Memang agak sulit kita memperoleh pemahaman yang sempurna akan EENS, jika kita hanya membaca tulisan para Bapa Gereja di zaman abad-abad awal saja, atau di zaman St. Agustinus saja, tanpa melihat perkembangan pemahaman tersebut selanjutnya di dalam sejarah Gereja. Sebaliknya, kita tidak dapat memutuskan hubungan antara ajaran Gereja Katolik yang kita ketahui sekarang tentang EENS dengan ajaran para Bapa Gereja sejak abad-abad awal tentang hal ini. Walaupun dalam Katekismus, EENS ini dirumuskan secara berbeda, namun prinsipnya tetap sama dengan yang diajarkan oleh Gereja abad-abad awal yaitu bahwa:
1. Keselamatan hanya diperoleh melalui Kristus, sebab Kristuslah Jalan, Kebenaran dan Hidup (Yoh 14:6), yang oleh-Nya manusia sampai kepada Allah Bapa.
2. Allah Bapa menghendaki agar semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran (1Tim 2:4).
3. Gereja diberikan kuasa untuk mengajar dan membaptis (lih. Mat 28:19-20) dengan air dan Roh (Yoh 3:5) agar melaluinya orang diselamatkan/ memperoleh hidup yang kekal.
Atas dasar prinsip-prinsip ini, banyak Bapa Gereja abad-abad awal sampai zaman St. Agustinus, dan bahkan sesudahnya, yang merumuskan, “Tidak ada keselamatan di luar Gereja Katolik”/ Extra Ecclesiam Nulla Salus (EENS). Namun sebenarnya pengertiannya adalah bahwa karena keselamatan diperoleh melalui Kristus, maka keselamatan itu diperoleh melalui Gereja Katolik, karena Gereja Katolik adalah Tubuh Kristus yang tidak terpisahkan dari Kepala-Nya yaitu Kristus, yang masih terus berkarya di dunia sampai sekarang.
Sekarang tentang apakah para Bapa Gereja abad-abad awal mengajarkan adanya kemungkinan diselamatkan orang-orang yang bukan karena kesalahannya sendiri tidak mengenal Kristus dan Gereja-Nya? Jawabnya: Ya, seperti pada orang-orang benar yang hidup sebelum zaman Kristus; dan kepada orang-orang yang belum mengenal Kristus, yang pada akhirnya akan juga menerima Dia dan bergabung dalam bilangan umat-Nya. Contoh kutipannya adalah berikut ini:
1. St. Yustinus Martir (100-167) mengajarkan adanya kemungkinan diselamatkan orang-orang yang tidak memperoleh kesempatan mengenal Kristus, karena mereka hidup sebelum zaman Kristus:
“Karena setiap orang akan diselamatkan sesuai dengan kebajikannya, maka saya menyatakan bahwa mereka yang menaati hukum Musa akan juga dapat diselamatkan. Mereka yang wajib menaati hukum Musa akan menemukan di dalamnya tidak hanya ketentuan-ketentuan yang dibuat demi kekerasan hati manusia, tetapi juga ketentuan-ketentuan yang dengan sendirinya baik, kudus dan adil. Sebab mereka yang melakukan hal-hal ini yang secara umum, secara kodrati dan selamanya baik, adalah menyenangkan Tuhan, mereka akan diselamatkan di dalam kebangkitan, bersama dengan para kakek moyang mereka, Nuh, Enokh, Yakub, dan lainnya bersama dengan mereka yang percaya kepada Kristus, Putera Allah….” (Dialogue with Trypho, 45, FC 6:215)
2. St. Irenaeus (125-202), juga mempunyai pandangan serupa, bahwa Kristus wafat juga bagi generasi orang-orang yang hidup sebelum Dia, terutama bangsa Israel yang merindukan kedatangan Sang Mesias:
“Kristus tidak datang hanya untuk mereka yang hidup di zaman Kaisar Tiberius, juga Allah Bapa tidak hanya menerapkan penyelenggaraan ilahi-Nya atas orang-orang yang hidup di zaman sekarang. Sebaliknya Ia telah menyelenggarakan bagi semua yang sejak awal mula telah hidup baik dalam generasinya sendiri, takut dan mengasihi Tuhan, dan memperlakukan sesama dengan keadilan dan kebaikan, dan telah merindukan untuk melihat Kristus dan mendengarkan suara-Nya… ” (Adversus Haereses 4:22,2, PG 7:1047 A-B)
3. St. Klemens (96) mengajarkan bahwa Allah tidak mengecualikan orang-orang yang tidak berbahasa Yunani (yang disebutnya sebagai orang-orang barbar) dalam rencana keselamatan-Nya:
