1. Definisi Konvalidasi Perkawinan
Konvalidasi perkawinan (marriage convalidation) artinya adalah menjadikan suatu perkawinan yang sudah ada, diakui (diberkati) oleh Gereja Katolik. Pasangan yang memohon diberikannya konvalidasi perkawinan adalah karena pasangan itu Katolik (minimal salah satu Katolik) namun menikah di luar Gereja Katolik. Ketentuan Gereja Katolik adalah agar sebuah perkawinan diakui oleh Gereja Katolik, perkawinan itu harus dilakukan di Gereja (kecuali jika sudah diberikan dispensasi ataupun izin) agar perkawinan dapat dikatakan sebagai sah dan sesuai dengan ketentuan (licit) menurut hukum Gereja Katolik.

2. Apa maksudnya diadakan Konvalidasi Perkawinan?
Di mata Gereja Katolik, jika minimal salah satu dari pasangan adalah Katolik, namun perkawinan dilakukan di luar Gereja Katolik, maka perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat untuk dikatakan sebagai perkawinan yang sah secara kanonik. Untuk memperbaiki keadaan ini, pasangan perlu menghadap pastor paroki. Pasangan perlu membuktikan bahwa mereka memasuki perkawinan yang non-kanonik itu tanpa maksud mengelabui/ mengakali. Kedua pihak perlu menunjukkan kesungguhan hati/ pertobatannya atas kesalahpahamannya dan perbuatannya yang keliru dan bahwa mereka menghendaki agar ikatan perkawinan tersebut “berlaku selamanya dan eksklusif (hanya melibatkan pasangan suami dan istri itu saja)” dan yang melaluinya mereka “dikuatkan dan sebagaimana seharusnya, dikuduskan bagi tugas- tugas dan martabat status mereka [sebagai pasangan suami istri] oleh sakramen yang khusus” (KHK Kan. 1134). Inilah maksud diadakannya konvalidasi perkawinan.

Konvalidasi perkawinan ini ada, karena Gereja Katolik sangat menjunjung tinggi makna perkawinan yang merupakan penggambaran kasih Kristus kepada Gereja-Nya. Karena itu, pasangan yang menikah selayaknya mengesahkan perkawinan mereka menurut ketentuan Gereja yang digambarkannya, agar mereka sungguh mengambil bagian dalam memberikan kesaksian kepada dunia akan ikatan kasih Kristus kepada Gereja, yang sifatnya monogam dan tak terceraikan. Dengan disahkannya perkawinan menurut ketentuan Gereja Katolik, maka pihak yang Katolik dapat kembali menerima sakramen-sakramen Gereja.

3. Di hadapan siapa konvalidasi perkawinan diadakan?
Di hadapan imam, sebagai wakil Gereja. Jika imam (pastor paroki) mempercayai maksud pasangan dan jika tidak ada halangan lain yang belum dibereskan, maka ia mempunyai hak dan dapat memberikan dispensasi dan mengesahkan perkawinan tersebut, sehingga perkawinan dapat dikatakan sebagai sah dan memenuhi ketentuan (licit).

4. Konvalidasi Perkawinan menurut Kitab Hukum Kanonik 1983:

Kitab Hukum Kanonik menyebutkan tentang konvalidasi sebagai berikut:

KHK Kan. 1156

§ 1 Untuk konvalidasi perkawinan yang tidak sah karena suatu halangan yang bersifat menggagalkan, dituntut bahwa halangan itu telah berhenti atau diberikan dispensasi dari padanya, serta diperbarui kesepakatan nikah, sekurang-kurangnya oleh pihak yang sadar akan adanya halangan.

§ 2 Pembaruan kesepakatan itu dituntut oleh hukum gerejawi demi sahnya konvalidasi itu, juga jika pada mulanya kedua pihak telah menyatakan kesepakatannya dan tidak menariknya kembali kemudian.

Kan 1157

Pembaruan kesepakatan itu harus merupakan suatu tindakan kehendak baru terhadap perkawinan, yang oleh pihak yang memperbarui diketahui atau dikira sebagai tidak sah sejak semula.

Kan 1158

§ 1 Jika halangan itu publik, kesepakatan harus diperbarui oleh kedua pihak dalam tata peneguhan kanonik, dengan tetap berlaku ketentuan Kanon 1127 § 2.
§ 2 Jika halangan itu tidak dapat dibuktikan, cukuplah bahwa kesepakatan diperbarui secara pribadi dan rahasia, dan itu oleh pihak yang sadar akan adanya halangan, asalkan pihak yang lain masih bertahan dalam kesepakatan yang pernah dinyatakannya, atau oleh kedua pihak, jika halangan itu diketahui oleh keduanya.

