. Mat 28:19-20), dan dijaga-Nya dari kebinasaan dan kesesatan (lih. Mat 16:19). Karena itu kita dapat yakin bahwa dalam hal ajaran iman dan moral, Gereja tidak mungkin salah, sebab kuasa Kristus menjaminnya sendiri. Selanjutnya kita dipanggil untuk membuktikan kepenuhan kasih kita kepada Kristus, akankah kita tetap setia menjaga keutuhan iman kita ini sampai akhir? Hal perkawinan merupakan salah satu momen yang penting bagi kita untuk membuktikannya, mengingat dengan perkawinan, kita mengambil bagian di dalam persatuan kasih antara Kristus dengan Mempelai-Nya (lih. Ef 5:22-33) yaitu Gereja yang didirikan-Nya di atas Rasul Petrus, yang kini terus eksis di dalam Gereja Katolik.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  5. Mohon pencerahan.
    Apakah perkawinan pasangan orang protestan dianggap sah (sakramen oleh katolik) ?

    Terima kasih

    • Shalom Yohanes,
      Perkawinan dua orang yang telah dibaptis secara sah, otomatis derajatnya diangkat ke sakramen, walaupun mereka tidak dibaptis dalam Gereja Katolik. Dituliskan sebagai berikut:

      KGK 1601 “Perjanjian Perkawinan, dengan mana pria dan wanita membentuk antar mereka kebersamaan seluruh hidup, dari sifat kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta pada kelahiran dan pendidikan anak; oleh Kristus Tuhan Perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen” (CIC can. 1055 §1).Kan. 1055 § 1    Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.Kan. 1055 § 2    Karena itu antara orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya sakramen.

      Jadi sepanjang baptisan kedua pasangan tersebut sah (memakai forma Trinitas dan materia air bersih, jika Gereja non Katolik, termasuk dalam daftar PGI), jika keduanya menikah, maka perkawinannya adalah sakramen, dan ikatannya diakui oleh Gereja Katolik.

      Namun jika salah satu dari pasangan itu Katolik, maka pemberkatan harus dilakukan secara Katolik, atau jika karena satu dan lain hal tidak dapat dilakukan (pemberkatan akan dilakukan secara Kristen non- Katolik), maka agar ikatan perkawinan itu dapat dikatakan sah menurut hukum Gereja Katolik, pasangan harus meminta izin terlebih dahulu kepada pihak Ordinaris terlebih dahulu (pihak keuskupan).

      Semoga dapat memperjelas.
      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,stef – katolisitas.org

  6. mau nanya…
    seandaix ad orang yang menikah dgn beda agama..trus gmna dgn anakx..??

    [Dari Katolisitas: Silakan membaca artikel di atas. Jika perkawinan beda agama tersebut telah memperoleh izin dari pihak keuskupan, maka perkawinan tersebut tetap sah kanonik menurut Gereja Katolik. Namun sebelum memperoleh izin, pihak Katolik harus membuat janji yang diketahui oleh pihak non- Katolik, bahwa ia akan tetap Katolik dan berusaha dengan sekuat tenaga untuk membaptis dan mendidik anak-anak secara Katolik. Dengan demikian, perkawinan orang tua tidak membawa pengaruh kepada anak, dan anak tersebut tetap dapat dibaptis, selanjutnya tentang hal ini, klik di sini]

  7. Syalom, saya mau bertanya,
    1.bagaimana kalo pernikahan Katolik dan non Katolik (Buddish) .. Dan pemberkatan+catatan sipil dilakukan secara Buddish (dikarenakan faktor orangtua, dan bisa disebut si Katolik mengalah?), akan tetapi keduanya tetap pada kepercayaan masing2.. Apa yang harus si Katolik lakukan?

    2. Apakah bisa mendapatkan pemberkatan secara Katolik setelah itu?

    Maaf jika ada kesalahan, saya pengunjung baru situs katolisitas.org .. Kiranya Romo dapat membantu menjawab pertanyaan saya .. Terimakasih

    • Shalom Vicki,

      Seharusnya perkawinan beda agama mensyaratkan bahwa pihak Katolik meminta dispensasi ke pihak Ordinaris (Keuskupan) setempat. Namun, jika pada saat sebelum menikah, pasangan tidak mengetahui bahwa harus memohon dispensasi ke pihak Ordinaris, maka sesudah menikah, pasangan dapat melakukan Konvalidatio (lih. kann. 1156-1160) di hadapan imam, agar kemudian perkawinan menjadi sah di mata Gereja Katolik. Sebelum itu, silakan menemui imam/ pastor paroki untuk menerima rahmat pengampunan Allah dalam Sakramen Pengakuan Dosa. Sebelum mengaku dosa, silakan memeriksa batin terlebih dahulu, silakan klik di sini, untuk membaca cara pemeriksaan batin yang baik. Mohon ampunlah kepada Tuhan karena faktanya pihak yang Katolik tersebut tidak mengikuti ketentuan perkawinan secara Katolik.

      Jangan dilupakan bahwa salah satu syarat Konvalidatio adalah pihak yang non-Katolik mengetahui [dan dengan demikian memberi izin] bahwa pihak yang Katolik akan tetap Katolik dan akan berjuang sedapat mungkin dalam kapasitasnya, untuk membaptis anak-anaknya secara Katolik dan mendidik anak-anak secara Katolik. Jika hal ini disetujui, maka konvalidatio dapat dilaksanakan, setelah ketentuan-ketentuan lainnya juga dipenuhi. Silakan menghubungi pastor paroki untuk mengetahui ketentuan-ketentuan tersebut.

      Setelah konvalidatio dilakukan, maka perkawinan dapat dikatakan sah secara hukum Gereja Katolik, dan pihak yang Katolik dapat kembali menerima Komuni kudus.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati-katolisitas.org

       

  8. Shalom, Rm. Wanta,Pr
    semoga kasih karunia Tuhan Yesus selalu menyertai karya dan pelayanan Anda. Romo, nama saya Dionisius Ganesha saya berasal dari keluarga katolik dan saya sudah berkeluarga selama 17 tahun, istri saya berangkat dari keluarga yang beragama Budha tetapi saya mengenal istri saya sejak awal pacaran sudah beragama Kristen protestan (Pantekosta). Waktu saya nikah saya tidak mengalami kesulitan untuk mengurus segala administrasi gereja untuk keperluan proses perkawinan beda agama, dan akhirnya saya dan istri melangsungkan perkawinan di gereja katolik dengan proses misa perkawinan secara katolik. Sekarang kami sekeluarga menjalani hidup secara katolik, dan bahkan anak-anak kami semuanya aktif menjalani kegiatan aktifitas gereja terutama sejak menerima komuni pertama mereka aktif di misdinar dan bina iman remaja. Saya dan istri sudah menjalani hidup berkeluarga selama ini dengan cara katolik dan kami selalu aktif mengikuti kegiatan doa rosario dan pendalaman iman, artinya kami sekeluarga memang sudah menjalani kehidupan secara Katolik.

    Permasalahan yang saya alami selama ini:
    1.Almarhum Ayah saya (kakeknya anak-anak saya) awalnya berasal dari keluarga Islam dan memperistri Ibu saya yang keturunan Indo belanda sudah masuk Katolik dengan memakai nama baptis “Stefanus”,dan saya pernah melihat bukti surat baptis yang memang pada saat itu ayah saya memberitahukannya kepada saya untuk membuktikan bahwa ayah saya dibaptis di gereja St.Yusuf (desa Pacet, Cipanas/Cianjur)pada tahun 1957. Pada tahun 1975 Ibu saya pernah akan mengurus sakramen Krisma untuk ayah saya pada seorang Romo atas permintaan ayah sendiri (maaf inisialnya saja Rm.M S, SJ) pada waktu itu ibu sudah persiapkan surat baptisnya dan akhir cerita ibu malah mendapat marah dari Romo tsb dengan alasan (menurut cerita ibu inilah jawabannya) “Ibu sudah sekian tahun berumah tangga dan sudah dikaruniai 7 orang anak kok baru sekarang ngurus sakramen krismanya, ngapain saja selama ini?”.
    Mendapat jawaban seperti itu spontan ibu saya kecewa, dan sampai sekarang (usia ibu sekarang 77Th tetapi masih aktif ke gereja) ibu masih tidak bisa melupakan peristiwa itu apalagi setelah Ayah meninggal dunia di usia 84 th di mana ayah saya pada saat meninggal sudah tidak Katolik sejak tahun 1982 s/d 2011 (Ayah saya seorang pahlawan kemerdekaan dan dimakamkan di TMP Kalibata dengan upacara militer dan secara Islam).

    2. Dari peristiwa yang dialami ibu saya itu kembali terulang kepada diri saya hanya beda permasalahannya, yaitu pada tahun 1995 saya pernah minta kepada seseorang Katekis (sudah almarhum) untuk memberikan pengukuhan baptis terhadap istri saya karena saya menyadari bahwa istri saya sudah dibaptis tetapi dengan cara protestan. singkat cerita (alm.) katekis mengatakan kepada saya bahwa istri harus mengikuti kursus pelajaran katolik dan setelah itu harus melalui baptisan baru secara katolik, dari pernyataan tersebut saya kecewa dan menganggap ajaran katolik penuh dengan rekayasa manusia yang tidak logis secara IMAN. Akhirnya saya menjalani kehidupan secara katolik sesuai dengan Iman yang saya percayai sampai saat ini dan saya menganggap ajaran katolik selalu mengada-ada tergantung siapa orang yang memiliki “Peran Pelayanan” di dalamnya.

    Akhirnya saya mengambil sikap biarlah waktu dan ruang yang membentuk kepribadian istri saya dalam menjalani iman Katoliknya, maka suatu peristiwa terjadi pada tahun 2000 saat perayaan hari natal kami sekeluarga pergi ke gereja di mana saat itu istri saya memberanikan diri untuk menerima “HOSTI” sambil menggendong anak kami yang berumur 1 tahun 3 bulan. Lantas apa yang terjadi sangat memalukan saya dan keluarga karena begitu istri saya hendak menerima hosti mendapat ucapan spontan dari romo yang akan memberikannya yaitu “Ibu sudah dibaptis secara Katolik ? !!!” dan saya yang berada di belakang istri langsung menjawab dengan tegas “Belum” saat itu juga romo mengatakan “Silakan Ibu Menyingkir” dengan tidak memberi berkat di dahi anak saya yang masih bayi termasuk juga istri saya.

    PERTANYAAN SAYA :
    1. Mengapa dari dua peristiwa imani tersebut tidak ada toleransi dari pihak gereja?
    2. Sebagai orang Kristen yang katolik saya percaya bahwa pembaptisan bagi orang-orang yang percaya akan ajaran YESUS KRISTUS melalui INJIL-Nya hanya terjadi sekali dalam seumur hidup, Tetapi mengapa dalam ajaran katolik harus terjadi seperti apa yang kami alami?
    3. Benarkah hanya “BAPTISAN SECARA KATOLIK” yang syah untuk menjadi PENGIKUT YESUS KRISTUS sehingga akan mendapatkan “KEBANGKITAN KEKAL”? 4. Mengapa untuk “MASUK SURGA” kita harus berebut “Ajaran dan Doktrin”, sedangkan Tuhan Yesus tidak pernah mengajarkan kepada kita “Ikutlah AKU DAN JANGAN MELALUI AJARAN ……. SELAIN “KATOLIK” ??????????.
    ” Kemuliaan kepada Allah Bapa,dan Putera dan Roh Kudus …… Amin

    • Salam Dionisius Ganesha,

      Saya memahami kekecewaan Anda. Minta maaf atas kesalahan imam dan ketekis yang tidak menghayati semangat Hukum Kanonik yaitu cinta kasih itu. Jika mereka memahami Hukum Kanonik dengan baik, tentu tidak akan mengeluarkan celetukan yang tidak bijaksana seperti itu.

      Maka usul saya, sebagai orang Katolik yang mengusahakan agar para pelayan Gereja menjadi gembala yang baik, Anda bisa mengajukan hal tersebut kepada provinsial SJ dan uskup. Mengapa? Karena hal itu akan menjadi pembelajaran bagi para imam agar bersikap lebih baik dalam melayani umat.

      Sebenarnya yang Anda hadapi ialah masalah mudah saja. Jika saya pastor parokinya, tentu almarhum ayahanda sudah mendapat Krisma dan isteri Anda sudah diterima atau dibaptis dan Krisma di Gereja Katolik. Saya banyak mengurus soal begitu ketika saya jadi pastor paroki. Sekarang saya bukan pastor paroki, melainkan kerja di KWI. Saya sarankan Anda ke pastor paroki Anda dan beberkan masalah ini, atau ke pastor paroki tetangga. Masih jauh lebih banyak pastor paroki yang baik dan benar.

      Baptisan isteri Anda memang harus dilihat apakah memang sudah absah. Jika sudah absah, maka cukup diterima dalam Gereja Katolik setelah diberi pengetahuan mengenai beberapa pokok ajaran Katolik yang di Protestan tidak ada. Upacara penerimaan dipimpin pastor dengan ibadat sabda atau Ekaristi. Kemudian dicatat, surat baptis Protestan ditarik lalu diganti surat baptis Katolik dari paroki. Sesederhana itulah. Jika baptisannya dulu tidak absah, maka tinggal dibaptis saja setelah melalui proses yang sama dengan proses penerimaan. Memang, waktunya bisa lebih singkat. Saya telah pernah memberi kursus singkat 4 minggu untuk kasus mirip isteri Anda.

      Yang penting kita harus mengacu ke ajaran Gereja dan Kitab Hukum Kanonik serta Pedoman-Pedoman Pastoral dan Liturgi yang sungguh jika dihayati sejatinya ialah menuntun kepada keselamatan. Jika awam belajar, maka imam harus lebih belajar. Oknum imam yang mulai kehilangan kasih pastoral, harus kita ingatkan dengan semangat kasih pula, agar menjadi gembala yang penuh kasih.

      Dengan penuh kasih kita doakan almarhum ayahanda, doakan ibu Anda agar penuh kasih memaafkan kesembronoan kata-kata imam dulu itu, dan kita dukung isteri Anda agar segera dapat diterima atau dibaptis-krisma dalam Gereja Katolik sehingga bisa menerima komuni, tanda persatuan utuh dengan Kristus dalam Gereja-Nya.

      Salam
      Yohanes Dwi Harsanto, Pr

  9. Salam..
    Saya punya temen yg beragama katolik,dia memiliki pasangan yg beragama muslim. Mereka punya planning utk menikah. Tapi keluarga dr pihak perempuan tdk mengizinkan utk melangsungkan pernikahan secara Katolik. Terus terang temen saya ini bukan seorang Katolik yg begitu patuh dgn katolik (tdk bgt tahu ttg Katolik) ttp dia sgt mencintai Katolik.

    Mohon bantuannya bagaimana agar dia bisa ttp menjadi umat Katolik,,karna saya sbg tmnnya pun sangat menyayangkan sekali jk dia harus pindah keyakinan.

    Terimakasih n GB

    [Dari Katolisitas: Silakan membaca artikel di atas, silakan klik, dan juga Tanya Jawab di bawah ini. Agar ia tetap dapat menjadi Katolik, maka perkawinan itu harus diberkati di Gereja Katolik, dan yang bersangkutan menerima dispensasi dari pihak otoritas Gereja. Silakan mendiskusikannya dengan pastor paroki di mana ia berdomisili]

  10. Shalom,

    Saya seorang Katolik, sedang dibujuk oleh teman lelaki saya yang beragama Islam untuk menikah dengannya. Alasannya, Tuhan menghendaki umat-Nya berkasih sayang tanpa dihalang-halangi keputusan manusia dan doktrin Gereja.

    Sedangkan saya punya pandangan lain dan tetap kukuh ingin menikah secara Katolik dan berharap mendapat pasangan yang seiman.

    Bagaimana kiranya pernyataan yang tepat untuk memberi dia penjelasan? Supaya tidak memandang saya semata2 hanya terikat hukum Gereja dan karena pemahamannya yang kurang itu, dia sering kali marah atau menganggap saya tidak fair dengan alasan saya yang seolah dibuat2.

    Terimakasih

    • Shalom Rini,

      Sebenarnya, yang terpenting adalah Anda bertanya kepada diri sendiri, sejauh mana iman Anda kepada Yesus itu Anda anggap utama dalam hidup Anda. Sebab sebagai umat Katolik, jika kita menikah secara Katolik intinya adalah menyatakan bahwa kita ingin tetap mengimani Kristus dalam Gereja-Nya, dan kita memohon agar Allah memberkati perkawinan kita, dan menyerahkan kehidupan perkawinan kita dan anak- anak yang kelak dipercayakan Allah kepada kita, ke dalam pimpinan-Nya.

      Nah, kalau Anda memutuskan untuk menikah di luar Gereja Katolik, artinya Anda tidak memandang bahwa apa yang saya katakan di atas itu adalah sesuatu yang utama; apalagi jika kemudian Anda, demi pemberkatan perkawinan Anda, Anda harus berpindah agama. Maka jangan tanyakan persyaratan itu kepada Gereja, tetapi tanyakanlah kepada diri Anda sendiri. Sejauh mana Anda menganggap Kristus itu penting dalam hidup Anda.

      Pemberkatan di Gereja Katolik tidak mensyaratkan pasangan Anda yang non- Katolik untuk menjadi Katolik, jika memang ia tidak terpanggil untuk menjadi Katolik. Namun dengan diberkatinya perkawinan Anda secara sah di Gereja Katolik, maka artinya setelah perkawinan, Anda tetap Katolik dan tetap dapat menerima Komuni Kudus. Sedangkan jika perkawinan Anda diberkati di luar Gereja Katolik (apalagi sampai Anda meninggalkan iman Katolik), maka setelah pemberkatan itu Anda tidak dapat menerima Komuni kudus, karena perkawinan Anda tidak memenuhi persyaratan perkawinan yang sah menurut Gereja Katolik.

      Gereja bagi kita umat Katolik bukan semata-mata organisasi manusia, tetapi sungguh adalah Tubuh Mistik Kristus sendiri. Kristus melanjutkan karya keselamatan-Nya melalui Gereja-Nya, dan mempercayakan kepemimpinan Gereja kepada Rasul Petrus dan para penerusnya (lih. Mat 16:18-19). Maka segala ketentuan yang berkaitan dengan iman dan moral yang ditetapkan oleh Gereja, merupakan ketentuan yang mengikat umat Katolik; dan ketaatan kepada ketentuan Gereja merupakan tanda bukti ketaatan kita kepada Tuhan Yesus yang mendirikannya.

      Jika Anda serius untuk mempertimbangkannya, ada baiknya Anda mengajak pasangan Anda untuk mengikuti program DISCOVERY, untuk menyelamatkan perkawinan Anda sebelum perkawinan Anda dimulai. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada Gedung Karya Sosial Katedral Jakarta, Lt.3. Waktu: pk 08.00 s/d 18.00. Tanggal Pelaksanaan: 19 Februari 2012, 18 Maret 2012, 15 April 2012, 20 Mei 2012, 17 Juni 2012, 15 Juli 2012, 12 Agustus 2012, 16 September 2012, 21 Oktober 2012 dan 18 Nopember 2012. Informasi pendaftaran: Lies & Talieb: 021- 7034 1705; 021- 2705 5088; 0811 971 883; 0811 971 889.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  11. Team Katolitas yang terkasih dalam Kristus….
    Saya mau bertanya, saya punya temen dan dia telah menikah tidak secara Katolik, tapi mengapa tidak diperkenankan menyambut Ekaristi? Bukankah di 1 Korintus 7:14 ditulis “Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya. Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak kudus”. Terima kasih sebelumnya

    Berkah Dalem

    • Shalom Mike,

      Seorang yang Katolik namun menikah tidak secara Katolik, maka sesungguhnya ia tidak menaati ketentuan tentang perkawinan menurut hukum Gereja Katolik. Maka sesungguhnya ikatan tersebut cacat kanonik, artinya perkawinan tersebut dilaksanakan dengan tidak memenuhi persyaratan yang disyaratkan Gereja sebagai perkawinan yang sah. Perkawinan adalah ikatan yang sungguh sakral di mata Tuhan dan Gereja, dan karena itu, Gereja atas nama Kristus sendiri, menetapkan ketentuan-ketentuannya. Silakan Anda membaca terlebih dahulu di artikel Indah dan Dalamnya Makna Perkawinan Katolik, silakan klik. Adalah wajar jika di dalam keluarga, ada aturan-aturan yang harus ditaati oleh anggota-anggotanya- terutama dalam hal-hal yang dianggap penting dalam keluarga itu. Demikian pula dalam keluarga besar Gereja Katolik, ada aturan yang harus diikuti oleh anggota-anggotanya, jika memang mereka masih ingin menjadi anggota Gereja Katolik- terutama dalam hal perkawinan, sesuatu yang sungguh penting di mata Gereja; karena menjadi gambaran akan kasih Kristus sendiri kepada Gereja-Nya, gambaran kasih Allah kepada umat-Nya.

      Jika seseorang tidak mengindahkan ketentuan Gereja Katolik tentang perkawinan ini, apalagi jika ia sampai meninggalkan iman Katoliknya agar dapat diberkati menurut agama lain, maka sesungguhnya ia sendiri yang dengan perbuatannya mencerminkan bahwa ia tidak berkehendak untuk tetap Katolik. Dengan demikian, maka ia tidak dapat menerima Komuni, karena Komuni itu maknanya adalah persatuan dengan Kristus dan Gereja-Nya, yang juga mensyaratkan ia menaati perintah-perintah-Nya, sebagaimana diajarkan oleh Gereja. Jika ia tidak menaatinya, maka sesungguhnya tidak “menghidupi” makna Komuni itu sendiri. Bagaimana mau menguduskan hidup pasangannya kalau ia sendiri tidak mengikuti ketentuan yang Tuhan Yesus inginkan dalam kehidupannya? Lagipula harus dipahami bahwa yang dapat menguduskan sesungguhnya hanya Tuhan sendiri. Jika dikatakan bahwa istri yang beriman menguduskan suaminya yang tidak beriman, ataupun sebaliknya, itu adalah karena yang beriman itu hidup seturut ajaran imannya, dan karenanya hidup di dalam Kristus dan dikuduskan oleh Kristus. Namun ia tidak hidup sesuai dengan ajaran imannya, namun menurut pemahamannya sendiri -tentang perkawinan ini- maka tidak dapat dikatakan bahwa ia berada dalam kondisi rahmat, sehingga dalam keadaan ini ia tidak dapat menerima Komuni Kudus.

      Maka jika yang bersangkutan ingin menerima Komuni kudus, silakan mengaku dosa terlebih dahulu dalam sakramen Tobat, dan kemudian menghubungi pastor paroki untuk mengadakan konvalidasi perkawinan, dan silakan melaksanakan ketentuan- ketentuan yang disyaratkan sebagaimana nanti dijelaskan oleh Pastor.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Syalom.. Maaf saya ikut nimbrung. Saya katolik. Istri sy protestan. Kami menikah di gereja katolik. Apa istri sy bs menerima komuni? Karena setiap ke gereja cuma saya yg ambil komuni sementara istri sy tidak cuma duduk aja.. Dan kemudian pertanyaan berikutnya, apakah perkawinan sy ini cacat kanonik atau tdk sah?? Lalu kemudian apa yg hrs sy lakukan untk membwa istri sy kepada iman katolik? Dan kalau nanti kami mempunyai anak, bagaimana iman mereka? Karena orangtuanya beda iman yg satu katolik dan satu lg protestan.. Ibu bs bls ke email biar sy tahu kalau ibu sudah menjawab pertanyaan saya.. Terimakasih sbelum nya..
        Tuhan berkati..