“Tuhan memperhatikan semua orang, sebab Ia adalah Tuhan bagi semua orang. Dan Ia adalah Penyelamat semua manusia; tidak dapat dikatakan bahwa Ia adalah Penyelamat orang-orang ini dan tidak bagi orang-orang lain. Sebab kepada setiap orang yang siap untuk menerimanya, Tuhan memberikan berkat-berkat-Nya, baik kepada orang-orang Yunani ataupun kepada kaum barbar [non-Yunani]; dan di dalam waktu mereka sendiri mereka dipanggil dalam kelompok yang ditentukan menjadi bagian dalam umat beriman yang terpilih.” (Stromata 7:2; PG 9:409-10)
Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa para Bapa Gereja sebelum zaman St. Agustinus mengajarkan bahwa Tuhan juga memberikan sarana keselamatan, baik kepada orang-orang yang sudah mengenal Kristus maupun yang bukan karena kesalahannya sendiri, belum mengenal Kristus karena hidup sebelum Dia; baik kepada orang-orang Yunani maupun non-Yunani, artinya konsep keselamatan di sini tidaklah terbatas pada golongan tertentu tetapi untuk semua umat manusia; walaupun tetap ditekankan pentingnya mereka yang dipanggil agar menjadi bagian dari umat pilihan-Nya/ Gereja.
4. St. Agustinus (354-430) memperjelas adanya kemungkinan ini demikian:
St Agustinus menjelaskan pengakuan Rasul Paulus bahwa bangsa-bangsa lain (non- Yahudi) memiliki hukum yang baru yang tertulis di dalam hati mereka, demikian “…artinya bahwa bangsa-bangsa lain, karena mempunyai hukum yang tertulis di dalam hati mereka, juga berpegang kepada Injil, sebab bagi mereka, dengan kepercayaan mereka, itu adalah kuasa Tuhan untuk sampai kepada keselamatan.” (On Man’s Perfection in Righteousness, 44)
St. Agustinus juga beranggapan adanya kemungkinan bagi orang-orang Yahudi yang hidup sebelum Kristus, seperti Abaraham dan para patriarkh lainnya, “Kita semua bersama-sama adalah anggota-anggota Kristus dan adalah tubuh-Nya; dan bukan hanya kita yang di tempat ini saja, tapi di seluruh dunia; dan bukan hanya pada zaman ini saja tetapi…dari zaman Habel yang baik sampai akhir zaman, sepanjang orang-orang melahirkan dan dilahirkan, barangsiapa dari orang-orang benar menjalani kehidupan ini, entah sekarang… di dalam kehidupan saat ini, atau di generasi mendatang, semua orang-orang benar adalah satu tubuh Kristus, dan masing-masing adalah anggota-anggota-Nya.” (Sermo 341:9,11; PL 39:1499-1)
Juga dalam karyanya yang terakhir, On the City of God (Tentang Kota Tuhan), ia mengatakan kurang lebih demikian, “Beberapa orang yang di dalam Gereja adalah bukan anggota Gereja, dan beberapa orang adalah anggota Gereja yang tidak berada di dalam Gereja.” (On the City of God, Book 1)
Maka, walaupun para Bapa Gereja sebelumnya telah menyebutkan adanya orang-orang benar sebelum zaman Kristus, namun St. Agustinus adalah Bapa Gereja pertama yang menyebutkan dengan lebih jelas akan adanya orang-orang benar sejak awal mula sampai kepada akhir zaman, sebagai “ecclesia ab Abel/ Gereja yang dimulai dari Habel” yang menyatakan bahwa gambaran Gereja sesungguhnya sudah mulai ada sejak zaman Habel. St. Agustinus juga berpegang bahwa ada orang-orang yang nampaknya sebagai anggota Gereja, namun sesungguhnya tidak, atau sebaliknya, mereka yang di luar Gereja, namun sebenarnya adalah anggota Gereja. Dengan demikian, St. Agustinus juga tetap berpegang bahwa keselamatan diperoleh melalui kesatuan dengan Kristus dan Gereja-Nya, tanpa menutup kemungkinan bahwa ada orang- orang yang nampaknya di luar Gereja, namun sesungguhnya adalah anggota Gereja. Dasar pemikiran St. Agustinus ini yang kemudian dipertahankan oleh Gereja, sebagaimana dituliskan oleh Paus Pius XII dalam Mystici Corporis, dan KGK 846-847.