Kan 1159

§ 1 Perkawinan yang tidak sah karena cacat kesepakatannya, menjadi sah jika pihak yang tidak sepakat sekarang telah memberikannya, asalkan kesepakatan yang diberikan oleh pihak lain masih berlangsung.
§ 2 Jika cacat kesepakatan itu tidak dapat dibuktikan, cukuplah kalau pihak yang tidak memberikan kesepakatan itu secara pribadi dan rahasia menyatakan kesepakatannya.
§ 3 Jika cacat kesepakatan itu dapat dibuktikan, perlulah bahwa kesepakatan itu dinyatakan dalam tata peneguhan kanonik.

Kan 1160

Perkawinan yang tidak sah karena cacat tata peneguhannya, agar menjadi sah haruslah dilangsungkan kembali dengan tata peneguhan kanonik, dengan tetap berlaku ketentuan Kanon 1127 § 2.

Kan 1161

§ 1 Penyembuhan pada akar suatu perkawinan yang tidak sah ialah konvalidasi perkawinan itu, tanpa pembaruan kesepakatan, yang diberikan oleh otoritas yang berwenang; hal itu mencakup dispensasi dari halangan, jika ada, dan dispensasi dari tata peneguhan kanonik, jika hal itu dulu tidak ditepati, dan juga daya surut efek kanonik ke masa lampau.
§ 2 Konvalidasi terjadi sejak saat kemurahan itu diberikan; sedangkan daya surut dihitung sejak saat perayaan perkawinan, kecuali bila secara jelas dinyatakan lain.
§ 3 Penyembuhan pada akar jangan diberikan, kecuali besar kemungkinannya bahwa pihak-pihak yang bersangkutan mau bertekun dalam hidup perkawinan.

Kan. 1127

§ 2 Jika terdapat kesulitan-kesulitan besar untuk menaati tata peneguhan kanonik, Ordinaris wilayah dari pihak katolik berhak untuk memberikan dispensasi dari tata peneguhan kanonik itu dalam tiap-tiap kasus, tetapi setelah minta pendapat Ordinaris wilayah tempat perkawinan dirayakan, dan demi sahnya harus ada suatu bentuk publik perayaan; Konferensi para Uskup berhak menetapkan norma-norma, agar dispensasi tersebut diberikan dengan alasan yang disepakati bersama.

4 COMMENTS

  1. Pastor paroki kami mengatakan bahwa untuk proses convalidatio tidak perlu dilakukan penyelidikan kanonik. Benarkah demikian? Jika memang benar, bagaimana kalau ada halangan nikah? Jika tidak benar, saya mohon sarannya bagaimana menyampaikannya ke pastor paroki kami. Terima kasih atas jawabannya.

    • Lidwina Yth,

      Pada umumnya proses convalidatio disebabkan karena suami istri melangsungkan perkawinan secara sah sipil namun tidak secara kanonik. Maka perlu convalidasi pengesahan biasa agar perkawinannya sah kanonik. Oleh karena itu, meskipun dia sudah menikah, demi pencatatan dokumen di dalam Paroki maka perlu mengisi penyelidikan kanonik untuk mencatat adanya halangan dan nanti dilampirkan untuk permohonan dispensasi/izin bagi halangan yang ada ke Ordinaris untuk dapat dengan sah pengesahan biasa. Syarat convalidatio adalah tidak adanya halangan, jika ada maka perlu mendapat jalan pemecah halangan dengan kuasa yang dimiliki ordinaris. Misalnya beda agama dengan dispensasi atau beda gereja dengan izin ordinaris.

      salam
      Rm Wanta

  2. Tentang konvalidasi perkawinan katolik sudah cukup mencerahkan, akan tetapi bagaimana hukum kanonik gereja katolik jika ada perkawinan yang sudah sah secara katolik seorang dari pasangan menghianati kesepakatan perkawinannya, bahkan makin jahat dengan menikah siri (islam), secara sembunyi, kemudian sudah tercium oleh pasangan yang dihianati dan dilaporkan ke Tribunal keuskupan setempat. Sesungguhnya kejadian ini sangat banyak . Sikap gereja seharusnya menyikapinya? Hotbah-hotbah sajakah di Gereja, atau ada tahapan lainnya secara proaktif. Terima kasih.