        • Shalom Yosef,

          Jika Anda sudah menikah di Gereja Katolik, dan telah mengikuti ketentuan-ketentuannya, maka perkawinan Anda sah. Namun demikian, istri Anda yang non-Katolik tidak dapat menerima Komuni kudus dalam Perayaan Ekaristi, karena ia belum sepenuhnya bersatu dengan Gereja Katolik. Sebab salah satu syarat untuk menerima Komuni adalah sakramen Baptis secara Katolik (atau jika seseorang dibaptis bukan oleh Gereja Katolik, baptisan tersebut itu diberikan oleh gereja-gereja yang tergabung di dalam PGI; dan kemudian orang itu sudah diteguhkan secara Katolik). Sebab Komuni, selain bermakna persatuan dengan Kristus, juga merupakan persatuan dengan Tubuh Mistiknya yaitu Gereja Katolik.

          Jika Anda ingin membawa istri Anda kepada iman Katolik, pertama- tama mungkin Anda perlu mengajaknya secara terbuka, atau dapat pula mulai memperkenalkan ajaran iman Katolik kepadanya, dan mohonlah agar Roh Kudus bekerja agar dapat membukakan mata hatinya untuk menerima kepenuhan kebenaran yang diajarkan oleh Gereja Katolik. Jika Anda mengenal teman-teman di paroki Anda, silakan meminta bantuan kepada mereka untuk juga mengajak istri Anda terlibat dalam kegiatan-kegiatan paroki/ lingkungan, agar sedikit demi sedikit ia dapat mengenal kasih persaudaraan di dalam komunitas Gereja Katolik, sehingga mungkin suatu saat ia dapat tergerak hatinya untuk mengikuti masa katekumenat untuk dapat diteguhkan di dalam Gereja Katolik. Sementara itu, mungkin Anda dapat menggunakan waktu-waktu ini untuk mendalami ajaran iman Katolik, agar jika istri Anda mempunyai pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan iman Katolik, maka Anda dapat menjawabnya, tentu dengan semangat kasih.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

  12. Romo Yth,
    pertanyaan saya adalah apakah GK mengakui pemberkatan nikah di Gereja Kemah Injil antara pria dari GK & wanita dari Gereja Kemah Injil, yg mana masing2 mempertahankan keyakinan? Mohon pencerahannya.

    • Shalom Carles,
      Silakan menghubungi pastor paroki Anda untuk membicarakan mengenai hal ini. Sepertinya Anda perlu menulis surat untuk memohon izin kepada pihak Ordinaris/ Keuskupan, jika karena satu dan lain hal pemberkatan tidak dapat dilakukan di Gereja Katolik, namun di gereja Kemah Injil. Gereja Kemah Injil ini termasuk di dalam daftar gereja- gereja yang tergabung dalam daftar PGI sebagaimana tertera di situ PGI, silakan klik, nomor 85, sehingga kemungkinan permohonan Anda dapat dikabulkan. Jika izin diperoleh, setelah pemberkatan tersebut, pihak Katolik tetap dapat menerima Komuni kudus, sebab perkawinannya tetap sah menurut ketentuan hukum Kanonik, walaupun tidak dilakukan di Gereja Katolik.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  13. romo saya mau tanya, bagaimana kalau nikah beda agama dengan kita yaitu agama islam.
    apakah diperbolehkan untuk nikah secara islam dan secara katolik? solusinya bagaimana kalo ga bisa? terimakasih

    • Shalom Che,

      Gereja Katolik tidak memperbolehkan adanya pemberkatan nikah dua kali.

      Perkawinan beda agama memang tidak mudah, bahkan sejak dari awal, ada banyak hal yang harus anda pertimbangkan. Karena pemberkatan nikah tidak dapat dilakukan dua kali, maka memang anda berdua harus memutuskan, bahwa anda ingin diberkati dengan cara agama yang mana. Jika anda memilih diberkati secara Islam (di KUA), artinya anda memilih untuk meninggalkan iman Katolik anda dan memeluk agama Islam, sebab pada pemberkatan itu anda akan mengucapkan syahadat, yang menjadikan anda seorang muslim. Saya tidak mengetahui apakah anda pernah merenungkan hal ini, tetapi jika belum, silakan anda merenungkannya.
      Saya pernah menjawab kasus yang serupa dengan kasus anda di sini, silakan klik.

      Ada banyak hal di dalam hidup ini di mana kita harus membuat keputusan yang sangat penting, yang akan mempengaruhi kehidupan kita selanjutnya. Dan hal pernikahan adalah salah satunya. Saya berharap anda dapat bertindak bijaksana dalam hal ini, dan selalu memohon bimbingan Roh Kudus. Jika saya boleh menyarankan, jangan sampai anda memilih untuk mendahulukan kehendak anda sendiri daripada kehendak Tuhan.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  14. yth.katolisitas

    setelah membaca artikel2 dan tanya jawab ttg kawin beda agama di katolisitas.kesimpulan saya,apabila saya ingin menikah dengan beda agama bisa asal ada kompensasi dari gereja.apabila saya harus menikah secara KUA kemudian kembali ke katolik bisa asal saya melakukan pembaharuan iman saya dengan mengaku dosa dsb.berarti benar apa yang dilakukan kebanyakan orang2 katolik yang saya kenal.mereka tidak mempermasalahkan agama dalam perkawinan asalkan mereka saling cinta,menghormati karena mereka beranggapan semua agama sama dan bagi yang menikah secara KUA juga tidak menjadi beban bagi mereka untuk melepaskan kekatolikan mereka karena mereka bisa kembali mengurus kekatolikan mereka begitu setelah mereka menikah .sebelumnya saya kuat berpendapat bahwa perkawinan harus didasari dengan iman yang sama selain cinta dan saling menghormati ternyata saya salah(?).jadi mengapa saya harus menunggu sampai umur saya banyak untuk mencari dan menunggu pasangan yang seiman jika ternyata saya bisa kawin beda agama asal pasangan saya menghormati dan membebaskan saya untuk menjalankan ibadah saya,begitupun sebaliknya dan saya juga bisa langsung bisa mendapatkan kekatolikan saya apabila saya menikah secara KUA.apakah penantian saya selama ini jadi sia2?apabila saya menikah secara KUA,kmd kembali menjadi katolik tapi anak2 saya dengan sepakat bersama pasangan saya,ada yang ikut keyakinan saya,dan ada yang ikut suami saya,apakah gereja juga memperbolehkan hal tersebut?karena ini juga banyak yang terjadi dikalangan orang2 katolik yng saya kenal.
    terima kasih

    • Desy Yth

      Perbuatan yang dengan sengaja dan bertanggungjawab melawan kehendak Allah dan norma yang diturunkannya melalui Gereja adalah dosa. Demikianlah pilihan kita dengan sadar meninggalkan iman katolik demi aman dan gampangnya menjalani perkawinan adalah dosa, seperti yang anda ceritakan. Dosa dulu baru mengaku dosa supaya bisa aman dan diterima. Pilihan melakukan perbuatan dosa dengan sadar dan bertanggungjawab itu dosa berat, karena tahu dan mau melakukan melawan hukum-Nya. Kecuali orang yang tidak tahu dan karena ignorance, atau errore commune ketidaktahuan bersifat umum itu bisa dilakukan penyembuhan sederhana maupun luar biasa. Saya kawatir pandangan anda menjadi cara menghindar dari aturan dan menggunakan aturan hukum pemulihan atas kesalahan. Ini tidak fair dan tidak baik. Saya yakin bukan kehendak Tuhan Allah bagi umatNya kalau dengan sengaja manusia memilih melakukan dosa lalu meminta pengampunan. Mencari pasangan seiman juga merupakan usaha jika tidak menemukan karena lingkungan kebanyakan non katolik lalu tidak bisa menghindar untuk perkawinan beda agama Gereja memaklumi dan memberi dispensasi tapi bukan dengan cara memilih itu sebagai prioritas karena perkawinan campur adalah tidak ideal bagi Gereja Katolik. Jangan memperalat kemurahan dan belaskasih Gereja untuk mencari gampang itu yang perlu dihindari. Maka bergaul dan bersosialitas secara aktif dengan bergaul yang baik adalah jalan untuk mendapatkan pasangan yang tepat.

      salam
      Rm Wanta

      • Romo,

        yang dimaksud melawan kehendak Allah itu yang bagaimana? Bukankah Allah adalah kasih?
        Sebenarnya yang menyulitkan itu hukum manusia..dan keimanan urusan masing-masing manusia kepada Tuhan-nya bukan karena pernikahan, substansi, bahkan orang tua tidak dapat menjamin apakah seorang manusia itu akan selamat.
        Yang menjadi concern Gereja sebenarnya kan menjaga agar seseorang itu dapat menjalani hidupnya dengan benar sesuai kehendak Allah, jadi semestinya hukum ilahilah yang utama..

        Jadi menurut saya kurang tepat diputuskan sesuatu itu adalah dosa, yang tepat adalah bahwa banyak pasangan yang ingin menikah itu tidak mendapatkan pendidikan iman yang benar versi Allah.. saya yakin di ajaran manapun intinya adalah Kasih Sayang.

        Yang perlu di bekali pada pasangan yang akan menikah adalah pemahaman yang benar tentang BERIMAN yang Allah mau, bukan gereja ataupun badan tertentu, dan ini yang rasanya masih sangat kurang.. gereja sebenarnya sudah lakukan dengan adanya kursus pernikahan, dan menurut saya ini sangat baik untuk wajib diikuti oleh tiap pasangan yang akan menikah.. seandainya mungkin non gereja pun bisa adakan ini..

        Salam
        Fei

        • Shalom Fei,

          Saya akan mencoba menjawab pertanyaan anda. Seperti yang anda katakan, Allah adalah kasih. Karena kasih-Nya kepada manusia, maka Dia tidak pernah membiarkan kita hidup dalam dosa. Untuk itulah Dia datang menjadi manusia, tinggal di antara kita, mendirikan Gereja, dan menjadikan Gereja sebagai tiang kebenaran (lih. 1Tim 3:15). Sebagai tiang kebenaran, maka Gereja memberikan peraturan-peraturan yang menjaga kehidupan umat beriman, sehingga semua tatanan kehidupan, termasuk perkawinan dapat berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah. Kalau tatanan dan peraturan ini dianggap sebagai peraturan manusia belaka dan tidak mengikat umat beriman, maka apakah yang menjadi pegangan kita? Untuk menekankan bahwa kita perlu mendengar apa yang dikatakan oleh Gereja, maka Yesus mengatakan “Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku; dan barangsiapa menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus Aku.” (Luk 10:16)

          Keimanan mempunyai dimensi personal maupun dimensi ekklesiologi. Dimensi ekklesiologi adalah karena Gereja diberi mandat untuk mengajar segala bangsa dan bahkan diberi kuasa untuk mewariskan iman dari satu generasi ke generasi lain secara murni. Sebagai bukti, Kitab Suci yang kita kenal ini adalah ditentukan dari Konsili Gereja Katolik berdasarkan inspirasi Roh Kudus. Iman yang diwariskan oleh Gereja dari satu generasi ke generasi berikutnya akhirnya sampai kepada kita. Oleh karena itu, kita berhutang kepada Gereja akan iman yang kita percayai.

          Gereja tidak pernah mengajarkan bahwa kita diselamatkan karena perkawinan atau orang tua. Gereja mengajarkan bahwa kita diselamatkan karena kasih karunia yang mengalir dari misteri Paskah Kristus, diterimakan dalam Sakramen Tobat, diwujudkan dalam perbuatan kasih kepada Allah dan kepada sesama atas dasar kasih kepada Allah. Perwujudan dari kasih kepada Allah adalah dengan melaksanakan semua perintah-Nya. (lih. 1Yoh 2:3)

          Jadi, kalau Kristus telah memberikan kuasa kepada Gereja-Nya untuk mengampuni atau melepaskan dosa (lih. Mat 16:16-19), maka sebagai umat beriman yang mengasihi Kristus, dengan segala kerendahan hati, kita menuruti dan mematuhi pengajaran dari Gereja. Kalau Gereja mengatakan bahwa suatu perbuatan adalah berdosa, maka kita harus berterima kasih, karena dengan demikian, kita berusaha menghindari perbuatan dosa tersebut. Kita juga harus mengingat hakekat Allah bukan hanya maha kasih, namun juga maha adil.

          Kalau kita meneliti kasus di atas, maka kita melihat seseorang yang mengorbankan imannya secara sadar demi perkawinan, dan pada saat yang bersamaan dia berencana untuk kembali ke Gereja Katolik. Dengan demikian, memang sungguh tepat bahwa perbuatan ini sebenarnya merupakan dosa. Menjadi diskusi tersendiri, kalau kita ingin membahas bagaimana agar kejadian seperti ini tidak menimpa pasangan-pasangan lain, seperti dengan: pendidikan di dalam keluarga, katekese yang baik, persiapan perkawinan yang baik, dll.

          Kalau anda mengatakan “Yang perlu di bekali pada pasangan yang akan menikah adalah pemahaman yang benar tentang BERIMAN yang Allah mau, bukan gereja ataupun badan tertentu, dan ini yang rasanya masih sangat kurang“, maka yang perlu dipertanyakan: ‘apakah parameter pemahaman yang benar tentang beriman yang Allah mau’? Karena jangan-jangan justru kita terjebak pada pemahaman yang salah tentang beriman, karena bukan lagi menurut Allah namun menurut pengertian kita sendiri. Untuk menghindari kesalahan ini, maka kita seharusnya bersyukur bahwa Kristus telah mendirikan Gereja Katolik sebagai pilar kebenaran, sehingga kita mempunyai keyakinan bahwa apa yang kita imani adalah sesuai dengan apa yang Yesus inginkan. Semoga jawaban ini dapat memberikan sisi pandang yang lain.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          stef – katolisitas.org

  15. Yth Katolisitas,

    Saya ingin tanya “statuta regio Jawa” itu apa semacam dokumen/keputusan bersama atau apa?

    terima kasih.

    chris

    • Chris Yth

      Statuta Regio Jawa adalah dokumen resmi yang disepakatai bersama para Uskup se- Regio Jawa tentang Pedoman Pelayanan Pastoral hidup beriman di regio Jawa. Dalam pedoman itu tercantum tentang: hakekat Gereja, tugas dan perutusannya, tentang aturan pelaksanaan pelayanan Sakramen sakramen Gereja dan sebagainya. Buku ini sudah lama tidak tercetak lagi dan bila anda ingin menemukannya silakan hubungi Pen. Kanisius atau Obor Jkt.

      salam
      Rm Wanta

  16. Yth Katolisitas,

    dapatkah pasangan Katolik menikah (penerimaan Sakramen Perkawinan) di sebuah tempat (misalnya hotel/tempat-tempat di luar gereja/kapel)?

    Terima kasih.

    • Chris yth,

      Perkawinan menurut anjuran ajaran Gereja dan Hukum Gereja harus di Gereja Paroki atau Kapel atau ruang doa lain dg izin Uskup seperti sanctuarium dan tidak diperkenankan di hotel atau tempat yang tidak sesuai dan layak dirayakan penerimaan sakramen. Lihat KHK 1983, kan. 1118 paragraph 1. Statuta Regio
      Jawa.

      Kan. 1118 § 1 Perkawinan antara orang-orang katolik atau antara pihak katolik dan pihak yang dibaptis bukan katolik hendaknya dirayakan di gereja paroki; dapat dilangsungkan di gereja atau ruang doa lain dengan izin Ordinaris wilayah atau pastor paroki.

      Salam
      Rm Wanta

  17. Dear romo,
    Saya dibaptis secara kristen protestan,dan menikah digereja protestan maluku (GPM),bkas istri juga dibaptis digereja protestan (GPM lalu dibabtis digereja bethany)..
    .Sejak awal pernikahan memang kami sudah sering ribut tapi dia memaksa saya utk mnikah,sampe akhirnya stlh konflik yang bertahun-tahun (pertengkaran kami sdh sgt parah sampe sering pegang pisau,terakhir kali
    Dia pegang pisau ancam utk sayat muka anak kami,akhirnya saya putuskan untuk bercerai…saya sekarang sudah menjalin hubungan dengan seorang kristen protestan
    Dan berencana untuk menikah…papa beragama katolik dan saya ingin mencoba untuk belajar hidup yang benar dan melalui pernikahan yang kedua ini saya
    Mengharapkan bisa langgeng sampai kakek nenek,karena itu saya mau masuk menjadi agama katolik.dari beberapa artikel yang saya baca,pernikahan pertama saya termasuk tidak sah,
    Karena saya tidak menikah digereja katolik..dapatkah saya diberi kesempatan itu untuk masuk menjadi agama katolik
    Dan menikah kembali???
    Terima kasih

    • Jemmy Yth

      Hukum Gereja Katolik (GK) mengikat bagi orang Katolik (dibaptis dalam Gereja Katolik), terutama dalam persoalan perkawinan. Bagi yang bukan Katolik maka Hukum perkawinan kanonik Gereja Katolik tidak mengikat mereka. Demikianlah jika anda yang sudah dibaptis di dalam GP (Gereja Protestan) maka hukum perkawinan yang berlaku selain hukum sipil juga hukum Gereja Protestan (Apakah ada? Saya kurang tahu). Membaca sejarah singkat perkawinan anda maka anda pernah menikah di GPM. Hukum GK mengakui adanya ikatan natural (Sipil) di dalam kehidupan perkawinan anda. Maka jika anda melangsungkan perkawinan secara Hukum Kanonik ada halangan. Jika anda menjadi Katolik tentu tidak serta merta dapat melangsungkan perkawinan, karena dengan menjadi Katolik maka hukum kanonik berlaku yakni bahwa perkawinan dilangsungkan bagi mereka yang berstatus bebas tidak ada ikatan perkawinan sebelumnya. Kisah anda ada ikatan perkawinan sebelumnya yang sah secara sipil (natural) meski bukan sah kanonik karena anda saat itu beragama Kristen Protestan. Kalau anda menjadi Katolik harus mengikuti katekumenat dan dilihat keabsahan pembaptisan, kemudian jika mau menikah secara Katolik tentu harus ada penyelidikan Kanonik dengan siapa anda akan menikah bagaimana dengan anda sendiri semua akan ditanyakan oleh pastor paroki dimana anda tinggal. Menjadi Katolik tidaklah mudah harus sungguh- sungguh bukan main- main mencari aman dan tidak boleh gagal dalam membangun perkawinan. Untuk proses pembaptisan dan perkawinan jika anda sudah menjadi Katolik silahkan berhubungan dengan pastor paroki. Untuk pembaptisan atau diterima menjadi Katolik perlu melihat keabsahan perkawinan. Idealnya anda menerima pembaptisan dan sekaligus perkawinan dibereskan secara kanonik. Perihal ini pastor paroki dapat menjelaskan pada anda.

      salam
      Rm Wanta

  18. Salam damai kristus….Romo saya mau bertanya tentang pertimbangan yuridis pastoral tentang kasus antara yuni dan ahmad : keduanya beda agama. yuni katolik dan yanto islam. setelah mereka dua jalani pacaran, akhirnya yuni hamil dan kedua orang tua mereka sama-sama tidak setuju dengan hub. mereka. akhirnya ahmad meninggalkan yuni dalam dengan kandungannya. dan anaknya yuni diangkat oleh kedua orgtuanya yuni. saat pembaptisan pun tiba…kanon pembaptisan mana saja yang kita gunakan untuk mensahkan pembaptisan tersebut? thanks….saya menunggu jawabannya romo….

    • Jehamin Yth

      Kanon pembaptisan bisa dibaca dalam kann. 849-878 pada buku IV tugas Gereja mengajar dalam KHK 1983. Selamat membaca dan mendalami apa yang diajarkan oleh Gereja dalam mengatur ibadat suci.

      salam
      Rm Wanta

  19. Rm Wanta Yth.

    Saya mempunyai teman,dia adalah seorang katolik(pria) menikah dg seorang muslim(wanita) secara gerejani di gereja Katolik.Sebenarnya dasar pernikahan mereka karena telah terjadi hubungan diluar nikah sehingga si wanita hamil terlebih dahulu,dan pria harus bertanggung jawab.Tetapi dari awal pernikahan sampai sekarang mereka selalu diwarnai dengan keributan & percekcokan bahkan mengarah ke tindak kekerasan.Saya cukup prihatin melihat hal tersebut terutama yang menyangkut perkembangan anak mereka.Sekarang mereka hendak berpisah,mereka sadar tidak bisa membohongi perasaan satu sama lain. Yang menjadi pertanyaan saya:1)Apakah dapat diajukan pembatalan perkawinan melihat kondisi tersebut dan seperti apa prosesnya.2)Apakah kedua belah pihak dapat menikah lagi khususnya bagi sang pria dikemudian hari? 3)Bagaimana tanggapan gereja mengenai hal ini?
    Atas tanGgapannya saya ucapkan terima kasih.

    • Pras Yth

      Semua orang katolik berhak untuk mengajukan perkaranya di depan Tribunal Gereja. Karena itu silakan menulis libellus surat permohonan pembatalan perkawinan ke Tribunal dimana dia berdomisili atau dia diteguhkan perkawinannya, dengan menceritakan kisah perkawinan secara panjang lebar. Jika mengalami kesulitan silakan juga minta bantuan pastor paroki. Perkawinan baru bisa dilakukan setelah ada pernyataan pembatalan perkawinan yang pertama.

      salam
      Rm wanta

      Tambahan dari Ingrid:

      Shalom Pras,
      Gereja Katolik menyatakan suatu perkawinan tidak sah, jika sejak awal sudah ada :1) halangan menikah, 2) cacat konsesus dan 3) cacat forma kanonika. Sebenarnya, jika memang terdapat bukti- bukti adanya halangan/ cacat tersebut, bahkan sejak sebelum menikah, maka Tribunal dapat meluluskan permohonan pembatalan perkawinan. Silakan, agar yang bersangkutan mempelajari terlebih dahulu akan hal- hal tersebut, dan membicarakannya dengan pastor paroki.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

    • pras@
      Sebenarnya yang mereka ributkan itu apa?
      Mereka menikah setidaknya atas dasar saling suka. Mereka menikah, saya yakin mereka ingin hidup berbahagia berdua. Bila mereka saling mengutamakan ego-mereka, tentu saja kebahagiaan hanya mimpi!

  20. Selamat pagi…
    saya ada pertanyaan sediikit tentang perkawinan…
    saya punya teman yang menurut pengakuannya pernikahan pertamanya dilakukan saat dia belum kenal Tuhan (mengaku Atheis).. Dalam perjalanan waktu, kemudia dia menjadi seorang Katolik, namun selama itu dia jg belum melakukan pemberesan pernikahan.. jadi status pernikahannya, masih ala “lesehan”… Perkawinan tersebut harus bercerai saya jg kurang tau apa alasannya….
    Saat ini dia akan menikah dengan seorang gadis (Protestan), dimana menurutnya, akan ada 2 kali pemberkatan, yaitu pemberkatan secara Protestan dan menyusul kemudian secara Katolik… Pertanyaan saya adalah :
    1. Bagaimanakah status perkawinan pertama teman saya itu ??
    2. Apakah jika perkawinan tersebut belum dibereskan secara Katolik, maka itu memberi hak utk bercerai ?
    3. Jika emg Gereja akhirnya memperbolehkan dia menikah lagi (asumsi saya dia sdh menceritakan kepada Otoritas Gereja ttg masalah ini dan memberi ijin utk menikah (lagi)) Apakah emg diperbolehkan 2x pemberkatan spt itu ??
    4. Jika emg ternyata sebenarnya Hukum Gereja tidak memperbolehkan mereka menikah, katakanlah krn human error akhirnya dapat ijin cerai dan menikah, apakah yg harus saya perbuat ??

    salam damai

    • Antonius Sinaga Yth

      Status perkawinan teman anda adalah sah secara natural namun ketika dia dibaptis dan keduanya juga terbaptis secara otomatis menjadi sah dan sakramental tidak perlu dibarui janji perkawinannya. Jika dia mau menikah lagi dengan perempuan Protestan tidak bisa karena masih ada halangan ikatan perkawinan natural sebelumnya. Gereja Katolik mengakui perkawinan natural non baptis jadi tidak bisa dengan alasan apapun dia mau melaksanakan perkawinan baru (halangan ikatan perkawinan sebelumnya). Kini kalau sudah cerai maka harus tetap diproses di pengadilan Gereja. Kedua menikahi orang Protestan beda gereja harus mendapat izin dari Uskup/Ordiaris wilayah. Tidak diperkenankan peneguhan ganda setelah Gereja Katolik lalu di gereja Protestan, bacalah di web katolisitas.org.

      salam
      Rm Wanta

  21. Romo, apa saya yang seorang Katolik bisa menikah dengan pasangan saya yang beragama pantekosta dengan tetap memegang kepercayaan kami masing-masing? Apakah menikah dengan orang yang beragama pantekosta bisa tetap dianggap sah dalam Katolik?