KGK 846 Bagaimana dapat dimengerti ungkapan ini yang sering kali diulangi oleh para bapa Gereja? Kalau dirumuskan secara positif, ia mengatakan bahwa seluruh keselamatan datang dari Kristus sebagai Kepala melalui Gereja, yang adalah Tubuh-Nya:
“Berdasarkan Kitab Suci dan Tradisi, konsili mengajarkan, bahwa Gereja yang sedang mengembara ini perlu untuk keselamatan. Sebab hanya satulah Pengantara dan jalan keselamatan, yakni Kristus. Ia hadir bagi kita dalam Tubuh-Nya, yakni Gereja. Dengan jelas-jelas menegaskan perlunya iman dan baptis, Kristus sekaligus menegaskan perlunya Gereja, yang dimasuki orang melalui baptis bagaikan pintunya. Maka dari itu andaikata ada orang, yang benar-benar tahu, bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan” (Lumen Gentium 14).
KGK 847 Penegasan ini tidak berlaku untuk mereka, yang tanpa kesalahan sendiri tidak mengenal Kristus dan Gereja-Nya:
“Sebab mereka yang tanpa bersalah tidak mengenal Injil Kristus serta Gereja-Nya, tetapi dengan hati tulus mencari Allah, dan berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka kenal melalui suara hati dengan perbuatan nyata, dapat memperoleh keselamatan kekal” (Lumen Gentium 16, Bdk. DS 3866 – 3872)
Walaupun para Bapa Gereja tidak menampik kemungkinan bagi mereka yang bukan karena kesalahannya sendiri tidak mengenal Kristus dan Gereja-Nya, untuk sampai kepada keselamatan, namun mereka mengecam orang-orang yang memisahkan diri dari kesatuan dengan Gereja Katolik (ini tercermin juga secara implisit dalam KGK 846). Para Bapa Gereja mengajarkan tentang hal ini demikian:
1. St. Ignatius dari Antiokhia (-67):
“Jangan tertipu, saudara-saudaraku: jika seseorang mengikuti seorang pembuat skisma, ia tidak memperoleh Kerajaan Allah; jika seseorang berjalan di dalam ajaran yang aneh ia tidak mengambil bagian di dalam kisah sengsara (Passio) Kristus.” (Letter to Philadelphians 3:3)
2. Origen (184-254):
“Bahkan jika seseorang dari mereka [yang di luar Gereja] ingin diselamatkan, biarlah ia datang ke rumah ini, sehingga ia dapat memperoleh keselamatan. Biarlah ia datang ke rumah ini, yang di dalamnya darah Kristus adalah tanda penebusan…. biarlah tak seorangpun menipu dirinya sendiri: [sebab] di luar rumah ini, yaitu di luar Gereja, tak seorangpun diselamatkan. Sebab mereka yang pergi ke luar, ia bertanggungjawab terhadap kematiannya sendiri.” (Homiliae in Jesu Nave 3:5; PG 12:841-42).
3. St. Cyprian (-258):
“Bagaimana mungkin seorang yang tidak bersama dengan Mempelai Kristus dan di dalam Gereja-Nya dapat ada bersama dengan Kristus?” (Epistle 52:1).