    • Shalom Fina,

      Pertama-tama, perlu kita sadari bersama, bahwa dasar ajaran Gereja Katolik tentang perkawinan adalah dari Sabda Tuhan dalam Kitab Suci. Dan tentang hal ini, Gereja Katolik tidak mempunyai kuasa untuk mengubahnya. Yesus menghendaki perkawinan itu adalah satu kali untuk selamanya antara seorang pria dan wanita, sebagaimana diajarkannya dalam Mat 19:5-6, seperti telah difirmankan oleh Allah sejak awal mula dalam Kej 2:24. Maka jika suatu perkawinan telah sah dinyatakan di hadapan Allah dan Gereja, maka perkawinan tersebut tidak terceraikan. Ini bukan hanya urusan khotbah-khotbah saja yang tanpa dasar, tetapi ini adalah kehendak Tuhan.

      Nah, adakalanya memang suatu perkawinan tidak memenuhi syarat untuk dikatakan sebagai perkawinan yang sah sejak awal mula. Ada tiga hal yang menyebabkan suatu perkawinan dapat dikatakan tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai perkawinan yang sah. Tentang hal ini sudah pernah dibahas di artikel ini, silakan klik. Jika suatu perkawinan yang telah diteguhkan ternyata memiliki halangan atau cacat ini terjadi sebelum ataupun pada saat perkawinan itu diteguhkan, maka pasangan dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan kepada pihak Tribunal. Sedangkan kalau kasus perselingkuhan baru terjadi setelah perkawinan telah sah diteguhkan di hadapan Allah dan Gereja, maka perkawinan tersebut tidak dapat dibatalkan.

      Maka jika ada kasus seorang yang pernah menikah diam-diam sebelum ia menikah secara Katolik (yang karena ketidakjujurannya dalam proses kanonik hal ini tidak disampaikan, sehingga tidak diketahui oleh pihak Romo maupun pasangannya), maka pasangan yang tertipu itu berhak mengajukan permohonan pembatalan perkawinan kepada Tribunal Keuskupan di mana perkawinan diteguhkan. Namun jika perselingkuhan itu baru terjadi setelah menikah secara sah menurut hukum Gereja Katolik, maka Gereja tidak dapat membatalkannya. Sebab, “apa yang telah dipersatukan Allah tidak dapat dicerikan oleh manusia” (Mat 19:6).

      Memang berat kenyataan yang harus dihadapi oleh seseorang, jika pasangannya tidak setia. Walau kesalahan jelas ada di pihak yang tidak setia, namun ada kalanya hal ini juga melibatkan adanya kekurangan ataupun kesalahan dari pihak pasangannya, sebab masalah perkawinan umumnya melibatkan kesalahan dari kedua belah pihak. Betapapun berat ujian hidup yang dialami oleh pihak yang ditinggalkan, namun bukannya tidak mungkin, oleh ketaatannya berdoa dan memegang janji perkawinan yang pernah diucapkannya di hadapan Tuhan, pasangan yang tidak setia itu kelak dapat kembali kepadanya. Memang hal ini tidaklah mudah, tetapi tiada yang mustahil bagi Allah, untuk menolong dan membukakan jalan bagi mereka yang menaruh harap kepada-Nya. Ada baiknya pihak yang ditinggalkan ini menceriterakan masalah perkawinannya kepada pihak imam/ Romo paroki, sehingga sedapat mungkin memperoleh bimbingan dan dukungan doa dari Romo.

      Dalam perkawinan Katolik, istri yang ditinggal pergi suaminya, asalkan ia tidak menikah lagi, akan tetap dapat menerima Komuni kudus. Ia tetap dapat mengikuti kegiatan gerejawi di paroki, dan komunitasnya tersebut justru perlu mendampingi dan menunjukkan kasih dan perhatian kepadanya. Semoga dengan bantuan rahmat Tuhan, dukungan doa dan kasih persaudaraan dari sesama saudara seiman, ia dapat menghadapi kehidupan ini dengan iman dan pengharapan yang teguh bahwa kesetiaannya menjalankan kehendak Tuhan akan menghasilkan buah yang baik, baik bagi kehidupannya sekarang di dunia ini maupun di kehidupan yang akan datang.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

Comments are closed.