    • Shalom Gwen,

      Anda dapat menikah secara sah menurut Gereja Katolik dengan pasangan anda yang dari gereja Pentakosta, asalkan:

      1. Salah satu syarat dari pihak non katolik adalah memberi kebebasan kepada pihak katolik untuk menjalankan iman dan kepercayaannya dalam ibadat atau perayaan iman.

      2. Selanjutnya, uruslah izin ke ordinaris wilayah akan diurus oleh pastor paroki pihak katolik bukan oleh pihak katolik.

      Temuilah pastor paroki anda, untuk membuat surat permohonan ijin dari Keuskupan atas perkawinan campur beda gereja ini (silakan membicarakan dengan pastor paroki)

      3. Jika sudah diberi ijin, maka anda dan pasangan mengikuti kursus perkawinan yang diadakan oleh Gereja Katolik, agar pasangan anda dan anda dapat memperoleh pengajaran tentang hakekat perkawinan Katolik.

      4. Walaupun pasangan anda tidak harus menjadi Katolik, namun ia harus mengetahui bahwa anda sebagai umat Katolik berjanji untuk tetap setia dengan iman Katolik anda, dan berjanji untuk membesarkan dan mendidik anak- anak anda secara Katolik.

      Salam,
      Romo Wanta

  22. Pertanyaan:
    Apakah perkawinan campur sekarang tidak perlu diberkati oleh imam? Apakah hanya cukup diberkati oleh asisten imam? terima kasih

  23. Salam, sori nih ada pertanyaan lagi

    Kalo misal ada seseorang beristri 4 bertobat dan masuk katolik. Gimana nasib 4 istrinya ? yang saya terpikir itu apa cuma 1 yang boleh direconfirm di GK? tapi kl demikian, apa ke 3 istrinya boleh diceraikan ? kalaupun boleh apa boleh menikah lagi ?

    terima kasih banyak atas waktunya.

    • Anonymous yth,

      Kalau orang non baptis berisitri 4 seperti ada tradisi atau kepercayaan adat daerah tertentu, jika mereka masuk katolik maka hanya satu saja istri yakni yang pertama sebagai istri yang sah dengan satu lelaki. Istri lain tiga orang jelas bukan diceraikan memang tidak ada ikatan jadi juga bebas pergi dan menikah baru.

      salam
      Rm Wanta

  24. romo saya mau tanya
    temen saya seorang katolik pernah menikah di gereja sebelumnya, namun bbrp minggu kemudian istrinya meninggalkan perkawinan mereka. sekarang dia menemukan seorang gadis non katolik yang ingin dia nikahi. tapi dia belum mendapatkan keringanan dari gereja sehingga mereka kemungkinan tidak dapat melangsungkan pernikahan di gereja katolik. yang ingin saya tanyakan, apa yang harus mereka lakukan?
    dan bila calon istrinya ingin menjadi seorang katolik, apakah dia memiliki kesempatan itu? apa yang akan terjadi pada anak2 mereka kelak, apakah dapat dibaptis sebagai katolik?
    terima kasih romo. saya mengharapkan jawaban dari romo.

    • Rita Yth.

      Pertama, harus disadari bahwa perkawinan antara dua orang terbaptis dalam Gereja Katolik adalah sakramen dan konsekuensinya tak terceraikan (saya tidak tahu apakah istri temanmu juga Katolik?). Kedua, biarpun perempuan itu meninggalkan dia perkawinan tetap eksis dan tak terceraikan kecuali telah dapat dibuktikan bahwa perkawinan itu tidak sah dan batal sejak permulaan. Ketiga, si laki-laki itu jika telah menemukan perempuan lain dan mau menikah maka ada halangan ikatan sebelumnya, maka tidak bisa diteguhkan perkawinan mereka di Gereja Katolik. Kalau nanti perempuan itu mau menjadi Katolik bisa saja, tetapi artinya ia harus meninggalkan teman laki-lakinya itu/ tidak hidup bersama dengan dia, sebab ada halangan karena laki-laki itu masih mempunyai ikatan perkawinan dengan istrinya yang terdahulu.
      Lalu, jika ternyata terlanjur sudah ada anak-anak, maka mereka tetap dapat dibaptis asal ada jaminan dididik secara katolik oleh orang tua dan orang tua baptis. Oleh karena itu, jalan keluar kalau mau dibuktikan dan memang ada bukti, adalah bahwa perkawinan temanmu itu tidak sah sejak awal. Hal ini dilakukan lewat tribunal perkawinan. Ajukan permohonan pembatalan perkawinan kepada Keuskupan dimana dia berdomisi. Jika nanti terbukti tidak sah dan dinyatakan batal maka ia bisa melangsungkan perkawinan barunya. Kalau si calon menjadi katolik akan lebih baik lagi, namun jangan gagal lagi dalam perkawinan. Maka bagi siapa saja yang mau menikah pertimbangkan baik-baik sebelum mengambil keputusan menikah, mengenal calon secara baik, dan mengambil keputusan tidak keliru dalam mennetukan dan memilih pasangan khususnya dalam perkawinan Gereja Katolik yang memiliki nilai luhur unitas dan tak terputuskan. Berkat Tuhan.

      salam
      Rm Wanta

      • Romo Wanta yth,

        Kira2 apa saja pertimbangan yang diperlukan dalam menentukan apakah suatu perkawinan tidak sah sejak mulanya atau tidak? Istri dari temen saya ini (yg dinikahi bbrp th yang lalu itu) adalah seorang katolik, jadi saya mengerti bahwa perkawinan mereka diikat oleh sakramen.

        • Rita Yth

          Ada 3 hal perkawinan kanonik dapat dinyatakan tidak sah sejak awalnya:
          1. Adanya halangan perkawinan baik umum dan khusus (bdk kann. 1073-1094)
          2. Adanya cacat konsensus (bdk kann 1095-1107)
          3. Adanya cacat forma canonica (bdk. kann 1108-1123).

          Untuk halangan-halangan yang dapat menggagalkan sahnya perkawinan dapat anda dibaca dalam artikel hukum Gereja di Web katolisitas.

          salam
          Rm Wanta

          Tambahan dari Ingrid:

          Shalom Rita,
          Jika halangan perkawinan anda dapat melihatnya pada artikel Romo Wanta tentang Macam- macam halangan yang menggagalkan perkawinan, silakan klik. Sedangkan mengenai 2 point berikutnya secara ringkas adalah sebagai berikut:

          2. Cacat Konsensus:
          1. Kekurangan kemampuan menggunakan akal sehat (kan 1095, 1′)
          2. Cacat yang parah dalam hal pertimbangan (grave defect of discretion of judgement) (kan. 1095, 2′)
          3. Ketidakmampuan mengambil kewajiban esensial perkawinan (kan 1095, 3′)
          4. Ketidaktahuan/ ignorance (kurangnya pengetahuan) akan hakekat perkawinan (kan 1096)
          5. Salah orang (kan. 1097, 1)
          6. Salah dalam hal kualitas pasangan, yang menjadi syarat utama (kan.1097, 2)
          7. Penipuan/ dolus (kan. 1098)
          8. Simulasi total/ hanya sandiwara untuk keperluan tertentu seperti untuk mendapat ijin tinggal/ kewarganegaraan tertentu (kan. 1101, 2)
          9. Simulasi sebagian (kan. 1101, 2), seperti:
          – Contra bonum polis: dengan maksud dari awal untuk tidak mau mempunyai keturunan
          – Contra bonum fidei: tidak bersedia setia/ mempertahankan hubungan perkawinan yang eksklusif hanya untuk pasangan.
          – Contra bonum sacramenti: tidak menghendaki hubungan yang permanen/ selamanya.
          – Contra bonum coniugum: tidak menginginkan kebaikan pasangan, contoh menikahi agar pasangan dijadikan pelacur, dst.
          10. Menikah dengan syarat kondisi tertentu (kan. 1102)
          11. Menikah karena paksaan (kan. 1103)
          12. Menikah karena ketakutan yang sangat akan ancaman tertentu (kan. 1103)

          3. Cacat forma canonica
          1. Pada dasarnya pernikahan diadakan berdasarkan cara kanonik Katolik, di depan otoritas Gereja Katolik dan dua orang saksi (kan. 1108)
          2. Pernikahan antara dua pihak yang dibaptis, yaitu satu pihak Katolik dan yang lain Kristen non- Katolik memerlukan ijin dari pihak Ordinaris Gereja Katolik (pihak keuskupan di mana perkawinan akan diteguhkan)
          3. Pernikahan antara pihak yang dibaptis Katolik dengan pihak yang tidak dibaptis (non Katolik dan non- Kristen) memerlukan dispensasi dari pihak Ordinaris.

          Demikian tambahan dari saya, semoga berguna.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

  25. syalom,
    mau tanya,, dlm artikel di atas dikatakan : “Sebelum diberlakukannya kodeks baru yakni sebelum tgl 27 November 1983, perkawinan antara dua orang non baptis diatur oleh hukum ilahi dan hukum gereja. Tetapi menurut kodeks yang baru 1983, perkawinan semacam itu bukan lagi diatur oleh hukum gereja yang semata-mata gerejawi.”
    sy mau tanya, knp ajaran gereja berubah? bukankah ajaran greja tdk prnh brubah? mohon penjelasannya.

    • Lian Yth

      Kodeks 1983 membarui kodeks lama sebagai konsekuensi dari hasil Konsili Vatikan II. Perubahan itu menyangkut ajaran Gereja tentang kewenangan Uskup dan CD (Christus Dominus) dan beberapa konstitusi yang membutuhkan sebuah disiplin kehidupan beriman. Dalam hal ini, bukan perubahan ajaran Gereja yang terjadi tetapi pembaharuan ajaran sesuai konteks zaman. CD adalah Christus Dominus yang menyatakan bahwa Uskup adalah wakil Kristus memiliki kewenangan langsung, sendiri dan ada dalam dirinya. Jadi perkawinan antara dua orang non baptis diatur oleh hukum ilahi karena natural perkawinan kodrati. Karena itu kewenangan dimiliki oleh Paus sebagai wakil Kristus pengganti Petrus dalam memutuskan ikatan perkawinan. Itulah priveligium petrinum hanya dengan kuasa Petrus yakni Paus dapat memutuskan ikatan perkawinan yang demikian. Jadi ada kuasa/ kewenangan yang direservir oleh Sri Paus dan ada yang di pribadi Uskup (priveligium paulinum). Bacalah kan 1141 dstnya. Semoga dipahami.

      Salam
      Rm Wanta

  26. Shalom Rm. Wanta….
    Romo saya sudah berpacaran dengan lelaki muslim selama 6 thn. karena usia saya sudah byk, saya ingin menikah. Saya tahu romo kalau menikah beda agama di Indonesia, secara hukum susah (mungkin tidak diijinkan), di KUA atau di Gereja Katholik juga tidak bisa kalau salah satunya tidak mengalah (secara hukum sipilnya). Oleh karena itu kami berniat untuk menikah di luar negeri (Singapura), sebenarnya kami menikah di luar negeri itu supaya dapat pengakuan aja di masyarakat (secara hukum sipilnya), kalau kita benar2 sah menikah dengan keadaan berbeda agama. Tapi romo saya juga ingin mendapat pengakuan di gereja katholik., saya ingin supaya saya bisa diberkati secara gereja katholik. Tetapi romo, pacar saya juga ingin mendapat peneguhan secara islam. Saya ingin bertanya, apakah saya bisa romo menikah secara hukum diluar negeri, tetapi setelah itu saya meminta pemberkatan secara gereja, setelah saya menikah secara islam???
    Saya ingin meminta pendapat dan saran romo Wanta perihal permasalahan saya tersebut. terima kasih sebelumnya romo.
    Sherafina

    • Serafina Yth

      Gereja memberikan dispensasi bagi perkawinan campur jadi gunakan peluang ini dan tidak perlu berkat pernikahan di luar negeri, bisa di dalam negeri saja. Hanya memang tidak diperkenankan pemberkatan dua kali/ “double”, yaitu setelah di Gereja lalu ke KUA. Maka perlu ada jalan tengah yang terbaik. Pencatatan sipil secara hukum perkawinan adalah pencatatan seagama (sesuai UU Perkawinan no 1 1974) sesuai dengan upacara agama yang dianut oleh pasangan pengantin. Karena itu waktu pencatatan sipil sebaiknya dilakukan segera setelah mendapat peneguhan di Gereja Katolik, dengan mendatangkan pegawai pencatatan sipil langsung untuk pencatatan di kompleks gedung gereja. Semoga memberi pencerahan.

      Salam
      Rm Wanta

      Tambahan dari Ingrid:

      Shalom Serafina,
      Perkawinan beda agama memang tidak mudah, bahkan sejak dari awal, ada banyak hal yang harus anda pertimbangkan. Karena pemberkatan nikah tidak dapat dilakukan dua kali, maka memang anda berdua harus memutuskan, bahwa anda ingin diberkati dengan cara agama yang mana. Namun jika anda memilih diberkati secara Islam (di KUA), artinya anda memilih untuk meninggalkan iman Katolik anda dan memeluk agama Islam, sebab pada pemberkatan itu anda akan mengucapkan syahadat, yang menjadikan anda seorang muslim. Saya tidak mengetahui apakah anda pernah merenungkan hal ini, tetapi jika belum, silakan anda merenungkannya.
      Saya pernah menjawab kasus yang serupa dengan kasus anda di sini, silakan klik.
      Serafina, ada banyak hal di dalam hidup ini di mana kita harus membuat keputusan yang sangat penting, yang akan mempengaruhi kehidupan anda selanjutnya. Dan hal pernikahan adalah salah satunya. Saya berharap anda dapat bertindak bijaksana dalam hal ini, dan selalu memohon bimbingan Roh Kudus. Jika saya boleh menyarankan, jangan sampai anda memilih untuk mendahulukan kehendak anda sendiri daripada kehendak Tuhan.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

  27. Dengan hormat, saya mau bertanya masalah perkawinan saya. istri saya seorang janda beranak satu dan beragama katolik spt saya. Kami tidak bisa menikah digereja karena istri saya bercerai maka kami menikah dicatatan sipil. saya sangat mencintai istri dan juga anak perempuannya yg masih berumur 4 tahun, dan sekarang pernikahan kami sdh 10 tahun dan dikaruniai seorang anak perempuan.
    Pertanyaannya, berdosakah pernikahan kami karena tidak bisa menikah digereja? kami tetap kegereja walaupun istri tidak menyambut sakramen.

    Sekarang istri saya minta cerai karena katanya tidak suka dengan sifat saya yg emosian, saya berfikir mengabulkan permintaan istri karena rasa berdosa ( akibat perkawinan kami tdk secara katolik) walaupun saya sangat mencintainya juga anak pertama kami. Kalau perasaan saya tidak mau bercerai tetapi istri saya sdh pindah kost meninggalkan anak-anak dan saya bahkan sdh menjalin hubungan dengan pria lain.
    Saya tetap tidak mau bercerai karena saya sangat mencintai istri dan anak2. Sekarang saya bingung karena istri terus memaksa karena dia mau menikah lagi dengan teman semasa sma dahulu.
    Pertanyaannya apakah sebaiknya saya menceraikan secara resmi mengingat perkawinan kami dari mula tidak secara katolik walaupun saya sangat menyanginya atau saya harus tetap mempertahankan perkawinan saya apapun yg terjadi?

    terimakasih

    • Suharto Yth.

      Saya ikut berempati dengan kedaaan ini. Secara hukum, perkawinan anda dengan istri anda (janda karena sudah menikah) meski anda berdua katolik tidak sah; karena melanggar peneguhan secara forma canonica di depan pastor katolik dan 2 saksi, dan juga halangan lain, karena dia masih memiliki ikatan perkawinan dengan laki-laki sebelumnya. Karena hidup perkawinan tidak sah tentu tidak diperkenankan oleh Gereja Katolik, maka jalan terbaik memroses untuk pengesahan perkawinan anda. Namun kenyataan sekarang istri anda ini sudah meninggalkan anda dan anak-anak, untuk pergi bersama dengan lelaki lain, karena terdesak dan tidak ada jalan lain, apalagi telah meninggalkan anda; bagi saya sangat menyakitkan apalagi anda mencintainya, tapi apa boleh buat. Dia pergi, ya diterima dengan lapang dada karena kebebasannya; selain itu karena hidup perkawinan anda dengan dia tidak sah, meski catatan sipil mensahkannya. Jadi secara hukum kanonik anda tidak ada ikatan dengan dia. Kalau anda mau menceraikan, maka ke ranah sipil bukan Gereja Katolik (karena di hadapan Gereja Katolik, anda dan dia tidak ada ikatan). Semoga berkat Tuhan menyertai hidupmu.

      salam
      Rm Wanta

  28. saya seorang pria muslim, berencana hendak menikah dengan seorang katolik. saya ingin bertanya :
    1. jika tidak salah, akan ada perjanjian tertulis bahwa saya harus bersedia menjadi katolik setelah menikah nanti serta siap mendidik anak secara katolik, apakah itu benar?? jika benar, akan tetapi saya tidak bersedia menyetujui kedua syarat tersebut bagaimana??apakah pernikahan akan ditolak??
    2.untuk saya sebagai non katolik, apa yang akan saya kerjakan ketika proses pemberkatan berlangsung??

    demikian pertanyaan saya, atas jawabannya saya ucapkan terimakasih.

    • Pratama Alam Yth

      Perkawinan antara orang katolik dan non katolik menurut hukum Gereja Katolik harus meminta dispensasi dari perkawinan beda agama. Dalam permohonan dispensasi itu ada surat perjanjian terutama untuk yang Katolik yakni berusaha mendidik anaknya secara Katolik dan tetap beriman Katolik. Pihak non- Katolik juga berjanji untuk menghormati pihak yang Katolik dan memberi kebebasan mengucapkan imannya. Jadi Gereja Katolik sangat toleran dan dialogis tahu diri dan menghormati sesama umat beriman yang lain. Jika perkawinan diteguhkan di Gereja Katolik anda tidak usah kawatir karena anda tidak akan dipaksa mengucapkan syahadat, anda hanya mengucapkan janji setiamu pada istrimu diucapkan dalam rumusan perkawinan Gereja Katolik. Lalu anda diberkati oleh pastor untuk meneguhkan perjanjian kesepakatan yang tadi diucapkan. Sebagai orang non Katolik yang anda lakukan adalah ikut menghormati upacara di Gereja Katolik ikut gerakan dan penuh perhatian apa yang dilakukan oleh pemimpin upacara. Sangat indah dan mengesankan.

      Salam
      Rm Wanta

  29. Romo Wanta,
    saya mendapat tugas mengenai kasus perkawinanan, mohon bantuan Romo. seorang bapak kaya raya berusia 65 tahun menyatakan keinginannya untuk menikah dengan seorang janda yang diceraikan oleh suaminya gara-gara menjadi Katolik. dalam wawancara terungkap bahwa bapak yang muslim ini sebelumnya sudah pernah menikah 4 kali di KUA dan masing-masing berakhir dengan perceraian dengan alasan yang sama: semua istrinya dibawa kabur laki-laki lain. dalam rangka mempersiapkan perkawinan in, pria tadi sudah mengikuti katekumenat dan siap dibaptis menjelang pernikahan yang kelima. apa yang harus dibuat bagi calon pasangan baru ini. mohon bantuan Romo, Terimakasih.

    • Arundati Yth

      Sebelum dibaptis bapak tadi harus diinterogasi tentang keinginannya untuk menikah, statusnya dengan keempat istri lamanya bagaimana apakah masih ada hubungan, ada tanggungjawab ekonomi anak dan lainnya untuk memastikan bahwa bapak tersebut benar-benar bebas dari ikatan perkawinan sebelumnya. Tidak gegabah membaptis karena itu perlu pelajaran agama katolik yang intens, terutama soal apa itu perkawinan katolik, sifat dan tujuan perkawinan. Pengalaman yang telah kawin sampai empat kali perlu mendapat perhatian selama pengajaran karena bisa jadi terulang kembali. Jika akan menikah dengan orang Katolik dan akan dibaptis maka ikatan natural perkawinan lama perlu mendapat kepastian dengan memohon pemutusan ikatan natural tsb terutama dari istri pertama yang sah sipil. Di sini ada halangan ikatan natural, kecenderungan polygami, beda agama sebelum dibaptis. Maka banyak hal perlu diurus seperti saya sampaikan di atas. Terimakasih.

      salam
      Rm Wanta

  30. romo wanta yth

    saya mau bertanya kepada romo.saya itu telah berpindah agama dari katolik ke islam bukan dari keinginan saya sendiri tapi dikarenakan pernikahan yang darurat.permasalahan saya adalah :
    -saya tidak bisa/mau menjalankan ibadah secara islam karena memang batin saya mengatakan tdk bisa.
    -awalnya kami sepakat akan tetap melaksanakan ibadah sesuai masing2.
    -namun sampai saat ini saya tdk pernah ke gereja dikarenakan bingung posisi saya yg secara status sdh islam.

    yang ingin saya tanyakan adalah :
    -menurut gereja mungkin saya ini telah dikatakan murtad,namun apa masih ada pintu bagi saya untuk bisa beribadah digereja?
    -apa masih diperbolehkan saya masuk gereja dan menerima sakramen ekomini.
    -apakah untuk diterima digereja saya harus dibabtis lagi?

    mohon jawabannya romo dan arahan2nya tentang permasalahan saya ini.makasih

    • Deddy Yth

      Hati nuranimu perlu mendapat persetujuan untuk bertindak jangan didiamkan. Suara Allah melalui suara hati sebagai norma moral maka pergilah ke salah satu pastor paroki terdekat dimana anda tinggal, katakan dengan pengakuan dosa dan memohon dapat menerima komuni kembali. Anda akan diterima kembali ke pangkuan Gereja setelah pengakuan dosa tidak perlu dibaptis (tunjukkan surat baptis anda), anda ikut katekese calon baptis kembali dan pengakuan iman kembali didepan publik setelah itu bisa ikut katekese komuni pertama lalu bisa komuni dengan sendirinya anda boleh ke Gereja. Gereja terbuka hati dan menerima anda tidak perlu khawatir. Semoga Tuhan memberkati anda.

      salam
      Rm Wanta

  31. Romo Wanta Yth.
    Saya sudah menikah selama 2 tahun dengan seorang gadis jawa secara katolik. Dia menerima tiga sakramen sekaligus saat pernikahan. Namun saat ini, dia kembali ke Jawa dan menjadi muslim kembali. Alasannya, dia memang masih mencintai saya tetapi tidak mau jadi katolik. Dulu dia terpaksa menikah secara katolik karena tidak mau kehilangan saya. Saat itu, saya dan orangtua saya memang memberi syarat kalau dia tidak mau masuk Katolik, maka pernikahan kami tidak jadi, sehingga akhirnya dia mau ikut kursus agama katolik dan kursus perkawinan. Apakah diperbolehkan dia tetap menjadi muslim sehingga perkawinan kami bisa dipertahankan? Apa yang harus saya lakukan kalau dia akhirnya menikah lagi dengan cowok muslim? Orangtuanya sejak semula tidak merestui perkawinan kami sehingga mereka bahkan mendukung keputusan dia untuk kembali menjadi muslim. Romo mohon penjelasannya.

    Terimakasih atas penjelasan Romo.
    Salam….