Dalam karyanya, “On the Unity of the Church/ Tentang Kesatuan Gereja” St. Cyprian mengatakan:
“Tidak, meskipun mereka harus menderita wafat demi pengakuan Nama-Nya, kesalahan orang-orang tersebut [yang memisahkan diri] tidak terhapus bahkan oleh darah mereka; dosa berat yang tak terhapuskan dari skisma tidak dapat dihapuskan bahkan oleh kemartiran… Tak seorangpun dapat mengklaim nama martir, mereka yang telah mematahkan kasihnya kepada saudara-saudaranya. Ini adalah ajaran Rasul Paulus, “Jika aku menyerahkan tubuhku untuk dibakar, namun aku tidak memiliki kasih, aku sama sekali tidak berguna.” (The Unity of the Catholic Church, 14)
“Siapapun yang menghancurkan damai dan harmoni Kristus, bertindak melawan Kristus; barang siapa mengumpulkan di tempat lain di luar Gereja, mencerai beraikan Gereja Kristus…. Jika seseorang tidak menjaga kesatuan ini, ia tidak menjaga hukum Tuhan, ia telah kehilangan iman akan Bapa, Putera dan ia telah kehilangan hidupnya dan jiwanya.” (The Unity of the Catholic Church, 6)
4. St. Agustinus (354-431)
“Kasih yang dibicarakan oleh Rasul Paulus: “Kasih Tuhan dicurahkan kepada kita oleh Roh Kudus yang dikaruniakan kepada kita” (Rom 5:5) adalah kasih yang tidak dimiliki oleh orang-orang yang terpisah dari persekutuan Gereja Katolik. Dan untuk alasan ini meskipun mereka dapat “berbicara dengan bahasa-bahasa manusia maupun malaikat” (1Kor 13:1-3), hal itu tak berguna baginya. Sebab orang yang tidak mengasihi kesatuan Gereja tidaklah memiliki kasih Tuhan…” (De Baptismo 3:10,13; CSEL 51:212)
“Seseorang tidak dapat memperoleh keselamatan, kecuali di dalam Gereja Katolik. Di luar Gereja Katolik ia dapat memperoleh apapun kecuali keselamatan. Ia dapat memperoleh kehormatan, sakramen-sakramen, ia dapat menyanyikan alleluia, ia dapat menjawab amen, ia dapat memiliki Injil, ia dapat berkhotbah tentang iman di dalam nama Allah Bapa dan Putera dan Roh Kudus, tetapi tidak ada tempat lain selain di dalam Gereja Katolik ia dapat menemukan keselamatan.” (Discourse to the People of the Church at Caesarea, 6)
“Kenyataan [bahwa seseorang] wafat di luar Gereja membuktikan bahwa ia tidak memiliki kasih.” (De Baptismo 4:17,24; CSEL 51:250)
Maka baik St. Cyprian maupun St. Agustinus (dan para Bapa Gereja lainnya) melihat bahwa skisma (memisahkan diri dari kesatuan dengan Gereja) adalah dosa melawan kasih, karena kasih yang sejati selalu mengusahakan persatuan dan bukan perpecahan. Demikian pula, dosa menganiaya Gereja merupakan dosa melawan kasih.
Namun demikian, St. Agustinus membedakan antara mereka yang menyebabkan perpecahan dari kesatuan dan mereka yang bukan karena kesalahan mereka, lahir sebagai keturunan generasi mereka yang telah memisahkan diri dari kesatuan dengan Gereja Katolik. Kesalahan kelompok yang kedua ini lebih kecil dari kelompok yang pertama:
“Mereka yang karena ketidaktahuannya, dibaptis di sana [di kelompok skismatik], dengan berpikir bahwa kelompok itu adalah gereja Kristus, melakukan kesalahan serius yang derajatnya lebih rendah jika dibandingkan dengan mereka [yang menyebabkan skisma]; namun demikian mereka juga terluka oleh sakrilegi skisma….” (De Baptismo 1:5,6; CSEL 51:152)
“Rasul Paulus mengatakan: “Seorang bidat yang sudah satu dua kali kaunasihati, hendaklah engkau jauhi.” (Tit 3:10). Tetapi mereka yang mempertahankan pandangan mereka, bagaimanapun salah dan menyimpangnya, namun tanpa berkeras dengan kehendak yang jahat, terutama mereka yang tidak memulai kesalahan [ajaran sesat] itu dengan praduga yang menentang ketentuan, tetapi yang menerimanya dari orang tua yang telah disesatkan dan telah menyimpang …. mereka yang mencari kebenaran dengan usaha yang sungguh-sungguh dan siap untuk dikoreksi ketika mereka telah menemukannya, tidak termasuk dalam golongan heretik/ bidat.” (Epistle 43:1; CSEL 34,2:85)
Di surat yang sama ini, St. Agustinus menyatakan pentingnya agar mereka yang telah memisahkan diri untuk kembali ke dalam kesatuan dengan Gereja:
“Bukanlah masalah bahaya kehilangan emas atau perak, tanahmu atau peternakanmu atau kesehatan tubuhmu; kami memanggil jiwamu untuk meraih kehidupan kekal dan menghindari kematian kekal.” (Epistle 43:3,6; CSEL 34,2:88-89)
Tentang hal skisma ini St. Agustinus juga mengatakan bahwa ada orang yang sepertinya “di dalam” kesatuan Gereja, namun sebenarnya ia “di luar” kesatuan Gereja, namun ada orang yang sekarang “di luar” Gereja karena skisma, namun ia ternyata “di dalam” Gereja karena menurut pengetahuan Tuhan, orang itu akan bergabung dengan Gereja Katolik sebelum ia wafat, demikian perkataan St. Agustinus:
“Tetapi dapat terjadi beberapa dari orang-orang itu [yang sekarang terpisah] menjadi anggota kita di dalam rahasia pengetahuan Allah; adalah penting bahwa mereka harus kembali kepada kita. Betapa banyak mereka yang tidak menjadi anggota kita yang kelihatannya masih ‘di dalam’ dan betapa banyak orang yang menjadi anggota kita yang kelihatannya seperti ‘di luar’ kita. Dan mereka yang di dalam kita namun bukan anggota kita, ketika suatu kejadian terjadi, akan keluar; dan mereka yang menjadi anggota kita, tetapi sekarang berada ‘di luar’, ketika mereka memperoleh kesempatan, akan kembali.” (Enarr. in Psalms 106:14, CCL 40:1581)
Maka di sini terlihat bahwa St. Agustinus tetap menekankan pentingnya bagi mereka yang telah memisahkan diri untuk kembali ke dalam kesatuan dengan Gereja Katolik. Di samping itu, St. Agustinus juga mengakui adanya orang-orang di luar Gereja yang sesungguhnya adalah anggota Gereja dan dengan demikian ia juga memegang prinsip bahwa, “Allah menghendaki semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran.” (1 Tim 2:4)
Selanjutnya tentang ajaran Predestination yang diajarkan oleh Gereja Katolik adalah yang pernah diajarkan oleh St. Yohanes Damaskinus dan St. Thomas Aquinas, sebagaimana pernah dituliskan di jawaban ini, silakan klik.
Salam,
Saya tidak tahu harus melapor kemana, maka itu saya menulis di sini.
Saya memiliki seorang teman(Katolik) yang tinggal di Jakarta Timur. Ia mengikuti suatu retret lingkungan yang dibimbing oleh seorang pastor di paroki teman saya itu. Dalam retret itu, pastor tersebut menyampaikan hal berikut(seperti yang dikatakan teman saya):
“bukan agama yang menyelamatkan, tetapi iman. Kalo cuma modal dibaptis trus semua orang djamin masuk surga, itu namanya pembohongan. Apalagi kalo cuma modal bilang percaya, tanpa menunjukan sikap percaya sepenuhnya..itu namanya omong kosong. Apapun agamanya, selama memang beriman dan berakhlak, pasti masuk surga”
Saya sangat terkejut mendengar hal ini. Saya heran mengapa seorang pastor mengajarkan hal yang bertentangan dengan ajaran Katolik(terutama dogma EENS). Perkataan pastor itu tentu saja dapat membahayakan keselamatan jiwa-jiwa umat yang digembalakannya. Buktinya, teman saya itu percaya dan setuju terhadap perkataan pastor itu.
Saya sedih karena sebagian umat Katolik disesatkan oleh gembala(pastor) yang sesat.
Saya mohon kepada para pastor atau staf situs ini, agar dapat menyerukan kepada bapa uskup KAJ atau kepada Ketua KWI untuk menegur para pastor yang lebih suka mengajarkan pendapat pribadinya dari pada ajaran-ajaran Gereja kepada umat.
Mohon maaf bila tidak berkenan.
Salam dan doa,
Terima kasih
Salam Cal,
Langkah yang bijak ialah, silahkan dicek ulang kepada teman Anda benar tidaknya pernyataan imam tersebut dikonfrontir kepada beberapa pendengar lainnya, kemudian dikonfrontir sampai ke imam itu sendiri. Jika tidak benar bahwa ia mengatakan demikian, maka cara komunikasi yang harus diperbaiki. Jika benar ia menyatakan kalimat-kalimat itu, maka mesti dilihat konteksnya. Sedang menerangkan atau bermaksud apakah dia sehingga mengatakan kalimat-kalimat itu? Anda bisa “melaporkan” hal ini pertama-tama kepada pastor yang bersangkutan. Ceritakanlah dengan kasih dan hormat apa yang Anda ketahui mengenai EENS, dengan berbagai acuannya misalnya dengan memaparkan Lumen Gentium 14, 15, 16. Jika imam tersebut mengerti dan ingat akan ajaran Gereja itu serta mengakuinya, maka Anda dan dia bisa berdiskusi. Memang acuan kita tetap LG 14, 15, 16. Jika menurut Anda ada pandangannya yang memang bertentangan dengan LG 14, 15, 16, maka hendaklah Anda bawa persoalan ini kepada atasannya langsung di paroki atau lembaga di mana ia berkarya. Sampai di sini, intinya ialah cara mengkomunikasikan substansi ini secara tepat dan efektif.
Semoga membantu.