    [dari katolisitas.org: pesan sebelumnya saya gabung di sini]

    Romo Yth.
    Saya sangat menderita dengan perkawinan saya. Saya menikah pada tahun 2007 dengan seorang gadis muslim yang bersedia menikah secara Katolik dan menerima 3 sakramen sekaligus yaitu babptis, komunio, dan perkawinan. Hal ini dilakukan setelah mengikuti kursus perkawinan selama hampir setahun. Tetapi setelah berjalan dua tahun menikah dan memiliki seorang anak, dia kembali ke Jawa dan menjadi muslim. Orangtuanya yang sebelumnya memang tidak merestui pernikahan kami, mendudukung keputusannya ini. Orangtuanya bersikeras menolak perkawinan kami ini dan mengajukan syarat, kami boleh tetap satu asalkan anaknya tetap muslim. Pertanyaan saya, apakah hal ini diperbolehkan pada hal dia sudah dibabtis?
    Mohon penjelasan Romo. Terimakasih.

    • Alfa Agustinus Yth

      Saya memahami perasaanmu, kecewa dan sedih mengapa sudah 2 tahun berjalan dan telah dibaptis kembali ke muslim. Tentu ada kekurangan dalam pembinaan imannya setelah dibaptis. Kurang mendapat perhatian serius dalam keagaamann, dan kurang diajak untuk belajar agama Katolik sesudah dibaptis, kurang terlibat dalam kegiatan di Gereja semuanya itu bisa menyebabkan dia tidak mendapatkan apa-apa dari Gereja Katolik. Anda diharapkan untuk koreksi diri apakah ada kekurangan dalam keluarga anda dan terutama pembinaan iman istri anda dan juga anak-anak. Kalau ada maka perlu mawas diri dan cobalah menjalin lagi dengan dia agar kembali ke keluarga dan melakukan pembenahan hidup berkeluarga. Tapi kalau sudah terlanjut dan kenyataan dia pulang ke orang tua memang agak sulit kemungkinan dia menikah lagi bisa jadi dengan orang muslim. Maka cobalah komunikasi dengan dia apakah masih ada cinta diantaramu dan mau berniat membangun keluarga yang lebih baik. Jika ya bertemu dan hiduplah bersama layaknya suami istri yang berkeluarga tidak terpisah. Kalau sudah bersama pelan dan penuh kesabaran bicarakan soal agama pembinaan anak dll. Kalaupun dia sudah dibaptis dan kembali ke muslim dan juga anak-anak tentu Gereja sangat sedih karena murtad dan dengan jelas menolak Yesus sebagai Tuhan dalam dirinya. Pembaptisan tidak terhapuskan namun rahmat itu tidak berarti karena tidak diimani olehnya. Tentu dimungkinkan hidup berkeluarga yang sudah sah ini tidak pecah dan bubar maka dipertahankan meski istri telah kembali menjadi muslimah. Karena tidak direstui orang tua maka persoalan ini agak berat semoga anda bisa bersatu kembali dulu kemudian pikirkan pembinaan iman istri dan anak. Anda harus banyak berdoa dan memberi perhatian kasih dan kesaksian hidup yang baik sebagai orang Katolik.

      salam
      Rm Wanta

  32. Selamat pagi Romo Wanta,

    Saya adalah seorang kristen protestan dan calon saya adalah katolik kami berencana untuk melanjutkan hubungan kami ke jenjang pernikahan dan kami menginginkan pernikahan kami dilaksanakan secara katolik yg ingin saya tanyakan pada romo apakah yg harus saya lakukan agar pernikahan kami di akui secara katolik? terima kasih romo

    salam
    Regina

    • Regina Yth

      Langkah 1. Ajaklah pasanganmu menghadap Pastor Paroki dimana anda berdomisili. Langkah 2. anda akan diminta memenuhi beberapa syarat untuk keabsahan perkawinan campur beda gereja. Langkah 3. Jika semua telah dilalui peneguhan perkawinan anda di depan Pastor dan 2 saksi sudah memenuhi syarat untuk diakui sah secara gerejani dan juga sipil. Catatan bawalah surat baptis anda baik katolik dan protestan yang terbaru, KTP, kartu keluarga, surat belum pernah nikah dari camat dan dua saksi untuk menerangkan bahwa anda belum pernah menikah, pas foto dll akan dijelaskan pastor paroki anda. Semoga berjalan lancar.

      salam
      Rm Wanta

  33. Dear,
    saya ingin bertannya:
    1. Apa benar perkawinan secara KATOLIK tidak bisa berpisah, jika sudah tidak ada kecocokkan lagi
    dan sudah diusahakan untuk tetap bersama tetapi tetap harus berpisah
    2. Prosedur yang bagaimana dalam hal tersebut di atas.

    terima kasih

    Salam

    • Agus Yth,

      Kenyataan membuktikan bahwa perkawinan katolikpun bisa gagal dan bubar. Namun prinsip unitas dan tidakterceraikan adalah pedoman dan pegangan hidup perkawinan Katolik yang menjadi dasar dan hakekatnya. Perpisahan bisa terjadi dan diakui oleh Gereja, setelah melalui prosedur pemeriksaan di kedua pihak. Prosedur dalam hukum perkawinan adalah anulasi (pembatalan perkawinan), dimulai dengan menulis surat permohonan (libelus) ke Tribunal Perkawinan keuskupan dimana perkawinan anda diteguhkan.

      salam
      Rm Wanta

  34. Salam Damai, Romo Wanta, Pr
    Saya seorang katholik dengan calon protestan (PGI), akan menikah di gereja calon, dalam hal ini kami sepakat untuk mempertahankan iman masing2, (1) dengan memenuhi persyaratan adm (KPP, kanonik, Dispensasi forma kanonika) dan disahkan oleh Romo (kami berdua dan 2 saksi) setelah pernikahan di Gereja calon maka saya sah telah menikah secara hukum katholik dengan janji berusaha mendidik anak secara katolik, (2) jika saya tidak melakukan adm gereja katolik, dan menikah di gereja calon maka saya tidak sah menikah menurut gereja katolik meskipun saya tetap katolik.
    Pertanyaan saya yg pertama adalah jika kondisi (2) dilakukan maka apakah saya masih boleh menerima komuni? bila setelahnya saya/kami akan pemberkatan di katolik (dengan kerelaan calon) apakah memungkinkan? apakah setelah anak lahir atau sebelum anak lahir?
    Pertanyaan saya yg kedua adalah jika kondisi (1) dilakukan maka dengan janji berusaha untuk mendidik anak secara katolik, apabila terjadi di kemudian hari anak menjadi kristen apakah salah menurut hukum katolik?
    Pertanyaan saya sehubungan dengan keadilan dan keseimbangan dalam berbagi dengan calon namun tetap satu kristus, tidak bijak juga bila saya menghendaki semua untuk iman anak2, tentu calon juga ingin, yg penting sudah diusahakan dan tidak ingin menjadi percecokan dan tidak bahagia kelak, karena kita hidup dalam kasih kristus, dan memuliakanNYA
    mohon tanggapannya. terima kasih

    • Hermawan Yth

      Tentang perkawinan campur beda Gereja: Anda sudah ketahui, jika dilanggar tentu ada sanksi sebagai akibat konsekuensi mengikuti aturan hidup sesuai norma hukum. Perkawinan anda jika tidak sesuai forma canonica maka perkawinan anda tidak sah/ halal. Anda sebaiknya melakukan penyembuhan atas ketidak halalan itu dengan convalidatio (pengesahan) kanonik, namun tidak perlu membuat kesepakatan perkawinan baru. Jika anda sudah menikah (perkawinan campur beda gereja dilakukan tanpa ada ijin dari Ordinaris/ keuskupan), maka untuk sementara anda tidak diperkenankan menerima komuni kudus. Setelah pengesahan kanonik anda baru diperkenankan menerima komuni kudus. Soal pendidikan iman anak jika anda menandatangani perjanjian untuk mendidik anak secara Katolik, namun dilanggar, maka itu juga dosa karena dibawah sumpah/ janji kepada Allah. Maka berusaha sekuat tenaga meskipun kenyataan itu tidak mudah; maka anda harus optimal mendidik anak secara Katolik tidak mudah menyerah dg keadaan. Setelah anak lahir atau sebelum anak lahir bukan ukuran; yang menjadi standar adalah secepatnya membereskan perkawinan; agar anda tidak dikatakan ‘bermasalah’ karena hidup dalam keadaan di luar aturan Gereja. Semoga dapat dipahami

      salam
      Rm Wanta

  35. Shalom Romo,

    Saya mempunyai hubungan beda agama saya katolik dan pacar saya islam. kami sudah 2 tahun menjalin hubungan. Saya ingin sekali pacar saya bisa membuka mata hati dan pikirannya untuk Tuhan Yesus. Saya juga ingin bisa memberikan cinta kasih dan sayang Tuhan Yesus kepada pacar saya tetapi melalui saya dan saya ingin dia percaya. Namun saya bingung cara yang tepat untuk bisa meyakinkan pacar saya. Setiap kali saya ajak dia ke gereja dia selalu menolak dan dia tetap berprinsip pada agamanya. Dan aku ingin dia menerima Tuhan Yesus itu dari dari hatinya bukan karena paksaan dari saya. Jika kami masih tetap berpegang teguh pada prinsip masing2 apakah bisa saya menikah di gereja kayolik? dan apakah itu sah? walaupun masih ada yang belum menjadi katolik dan belum menerima Tuhan Yesus. Tetapi aku tidak bisa pungkiri bahwa tidak ada hal yang mustahil bagi Bapa. Oleh karena itu aku tetap percaya nantinya pacar saya akan bisa menjadi seorang yang Katolik dan menerima Tuhan Yesus. Mohon bantuannya agar saya tetap bisa meyakinkan pacar saya.

    Terima Kasih Romo,
    Yuliana

    • Yuliana Yth.

      Imanmu harus kuat dan teguh karena itulah prinsip kepercayaan kita sebagai orang Katolik, maka ketika hendak menikah dengan orang yg bukan Katolik kita harus hati-hati. Pertama perkawinan campur adalah halangan maka perlu dispensasi demi sahnya, harus memenuhi beberapa syarat yang akan disampaikan oleh Pastor Paroki anda. Anda bisa menikah di Gereja Katolik asal syarat-syarat terpenuhi dan dia mau mengikuti aturan tsb. Soal dia akan mengikuti anda sebagai Katolik itu urusan Roh Kudus dan kesaksian hidup anda. Jika anda memberi kesaksian dan hidup yang memberikan contoh baik sebagai orang Katolik, dia akan tertarik pada anda. Biarkan dia mengenal agama Katolik dan nantinya dengan ketekunan dan kesaksian hidupmu, berkat Tuhan dia menjadi Katolik. Anda harus membiasakan diri dengan Misa Mingguan, doa harian, membaca Kitab Suci, ikut kegiatan lingkungan, dan ajak calonmu agar mengenal lingkungan Katolik, semoga akan menjadi Katolik.

      salam
      Rm Wanta

  36. Dear Romo Wanta,pr

    dibawah ini adalah surat permohonan tentang kasus yang dialami adik saya (vivi)
    kiranya romo dapat memberi solusi dan jawannya

    NB : adik saya ini sangat mengharapkan pernihakan secara Katholik

    terima kasih
    Buana

    Dear Romo,
    Saya mohon saran dari romo.
    Saya dan pasangan saya sedang merencanakan sebuah pernikahan berdasarkan agama katolik.
    Saya adalah katolik dan pasangan saya adalah seorang duda cerai.(sudah ada surat perceraian dari pengadilan sipil)
    Pernikahnnya yang terdahulu adalah pernikahan berdasarkan agama kristen pentakosta.
    Yang menjadi pertanyaan saya adalah apakah saya dapat melaksanakan pernikahan berdasarkan agama katolik?
    Dan apa yang harus saya lakukan agar dapat melaksanakan pernikahan secara katolik?
    Mohon saran dan pendapat dari romo.

    Terima kasih,
    Vivi

    • Buana dan Vivi Yth

      Perkawinanmu dengan seorang duda yang pernah kawin cerai, tetap menjadi halangan untuk menikah di Gereja Katolik. Karena prinsip perkawinan Gereja Katolik pasangan yang menikah harus bebas dari ikatan perkawinan. Meskipun telah cerai sipil, Gereja Katolik melihat ikatan natural perkawinan masih ada antara calon suami anda dengan istrinya dari perkawinan terdahulu. Maka ikatan yang sudah terputus secara sipil tadi harus dilanjutkan dengan pemutusan ikatan natural perkawinan yang sebelumnya oleh pihak Ordinaris Gereja Katolik. Untuk itu mohon diajukan permohonan yang demikian itu ke Uskup di mana anda tinggal. Sangat indah jika calonmu akan menjadi Katolik karena memilih pasangan Katolik, motivasi ini mendukung menerima dispensasi dari Ordinaris/Uskup. Silahkan kirim surat ke Uskup dan sertakan dokumen yang ada: baptis, surat cerai sipil dan ceritakan keinginan anda untuk memohon pemutusan ikatan perkawinan calon anda. Saya usul anda tidak terburu-buru menentukan tanggal perkawinan melainkan bereskan dulu masalah perkawinan ini sampai selesai baru menentukan tanggal. Sekali lagi alangkah indah dan memudahkan pemberian kemurahan dari Uskup jika pasangan anda juga mau menjadi Katolik.

      salam
      Rm Wanta

  37. Shalom,
    Saya adalah seorang Katolik dan sudah dibaptis, saya menikah dengan seorang laki2 Kristen Protestan, saya menikah hanya di catatan sipil saja, tidak di gereja dan tidak ada ijin dari gereja katolik.
    apakah pernikahan kami sah menurut aturan gereja katolik? kalau tidak sah, apakah yang kami jalani selama ini adalah dosa ? kalau saya mau bertobat dan kembali pada iman Katolik, bolehkah saya cerai secara hukum negara? ( karena kami hanya menikah menurut hukum negara saja), karena kehidupan rumah tangga kami tidak ada kedamaian, dan suami menunjukkan perilaku kasar dan setiap hari selalu bertengkar, saya sudah tidak bisa hidup bersama suami lagi, saya sudah pisah rumah selama 1 th, kalau saya harus kembali pada suami, berarti saya harus melakukan peneguhan nikah di gereja, karena saya sudah tidak mau hidup dalam dosa lagi, tapi setelah saya pertimbangkan, saya memilih untuk tidak melakukan peneguhan, lebih baik bercerai, dan kalau Tuhan mengijinkan, mungkin kelak pada suatu hari Tuhan memberikan jodoh yg seiman dengan saya ( katolik) dan melakukan pernikahan yang benar menurut ajaran Katolik.
    terima kasih.

    • Enny Yth

      Perkawinan anda tidak sah tentu berdosa dan dapat dianulir dengan jalan proses dikumental itu lebih singkat dan cepat yang penting bukti-bukti ditunjukkan serta interogasi anda dan saksi-saksi yang ada. Tuhan memberkati

      salam
      Rm Wanta

  38. Salam Damai Dalam Kristus,
    Romo saya mau bertanya, saya sudah menikah selama 9 th dengan kepercayaan yang berbeda. Saya katolik sedangkan istri saya non katolik, baru-baru ini istri saya mendapat panggilan, ingin ikut pelajaran agama untuk menjadi katekumen. Apa yang harus saya perbuat Romo?

    • Jatibudi Yth.

      Terimakasih anda telah ikut menjadi terang Kristus dengan menghantar istri anda kepada Tuhan Yesus. Lakukanlah dengan hati penuh syukur, dan hantarkanlah istrimu ke Pastor paroki dimana anda tinggal, dan daftarkan untuk pelajaran agama katekumenta calon baptis. Jika anda tahu di lingkungan atau wilayah mana, anda bisa minta bantuan para pengurus lingkungan atau wilayah, supaya merekapun dapat membantu mengurusnya. Semuanya ini sangat tergantung dari kebiasaan di paroki anda tinggal. Jika ada kesulitan silahkan menghubungi saya lagi nanti saya bantu.
      Sesudah ikut pelajaran agama kurang lebih 3-6 bulan isteri anda akan dapat dibaptis.
      Semoga Tuhan memberkati anda.

      salam
      Rm Wanta

  39. Romo,saya punya pacar seorang muslim. Dia mengajak menikah bulan oktober 2009. Apakah bisa saya meresmikan pernikahan digereja katolik setelah saya menikah diKUA? Konsekuensi apa yg nantinya saya terima dari gereja romo? Mohon petunjuknya. Terima kasih romo,GBU.

    • Yulia Yth

      Perkawinan tidak diperkenankan peneguhan dua kali, di KUA lalu Gereja Katolik, maka harus salah satu. Perihal terima komuni nanti harus disahkan dulu perkawinan secara kanonik. Sebaiknya konsultasi dahulu dengan Romo paroki. Kalau di KUA, sebenarnya pihak Katolik murtad dan perkawinannya tidak sah. Saran saya, apakah bisa di Gereja Katolik saja, dulu. Kalau anda memilih di KUA maka nanti tidak perlu peneguhan di Gereja Katolik lagi; namun setelah beberapa saat, dapat minta diurus di Gereja Katolik dengan convalidatio. Semoga dimaklumi.

      Salam
      Rm Wanta

      • Terima kasih Romo atas saran nya. Saat ini saya sedang mempersiapkan persyaratan pernikahan di gereja. Tapi,apakah tanpa surat persetujuan dari ortu pacar saya,kami masih bisa menikah nantinya Romo? Karna mereka tidak menyetujui kami menikah digereja terlebih dahulu. Maaf Romo,mohon sarannya skali lagi. Damai Kristus..

        • Yulia Yth.

          Salah satu syarat untuk sahnya perkawinan adalah umur (batas umur bagi laki-laki 16 tahun dan perempuan 14 tahun). Atau mengikuti aturan sipil kedewasaan umur 18 tahun laki-laki dan 16 tahun perempuan. Orang dewasa memiliki kebebasan untuk memilih hidup khususnya perkawinan dan memilih dengan bebas pasangannya. (Zaman sekarang orang muda memilih pasangannya sendiri yang sesuai dan kadang-kadang memang bisa bertentangan dengan kehendak orang tua). Dalam hal ini perkawinan tetap sah dilaksanakan karena hak manusia memilih jalan hidup dan umur yang sudah dewasa. Untuk kasus semacam ini, saran saya adalah anda mencari om atau paman anda yang setuju dengan perkawinanmu untuk hadir dalam perkawinan sebagai wakil orang tua.

          salam
          Rm Wanta

  40. Selamat pagi romo
    saya Asri mahasiswa fakultas hukum Universitas Brawijaya Malang ,saya tertarik untuk mengangkat skripsi dengan tema Disparitas Cultus , Setahu saya menurut Hukum Kanonik pasal 1083 perkawinan beda agama merupakan halangan akan tetatapi dapat disahkan dan dapat dihalalkan asalkan mendapat dispensasi dari Ordonaris wilayah ( mohon koreksi apabila ada kesalahan ). Berarti dengan kata lain perkawinan beda agama diperbolehkan oleh Hukum gereja asalakan ada dispensasi . Prakteknyapun perkawinan beda agama banyak terjadi di gereja kami . Sedangkan dalam undang – undang no 1 thn 1974 tentang perkawinan tidak mengatur secara eksplisit mengenai perkawinan beda agama sehingga hal ini berimplikasi terhadap keabsahan perkawinan itu sendiri . Yang mau saya tanyakan apakah ada kesulitan / permasalahan terutama dalam pencatatan perkaiwnan beda gama tersebut di kantor catatan sipil
    Terima kasih..mohon bantuannya
    Tuhan memberkati

    • Martina Yth

      Gereja Katolik tidak memperkenankan perkawinan beda agama/gereja. Gereja Katolik menganjurkan dan mengharapkan perkawinan sesama katolik namun di daerah misi dengan situasi berbeda dengan Eropa, maka aspek pastoral mesti diperhatikan. Maka Gereja Katolik dengan kemurahan hatinya memberi dispensasi/ izin. Jadi perkawinan beda agama/gereja bukan ideal bagi ajaran Gereja Katolik dan tidak dipebolehkan, sekali lagi, jika kasus terjadi maka dimohon dispensasi/ izin. Ada tempat-tempat tertentu dimana tidak diberikan dispensasi/ izin oleh Uskupnya. Maka, terdapat praktek yang berbeda dengan ajarannya. Gereja Katolik sangat luwes, dengan paham inklusif dan memberi ruang untuk dialog. Dalam praktek sipil, perkawinan yang demikian jika di Gereja Katolik maka keduanya dikatakan seiman atau salah satu katekumen/simpatisan. Yang penting surat testimonium matrimonium nya dari Gereja Katolik atau Gereja manapun pasti pencatatan sipil menerimanya.

      salam
      Rm Wanta

      • terima kasih romo , salah satu hal yang membuat saya bangga sebagai orang katolik , gereja bersifat terbuka dan realistis mau meneguhkan perkawinan beda agama jika ada dispensasi , meskipun perkawinan ini dianggap tidak ideal namun masih bermurah hati untuk memberkati perkawinan beda agama . Iya sih romo lebih ideal jika kita bisa menikah dengan orang yang seiman ….siapa sih yang gak mau punya jodoh seiman ….akan tetapi tidak dapat dipungkiri apa lagi di negara yang plural susah untuk mendapat jodoh yang seiman. Itulah realita yang harus dihadapi akan tetapi sayangnya hukum perkawinan undang-undang no 1 thn 1974 tidak mengakomodasi kepentingan itu …dan seolah -olah tutup mata terhadap perkawinan beda agama karena politik hukum tertentu . Saya pernah menemukan sebuah kasus romo ada perkawinan beda agama antara laki-laki muslim dan perempuan katolik , perkawinan tersebut diteguhkan di salah satu gereja katolik yang ada di keuskupan Malang , akan tetapi setelah mereka mau mencatatkan dipencatatan sipil, catatan sipil menolak dengan alasan tidak ada hukum yang mengatur itu , padahal perkawinan tersebut telah diteguhkan di gereja , dan akhirnya mereka harus minta izin dari Pengadilan Negeri untuk mencatatkan perkawinan tersebut, kan kasihan…. untuk menikah saja sulit . Padahal menikah dan kebebasan untuk beragama adalah hak asasi
        yang mau saya tanyakan lagi romo
        1. apakah ada perbedaan status tentang keabsahan antara perkawinan antara orang yang terbaptis(antara orang katolik) dan perkawinan yang dilakukan oleh orang katolik dan non katolik (beda agama)
        2. apakah perkawinan beda agama yang mendapat dispensasi dari gereja dapat dinyatakan sah menurut gereja katolik
        3. dan yang terakhir , saya punya pacar seorang warga negara Amerika , dia mengaku percaya pada Tuhan tetapi tidak memeluk suatu agama tertentu . Kami berpacaran cukup lama dan berencana akan menikah walaupun belum membicarakannya secara detail , tapi hal ini cukup membuat saya bingung . a.Apakah orang yang tidak menganut kepercayaan tertentu dianggap kafir ?
        b. Apakah gereja katolik melarang umatnya melakukan perkawinan dengan orang kafir ?
        c. Jika kami menikah nanti di gereja katolik , apakah perkawinan tersebut dapat digolongkan sebagai perkawinan beda agama (disparitas cultus ) sehingga diperlukan dispensasi?
        hal ini membuat saya semakin bingung romo , apalagi ketika orang tua mulai mempermasalahkan tentang kepercayaan dia , dan saya tidak mau untuk memaksanya mengikuti kepercayaan yang saya anut bagaimanapun saya menghargai kepercayaan dia . Karena menurut saya tiap orang memiliki cara masing – masing untuk membangun relasi dengan Tuhan
        Makasih romo telah meluangkan waktunya untuk menjawab pertanyaan saya, maaf romo kalau pertanyaan saya banyak hehehe…..somoga romo tidak bosan menjawab pertanyaan saya