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
Buat Tim Katolisitas,
Mau sedikit koreksi saja utk rujukan ayat dari kalimat ini “3. Gereja …. air dan Roh (Yoh 5:3) agar …. kekal”.
Saya rasa ini maksudnya Yoh 3:5 ya, bukan Yoh 5:3,yang isi ayatnya “Jawab Yesus: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah.”
Demikian koreksinya spy teman2 yg lain tidak salah tafsir/baca.
Semoga katolisitas makin sukses dan bermanfaat bagi pembacanya agar lebih mengerti iman Katolik.
Berkah Dalem Gusti
[Dari Katolisitas: Terima kasih atas koreksi Anda. Ya, yang benar adalah Yoh 3:5]
Salam, Pap & Mam
Maaf, saya lama membalas untuk artikel ini karena saya masih berusaha memahami sembari membaca bahasan lain mengenai EENS. Dalam salah satu dokumen yang saya temukan, Suprema Haec Sacra, saya menemukan bahwa “dorongan implisit”/”inscio quodam desiderio ac voto” untuk bergabung dengan Gereja Katolik tidak berdaya menyelamatkan kecuali orang tersebut memiliki iman adi-kodrati.
Daam surat Monsignor Joseph Clifford Fenton mengenai Pentingnya Gereja sebagai Sarana Keselamatan, iman adi-kodrati ini dideskripsikan sebagai iman yang percaya akan Tritunggal dan Inkarnasi.
Saya kesulitan memahami bahwa, apabila benar demikian, orang yang dengan tulus mencari Allah dan mengasihiNya tanpa percaya mengenai Trinitas dan Inkarnasi tidak memperoleh keselamatan. Apakah benar demikian? Atau mungkin saya telah salah memahami dokumen tersebut. Mohon penjelasan. Terima kasih :)
http://www.ekaristi.org/forum/viewtopic.php?t=5182
Pacem,
Ioannes
Shalom Ioannes,
Sebenarnya dalam surat Suprema haec sacra (surat dari Tahta Suci Vatikan kepada Uskup Agung Boston, Richard J Cushing, yang menjelaskan posisi Gereja Katolik terhadap ajaran Fr. Leonard Feeney), tidak disebutkan adanya persyaratan bahwa “iman yang supernatural/ adikodrati dan menyelamatkan” itu harus termasuk iman yang mencakup iman terhadap misteri Trinitas dan Inkarnasi. Jika kita membaca kembali surat tersebut, klik di link ini, maka kita tidak akan menemukan persyaratan ini disebutkan di sana. Tentang surat dari Tahta Suci kepada Uskup Agung Boston sudah pernah sekilas dibahas di artikel ini, silakan klik.
Nah, Msgr. Joseph Clifford Fenton dalam kapasitasnya sebagai seorang teolog, menulis banyak artikel yang membahas tentang tema EENS, salah satunya yang dimuat di American Ecclesiastical Review, edisi Desember 1952, hl. 450-461. Di sana memang dia menulis demikian:
“Dewasa ini para teolog mengajarkan bahwa isi eksplisit minimal dari iman yang adikodrati dan yang menyelamatkan mencakup, tak hanya kebenaran-kebenaran tentang keberadaan Tuhan dan karya-Nya sebagai Pemberi ganjaran/upah bagi kebaikan dan Pemberi hukuman bagi kejahatan, tetapi juga misteri-misteri Trinitas yang Terberkati dan Inkarnasi….”
Namun pandangan ini tidak tertulis dalam surat Suprema haec sacra (surat dari Tahta Suci Vatikan tersebut). Dalam kalimatnya itu, Msgr. Fenton juga tidak mengatakan bahwa surat dari Vatikan tersebut secara eksplisit menyatakan demikian. Ia hanya mengatakan bahwa dewasa ini ada teolog-teolog yang menjabarkan tentang pengertian iman yang adikodrati, yang mencakup iman kepada Trinitas dan Inkarnasi. Tetapi posisi ini sendiri tidak secara definitif disebutkan dalam surat Suprema haec sacra tersebut. Sedangkan yang disebut secara definitif tentang iman yang adikodrati dalam surat itu adalah sebagaimana disebutkan dalam Ibr 11:6, yaitu: “Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia.” Tepatnya, di surat itu dikatakan demikian:
“Tetapi tidak boleh dipikir bahwa apapun keinginan untuk masuk Gereja sudah cukup untuk dapat diselamatkan. Adalah penting bahwa keinginan yang olehnya seseorang terhubung dengan Gereja, harus dihidupi dengan kasih yang sempurna. Tidak juga sebuah keinginan implisit tersebut dapat berhasil guna, kecuali orang itu mempunyai iman yang adikodrati: “Sebab ia yang datang kepada Allah harus percaya bahwa Allah ada dan memberikan upah kepada orang-orang yang sungguh-sungguh mencari Allah (Ibr 11: 6). Konsili Trente menyatakan (Session VI, chap. 8): “Iman adalah awal keselamatan manusia, dasa dan akar semua justifikasi, yang tanpanya tidaklah mungkin untuk menyenangkan Tuhan dan memperoleh persekutuan sebagai anak-anak-Nya” (Denzinger, n. 801).
Nah, mungkin orang bertanya, atas dasar apa, Msgr. Fenton mencatat bahwa para teolog menambahkan keterangan ‘iman akan Trinitas dan Inkarnasi’? Mungkin ada baiknya kita membaca ulasan dari Msgr. Fenton tentang topik serupa di majalah yang sama (edisi Desember 1958), di mana di bagian akhir ulasan itu, Msgr. Fenton mengutip surat yang ditulis oleh Msgr. Dell’ Acqua atas pengarahan Paus Pius XII, yang ditujukan kepada Kardinal Elia Dalla Costa, Uskup Agung Florence. Judulnya adalah: The Letter on Fraternal Charity within the Church and within the Priesthood, tertanggal 3 July 1957. Untuk membaca selengkapnya, klik di link ini.
“Tema dari surat itu adalah ‘Cinta kasih di dalam Komunitas Kristiani’. Dikatakan di sana bahwa satu-satunya cinta kasih yang tulus di dalam komunitas Kristiani “adalah kebajikan teologis cinta kasih, yang menjadikan Tuhan sendiri sebagai tujuannya, yang adalah “Cinta Kasih” dan “Kasih” yang tak terbatas dan layak untuk dikasihi demi diri-Nya sendiri dan di atas segala sesuatu.” Ia menunjukkan bahwa secara mendasar dan esensial, cinta kasih yang harus ada dan bekerja di dalam komunitas Kristiani adalah kasih yang adikodrati kepada Allah Trinitas, yang lebih dulu mengasihi kita…. Kasih tak terbatas yang dengannya Allah mengasihi DiriNya sendiri di dalam misteri Trinitas dinyatakan kepada kita melalui Sabda yang menjelma (Inkarnasi) yang memberikan perintah baru bagi kita untuk mengasihi sesama sebagaimana Tuhan telah mengasihi kita….”
Maka iman dan kasih akan misteri Trinitas dan Inkarnasi memang menjadi suatu persyaratan umum bagi iman dan kasih adikodrati/ sempurna yang harus dimiliki oleh mereka yang sudah ada di dalam Gereja, dan di dalam imamat. Sebab kita ketahui bahwa persyaratan iman yang menyelamatkan bagi kita umat Kristiani adalah iman yang disertai dengan kasih yang adikodrati, dan hal ini baru tercapai jika tujuan utama dari perbuatan kasih yang kita lakukan adalah Allah sendiri. Allah Trinitas itulah yang menjadi contoh teladan kasih bagi kita, yaitu kasih yang dinyatakan-Nya di dalam Kristus yang menjelma menjadi manusia. Sebab hanya dengan meneladan kasih Allah inilah baru kita dapat sungguh-sungguh mengasihi sesama dengan tulus dan tanpa pamrih, sebagaimana yang telah Kristus lakukan kepada kita semua. Kasih yang seperti inilah yang disebut sebagai kasih dalam kesatuan dengan iman yang adikodrati, yang dapat menghantar kita kepada keselamatan kekal.
Pertanyaannya, dapatkah orang yang tidak mengenal Trinitas dan Inkarnasi – mengasihi dengan kasih yang sempurna, sebagaimana disyaratkan dalam Suprema haec sacra? Memang mungkin saja ada, walau nampaknya tidak mudah. Biarlah Tuhan yang mengetahui kedalaman hati setiap orang, yang menilainya, apakah dijumpainya iman dan kasih yang sedemikian ini di sana.
Demikian tanggapan saya, semoga berguna.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam,
Terima kasih atas keterangannya. Saya sekarang semakin mengerti bahwa pengajaran EENS sebenarnya tidak pernah berubah. Pemahaman kita lah yang terkadang tidak sempurna dan mennjadi terkesan berubah seiring jaman.