        Tuhan Memberkati

        • Martina Asri Yth

          1. Jika perkawinan itu sudah sah kanonik maka tidak ada perbedaan meski perkawinan itu beda agama/gereja.
          2. Jelas tetap sah perkawinan yang ada halangan relatif bisa diberi dispensasi atas halangan itu oleh Ordinaris setempat.
          3. Perkawinan dengan orang kafir dapat digolongkan pada perkawinan orang beriman dan tidak beragama (beriman tapi tidak beragama, tidak sama dengan kafir= tidak beriman dan beragama). Gereja jelas melarang perkawinan dengan orang yang tidak beragama tapi masih beriman kepada Tuhan, termasuk beda agama/gereja demikian juga maka perlu ada dispensasi. Alasannya Gereja takut kehilangan umat beriman katolik yang hidup dengan orang tidak beragama. Maka perlu ada perjanjian tertulis dari pihak katolik dan non katolik. Jadi anda harus meminta dispensasi kepada Ordinaris seperti perkawinan beda agama.
          Anjuran saya sebaiknya kalau dia mau perkawinan diteguhkan di Gereja Katolik ajaklah dia mengikuti Kursus Persiapan Perkawinan dan juga ikut katekumenat (untuk dibaptis menjadi Katolik). Anda harus berani memperkenalkan Yesus Tuhan yang anda imani kepada dia. Anda juga harus dapat memberi kesaksian sebagai orang Katolik jangan ragu dan takut maupun bingung. Tuhan besertamu.

          salam
          Rm Wanta

  41. Romo Wanta YTH

    Meiry mau menanyakan hal yang masih berhubungan dengan kawin campur wanita katolik dengan pria islam. Seperti yang kita ketahui untuk kawin campur ada syarat-syaratnya dan harus ada dispensasi baru boleh menikah. Bagaimana jika syarat untuk membaptis dan mendidik anak-anak secara katolik tidak dipenuhi, tapi ada alasan yang kuat…sesuai dengan kepercayaan islam doa dari anak muslim yang soleh/soleha sangat berpengaruh untuk kehidupan ayah mereka yang beragama islam. apakah dapat dijinkan menikah klo seandainya syarat itu tidak terpenuhi tapi ada alasan yang kuat dari pihak non-katolik???

    makasih Romo

    • Meiry Yth

      Janji pihak katolik untuk sekuat tenaga mendidikan anak secara katolik adalah kewajiban dari pihak katolik dalam perkawinan campur beda agama/gereja. Sanksi terhadap pelanggaran itu adalah dosa secara pribadi terhadap Allah dan juga tanggungjawab moral sebagai orang tua terhadap anak-anak mereka. Syarat itu harus dipenuhi ketika akan menikah dan berjanji di depan seorang imam/petugas Gereja. Sesudah perkawinan dalam perjalanan hidup keluarga ternyata tidak terpenuhi, perkawinan tetap sah tetapi mana tanggungjawab moral sebagai orang tua dan janji di depan Tuhan mendidik anak secara Katolik. Jangan pasrah, tetapi yakin bahwa anak-anak akan menerima keselamatan dengan beriman Katolik jika orang tua dengan gigih mendidik anak-anaknya. Orang Katolik harus menjadi terang dan garam di dalam keluarga perkawinan beda agama/gereja.
      salam
      Rm Wanta

  42. pasangan saya beragama islam dan saya beragama kristen protestan, kebetulan usia pasangan saya sdh cukup untuk menikah,dan dari pihak keluarga sdh mendesak, tapi kendalanya adalah masing-masing dr kami tdk ingin pindah ke agam yang dianut pasangan, bagaimana mengurus ijin pernikahan beda agama dan dimana tempat yg dpt melegalisasikannya serta berapa biaya yg dibutuhkan? terima kasih…

    • Anggy Yth
      Perkawinan beda agama di Gereja Katolik diperkenankan asalkan mengikuti aturan yang ada. Yang harus dilakukan adalah minta dispensasi dari Uskup dimana anda tinggal. Mintalah pelayanan paroki setempat dan pasti dilayani. Biaya tergantung dari sumbangan anda, atau tanyakan pada sekretariat paroki. Terimakasih.
      salam,
      Rm. Wanta, pr

  43. Romo Wanta yang baik,

    ada bbrp hal yg ingin saya tanyakan pd Romo sbb:

    1. Apa diperbolehkan doa Novena didoakan oleh org bukan Katolik?
    2. Kenapa setiap misa kita hanya menerima Tubuh Kristus tidak dgn anggurnya?
    3. Kalau kita sudah mengikuti misa pada hari Sabtu, wajib tidak kt mengikut misa pd hari minggu nya?
    4. Kalau kita sudah mengikuti misa pada saat Malam Paskah atau Malam Natal, wajib tidak kt mengikuti perayaan misa pada Hari Natal/Hari Paskah nya?
    5. Apa diperbolehkan kita memberikan Rosario kpd org bkn Katolik?

    Terima kasih.

    • Merry Yth

      Saya jawab seperti ujian ya satu persatu:
      1. Novena bisa saja didoakan oleh bukan orang Kristen namun apakah dia beriman ketika berdoa novena?
      2. Setiap misa hanya menerima Tubuh Kristus karena banyak umat kalau dalam kelompok kecil bisa dengan Darah Kristus. Wajib sekali dalam setahun pastor memberikan komuni dua rupa mis Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus namun banyak yang tidak melakukan.
      3. Misa Sabtu sore sebenarnya karena tuntutan pastoral dan teks misa dan doa seperti hari Minggu sesudah jam 6 sore yang dianggap sudah memasuki hari Minggu. Kalau misa tsb tidak sama dengan hari Minggu (misal: misa pemberkatan Perkawinan), wajib mengikuti misa hari Minggu.
      4. Kalau kita sudah Misa malam Paskah atau Natal biasanya bisa mengikuti misa lagi sampai tiga kali, dalam liturgi memperkenankan begitu namun kita kadang cuma sekali saja malam, paginya tidak misa lagi karena capek karena semalam tidak tidur. Bacaanpun berbeda misa malam, fajar dan siang hari, sehingga jika memang kita dapat melakukannya, alangkah baiknya mengikuti baik misa malam Paska dan malam Natal ataupun perayaan pada hari H (Paska dan Natal). Namun demikian, jika anda tidak dapat melakukannya untuk datang di misa malam dan misa hari H tersebut, minimal satu kali saja sudah cukup. Namun, tentu, idealnya, didorong oleh kasih kita kepada Kristus, maka kita dapat mengikuti misa malam menjelang Paskah dan Natal dan hari H-nya (Minggu Paskah dan Natal), apalagi karena liturgi dan bacaan misanya juga berbeda.
      5. Kita boleh memberikan rosario pada orang bukan katolik, Paus memberikan rosario pada Ibu Tien Soeharto. Rosario sama dengan tasbih umat islam, doanya diulang-ulang tidak beda maksudnya. Namun tentu bagi kita orang Katolik, pengulangan doa Salam Maria tidak murni pengulangan, karena sewaktu mendaraskan setiap butir tersebut, kita merenungkan peristiwa-peristiwa Kehidupan Yesus (Gembira, Sedih, Terang dan Mulia).
      salam,
      Rm wanta

  44. Saya mau tanya nih, saya katolik dan calon istri saya protestan (gereja HKBP)
    Kami berencana untuk menikah, tapi permasalahannya adalah keluarga calon istri meminta agar pemberkatan nikah kami dilaksanakan di gereja HKBP dan setelah itu saya dan calon istri saya boleh kembali ke gereja katolik..
    pertanyaan saya adalah apakah hal tersebut bertentangan dengan ajaran gereja, apa konsekuensinya, apakah pernikahan saya diterima oleh gereja katolik, dan bagaimana jalan keluarnya ?

    Terimakasih

    • Roed Yth.

      Perkawinan anda dengan orang Kristen Protestan tidak bertentangan dengan norma Gereja Katolik namun ada halangan dimana anda harus meminta izin dan dispensasi agar anda dapat menikah dengan sah di gereja Protestan dan kemudian anda dapat komuni seperti biasa sebagai orang katolik. Perkawinan anda tetap diterima asal: izin menikah dengan orang Protestan dan meminta dispensasi diteguhkan di depan pendeta kepada Uskup setempat lewat pastor paroki anda.

      salam
      Rm Wanta

      Tambahan dari Ingrid:
      Shalom Roed,
      Jadi yang terpenting anda sekarang menghubungi pastor paroki, dan bicarakan rencana pernikahan anda. Nanti pastor paroki akan membantu anda dan anda dapat mengurus permohonan izin/ dispensasi dari Uskup, sehingga anda dapat diteguhkan perkawinannya di depan penseta HKBP, namun sesudahnya anda tetap Katolik dan dapat kembali menerima Komuni di Gereja Katolik. Hal ini memungkinkan, dan dengan izin Uskup, perkawinan anda akan tetap dianggap sakramen walaupun anda menikah di gereja HKBP; karena saling diterimakan oleh anda dan istri yang keduanya sudah dibaptis. Maka saran saya, anda mengajukan permohonan izin/ dispensasi terlebih dahulu agar perkawinan anda dapat dilangsungkan dengan persetujuan Gereja Katolik.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati

  45. Romo Wanta Yth.
    Nama saya Nadia, dan saat ini saya sedang meneruskan sekolah di Las Vegas, Amerika Serikat. Saat ini saya sedang menjalin hubungan dengan pria asal Amerika, non-katolik, tidak pernah dibabtis, tidak memeluk suatu agama, namun percaya Kristus/Tuhan. Saya seorang Katolik dan ingin nantinya menikah secara Katolik dan pasangan saya setuju. Pernikahannya kemungkinan akan dilakukan secara sipil terlebih dahulu di Amerika Serikat supaya saya bisa mulai mengurus surat izin untuk tinggal di AS (green card) dan nantinya ingin menikah secara gereja di Jakarta. Pertanyaan saya, apakah kami nantinya bisa mendapatkan sakramen pernikahan (bukan sekedar validasi) jika pasangan saya tetap non-katolik? Jika kami hanya akan mendapatkan validasi pernikahan dari gereja Katolik, apakan kami harus menjalani persiapan pernikahan yang 6 bulan lamanya? Dan jika kami harus, apakah kami dapat menjalani persiapan pernikahan itu di gereja Katolik di Amerika Serikat namun nantinya tetap menikah di gereja Katolik di Jakarta? Mohon penjelasan romo, bagaimana jalan yang terbaik yang dapat kami pilih untuk menikah nantinya secara gereja Katolik di Jakarta. Terima kasih sebelumnya.

    Salam,
    Nadia

    • Nadia Yth
      Anda harus melaporkan diri ke Paroki dimana anda tinggal di USA. Kemudian akan ada penyeledikan kanonik meski pasangan beriman kristiani tidak memraktekan dalam hidup. Semoga anda bisa menarik dia dibaptis secara katolik. Kemudian untuk peneguhan perkawinan dimana saja bisa asalkan dokumen dan persiapan perkawinan di paroki anda dikirim ke paroki yang akan diadakan penerimaan peneguhan perkawinan (Jakarta). Kursus persiapan perkawinan wajib diikuti termasuk pasangannya. Rama yang akan meneguhkan perkawinan anda hendaknya mendapat surat delagasi dari paroki asal dimana anda mengadakan penyelidikan kanonik. Anda perlu mengurus izin perkawinan campur (katolik-tidak beriman) semuanya itu dapat diurus melalui pastor paroki yang akan membantu anda. Demikian jawaban ini semoga anda menemukan kebahagiaan bersama dia dan berkat Tuhan sertamu.
      salam Rm Wanta

      • salom

        Romo saya mau tanya??

        kebetulan saya memiliki pacar seorang non khatolik …apa bisa kita menikah di gereja khatolik tanpa mengubah kepercayan yg dianut pacar saya???( tanpa dia baptis).

        terus misalkan bisa apa ada konsekuensi or hukuman yg harus saya jalani dari GEREJA..

        MAKASIH BANYAK ROMO..

        • Andrianus Yth

          Jawaban dari pertanyaan anda: bisa. Memang Gereja melarang perkawinan campur dan beda gereja, dan demi halalnya perlu izin. Maka perkawinan anda dengan calon istri anda yang non- Katilik menjadi halangan untuk sahnya, maka perlu dispensasi dari pihak Ordinaris/ keuskupan sehingga perkawinan campur beda agama dapat disahkan, dan anda dapat menerima komuni kudus serta misa di Gereja Katolik seperti biasa. Ikuti aturan yang diberikan di paroki dimana anda tinggal. Yang penting bagi anda yang kawin beda agama: anda harus menjadi saksi Kristus agar pasangan anda yang non baptis akhirnya terbaptis melalui perilaku dan perbuatan anda, didiklah sekuat tenaga anak anda dg ajaran Katolik.

          salam
          Rm Wanta

  46. Romo, dalam pertanyaan clara, ini sudah romo jawab dengan gamblang sekali. Kalau mau menikah dengan orang yang masih ada ikatan perkawinan maka harus minta kemurahan hati dari Paus atau Uskup. Hanya Paus dan Uskup yang memiliki kewenangan memutuskan ikatan rohani dari perkawinan natural (kodrati) seperti Islam dengan Islam atau perkawinan campur. Prosesnya ada interogasi panjang dirimu dan pasanganmu. Kalau pihak non Katolik dalam interogasi mau menjadi Katolik nah ini ada kans untuk mendapat kemurahan (harap dimengerti); tetapi kalau tidak, maka harus ada alasan lain sehingga dapat menjadi kekuatan secara moral pemutusan hubungan perkawinan yang kodrati pihak Islam dengan pasangannya terdahulu. Harap dengan ini menjadi jelas.

    —————> interogasi panjang akan dilakukan oleh siapa romo? Dan alasan seperti apa yang cukup kuat untuk memohon pemutusan hubungan perkawinan yang kodrati tersebut? Saya juga mengalami hubungan seperti clara, dan ingin mengetahui lebih jauh tentang hal ini. Terimakasih romo, mohon jawaban dan doanya :)

    clara says:
    March 28, 2009 at 1:00 pm

    malam romo,
    saya seorang katholik selama 3thn ini saya menjalin hubungan dengan laki2 muslim yang seorang duda cerai. Yang ingin saya tanyakan apakah benar secara illahi pacar saya itu masih terikat dengan mantan istrinya,dan untuk melepaskan ikatan itu bila kami mau menikah nantinya maka ia harus dibaptis secara katholik. Jujur saya baru saja mengetahui hal ini,karna setau saya pernikahan antara katholik dengan islam sudah diperbolehkan,itulah alasan mengapa saya terus melanjutkan hubungan tersebut. Saat ini kami sedang meencanakan pernikahan,dan saya sungguh terpukul mendengar hal tersebut,karena bukan hal yg mudah untuk mengajak seseorang untuk pindah agama. Saya mohon bantuannya romo untuk menjelaskan mana yg sebenarnya sehinga saya bisa mengambil langkah yg terbaik secepatnya.
    tolong ya romo,, terimakasih
    Reply

    • Grace Yth

      Interogasi panjang akan dilakukan oleh seorang Hakim instruktur atau hakim anggota yakni rama yang bekerja di tribunal perkawinan keuskupan. Alasan yang kuat untuk dapat kemurahan tidak bisa dikarang melainkan hanya bisa melihat kenyataan dan hasil wawancara anda dengan hakim di tribunal perkawinan keuskupan. Kemurahan diberikan karena pertimbangan moral dan iman serta pelayanan rohani jiwa umat beriman yang diberikan oleh Uskup. Semoga dapat diterima.

      salam
      Rm Wanta

  47. saya seorang mulim ingin bertanya,
    bagaimana cara meyakinkan orang tua agar saya mendapatkan restu untuk menikah dengan orang katolik di gereja?
    saya tidak ingin hidup dalam 1 keluarga tetapi berbeda keyakinan…
    terimakasih atas jawaban yang anda berikan..

    • Shalom Nia,
      Menurut ketentuan Gereja Katolik, maka seseorang yang non-Katolik [misalnya, Muslim] tetap dapat diberkati pernikahannya dengan pasangannya yang Katolik di gereja Katolik, asalkan sudah mendapat dispensasi dari pihak Ordinaris Gereja. Silakan membaca lebih lanjut pada jawaban saya pada pertanyaan Asih di bawah ini, pada point ke 3). Nah jika dispensasi sudah diperoleh, maka anda dapat menikah dengan pasangan anda yang Katolik, tanpa anda harus menjadi Katolik pada saat pemberkatan perkawinan. Perkawinan anda dengan suami anda itu termasuk dalam katagori perkawinan beda agama.

      Namun saya juga setuju dengan apa yang Nia sampaikan, bahwa anda tidak menginginkan hidup berbeda keyakinan dalam sebuah keluarga. Harus diakui, bahwa dengan satu agama/keyakinan saja sudah cukup sulit untuk membina kehidupan rumah tangga yang harmonis, apalagi dengan beda agama. Tentu, ada keluarga yang berhasil dalam hal ini, tetapi banyak juga yang gagal, disebabkan karena banyaknya perbedaan. Maka, memang sebelum menikah, silakan Nia merenungkannya baik-baik terlebih dahulu, sebab tentu kita menginginkan agar perkawinan kita langgeng sampai seumur hidup.
      Jika Nia tetap pada keputusan menjadi seorang Muslim, silakan anda memberitahukan pada orang tua anda maksud anda ini, dan semoga mereka dapat menerimanya, bahwa anda akan menikah di gereja Katolik, namun nantinya tetap memeluk Muslim. Mungkin mereka-pun perlu diberitahu, bahwa menurut janji yang akan disebutkan dalam janji Pernikahan tersebut adalah pihak yang Katolik nanti harus berusaha dengan sekuat tenaga untuk mendidik anak-anak secara Katolik. Namun jika anda memutuskan untuk menjadi Katolik, maka memang diperlukan doa dan usaha yang lebih keras untuk meyakinkan orang tua akan keputusan anda ini. Silakan konsultasikan keinginan dan masalah anda ini kepada Pastor Paroki terdekat di mana anda tinggal, dan dengarkan nasihatnya. Memang sebagai norma yang umum seseorang yang ingin menjadi Katolik harus mengikuti katekumen, yang kira-kira diadakan selama satu tahun. Sesungguhnya anda bisa tetap mengikuti katekumen ini, sebab, tidak ada keharusan bahwa yang sudah ikut katekumen itu pasti harus dibaptis. Jadi, silakan ikut saja, sambil diiringi dengan doa, mohon petunjuk Tuhan. Jika lama-kelamaan anda menemukan damai melalui ajaran Kristus, maka anda dapat menyampaikan hal itu kepada orang tua sebagai salah satu alasan mengapa anda ingin menjadi Katolik. Saya percaya hal pindah agama ini tidak mudah, namun saya percaya, jika ini yang menjadi keputusan anda, Tuhan Yesus akan membukakan jalan bagi anda. Sebab sesungguhnya Kristus-lah yang lebih dahulu memilih anda, dan bukannya anda yang memilih Dia. Apapun yang terjadi, tetaplah kita harus menghormati dan mengasihi orang tua kita, sebab melalui merekalah kita dapat lahir di dunia ini. Maka apapun keputusan anda tetap harus disampaikan dengan kasih, dan sesudahnya, malah lebih lagi, kasih anda kepada orang tua selayaknya semakin jelas anda nyatakan.
      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

    • Nia Yth
      Perlu pendekatan yang terus menerus dengan cara yang sopan dan
      memberikan pandangan yang luas. Perkawinan itu perjalanan cinta dua
      orang dalam satu perahu kehidupan dan memang benar ideal satu iman,
      dan itu sebaiknya demikian. Yakinkanlah pada orang tuamu bahwa saya mau
      menjadi Katolik agar perahu kehidupan keluarga ini berjalan dengan
      tenang dan searah membuat kami bahagia. Saya yakin kebebasan anda
      memilih teman hidup dan menempuh kebahagiaan keluarga akan direstui
      orang tua anda. Masa depan anda di tangan anda juga bukan orang lain.
      Semoga menjadi maklum dan anda bisa meyakinkan orang tua anda sendiri.

      salam dan berkat Tuhan
      Rm Wanta

  48. Bu Inggrid saya mau tanya…
    Apakah seorang katolik yang menikah dengan seorang muslim dapat dikatakan murtad…
    Terima kasih atas jawabannya

    • Shalom Pinto,
      Terdapat dua kondisi, Jika seorang Katolik menikah dengan seorang Muslim. Pertama,  ia menikah di gereja Katolik atau kedua ia menikah di KUA. Jika ia menikah di gereja di hadapan Pastor setelah mendapatkan dispensasi dari pihak Ordinaris, maka ia tidak murtad. Tetapi kalau ia menikah di KUA, ia murtad, karena secara praktis ia meninggalkan iman Katoliknya, dengan mengucapkan syahadat Islam.
      Secara lebih lanjut, silakan membaca di jawaban ini (silakan klik).
      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

  49. Salam Damai
    saya ingin menanyakan tentang konsekwensi seorang katolik menikah dengan seorang islam dan melaksanakan pernikahan di KUA,apakah ada hukuman atau sangsi untuk seorang katolik?dan tentang nama babtis yang di pakai apakah akan hilang?apakah dia jg masih/boleh mendapat komuni?apakah dapat pernikahan tersebut di terima oleh gereja?terima kasih utk jawabannya .GBU

    • Shalom Asih,
      Sebagian pertanyaanmu sudah pernah dijawab oleh Rm.  Wanta, ini saya sertakan sbb:

      1) Perkawinan di KUA dimana salah satu pihak beragama Katolik tidak valid (tidak sah kanonik) karena hukumya setiap orang Katolik terikat pada hukum Gereja (bdk kan. 11). Maka perkawinan di KUA sah sipil tetapi pihak Katolik telah melakukan pemurtadan karena pasti harus mengucapkan credonya kaum muslim. Dia berdosa karena murtad. Maka jika dia sadar di kemudian hari akan perbuatannya bisa disembuhkan/divalidasi dengan mengucapkan janji perkawinan secara kanonik (pembaruan kesepakatan bdk. kan 1156). Itulah dasar hukumnya.

      Kan. 11Yang terikat oleh undang-undang yang semata-mata gerejawi ialah orang yang dibaptis di dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya, dan yang menggunakan akal-budinya dengan cukup, dan jika dalam hukum dengan jelas tidak ditentukan lain, telah berumur genap tujuh tahun.
      Kan. 1156 – § 1
      . Untuk konvalidasi perkawinan yang tidak sah karena suatu halangan yang bersifat menggagalkan, dituntut bahwa halangan itu telah berhenti atau diberikan dispensasi dari padanya, serta diperbarui kesepakatan nikah, sekurang-kurangnya oleh pihak yang sadar akan adanya halangan.
      § 2
      . Pembaruan kesepakatan itu dituntut oleh hukum gerejawi demi sahnya konvalidasi itu, juga jika pada mulanya kedua pihak telah menyatakan kesepakatannya dan tidak menariknya kembali kemudian.

      2) Maka untuk menjawab pertanyaan Asih:
      Apa konsekwensi seorang katolik menikah dengan seorang islam dan melaksanakan pernikahan di KUA, apakah ada hukuman atau sangsi untuk seorang katolik? Apakah nama baptis yang dipakai akan hilang? Apakah dia jg masih/boleh mendapat komuni? Apakah dapat pernikahan tersebut di terima oleh Gereja?
      Jawab:
      Sebenarnya, istilahnya bukan hukuman, tetapi lebih kepada konsekuesi atas pilihan orang itu sendiri. Dengan menikah di KUA, maka ia memilih untuk meninggalkan imannya, dengan memeluk agama Islam (karena dengan mengucapkan credo/ syahadat agama Islam, maka ia menjadi Muslim).
      Namun demikian, sesungguhnya tanda di jiwa yang diterimanya pada waktu sakramen Baptis tidak pernah hilang. Maka sebenarnya ia masih dapat memakai nama baptisnya, hanya saja kebanyakan orang tidak melakukan ini, jika sudah memutuskan menjadi Muslim.
      Karena telah menjadi Muslim dan meninggalkan iman Katolik, maka ia tidak diperbolehkan untuk menyambut komuni, karena komuni bermakna persatuan dengan Kristus dan Tubuh-Nya yaitu Gereja Katolik. Lagipula perkawinan yang diberkati di KUA tidak sah/ valid menurut hukum Gereja, sehingga di hadapan Tuhan, sesungguhnya ia melanggar perintah Tuhan (perintah ke-6 dari Sepuluh Perintah Allah).
      Maka perkawinan yang dilangsungkan di KUA tidak dapat dianggap sah kanonik oleh Gereja.

      3) Apa yang harus ditempuh jika terpaksa dilakukan kawin campur/ beda agama, namun agar sah menurut hukum Gereja?
      Pertama-tama konsultasikan dengan pastor paroki, agar dapat diperoleh dispensasi, namun perkawinan harus diberkati menurut ketentuan hukum kanonik Gereja Katolik. Pihak yang Katolik harus berjanji untuk secara sekuat tenaga agar semua anaknya dapat dibaptis dan dididik secara Katolik, dan pihak yang non-Katolik diberitahukan akan janji dan kewajiban pasangannya yang Katolik. Lalu keduanya harus mengetahui ciri-ciri hakiki Perkawinan, yaitu monogami, tak terceraikan dan terbuka bagi kelahiran anak-anak. Berikut ini adalah dasarnya menurut Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik:

      Kan. 1127 – § 1. Mengenai tata peneguhan yang harus digunakan dalam perkawinan campur hendaknya ditepati ketentuan-ketentuan kan. 1108;
      § 2. Jika terdapat kesulitan-kesulitan besar untuk menaati tata peneguhan kanonik, Ordinaris wilayah dari pihak katolik berhak untuk memberikan dispensasi dari tata peneguhan kanonik itu dalam tiap-tiap kasus, tetapi setelah minta pendapat Ordinaris wilayah tempat perkawinan dirayakan, dan demi sahnya harus ada suatu bentuk publik perayaan; Konferensi para Uskup berhak menetapkan norma-norma, agar dispensasi tersebut diberikan dengan alasan yang disepakati bersama.
      § 3. Dilarang, baik sebelum maupun sesudah perayaan kanonik menurut norma § 1, mengadakan perayaan keagamaan lain bagi perkawinan itu dengan maksud untuk menyatakan atau memperbarui kesepakatan nikah; demikian pula jangan mengadakan perayaan keagamaan, dimana peneguh katolik dan pelayan tidak katolik menanyakan kesepakatan mempelai secara bersama-sama, dengan melakukan ritusnya sendiri-sendiri.


      Kan. 1108 – § 1. Perkawinan hanyalah sah bila dilangsungkan di hadapan Ordinaris wilayah atau pastor paroki atau imam atau diakon, yang diberi delegasi oleh salah satu dari mereka itu, yang meneguhkannya, serta di hadapan dua orang saksi.

      Kan. 1125 – Izin semacam itu dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah, jika terdapat alasan yang wajar dan masuk akal; izin itu jangan diberikan jika belum terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
      1)    pihak katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja katolik;
      2)    mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak katolik itu pihak yang lain hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak katolik;
      3)    kedua pihak hendaknya diajar mengenai tujuan-tujuan dan ciri-ciri hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya.

      Demikian, semoga jelas, ya, Asih.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati

  50. Romo….saya akan menikah dengan pasangan yg beragama muslim, tapi kami akan melakukan nya secara greja…na untuk kanonik nanti apa kah tetap bisa dilaksanakan romo? trimaksih

    • Mimi Yth,

      Kanonik tetap dilaksanakan karena salah satu pasangan beragama katolik termasuk yang non katolik ikut serta. Penyelidikan kanonik adalah pendaftaran untuk peneguhan perkawinan di Gereja Katolik oleh Pastor, selain itu kesempatan Pastor Paroki melakasanakan tugas pastoral perkawinan dalam mengenal pasangan yang akan diteguhkan. Jangan lupa karena beda agama ada surat perjanjian dan mohon dispensasi ke Ordinaris wilayah. Segala hal ttg perkawinan campur mohon dibaca di kanon 1124 – 1129. Tuhan memberkatimu.

      salam
      Rm Wanta/Pr

      Catatan:
      Kan. 1124 – Perkawinan antara dua orang dibaptis, yang diantaranya satu dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima didalamnya setelah baptis dan tidak meninggalkannya dengan tindakan formal, sedangkan pihak yang lain menjadi anggota Gereja atau persekutuan gerejawi yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja katolik, tanpa izin jelas dari otoritas yang berwenang, dilarang.

      Kan. 1125 – Izin semacam itu dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah, jika terdapat alasan yang wajar dan masuk akal; izin itu jangan diberikan jika belum terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
      10 pihak katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja katolik;
      20 mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak katolik itu pihak yang lain hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak katolik;
      30 kedua pihak hendaknya diajar mengenai tujuan-tujuan dan ciri-ciri hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya.

      Kan. 1126 – Adalah tugas Konferensi para Uskup untuk menentukan baik cara pernyataan dan janji yang selalu dituntut itu harus dibuat, maupun menetapkan cara hal-hal itu menjadi jelas, juga dalam tata-lahir, dan cara pihak tidak katolik diberitahu.

      Kan. 1127 – § 1. Mengenai tata peneguhan yang harus digunakan dalam perkawinan campur hendaknya ditepati ketentuan-ketentuan kan. 1108; tetapi jikalau pihak katolik melangsungkan perkawinan dengan pihak bukan katolik dari ritus timur, tata peneguhan kanonik perayaan itu hanya diwajibkan demi licitnya saja; sedangkan demi sahnya dituntut campur tangan pelayan suci, dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan lain yang menurut hukum harus ditaati.
      § 2. Jika terdapat kesulitan-kesulitan besar untuk menaati tata peneguhan kanonik, Ordinaris wilayah dari pihak katolik berhak untuk memberikan dispensasi dari tata peneguhan kanonik itu dalam tiap-tiap kasus, tetapi setelah minta pendapat Ordinaris wilayah tempat perkawinan dirayakan, dan demi sahnya harus ada suatu bentuk publik perayaan; Konferensi para Uskup berhak menetapkan norma-norma, agar dispensasi tersebut diberikan dengan alasan yang disepakati bersama.
      § 3. Dilarang, baik sebelum maupun sesudah perayaan kanonik menurut norma § 1, mengadakan perayaan keagamaan lain bagi perkawinan itu dengan maksud untuk menyatakan atau memperbarui kesepakatan nikah; demikian pula jangan mengadakan perayaan keagamaan, dimana peneguh katolik dan pelayan tidak katolik menanyakan kesepakatan mempelai secara bersama-sama, dengan melakukan ritusnya sendiri-sendiri.

      Kan. 1128 – Para Ordinaris wilayah serta gembala jiwa-jiwa lain hendaknya mengusahakan agar pasangan yang katolik dan anak-anak yang lahir dari perkawinan campur tidak kekurangan bantuan rohani untuk memenuhi kewajiban-kewajiban mereka, serta hendaknya mereka menolong pasangan untuk memupuk kesatuan hidup perkawinan dan keluarga.

      Kan. 1129 – Ketentuan-ketentuan kan. 1127 dan 1128 harus juga diterapkan pada perkawinan-perkawinan yang terkena halangan beda agama, yang disebut dalam kan. 1086, § 1.

  51. Romo Wanta , Pr

    Saya mau menanyakan perihal perceraian saya dengan mantan suami yang telah menikah lagi dan tinggal di luar kota berjauhan dari kedua anak kamiyang dirawat oleh ibunya di Jakarta , sedangkan saya juga berada di luar kota.Saya ingin sekali mengambil alih hak asuh kedua anak kami tersebut walaupun di pengadilan diputuskan hak asuh ada di tangan mantan suami. Sampai saat ini saya belum bisa 100% mengampuni mantan suami dan keluarganya yg telah memisahkan saya dari kedua anak kami akibat perceraian tersebut. Mohon saran dari Romo , apa yg sebaiknya saya lakukan. Terima kasih Romo Wanta

    • Monica Yth

      Gereja Katolik menghormati keputusan pengadilan sipil. Karena itu apa yang diputuskan tetap memiliki kekuatan hukum, sedangkan pihak Gereja tidak bisa menganulir karena kewenangan dan tata hukum yang berbeda. Perihal pengasuhan hak anak dalam perkara perkawinan, ada di tangan kuasa sipil. Gereja mengharapkan anak tidak terlantar dalam pendidikan dan kebutuhan hidupnya. Karena itu sebaiknya dibicarakan secara kekeluargaan agar bisa sama2 mengasuh. Semoga Tuhan memberkatimu

      salam
      Rm Wanta, Pr

  52. Yth Katolisitas,

    Saya ingin tanya, kalau ada pasangan satu Katolik, satunya non Katolik; apabila yang non Katolik ingin dibaptis Katolik dahulu sebelum menikah, apakah ini memungkinkan? Dengan jangka waktu 3 bulan apakah bisa mengikuti pelajaran Baptis secara maraton? Dispensasi seperti ini sebetulnya ada tidak?

    Terima kasih

    Chris

    • Shalom Chris,
      Saya sarankan pasangan itu untuk menghubungi pastor paroki, karena bisa saja beliau mempunyai kebijaksanaan yang mengizinkan adanya semacam proses katekumen yang ‘kilat’, terutama jika pihak yang non-Katolik itu berasal dari gereja lain. Karena sebagai pengikut Kristus, ia juga telah mengetahui prinsip-prinsip ajaran Kristus. [Bahkan, jika baptisannya diakui oleh Gereja Katolik, ia tidak perlu dibaptis ulang, hanya perlu diteguhkan saja]. Maka, ia hanya perlu mengetahui ajaran Gereja Katolik yang lain seperti sakramen, Gereja, Bunda Maria, dst.  Proses katekumen secara khusus ini dapat diperbolehkan, tentu dengan adanya izin pastor, dan adanya guru katekumen yang secara khusus ditugaskan untuk mengajar, ataupun pastor itu sendiri.
      Jadi hal ini tentu tergantung kebijaksanaan pastor paroki, dan ada atau tidaknya pihak yang dapat mengajarkan.
      Jika hal itu tidak dapat dilakukan, mungkin dapat dirundingkan juga dengan Pastor paroki, bagaimana sebaiknya.

      Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
      Ingrid Listiati

      • Bu Ingrid, terima kasih atas penjelasannya, awalnya saya bingung, di gereja saya persyaratan untuk mengikuti pelajaran baptis minimal 35 kali baru bisa dibaptis (kurang dari itu tidak boleh), tetapi di gereja lain ada teman saya yang mengatakan boleh. Ternyata itu kebijaksanaan Pastor Paroki. Terima kasih sekali lagi balasannya yang begitu cepat:)

        Tuhan memberkati

        Salam Paskah.
        Chris

  53. Mau minta pendapat romo, saya dikasih buku dr pacar saya, dia agama protestan, di buku itu ditulis
    “alkitab melarang persekutuan yang erat dengan orang-orang yang tidak percaya, yang hidup dalam penyembahan behala. salah satu penerapannya adalah dalam pernikahan. Apabila kita mempunyai pasangan, (calon suami atau istri), maka kita harus menunggu sampai pasanagn kita menjadi orang percaya barulah menikah, jika tidak kita harus tegas.”
    2 korintus 6:14-15
    “14. Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?
    15. Persamaan apakah yang terdapat antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan orang-orang tak percaya?”

    yang saya mau tanyakan apakah menurut romo agama selain kristen dianggap gelap? saya merasa kasihan, artinya tidak ada toleransi antar umat beragama dong.
    saya senang dengan katholik karena kathoik memberkati pernikahan beda agama, terima kasih mohon pendapat romo(romo boleh memberikan pendapat dr segi iman katolik ataupun dr segi realitas)

    • Ben Yth.
      Apa yang anda pikirkan benar bahwa dalam ajaran Gereja Katolik memiliki nilai toleransi, penghormatan kepada umat beragama lain non Katolik. Konsili Vatikan II dalam Nostra Aetate 2 menyatakan Gereja Katolik tidak menolak apapun yang dalam agama-agama lain (Hindhu, Buddha, Islam, dll) apa yang benar dan suci…..Jadi Gereja Katolik mengakui adanya kebenaran untuk membawa manusia agar mengenal Allah. Bukan kegelapan. Konteks 2 Kor 6:14-15 saya kira bukan dalam konteks ini. Mencari pasangan sebaiknya seiman namun kita tidak bisa memungkiri bahwa ada seseorang menemukan pasangan yang beragama non Katolik atau non Kristen. Mereka ini bukan infideles (kafir).Jadi prinsip Gereja Katolik sangat inklusif terbuka dan dialog menjadi cara misi Gereja Katolik di dunia.
      Salam Rm Wanta, Pr

  54. Yth. Rm. Wanta,

    Kakak saya beragama Katholik. 4 tahun yang lalu, beliau menikah dengan seorang pria beragama Budha. Pernikahan dilakukan secara Budha di Vihara. Sehubungan dengan hal ini, ada beberapa hal yang hendak saya tanyakan:
    1. Apakah benar kakak saya tidak boleh menerima komuni sebelum pernikahannya disahkan di Gereja Katolik?
    2. Sebenarnya kakak saya dan suami pernah memiliki keinginan untuk melakukan pemberkatan (atau peneguhan?!?!) secara Gereja. Masalahnya saat pemberkatan di vihara, mereka juga diminta untuk berjanji akan mendidik anak-anak mereka secara Budha. Hal ini membuat kakak saya berpikir ulang untuk melakukan pemberkatan secara gereja, karena ada kebingungan bagaimana nantinya anak-anak mereka akan dididik. Apa pendapat Romo mengenai hal ini?
    * Apakah pernikahan mereka tetap dapat diberkati Gereja tanpa janji akan mendidik anak-anak mereka secara Katolik?
    * Jika ya, bagaimana prosedurnya? apakah sama dengan pasangan yang belum menikah (harus mengikuti KPP, kanonik, pemberkatan di gereja dihadiri oleh orang tua dan saksi, dll), atau hanya kedua pasangan saja datang kepada Romo untuk minta pemberkatan?
    FYI, saat ini kakak saya dan suami belum dikaruniai keturunan.

    Terima kasih sebelumnya untuk bantuan dan pencerahan dari Romo Wanta. GBU.

    • Puspa Yth

      Pertama yang perlu kita pegang sebagai hal prinsip dalam perkawinan kanonik adalah setiap orang katolik hukumnya wajib mengikuti aturan Gereja. Dalam kasus perkawinan setiap orang katolik, peneguhan perkawinannya (meskipun dengan pasangan yang bukan katolik) harus dilakukan di depan Imam (pastor Gereja Katolik) dan dua saksi (forma canonica). Maka jika peneguhannya tidak dilakukan di depan imam (pastor) perkawinan tersebut tidak sah secara kanonik. Untuk sahnya, perlu dilakukan penyembuhan (pengesahan-convalidatio) dengan membereskan segala halangan yang ada, seperti perkawinan campur beda agama atau beda gereja.

      Kasus perkawinan kakak anda adalah: perkawinan belum sah secara kanonik meskipun telah sah secara sipil. Maka perlu diadakan convalidatio, dengan tidak perlu mengulangi konsensus (karena secara Budha telah dilakukan), namun jika nanti peneguhan di Gereja untuk sahnya kanonik ada janji maka hendaknya dilakukan saja. Selama perkawinan ini belum dibereskan kakak anda terhalang untuk menerima komuni kudus. Tidak perlu ikut kursus perkawinan lagi, namun akan ada penjelasan ttg convalidatio dan perkawinan katolik bagi yang non katolik oleh pastor paroki. Soal pendidikan anak sebaiknya dibicarakan antara suami-isteri (kakak dan suami kakak anda).

      Prosedurnya datanglah ke pastoran paroki di mana anda berdomisili dan utarakan persoalan perkawinan kakak anda kepada pastor paroki. Sampaikan demikian, "kami mau membereskan perkawinan kami yang belum sah secara kanonik", nanti akan diberi petunjuk oleh Pastor Paroki. Semoga dengan jalan ini Tuhan hadir dalam keluarga kakak anda dan mendapatkan keturunan. Faktor ketenangan batin dan iman pihak katolik sangat berperan dalam kehidupan keluarga. Tuhan memberkati anda.

      Salam Rm Wanta

  55. Romo salam damai berserta mu…Saya ada satu kemuskilan tentang perkahwinan bapa saya. Pada tahun 2003 ibu saya telah meninggal dunia. Bapa pula berkahwin pada Dis tahun yang sama dengan seorang wanita katolik. Akan tetapi yang menjadi persoalannya wanita itu telah 2x kali menikah sebelum menikah dengan bapa saya. Suami pertama mereka menikah tidak diberkati di gereja. Suami kedua mereka menikah digerja. setelah itu wanita itu ditinggal oleh suami entah ke mana sehingga saat ini. Dipendekkan cerita bapa menikahi pula wanita ini secara adat kampung. Kami sekeluarga membantah tetapi bapa berkeras juga dengan hal ini. Persoalannya,adik saya sekarang sedang belajar menjadi semenarian di Indonesia (KARMEL) mengatakan hubungan bapa itu akan menjadi batu sandungan dalam adik mau menjadi father..Saya kurang paham akan hal ini dan takut akan keadaan bapa ketika dalam keadaan sakit tenat dan meninggal dunia nanti. Adakah bapa saya tidak akan dapat diberkati di dalam gereja jika hal ini berlaku.Mohon pencerahan dari Romo.Terimakasih

    • Earlyn Yth.

      Kasus perkawinan Ayah anda cukup berbelit, dan menjadi sukar untuk diselesaikan kecuali perkawinan dua kali sebelumnya terselesaikan. Ini halangan berat karena perkawinan yang gagal kedua kali. Untuk masuk ke seminari dan menjadi calon imam latar belakang keluarga memang sangat berpengaruh, tapi tidak menentukan seseroang dikatakan tidak bisa karena keluarga yang bermasalah. Yang penting anak itu sungguh baik dan dapat memenuhi syarat untuk menjadi imam.
      Hal yang lain, karena ada halangan maka Ayah anda tidak bisa diberkati di Gereja kecuali terjadi kematian dari pihak mantan suami dari Istri Ayah anda. Konsekuensinya hidup dalam keadaan yang demikian karena memang mestinya memilih seorang istri yang bebas tidak ada ikatan perkawinan dengan orang lain. Gereja sangat berhati-hati dalam hal ini jangan sampai perkawinan yang diteguhkan akan gagal lagi melihat pengalaman sebelumnya.

      salam
      Rm Wanta, Pr

      • shalom RM Wanta..terima kasih atas penjelasan itu..sekalipun apa yang diterangkan oleh Romo suatu yang menyedihkan tetapi saya menghormati dan berterima kasih atas ulasan Romo…Bagai mana saya mau menerangkan pada bapa tentang hal tersebut? Ini kerana,bapa seorang yang panas baran dan pastinya tidak mau menerima hal ini.Apa pun tolong doakan saya agar Yesus membuka jalan dalam saya berani menegur dan menasihati bapa..Terima kasih sekali lagi semoga berkat Tuhan Yesus sentiasa berserta kita semua..

  56. Perihal iman Katolik. Kita harus jujur mengakui bahwa banyak orang Katolik malas membaca buku-buku rohani sebagai penambah iman mereka. Banyak yang beranggapan kalau sudah rosario sudah mantap dan aman. Doa memang harus menjadi nafas hidup kita. Tapi jangan lupa untuk terus mencari dan mencari tentang kebenaran yang hakiki. Walau kita memiliki iman Katolik, tapi iman itu harus berdiri di atas batu padas /batu karang, sehingga kalau dilanda banjir atau puting beliung tetap kokoh kuat. Harus diakui pula banyak orang Katolik yang jajan di tempat lain, karena yang dicari adalah “kotbah-kotbah”, atau nyari puji-pujian yang syahdu atau mencari ritual-ritual lainnya. Pada hal kalau mau mendalami iman Katolik baik melalui bacaan Kitab Suci, Tradisi, serta Magisterium, luar biasa. Membaca Kitab Suci dan mau merenungkan dengan baik (katakan lectio divina), luar biasa bagusnya. Dan puncak iman kita adalah “Ekaristi”. Namun pemahaman tentang Ekaristi saja banyak orang yang tidak paham dengan baik. Lihat saja orang mau pergi ke gereja seperti mau pergi ke mall, atau pergi ke sawah. Mereka tidak melihat Ekaristi sebagai puncak iman Kristiani di mana Yesus sungguh hadir. Mereka pergi ke gereja hanya sekedar memenuhi kewajiban rutin. Maka jika dimaknai seperti ini, selain iman tidak bertumbuh, Ekaristi hany dilihat sebagai ritual belaka. Dalam http://www.katolisitas.org banyak dikupas, tapi kan banyak orang masih belum melek mengenai informasi seperti ini.

    Yah, ini sekedar sharing, mari kita kembangkan iman Katolik dengan mencari dan mencari kebenaran yang sejati. Jangan pernah merasa puas dengan pengetahuan iman Katolik yang sudah anda miliki. Banyak hal belum kita ketahui.

    Tuhan berkati.

    Jus S

  57. malam romo,
    saya seorang katholik selama 3thn ini saya menjalin hubungan dengan laki2 muslim yang seorang duda cerai. Yang ingin saya tanyakan apakah benar secara illahi pacar saya itu masih terikat dengan mantan istrinya,dan untuk melepaskan ikatan itu bila kami mau menikah nantinya maka ia harus dibaptis secara katholik. Jujur saya baru saja mengetahui hal ini,karna setau saya pernikahan antara katholik dengan islam sudah diperbolehkan,itulah alasan mengapa saya terus melanjutkan hubungan tersebut. Saat ini kami sedang meencanakan pernikahan,dan saya sungguh terpukul mendengar hal tersebut,karena bukan hal yg mudah untuk mengajak seseorang untuk pindah agama. Saya mohon bantuannya romo untuk menjelaskan mana yg sebenarnya sehinga saya bisa mengambil langkah yg terbaik secepatnya.
    tolong ya romo,, terimakasih

    • Clara Yth

      Simak baik-baik penjelasan ini agar anda tidak merasa terpukul. Setiap perkawinan campur beda agama atau beda Gereja, Gereja selalu berusaha untuk melindungi umatNya yang Katolik agar tidak murtad dan keluar dari pangkuannya. Maka ada sebuah perjanjian di bawah sumpah bahwa dia (pihak yang Katolik) harus menjauhkan diri dari segala bahaya yang dapat meninggalkan imannya, misalnya tidak pernah ke gereja bahkan tidak boleh ke gereja oleh pasangannya, tidak boleh berdoa dll. Kedua, berjanji agar anaknya sekuat tenaga dididik secara Katolik, syukur dapat dibaptis secara Katolik. Hal yang lain, menikahi orang yang sudah memiliki pasangan itu halangan yang menggagalkan perkawinan (tidak sah tidak diperkenankan Gereja). Maka sebaiknya carilah pasangan yang berstatus liber/ bebas dari ikatan, artinya masih bujangan. Kalau mau menikah dengan orang yang masih ada ikatan perkawinan maka harus minta kemurahan hati dari Paus atau Uskup. Hanya Paus dan Uskup yang memiliki kewenangan memutuskan ikatan rohani dari perkawinan natural (kodrati) seperti Islam dengan Islam atau perkawinan campur. Prosesnya ada interogasi panjang dirimu dan pasanganmu. Kalau pihak non Katolik dalam interogasi mau menjadi Katolik nah ini ada kans untuk mendapat kemurahan (harap dimengerti); tetapi kalau tidak, maka harus ada alasan lain sehingga dapat menjadi kekuatan secara moral pemutusan hubungan perkawinan yang kodrati pihak Islam dengan pasangannya terdahulu. Harap dengan ini menjadi jelas. Anda sebaiknya berpikir kembali tentang menikahi seseorang yang masih ada ikatan perkawinan, karena pasti ini halangan dalam perkawinan kanonik.
      Terimakasih.

      salam
      Rm Wanta, Pr

      • makasih romo untuk penjelasannya. Semoga Tuhan menunjukan jalan yang terbaik bagi hubungan kami berdua.