Pacem,
Ioannes
Salam;
Untuk topik ini yah, tampaknya kita dapat berpendapat secara objektif bahwa ajaran EENS Konsili Vatican II lebih terbuka/inklusif daripada ajaran para Bapa Gereja. Dalam hal “orang-orang benar sebelum kedatangan Kristus”, para Bapa Gereja dan KVII mempunyai pandangan yg sama tentang keselamatan mereka. Tetapi keselamatan untuk “orang-orang sesudah kedatangan Kristus”, buah pikiran dalam KGK-847(LG no.16) belum ada (tidak ada secara eksplisit) di kalangan para Bapa Gereja. Apakah ini adalah contoh dari “pertumbuhan doktrin” atau sebagai pelaksanaan dari wewenang yg diberikan oleh Kristus kepada Gereja untuk “melepas dan mengikat” ?
Shalom Fxe,
Ya, dapat dikatakan bahwa doktrin mengenai EENS ini merupakan salah satu contoh yang menunjukkan adanya pertumbuhan doktrin. Prinsip pertumbuhan doktrin ini, sebagaimana diamati oleh Cardinal John Henry Newman, merupakan pertumbuhan organik, artinya seperti pada tumbuhan, dari biji menjadi tumbuhan yang besar. Artinya ajaran tersebut prinsipnya tetap sama sebagaimana telah diajarkan sejak awal mula Gereja, namun semakin diperjelas maksudnya, sejalan dengan pertumbuhan Gereja. Gereja yang ada di dalam bimbingan Roh Kudus, yaitu Roh Kebenaran, akan dibimbing oleh-Nya sampai kepada seluruh kebenaran (Yoh 16:13).
Dalam doktrin tentang keselamatan (EENS) ini pertumbuhan terjadi, dengan dirumuskannya secara lebih jelas, apa yang dimaksudkan oleh Gereja tentang rumusan EENS (Extra ecclesiam nulla salus– Tidak ada keselamatan di luar Gereja Katolik) tersebut. Katekismus Gereja Katolik, yang dipromulgasikan setelah Konsili Vatikan II menjelaskan maksud EENS tersebut dengan merumuskannya secara positif, menjadi “seluruh keselamatan datang dari Kristus sebagai Kepala melalui Gereja, yang adalah Tubuh-Nya…” (KGK 846).
Selanjutnya Gereja juga memberikan penjelasan lanjutan dalam KGK 847 tentang kondisi yang berkaitan dengan rumusan itu, sebagaimana juga disebutkan dalam dokumen Konsili Vatikan II, Lumen Gentium 14 dan 16, yang keseluruhannya dapat dibaca di artikel ini, silakan klik.
Dalam hal ini, Magisterium Gereja Katolik, sebagai penerus para Rasul melaksanakan wewenang yang diberikan oleh Kristus kepadanya, untuk “mengikat dan melepaskan” (Mat 16:19), dalam hal ini dengan memberikan penjelasan tentang EENS, sehingga dapat diketahui oleh umat, prinsip yang harus dipegang sebagai prinsip yang mengikat dalam hal iman.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam,
Pap & Mam, saya ingin menanyakan sesuatu mengenai Extra Ecclesia Nulla Salus. Dalam Konsili Vatikan II dan berbagai pengajaran Gereja, kita memahami bahwa keselamatan hanya ada melalui Kristus dan keselamatan bagi orang-orang yang bukan dengan kesalahannya sendiri tidak mengenal Kristus adalah bergantung dari Kerahiman Ilahi.
Apakah penafsiran mengenai EENS pada zaman Bapa-bapa Gereja dan pada perkembangan Gereja berikutnya memiliki pandangan yang serupa? Ketika saya membaca pernyataan St. Agustinus :
“A man cannot have salvation, except in the Catholic Church. Outside the Catholic Church he can have everything except salvation. He can have honor, he can have Sacraments, he can sing alleluia, he can answer amen, he can possess the gospel, he can have and preach faith in the name of the Father and of the Son and of the Holy Spirit; but never except in the Catholic Church will he be able to find salvation.” (Augustine, Discourse to the People of the Church at Caesarea, A.D. 418)
Pernyataan tersebut menyebabkan saya sulit memahami bahwa Bapa-bapa Gereja dan Gereja sebelum Konsili Vatikan II memiliki pandangan yang lebih terbuka mengenai EENS. Adakah keterangan yang dapat memperlihatkan penafsiran serupa pada zaman tersebut? Terima kasih.
Pacem,
Ioannes
[Dari Katolisitas: Silakan membaca tanggapan kami di atas, silakan klik]
Comments are closed.