  58. salam hangat,
    saya seorang ibu saya punya satu masalah dan saya mohon bantuan dari Romo. tahun 2001 saya menikah katolik tapi belum ada 2 tahun saya berpisah dengan suami. suami saya juga katolik, tapi dalam pertengkaran kami waktu itu dia bilang bahwa menikahi saya hanya untuk balas dendam saja. apakah perkawinan saya dapat dibatalkan dan sampai sekarang saya sudah hidup terpisah hampir 7 tahun. saya bingung bagaimana nasib perkawinan saya ini.

    • Rika Yth
      Dapat atau tidaknya perkawinan dianulir/ dinyatakan tidak tercipta perkawinan dalam Gereja Katolik harus dibuktikan di dalam lembaga yang disebut Tribunal Perkawinan. Seperti yang telah disampaikan oleh Stef dan Ingrid dalam http://www.katolisitas.org bahwa bila anda memulai perkara perkawinan hendaknya mencantumkan asal domisili anda. Maka saya anjurkan mulai mengajukan persoalan ini di Tribunal dimana anda diteguhkan perkawinan. Ceritakanlah semua peristiwa perkawinan anda dalam libellus (surat permohonan), dan nanti akan diproses oleh Tribunal perkawinan keuskupan dimana anda mengirimkan perkara ini. Demikian anjuran saya, semoga anda menemukan kebaikan dan kesejahteraan dalam hidup. Berkat Tuhan.

      salam
      Rm Wanta, Pr

  59. Rama,
    Bagaimana hukumnya jika seorang Katolik tetap menaati perintah Gereja Katolik, dalam arti menerima sakramen ekaristi secara teratur dan pada hari minggu juga mengikuti misa di Gereja Katolik, tetapi kadang-kadang juga mengikuti kebaktian lingkungan aliran Kristen yang lain sebagai konsekuensi dari faktor pekerjaan, pertemanan, kekerabatan, atau sebagai selingan semata? Apakah hal ini bisa dianggap sebagai dosa apabila dalam kebaktian tersebut, pemimpin kebaktian juga tidak mempersoalkan pesertanya berasal dari gereja mana? Apakah hal ini bisa dianggap sebagai gerakan eikumene? Terima kasih.

    • Andryhart Yth.

      Gerakan ekumene ada 3 aspek: Iman (teologi), Liturgi/doa dan Sosial Kemasyarakatan. Dalam hal iman domain ini wilayahnya para magister Gereja, bukan kita umat awam. Untuk liturgi/doa bisa dilakukan dimana setiap tgl 18-25 Jan liturgi Gereja melakukan ibadat bagi persatuan umat kristen. Yang lebih baik adalah karya sosial kemasyarakatan, yang sering digunakan dalam bentuk aktivitas sosial di hari raya Natal Paskah dll. Untuk seorang katolik yang ikut liturgi/ibadat ekumene tetap harus mengingat bahwa iman Katolik berbeda dengan Kristen Protestan dan denominasi lainnya. Maka ibadatnya harus mendapat persetujuan dari Ordinaris (Uskup atau Rama). Kalau hanya sesekali datang ibadat tidak apa-apa. Namun, sekali lagi tapi harus hati-hati dalam ibadat ekumene. Soal iman dan perayaan iman dalam liturgi/ibadat harus berkonsultasi dengan ordinaris. Secara hukum, gerakan ekumene baik dan dianjurkan pimpinan Gereja namun harus dilihat dalam iman dan perayaannya, lebih aman dalam karya sosial kemasyarakatan.
      Semoga bermanfaat.
      Salam Rm Wanta/Pr

      • Yth Andryhart,
        Saya tergerak ingin ikut men-share pengalaman saya. Mohon koreksi dari Romo Wanta jika ada pandangan saya yang salah.
        Menurut saran saya jika kita belum sungguh memahami ajaran dan doktrin gereja Katolik, hindari ikut aktif dalam kebaktian2 atau persekutuan2 doa Eukumene. Di lingkungan keluarga dan teman saya ada beberapa yg akhirnya menyeberang pagar dengan alasan yg klise “itu2 juga” : iman saya tidak bertumbuh di gereja Katolik, saya merasa kering, saya merasa baru mengenal Tuhan sejak ikut kebaktian di gereja anu, hati saya baru tersentuh, dll. Romo Wanta diatas mengingatkan bahwa iman Katolik kita berbeda dengan kristen Protestan, namun masalahnya kadang2 kita cuma taunya berbeda dalam lapis kulit luar, dalam hal gaya liturgi, gaya doa/devosi, lagu2,dll.. kita banyak yang belum dididik utk tau perbedaan yg menyangkut pokok2 doktrin penting antara gereja Katolik dgn gereja2 lain.
        Didalam persekutuan2 doa eukumene kita bisa mendengar kesaksian2, khotbah2 dan pandangan2 teologi yang berbeda, masalahnya adalah bagaimana kita tau hal tersebut berbeda jika kita sendiri sebenarnya tidak memahami doktrin gereja kita sendiri?.
        Kita cuma taunya hapal doa2 di gereja, doa2 Salam Maria, Apostle Creed (Syahadat) tanpa memahami arti dan isi sesungguhnya. Sewaktu muda saya pernah mengalami kebimbangan iman, bermula dari “serangan” pertanyaan saudara dan teman tentang konsep Sola Scriptura (Hanya Kitab Suci),dan dilanjutkan dengan pandangan ttg Maria, Sakramen Ekaristi, serta issue2 lain yang belum pernah saya pelajari secara mendalam di gereja Katolik sendiri, akhirnya menggiring saya utk meragukan kebenaran doktrin gereja Katolik. Dalam setiap kebaktian 2-3 jam saya mendengarkan khotbah dan pengajaran yg amat “entertaining” dan terasa amat memberi asupan pengetahuan rohani saya. Disinilah titik bahayanya.
        Saya amat menyarankan kita semua mulai memperdalam pemahaman kita ttg gereja Katolik, jangan terlalu bergantung pada sarana2 yang ada di paroki semata.
        Misa mingguan gereja Katolik di gereja adalah berbentuk perayaan Sakramen dan Liturgis, sedangkan gereja2 Protestan sbgn besar menekankan pada Khotbah. Lihat saja namanya saja sudah berbeda, yang satu disebut MISA (Holly Mass), sedangkan yg lainnya disebut Kebaktian, Persekutuan Doa, dll. Sangat sangat penting kita memahami makna dan tujuan kita mengikuti misa di gereja Katolik, ini bukan Kebaktian, KKR, atau apapun bentuk lainnya. Tanpa pemahaman ini kita akan mudah menggiring preferensi pikiran dan pikiran kita pada usaha memenuhi kepuasan daging semata. Yg kita cari nantinya bukan mencari dan memahami Tuhan, namun mencari “hiburan” rohani yg bersifat instant, euforia pertobatan sesaat, karunia2 mukjijat atau tanda2 jamahan, dll yg semuanya hanya untuk memenuhi tuntutan preferensi kemanusiaan kita. Sadarkah kita bahwa yang kita cari dan utamakan adalah “menyenangkan dan memuaskan naluri dan hati kita, bukan mendahulukan, menyembah dan meninggikan Allah?”
        Kalau kita tidak memahami arti/makna misa ekaristi, biasanya didalam gereja kita akan cuma bengong, melamun terkantuk-kantuk saat homili yang cuma 15-20 menit, kita juga tidak mengerti makna setiap ucapan doa standar/baku yang terus menerus kita ucapkan saat misa. Tahukan kita bahwa seluruh prosesi misa mulai dari kita masuk ke gereja, mengambil air suci,membuat tandasalib, berlutut, hingga pemberkatan di akhir misa, semuanya itu sangat alkitabiah. Setiap gerakan, doa, lagu, dll mempunyai makna yang amat mendalam, saat itu kita sungguh2 menyembah dan memuji Tuhan yang sungguh hadir, hanya bisa kita hayati jika kita sudah mengerti apa sesungguhnya yang sedang kita lakukan dan dengar.
        Secara pribadi saya meragukan kualitas dan keefektifan pelaksanaan program Katekisasi gereja Katolik yg kurang memberi porsi cukup thp pengajaran dalam bidang hal2 mendasar yang dibutuhkan umat.
        Romo, sekian sharing saya, mohon kritik dan koreksi jika saya salah.
        Shalom,
        Antonius H

        • Ingin sharing sedikit mengenai hal ini, karena kebetulan di kantor juga terdiri dari teman2 kristiani dari berbagai denominasi… Kami yang katolik seringkali diikutsertakan dalam berbagai kebaktian maupun persekutuan doa mereka…
          Semula saya berpikir it’s okay ikut kebaktian kristen toh masih dalam nama Yesus juga… Tapi setelah saya refleksikan secara pribadi maupun kelompok (dengan teman2 yang katolik juga…). Ada banyak aspek yang membuat kita berbeda dengan mereka.
          Misalnya cara kita memandang mereka yang lemah dan tidak berdaya, bagaimana cinta kasih dalam katolik juga menyentuh mereka yang yang miskin dan lemah… akhirnya saya merasa bahwa tradisi katolik kita lebih berwarna daripada gereja seberang.
          Setuju dengan Om Antonius, bahwa kita sebagai orang katolik harus memperdalam dan memperluas pemahaman kita mengenai tradisi kita sebagai orang katolik agar tidak terjebak dalam euforia rohani sesaat.
          Btw, saat ini ada salah seorang rekan kerja saya yang semula masih bimbang memilih gereja mana yang akan diikuti sudah memilih menjadi katolik karena bimbingan Yesus dan kasih Bunda Maria…

          • Dear Choco dan Andryhart,
            Buat kita semua yang sering/kadang terlibat dalam persekutuan2 doa eukumene, termasuk PDKK, saya amat menyarankan segera belajar mendalami pemahaman ttg doktrin/ajaran gereja Katolik yg sesungguhnya. Saat ini mulai ada buku2 dan bacaan yang lumayan membantu (termasuk situs Katolisitas ini).
            Dalam pengalaman saya berinteraksi dengan saudara2 saya dari gereja Protestan/Reformasi, dalam hal2 berikut kita amat berbeda dengan mereka :
            1. Konsep gereja Protestan tentang Sola Scriptura (Only the Bible) VS Sola Dei Verbum / 3 pilar Ajaran Gereja (KitabSuci tertulis, Ajaran tidak tertulis= Tradisi, dan Magisterium = Kuasa mengajar Gereja). Titik perbedaan ini membawa dampak amat luas pada hal-hal mendasar lainnya didalam ajaran, dogma, aspek2 liturgi, dll.
            2. Konsep Protestan ttg Sola Fide, Predestinasi, dan Marialogi.
            Dan beberapa konsep2 lainnya.
            Sebaiknya kita semua menyempatkan waktu mulai mendalami hal-hal tersebut diatas. Teman dari Choco yang baru masuk Katolik sebaiknya juga dibantu diberi pemahaman tentang hal2 mendasar ini jika ia belum mendapatkannya atau memahaminya secara lengkap saat katekisasi.

            Perbedaan pandangan dan ajaran mengenai hal-hal tsb sdh berlangsung berabad-abad, saya pikir kita tdk perlu menyesali sejarah dan kita yang awam tidak mampu menyelesaikannya. Yang penting kita mengerti dan tau dimana kita berdiri sesuai kepercayaan iman yang kita sudah pahami dan yakini.
            Misi pewartaan seperti yang saat ini dilakukan oleh team Katolisitas merupakan suatu Anugerah bagi kita semua, mari kita doakan semoga wadah Katolisitas ini dijaga, dikuatkan, dimampukan oleh pendampingan Allah Roh Kudus. Ditengah hiruk pikuk nya kesibukan aktivitas pimpinan Gereja, masih ada orang-orang seperti Stef, Ingrid, dan Rm Wanta yang mau menggunakan talentanya berkarya “membagikan makanan rohani” semacam ini bagi umat. Tuhan memberkati.
            Antonius H

          • Dear Pak Antonius,
            terima kasih sarannya. Saya sadar betul bahwa masih banyak sisi dalam gereja yang saya belum tahu. Oleh karena itu, ada forum-forum seperti ini sangat bermanfaat. Semula hanya ingin konseling mengenai sakramen pernikahan, tapi jadi tahu lebih banyak lagi mengenai katolik. Semoga sungguh2 menjadi berkat bagi orang lain.

        • Misa bagi saya sebagai penganut Katolik merupakan undangan Yesus sendiri untuk mengikuti perjamuan kudus yang memungkinkan umat-Nya bersatu dengan -Nya. Kebaktian bagi para penganut Kristen non-Katolik merupakan perayaan untuk memuji Yesus dan memuliakan Allah. Jadi, menurut iman saya, misa merupakan undangan dari Yesus sedangkan kebaktian merupakan undangan dari umat yang mencintai Yesus. Karena itu, ciri utama misa bukan homili dan nyanyian yang indah tetapi sakramen ekaristi yang kudus dan penuh misteri Allah. Sementara itu, ciri utama kebaktian Kristen non-Katolik adalah pembacaan injil, khotbah, nyanyian dan kesaksian. Beberapa gereja seperti Bethel dan Pentakosta juga menekankan karunia roh kudus seperti karunia berbahasa roh. Pada beberapa gereja seperti GPIB, saya juga menemukan bahwa umatnya menyebutkan syahadat yang tidak jauh berbeda dengan syahadat Gereja Katolik.

          Para remaja dan orang-orang muda, termasuk penganut Katolik yang berusia muda, sering tertarik kepada semangat yang menggebu dari saudara-saudara kita umat Kristen non-Katolik untuk memuja Allah lewat nyanyian, tarian dan khotbah yang sangat menarik atau lewat kesaksian yang bertemakan mukjizat. Sebaliknya para manula seperti saya lebih menyukai doa hening (seperti doa Yesus) dan musik lembut (musik keras tidak cocok mungkin karena perubahan gendang telinga/presbycusis pada manula) kendati saya juga masih bisa menikmati musik rohani yang bertemakan sukacita asalkan bukan rock. Carmel merupakan salah satu jalan keluar bagi mereka yang menyukai musik, tarian dan sekaligus doa meditatif-kontemplatif dengan nilai lebih: Sakramen Mahakudus.

          Saya kadang-kadang mengikuti kebaktian Kristen non-Katolik karena tuntutan pekerjaan yaitu memberikan penyuluhan kesehatan seperti HIV-AIDS dan pengobatan gratis kepada seluruh masyarakat termasuk umat Kristen non-Katolik. Kadang-kadang kegiatan ini diselingi dengan kebaktian. Jadi, saya nikmati saja seperti menikmati jajan di luar yang mungkin kurang sehat bila dibandingkan makanan di rumah, asalkan jajan luar tidak menjadi kebiasaan. Memang benar pendapat sdra Antonius, kita harus belajar Injil, sejarah gereja dan ajaran gereja Katolik sehingga iman kita tidak terombang-ambing karena ajaran lain. Untuk itu, saya akan banyak bertanya kepada pengasuh http://www.katolisitas.org di samping memperoleh informasi dari milis KTM yang merupakan kelompok saya. Tuhan memberkati anda.

        • Ytks Antonius,
          saya sependapat dengan Bpk. Antonius. Sepertinya memang perlu di review materi dan cara mengajar di katekisasi kita. Sering kali orang yang sudah katekisasi masih sangat minim pengetahuannya mengenai ajaran Gereja. Bahkan, saya pernah bertemu dengan seorang yg sudah cukup senior (usia) dan aktif di lingkungan (bahkan pernah menjadi ketua lingkungan) ternyata dia tidak tahu bahwa Alkitab kita berbeda dengan Alkitab Protestan. Dia tidak tahu bahwa Alkitab kita ada deuterokanonikanya sedangkan Alkitab Protestan tidak ada. Dan mungkin perlu juga ditinjau lagi pembekalan apalagi yang mestinya diberikan kepada warga baru, yaitu orang yg baru saja menerima Sakramen Baptis. Sekarang seolah-olah setelah orang tersebut menerima Sakramen Baptis kemudian “dilepas” begitu saja, tanpa pembinaan lagi. Memang disini diperlukan kemandirian dan kesadaran diri sendiri untuk mencari/memperdalam iman katholiknya sehingga tidak terus “disuapi” oleh orang lain. Menurut informasi yang saya dengar pada jaman dahulu ada ajaran tentang apologetik di gereja kita, namun sepertinya sekarang sudah tidak ada lagi. Saya tidak tahu apa alasannya mengapa hal itu tidak diadakan kembali. Apakah karena ada efeknya terhadap kerukunan bermasyarakat dengan umat Kristen non Katholik lainnya atau apa saya tidak tahu. Saya justru merasa bahwa dengan apologetik ini bisa menguatkan dan mempertebal iman katholik kita. Ini adalah salah satu contoh saja. Kehadiran web site ini juga sangat positif untuk memperdalam dan mengerti iman katholik.

  60. Rama yang terkasih dalam Yesus Kristus,

    Saya sebagai pasangan orangtua yang beragama Katolik (kendati isteri saya berasal dari Gereja Bethel yang kemudian permandiannya disahkan oleh pastor pada saat kami mendapat sakramen pernikahan) merasa berdosa ketika salah seorang anak saya menjadi pengikut gereja bukan Katolik dan kemudian ketika menikah dengan pacarnya yang juga bukan Katolik, mereka memilih pemberkatan dari pendetanya di gerejanya. Anak saya beralasan bahwa agama merupakan hak azasi setiap orang sehingga orangtua sekalipun tidak mempunyai hak untuk melarang anaknya dalam memilih agamanya. Untuk keadaan seperti ini, apakah ketidakberhasilan saya dalam mengarahkan dan membimbing anak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik merupakan dosa yang perlu saya akui dalam sakramen tobat? Bukankah pihak sekolah Katolik yang mendidik anak saya turut bertanggung jawab atas kegagalan ini mengingat anak saya itu juga saya sekolahkan di sekolah Katolik? Terima kasih Rama atas pencerahannya. Berkah dalem.

    • Andryhart Yth.

      Saya dapat merasakan betapa sedih dan kecewanya sebagai orang tua kalau anaknya tidak mengikuti kehendak orang tuanya dan berpindah agama. Benar bahwa tugas dan tanggungjawab orang tua adalah mendidik anak dan tentu sesuai ajaran agama Katolik. Zaman ini harus dicermati dengan sungguh karena pengaruh lingkungan kita tidak mampu lagi mendidik anak dan kita lengah sehingga lingkungan di mana teman sebaya anak sangat berpengaruh dalam pendidikan iman anak. Benar juga ada kebebasan beragama namun itu tidak bisa menjadi alasan untuk tidak mendidik anak kita sesuai ajaran Katolik di mana orang tua beragama Katolik. Sekolah hanyalah tempat pendidikan namun tidak semua pendidikan itu diserahkan pada sekolah. Kita orang tua tetap bertanggungjawab, maka bisa dikategorikan dosa juga jika kita lalai dan menyerahkan sepenuhnya pada sekolah pendidikan iman anak. Kadang kita juga menyerahkan pendidikan pada sekolah minggu, TV, lingkungan, kelompok dll, semuanya itu hanya peran sampingan, tetapi sebaiknya tetap diingat bahwa orang tua berperan pokok dalam pendidikan iman anak. Sekolah Katolik memang harus juga berbenah diri agar ciri khas kekatolikan nampak dalam pendidikan iman anak. Inilah tantangan kita bersama. Maka sekarng doakanlah anak bapak -ibu dan hubungan batin dan kekeluargaan hendaknya tetap dipelihara, suasana doa dan iman Katolik tetap dipelihara, semoga dia ingat dan sadar dan kelak bisa kembali ke pangkuan bapak dan ibu orang tuanya. Tuhan memberkatimu.

      Salam
      Rm Wanta

      • dari tanggapan yang romo berikan, saya mau bertanya adakah konsekuensi yang harus diterima dari pihak katholik apabila ia gagal mendidik anaknya masuk katholik ( misal yang katholik tidak boleh menerima komuni, yang katholik tidak boleh menjadi lektor, diakon atau aktivitas lainnya)-terima kasih

        • Ben Yth

          Tidak ada hukuman dalam bentuk larangan kepada umat Katolik yang gagal mendidik anaknya secara Katolik. Secara moral keluarga yang gagal mendidik anaknya secara Katolik sudah merasa terhukum dan berdosa di hadapan Allah. Jadi tidak ada larangan seperti anda sampaikan tidak boleh komuni dll.
          Semoga bermanfaat. Tuhan memberkatimu.

          salam
          Rm Wanta, Pr

  61. romo, maaf saya ingin menanyakan kembali mengenai pernikahan, dimana laki2 beragama islam, dan perempuan Katolik.
    mereka akan menikah di KUA terlebih dahulu lalu menikah di gereja.
    bagaimana menurut hukum Katolik?terimakasih romo..
    lalu tolong dijelaskan lebih rinci mengenai proses menikah beda agama…
    tolong dijelaskan step by stepnya..
    tolong ya romo..
    terimakasih.

    • Shalom Monica,

      Terima kasih atas pertanyaannya. Romo Wanta juga pernah menjawab pertanyaan tentang pernikahan umat beragama Katolik dan Islam yang dilakukan di KUA disini (silakan klik). Yang jelas, pada waktu seseorang yang beragama Non-Muslim dan mengucapkan syahadat dari agama Islam, maka orang tersebut menjadi Muslim. Dan dengan demikian orang yang beragama Katolik berdosa meninggalkan Tuhan Yesus dan Gereja Katolik.

      Yang saya ingin sarankan kepada calon pengantin wanita yang beragama Katolik adalah untuk merenungkan kembali apakah benar-benar dia ingin berpindah agama karena pernikahan. Saran ini sesungguhnya didasari atas maksud baik saya sebagai saudara di dalan Kristus.

      Mungkin ada baiknya bila orang tersebut bertemu dengan pastor di parokinya, dan kemudian menceritakan permasalahan ini. Tentu saja semua keputusan ada di tangan orang tersebut. Ingrid dan saya hanya dapat mendoakan, agar orang tersebut dapat membawa permasalahan ini di dalam doa dan tidak mengambil keputusan secara terburu-buru. Pada saat seseorang berpindah agama karena alasan perkawinan atau alasan pribadi yang lain dan menempat semua itu di atas kebenaran, maka orang tersebut sebenarnya menempatkan diri sendiri lebih utama daripada Tuhan. Hal ini dapat membahayakan keselamatan kekal jiwa orang yang bersangkutan.

      Mari kita bersama-sama bawa di dalam doa, saudari kita yang sedang mengalami pergumulan ini, sehingga Roh Kudus membimbingnya untuk memutuskan segala sesuatu yang sesuai dengan kehendak Tuhan.

      Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
      stef

      • Tambahan informasi juga, untuk pasangan bisa dinikahkan di KUA, bukankah keduanya harus beragama Islam?? Atau paling tidak pasangan yang non muslim harus mengucapkan dua kalimat syahadat yang artinya sudah menjadi mualaf…

    • Monica yth,

      1. Menikah pihak katolik dengan islam di KUA tidak diperkenankan oleh Gereja Katolik apalagi dua kali peneguhan. 2. Menurut hukum GK jelas sudah saya sampaikan harus didepan Imam Katolik dan dua saksi, dan meminta dispensasi beda agama dari Uskup. 3. Prosedurnya menghadap Pastor Paroki nanti akan diberi lembaran untuk proses kanonik bagi katolik dan lembaran lain untuk mendapat penjelasan perkawinan beda agama. Pasti romo Paroki tahu maka datanglah pasangan yang mau menikah ke pastoran paroki (sekretariat Paroki) dengan membawa berkas dokumen: akta kelahiran, status belum nikah dari kelurahan, foto berdua, keterangan kesehatan, KTP, surat Baptis pihak Katolik. Hal yang lain akan diberikan saat bertemu di sekretariat paroki. Semoga bermanfaat.

      salam Rm Wanta, Pr

  62. Romo Wanta Yth, Saya punya sahabat dari sebuah paroki di Surabaya. Katanya, diparoki sering kali terjadi pernikahan 2 orang katolik yang dilaksanakan di Gereja Kristen Indonesia dan dihadapan pendetanya. Kabarnya, romo paroki menganggap pernikahan itu sah dan sakramentali. Buktinya, saat berlangsungnya pernikahan itu ada saksi dari gereja katolik yang memang diutus oleh romo paroki. Pertanyaan saya: 1. Apakah pernikahan 2 orang katolik itu sah secara sakramental (dari kaca mata gereja katolik)? kalau ya, apa dasar hukumnya? (pasti KHK, tapi paragrap berapa?) Kalau tidak sah, apa konsekuensinya bagi pasangan tersebut dan terutama romo-romo di paroki tersebut? 2. Di paroki yang sama, terjadi kasus pernikahan oleh pria katolik dengan wanita islam yang dilakukan di masjid. Setelah akad nikah di masjid langsung diadakan pemberkatan di gereja katolik oleh romo paroki. Bagaimana pendapat romo mengenai kasus ini? kalau bisa, bagaimana prosedur yang harus dilalui oleh pria katolik ini? Apakah memang bisa langsung diadakan pemberkatan pernikahan? Terima kasih, saya tunggu jawabannya. GBU Salam, Aris

    • Aris Yth

      1) Perkawinan antar orang terbaptis entah di Katolik atau Kristen (yang diakui oleh Gereja Katolik) adalah sakramen (bdk. kan. 1055). Kasus yang anda ceritakan bisa terjadi kalau salah satu beragama Protestan karena itu dapat diteguhkan oleh Pendeta asalkan mendapat dispensasi dari forma canonica (bdk. kan. 1127). Cerita kasus anda janggal (aneh) karena semua Katolik. Kalau semua Katolik biasanya di depan Imam dan dua orang saksi dan tidak di depan pendeta. Saya khawatir berita anda tidak benar kemungkinan ada salah satu yang beragama Protestan.

      2) Perkawinan di KUA dimana salah satu pihak beragama Katolik tidak valid (tidak sah kanonik) karena hukumya setiap orang Katolik terikat pada hukum Gereja (bdk kan. 11). Maka perkawinan di KUA sah sipil tetap pihak Katolik telah melakukan pemurtadan karena pasti harus mengucapkan credonya kaum muslim. Dia berdosa karena murtad. Maka jika dia sadar di kemudian hari akan perbuatannya bisa disembuhkan/divalidasi dengan mengucapkan janji perkawinan secara kanonik (pembaruan kesepakatan bdk. kan 1156). Itulah dasar hukumnya.

      salam
      Rm Wanta, Pr

      Catatan:

      1) Kan. 1055 – § 1. Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.

      2) Kan. 1127 – § 1. Mengenai tata peneguhan yang harus digunakan dalam perkawinan campur hendaknya ditepati ketentuan-ketentuan kan. 1108; tetapi jikalau pihak katolik melangsungkan perkawinan dengan pihak bukan katolik dari ritus timur, tata peneguhan kanonik perayaan itu hanya diwajibkan demi licitnya saja; sedangkan demi sahnya dituntut campur tangan pelayan suci, dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan lain yang menurut hukum harus ditaati.
      § 2. Jika terdapat kesulitan-kesulitan besar untuk menaati tata peneguhan kanonik, Ordinaris wilayah dari pihak katolik berhak untuk memberikan dispensasi dari tata peneguhan kanonik itu dalam tiap-tiap kasus, tetapi setelah minta pendapat Ordinaris wilayah tempat perkawinan dirayakan, dan demi sahnya harus ada suatu bentuk publik perayaan; Konferensi para Uskup berhak menetapkan norma-norma, agar dispensasi tersebut diberikan dengan alasan yang disepakati bersama.
      § 3. Dilarang, baik sebelum maupun sesudah perayaan kanonik menurut norma § 1, mengadakan perayaan keagamaan lain bagi perkawinan itu dengan maksud untuk menyatakan atau memperbarui kesepakatan nikah; demikian pula jangan mengadakan perayaan keagamaan, dimana peneguh katolik dan pelayan tidak katolik menanyakan kesepakatan mempelai secara bersama-sama, dengan melakukan ritusnya sendiri-sendiri.

      3) Kan. 11 – Yang terikat oleh undang-undang yang semata-mata gerejawi ialah orang yang dibaptis di dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya, dan yang menggunakan akal-budinya dengan cukup, dan jika dalam hukum dengan jelas tidak ditentukan lain, telah berumur genap tujuh tahun.

      4) Kan. 1156 – § 1. Untuk konvalidasi perkawinan yang tidak sah karena suatu halangan yang bersifat menggagalkan, dituntut bahwa halangan itu telah berhenti atau diberikan dispensasi dari padanya, serta diperbarui kesepakatan nikah, sekurang-kurangnya oleh pihak yang sadar akan adanya halangan.
      § 2. Pembaruan kesepakatan itu dituntut oleh hukum gerejawi demi sahnya konvalidasi itu, juga jika pada mulanya kedua pihak telah menyatakan kesepakatannya dan tidak menariknya kembali kemudian. 

      • Romo Wanta Yth,Terima kasih atas jawabannya.

        Nyambung lagi, romo:
        1. Cerita saya tersebut benar seperti yang saya tulis itu, Romo (keduanya katolik, ikut kanonik). Kalau faktanya memang seperti itu (mungkin karena alasan ekumenis) bagaimana? Dalam kasus tersebut diatas (pernikahan 2 orang katolik di depan pendeta GKI) apakah itu merupakan sebuah pelanggaran terhadap hukum kanonik atau hanya pelanggaran moral? Ataukah sama sekali tidak ada unsur pelanggarannya?

        2. Apakah mungkin romo, jika sebelum diadakan pemberkatan, si pria katolik ini mengakukan dosanya terlebih dahulu? Supaya pemberkatan pernikahannya bisa langsung dilakukan.
        Terima kasih, romo.

        Salam,
        Aris

        • Aris Yth.
          Kalau ternyata peristiwa itu betul pihak katolik dan katolik tidak diteguhkan perkawinannya di depan Imam (pastor Gereja katolik) dan dua orng saksi, melainkan di depan pendeta maka perkawinan itu tidak sah karena cacat di forma canonica (bdk. kan 1108). Tidak ada gunanya mengaku dosa tapi kemudian melanggar aturan Gereja. Ini merupakan pelanggaran hukum, juga moral mestinya pastor paroki mengarahkan yang benar ttg peneguhan perkawinan bagi umat Katolik. Kalau anda tahu, anda juga harus mengarahkan yang benar. Terimakasih dan berkat Tuhan
          Salam Rm wanta, Pr

          Catatan:

          Kan. 1108 – § 1. Perkawinan hanyalah sah bila dilangsungkan di hadapan Ordinaris wilayah atau pastor paroki atau imam atau diakon, yang diberi delegasi oleh salah satu dari mereka itu, yang meneguhkannya, serta di hadapan dua orang saksi; tetapi hal itu harus menurut peraturan-peraturan yang dinyatakan dalam kanon-kanon di bawah ini, serta dengan tetap berlaku kekecualian-kekecualian yang disebut dalam kanon-kanon 144, 1112, §1, 1116 dan 1127, § 1-2.
          § 2. Peneguh perkawinan hanyalah orang yang hadir menanyakan pernyataan kesepakatan mempelai serta menerimanya atas nama Gereja.

      • romo, agama Kristen protestan di Indonesia sangat banyak alirannya, yang saya mau tanyakan apakah semua aliran Kristen Protestan itu (yang menyelanggarakan pembabtisan selam) pembabtisannya bisa dianggap sah secara gereja katholik? bagaimana membuktikan bahwa pembabtisan gereja kristen protestan sah di gereja katholik( ada batasan atau perlu dokumentansi tidak) dari gereja Protestan

        • Ben Yth.

          Penerimaan Sakramen Baptis dikatakan sah menurut Gereja Katolik jika memenuhi 2 syarat berikut ini yakni unsur Forma dan Materia. Unsur Forma adalah rumusan penerimaan sakramen baptis dengan mengatakan: ……..(nama baptis) Aku membatis engkau dalam nama Bapa, dan Putera dan Roh Kudus. Amin. Unsur Materia adalah menggunakan air dengan cara menuangkan di kepala (dahi) atau menenggelamkan dalam bak air pembaptisan. Untuk mengetahui pembaptisan Kristen Protestan sah atau tidak dilakukan interogasi terhadap orng yang telah menerima baptis Protestan, dengan melihat surat baptis. Gereja Katolik menerima baptisan dari agama Kristen Protestan yang termasuk PGI (pada umumnya ke dua unsur tadi memenuhi syarat)
          Semoga bermanfaat.
          salam
          Rm Wanta, Pr

          • Shalom Romo Wanta,

            Saya pernah membaca tulisan yang mengatakan bahwa ada 1 kalimat dalam doa Bapa Kami ” Janganlah masukkan kami ke dalam percobaan…” sebenarnya merupakan terjemahan yang kurang tepat (dari teks aslinya dlm bahasa Yunani). Terjemahan yang lebih pas sebaiknya adalah :
            ” Jangan biarkan kami masuk kedalam percobaan”.
            Pendapat tersebut selain didasari pada masalah terjemahan, juga pada pemahaman bahwa Allah sendiri sesungguhnya menginginkan semua orang bebas dari percobaan/dosa, Tuhan sendiri tidak bermaksud menempatkan kita dalam pencobaan. Manusia sendiri yang dalam pergumulannya antara “daging dan roh” jatuh ke dalam percobaan/dosa.
            Apakah pendapat ini benar??
            Jika benar, bagaimana dengan terjemahan kalimat dalam doa Bapa Kami tersebut??
            Mohon pencerahan Mo,..Terima kasih.
            Antonius H

          • Antonius H Yth
            Teks doa Bapa kami dalam bahasa Latin yang merupakan terjemahan dari bahasa Ibrani mengatakan demikian: "Et ne nos inducas in tentationem sed liberanos a malo atau dalam bahasa Italia "e non ci indurre in tentazione, ma liberaci dal male" artinya: dan janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat. Terjemahan lebih pas jangan masukkan kami ke dalam bukan jangan biarkan kami masuk ke dalam. Kata inducas atau indurre berarti memasukkan, membawa, membujuk bukan membiarkan seperti yang anda katakan. Semoga bermanfaat, Tuhan memberkatimu.

            salam
            Rm Wanta, Pr

            Tambahan dari Ingrid:

            Shalom Antonius H,

            Mengenai pencobaan dan ujian hidup, sudah pernah dijawab di sini (silakan klik) dan juga di sini (silakan klik). Memang mungkin orang dapat bertanya mengapa Tuhan ‘memasukkan’ kita ke dalam pencobaan. Maka itu mari kita melihat apa bedanya, pencobaan/ ujian yang Tuhan izinkan terjadi dalam hidup kita, dan pencobaan yang datang dari Iblis. Semoga keterangan di atas dapat membantu.

            Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
            Ingrid Listiati

          • Shalom Rm. Wanta,
            Bagaimana dengan katekismus 2846 : “Permohonan ini berakar dalam permohonan yang mendahuluinya, karena dosa kita adalah hasil dari persetujuan kita kepada percobaan. Kita memohon Bapa kita, supaya jangan “masukkan” kita ke dalam percobaan. Tidaklah mudah untuk mengungkapkan dalam satu kata ungkapan Yunani yang kira-kira berarti “janganlah membiarkan kami masuk ke dalam percobaan” Bdk. Mat 26:41. atau “janganlah kami dikalahkan olehnya”. “Sebab Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat dan Ia sendiri tidak mencobai siapa pun” (Yak 1:13); Ia malahan lebih banyak hendak membebaskan kita darinya. Kita mohon kepada-Nya, supaya jangan membiarkan kita berjalan di jalan yang menuju dosa. Kita berada dalam perjuangan “antara daging dan roh”. Demikianlah permohonan Bapa Kami ini memohon roh pembedaan dan kekuatan”

            Jika melihat katekismus tersebut sepertinya terjemahan yang lebih pas adalah “Janganlah biarkan kami masuk ke dalam pencobaan” bukan “Janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan” dan tidak bertentangan dengan Yak. 1:13. Apakah katekismus itu perlu diperbaiki, Mo?
            Terima kasih.

          • Shalom Chandra,
            Terima kasih atas pertanyaannya. Untuk pertanyaan tentang doa Bapa Kami, pada bagian “Jangan masukkan kami ke dalam percobaan”, maka kalau dibandingkan dengan bahasa latin “et ne nos inducas in tentationem”, sudah tepat. Hal ini dikarenakan inducas = to lead or bring in atau masukkan. Romo Wanta pernah menjawab pertanyaan ini disini (silakan klik). Yang penting adalah kita mengerti secara persis apa maksud dari kalimat ini, bahwa Allah tidak mencobai – dalam konotasi negatif. Sebaliknya kita minta agar Tuhan sendiri memberikan rahmat kepada kita agar kita dapat menang melawan segala godaan.
            Semoga dapat menjawab pertanyaan Chandra.
            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            stef – http://www.katolisitas.org

  63. shalom
    romo wanta

    mo, mau tanya mengenai adorasi sakramen mahakudus. Dalam misa pada saat imam mengkonsenkrasikan anggur dan roti, iman katolik mengimani bahwa saat itu berubah menjadi darah dan tubuh Yesus. Bagaimana pemahaman mengenai sakramen mahakudus yang ditahtakan setiap hari di tempat doa/ziarah bahwa Yesus hadir dalam rupa roti? apakah setiap hari roti tersebut di konsenkrasikan?
    makasih ya mo.

    • Martha Yth

      Adorasi sakramen mahakudus 24 jam atau tanpa henti biasanya ada pelayan khusus seorang diakon, imam atau suster yang menjaga sakramen mahakudus, dan mengganti karena tidak selamanya ditakhtakan paling lambat 15 hari harus diganti dan dikonsakrir hosti yang baru dalam perayaan ekaristi. Jadi tidak setiap hari dikonsakrir. Hosti yang ditakhtakan juga tubuh Kristus sekali lagi harus ada yang menjaga dan perlu diganti dengan hosti baru.

      salam
      Rm Wanta, Pr

    • Shalom Martha,
      Sebagai tambahan, pada saat hosti tersebut telah dikonsekrasi oleh Iman dapat perayaan Ekaristi, maka hosti tersebut telah berubah menjadi Tubuh Kristus. Dan hosti tersebut telah menjadi tubuh Kristus selama hosti tersebut mempunyai substansi sebagai hosti (roti tak beragi). Jadi pada saat Hosti yang telah dikonsekrasi ditahtakan di ruang adorasi atau tempat yang lain, maka hosti tersebut tetap adalah Tubuh Kristus, sehingga tidak perlu dikonsekrasi lagi setiap hari.
      Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
      stef

  64. malam romo..

    saya ingin menanyakan mengenai proses pertunangan di gereja dengan laki2 muslim.
    tolong dijelaskan romo, diperbolehkan atau tidak.
    dan romo, sebenarnya menikah dengan lelaki muslim di gereja boleh atau tidak?

    terimakasih.
    Monica, magelang, Jateng.

    • Monica Yth
      Pertunangan dalam Gereja Katolik merupakan bagian dalam persiapan perkawinan jangka pendek. Artinya sudah lama mereka berpacaran dan mengambil keputusan untuk serius masuk ke jenjang perkawinan. Pertunangan biasanya diikat dengan tukar cincin lambang cinta dan kesetiaan. Dalam tradisi Jawa bisa dilakukan upacara pertunangan dan Gereja juga telah mengadopsi upacara tersebut dalam liturgi pertunangan. Boleh saja pertunangan dengan orang non katolik (muslim), asal sudah dipahami bahwa perbedaan agama merupakan suatu halangan yang dapat menggagalkan perkawinan. Menikah di Gereja dengan kaum muslim merupakan kewajiban bagi pihak katolik namun harus ada kemurahan dari ordinaris untuk halangan tadi dengan meminta dispensasi atas perkawinan beda agama. Bersedia melaksanakan janji dari pihak katolik dan non katolik (baca artikel perkawinan sah-kanonik…di katolisitas.org). Konsekuensi perkawinan beda agama lebih rentan dari pada sesama seiman katolik. Demikian penjelasan saya semoga bermanfaat. Catatan pihak muslim hendaknya diberitahu ttg konsekuensi dari perkawinan dengan pihak katolik, sebaiknya ikut Kursus persiapan perkawinan

      salam
      Rm Wanta, Pr

      • Romo,
        Juni tahun 2008 kemarin saya telah bertunangan. Cuma karena orangtua saya protestan pertunangan dilakukan secara protestan dipimpin pak pendeta. Ini sudah kesepakatan keluarga kami, jadi pertunangan secara protestan (waktu itu saya belum diterima menjadi katholik) kemudian pernikahan dilakukan secara Katholik. Malam sebelum acara tersebut, pihak keluarga calon suami saya datang. Kakak tertuanya yang baru datang dari sulawesi keukeuh menyampaikan bahwa nanti tidak boleh ada pemberkatan cincin oleh pendeta. Yang saya tanyakan :
        1. Pada pertunangan secara Katholik dilakukan pemberkatan cincin kah?
        2. Apakah tidak diperbolehkan pemberkatan cincin oleh pendeta (tidak diakui)? Dalam kasus saya, sebenarnya yang bijak bagaimana ya?

        Meskipun sudah lewat dan tidak menjadi masalah namun saya ingin tau mengenai hal tersebut. Karena pada saat itu karena saking ngototnya, saudara saya agak tersinggung karena terkesan tidak mengakui pendeta. Kalau pak pendeta tidak mempermasalahkan karena memang dalam protestan tidak ada pemberkatan cincin. Inti dari pertunangan adalah bahwa kedua calon menyatakan siap menikah dan hal tersebut melibatkan dan disetujui oleh kedua belah org tua dan keluarga.
        Mohon penjelasannya.
        Terimakasih

        • Ririn Yth

          Pada saat pertunangan menurut tata cara Gereja Katolik bisa diadakan pemberkatan cincin dan tukar cincin. Pemberkatan oleh pendeta juga boleh tidak apa, banyak yang mendoakan baik juga tapi bukan peneguhan ya. Peneguhan ganda Protestan lalu Katolik atau sebaliknya tidak diperkenankan (bdk kan 1127). Sebaiknya dibicarakan bersama, saat pertunangan siapa yang memimpin misal Pendeta tapi nanti saat peneguhan perkawinan Imam Katolik. Kalau sebaliknya perlu dispensasi atas forma canonica pada Ordinaris setempat (bdk kan 1121). Menjadi bijak kalau semua diajak berbicara yang terbaik untuk semua tanpa ada yang tersakiti. Komunikasi – dialog menjadi penting. Semoga bermanfaat

          salam
          Rm Wanta, Pr

          Catatan:

          1) Kan. 1127 – § 1. Mengenai tata peneguhan yang harus digunakan dalam perkawinan campur hendaknya ditepati ketentuan-ketentuan kan. 1108; tetapi jikalau pihak katolik melangsungkan perkawinan dengan pihak bukan katolik dari ritus timur, tata peneguhan kanonik perayaan itu hanya diwajibkan demi licitnya saja; sedangkan demi sahnya dituntut campur tangan pelayan suci, dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan lain yang menurut hukum harus ditaati.
          § 2. Jika terdapat kesulitan-kesulitan besar untuk menaati tata peneguhan kanonik, Ordinaris wilayah dari pihak katolik berhak untuk memberikan dispensasi dari tata peneguhan kanonik itu dalam tiap-tiap kasus, tetapi setelah minta pendapat Ordinaris wilayah tempat perkawinan dirayakan, dan demi sahnya harus ada suatu bentuk publik perayaan; Konferensi para Uskup berhak menetapkan norma-norma, agar dispensasi tersebut diberikan dengan alasan yang disepakati bersama.
          § 3. Dilarang, baik sebelum maupun sesudah perayaan kanonik menurut norma § 1, mengadakan perayaan keagamaan lain bagi perkawinan itu dengan maksud untuk menyatakan atau memperbarui kesepakatan nikah; demikian pula jangan mengadakan perayaan keagamaan, dimana peneguh katolik dan pelayan tidak katolik menanyakan kesepakatan mempelai secara bersama-sama, dengan melakukan ritusnya sendiri-sendiri.

          2) Kan. 1108 – § 1. Perkawinan hanyalah sah bila dilangsungkan di hadapan Ordinaris wilayah atau pastor paroki atau imam atau diakon, yang diberi delegasi oleh salah satu dari mereka itu, yang meneguhkannya, serta di hadapan dua orang saksi; tetapi hal itu harus menurut peraturan-peraturan yang dinyatakan dalam kanon-kanon di bawah ini, serta dengan tetap berlaku kekecualian-kekecualian yang disebut dalam kanon-kanon 144, 1112, §1, 1116 dan 1127, § 1-2.
          § 2. Peneguh perkawinan hanyalah orang yang hadir menanyakan pernyataan kesepakatan mempelai serta menerimanya atas nama Gereja.

          3) Kan. 1121 – § 1. Seselesai perayaan perkawinan, pastor paroki tempat perayaan atau yang menggantikannya, meskipun mereka tidak meneguhkan perkawinan itu, hendaknya secepat mungkin mencatat dalam buku perkawinan nama-nama mempelai, peneguh serta para saksi, tempat dan hari perayaan perkawinan, menurut cara yang ditetapkan oleh Konferensi para Uskup atau oleh Uskup diosesan.
          § 2. Setiap kali perkawinan dilangsungkan menurut ketentuan kan. 1116, imam atau diakon yang menghadiri perkawinan itu, atau kalau tidak, para saksi, diwajibkan bersama dengan para mempelai untuk secepat mungkin memberitahukan perkawinan yang telah dilangsungkan itu kepada pastor paroki atau Ordinaris wilayah.
          § 3. Mengenai perkawinan yang dilangsungkan dengan dispensasi dari tata peneguhan kanonik, Ordinaris wilayah yang memberikan dispensasi hendaknya mengusahakan agar dispensasi dan perayaan dicatat dalam buku perkawinan baik kuria maupun paroki pihak katolik, yang pastor parokinya melaksanakan penyelidikan mengenai status bebasnya; mempelai yang katolik diwajibkan secepat mungkin memberitahukan perkawinan yang telah dirayakan kepada Ordinaris itu atau pastor paroki, juga dengan menyebutkan tempat perkawinan dirayakan serta tata peneguhan publik yang telah diikuti.

  65. Romo wanto,

    Saya mau menanyakan mengenai pengasuhan anak dari perkawinan beda agama tersebut. Pernikahan beda agama tetap ada syarat ya bahwa anak2 harus dididik menjadi katholik. Seandainya di kemudian hari ternyata anak-anak mereka tidak dididik secara katholik, apa yang dilakukan oleh gereja? Terimakasih.

    Salam,
    Ririn

    • Ririn Yth
      Berdasarkan kanon 1125 perkawinan campur, pihak katolik diminta untuk menyatakan kesediaannya menjauhkan bahaya meninggalkan iman dan berjanji bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja katolik.

      Kan. 1125 – Izin semacam itu [untuk perkawinan campur] dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah, jika terdapat alasan yang wajar dan masuk akal; izin itu jangan diberikan jika belum terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

      1) Pihak katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja katolik;

      2) mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak katolik itu pihak yang lain hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak katolik;

      3) kedua pihak hendaknya diajar mengenai tujuan-tujuan dan ciri-ciri hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya.

      Dengan pernyataan ini jelas bahwa dia berjanji di depan Imam dan saksi apalagi dengan sebuah pernyataan beserta tanda tangan, maka janji itu mengikat untuk berbuat sekuat tenaga. Jika dikemudian hari tidak melakukannya maka dia berdosa terhadap Gereja dan orang-orang yang menjadi saksi perkawian mereka. Gereja bertugas mengingatkan selalu bagi mereka yang perkawinannya campur dan memberikan pembinaan bagi keluarga kawin campur (pastoral keluarga kawin campur).
      Semoga bermanfaat.
      salam Rm Wanta, Pr

       

Comments are closed.