Perjamuan adalah awal persahabatan
Ingatan saya melayang kepada kejadian sekitar 7 tahun yang lalu, saat saya dan suami saya, Stef, diundang makan oleh sepasang suami istri yang belum pernah kami kenal sebelumnya. Saat itu, kami belum lama tiba dan menetap di sebuah kota kecil di Wisconsin, Amerika Serikat, saat kami mengambil studi di sana. Mengikuti Misa harian di paroki merupakan salah satu kegiatan kami sehari-hari. Di minggu-minggu pertama, kami memang belum mempunyai sahabat di sana, walaupun kami sudah sering bertukar senyum dan salam dengan sesama umat. Sebagai pendatang baru di negeri asing, kami sudah terbiasa menerima salam dari mereka, namun suatu hari setelah selesai Misa pagi, kami dikejutkan oleh sapaan ini: “Excuse me, my name is Barb and this is Pat, my husband. We have been seeing you quite often at church so, we wonder if you would like to come to our house to have breakfast with us… ” Sapaan sederhana ini menjadi awal perkenalan kami dengan Barb dan Pat Stehly, sepasang suami istri separuh baya yang sangat setia membantu tugas imam di paroki untuk membagikan Komuni kudus dan mengunjungi orang-orang sakit. Makan bersama merupakan awal persahabatan kami dengan Pat dan Barb. Sejak saat itu kami mulai mengenal satu sama lain, dan mulai sering berbagi cerita, suka dan duka. Kami masih menjalin hubungan persahabatan dengan mereka sampai sekarang. Indahlah kenangan kami bersama mereka, yang dimulai dengan suatu langkah sederhana, yaitu makan bersama.
Perjamuan sorgawi: “Inilah Tubuh-Ku…. Inilah Darah-Ku”
Demikianlah, Kristus mengundang kita untuk menjadi sahabat-Nya dengan makan bersama-Nya. Kapankah Kristus menetapkan perjamuan yang istimewa itu? Injil mengajarkan kepada kita, bahwa sebelum sengsara-Nya, Kristus mengadakan perjamuan terakhir bersama dengan para rasul-Nya. Pada saat itulah Kristus mengambil roti, mengucap syukur dan memecahkan roti itu seraya berkata, “Inilah Tubuh-Ku …. ” dan juga Ia mengambil piala, dan berkata, “Inilah Darah-Ku …” Maka Gereja Katolik mengajarkan bahwa Kristus sungguh bermaksud demikian, yaitu untuk menjadikan Diri-Nya sebagai makanan dan minuman bagi mereka yang percaya kepada-Nya. Sebab menurut pemikiran orang Yahudi, tubuh merupakan pribadi dan darah merupakan sumber hidup yang menghidupi pribadi orang itu. Maka ketika Yesus mengatakan “Inilah Tubuh-Ku …. Inilah Darah-Ku … “, maksudnya adalah, “Inilah Diri-Ku”. Kristus memberikan diri-Nya seutuhnya kepada kita. Roti dan anggur itu diubah menjadi Tubuh dan Darah-Nya sendiri oleh kuasa Roh Kudus melalui perkataan Sabda Tuhan yang diucapkan oleh imam. Hal perubahan ini dikenal dalam istilah “transubstansiasi”, yang berarti: substansi roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus (lih. KGK 1376), meskipun rupanya tetap adalah roti dan anggur.
Kristus sendiri berkata, “Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia…. Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman. Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia. Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku. Inilah roti yang telah turun dari sorga, bukan roti seperti yang dimakan nenek moyangmu dan mereka telah mati. Barangsiapa makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya.” (Yoh 6:51-58) Karena di dalam perjamuan ini, yang menjadi santapan ialah Kristus Sang Roti hidup yang turun dari Sorga, maka perjamuan ini adalah perjamuan Sorgawi. Juga, karena yang kita santap dalam perjamuan ini adalah Kristus, “Yang Kudus dari Allah” (Mrk 1:24), maka perjamuan ini disebut juga perjamuan kudus. Selain itu, perjamuan itu disebut perjamuan kudus, sebab kita yang menerimanya harus dalam keadaan berdamai dengan Tuhan, artinya, tidak dalam keadaan berdosa berat (lih. KGK 1385), dan sebab melalui perjamuan kudus Ekaristi itu Tuhan Yesus dengan cara-Nya sendiri menguduskan kita yang menyambut-Nya.
Mungkin kita pernah mendengar betapa orang mempertanyakan Ekaristi dan menganggap aneh, bahwa Yesus memerintahkan kita menyantap Tubuh-Nya dan minum Darah-Nya. Jika banyak orang tak mengerti sekarang, sesungguhnya itu tidak mengherankan, sebab sejak awal saat Yesus memberikan ajaran ini, sudah banyak orang mengatakan, “Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?” (Yoh 6:60) Maka banyak dari mereka mengundurkan diri dan tidak lagi mengikuti Yesus (lih. Yoh 6:67). Namun Yesus tidak mengubah ajaran-Nya. Ia tidak berkata, “Tunggu dulu, maksud-Ku bukan inilah Tubuh-Ku, tetapi ini melambangkan Tubuh-Ku…” Sebaliknya, Ia bahkan bertanya kepada para rasul-Nya, “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” Jawab Petrus kepada-Nya: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah.” (Yoh 6:61-69)
Di sini Rasul Petrus tidak mengatakan bahwa ia memahami bagaimana roti dan anggur dapat berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Namun ia hanya menerima otoritas perkataan Yesus, dan percaya akan kuasa Yesus yang dapat melakukannya, karena perkataan Kristus adalah perkataan hidup yang kekal. Rasul Paulus juga meyakini bahwa dalam Ekaristi, Kristus sungguh-sungguh hadir, sehingga ia mengatakan, “Barangsiapa dengan tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan….. barang siapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya sendiri” (1Kor 11:27,29). Maka, kita umat Katolik, juga seperti Rasul Petrus dan Paulus, menerima apa yang dikatakan Yesus sebagai kebenaran, sebab perkataan-Nya adalah perkataan kehidupan kekal. Walaupun kita tidak juga tidak dapat memahami bagaimana roti dan anggur itu dapat diubah menjadi Tubuh dan Darah Tuhan Yesus, namun kita menerima dengan iman bahwa Kristus dengan kuasa Roh Kudus-Nya, mengadakan perubahan itu, agar dapat memberikan diri-Nya sebagai santapan rohani bagi kita.
Ekaristi adalah Perjamuan yang memberi kita makan untuk hidup dan berbuah
Paus Benediktus XVI mengajarkan bahwa Perjamuan Terakhir diadakan Kristus pada saat memperingati Paska Yahudi, di mana bangsa Israel memperingati saat Allah membebaskan umat Israel dari penjajahan Mesir. Perjamuan ritual ini -yang mensyaratkan kurban anak domba- adalah peringatan masa lalu namun juga merupakan peringatan nubuat akan suatu pembebasan di masa yang akan datang. Orang-orang Yahudi menyadari bahwa pembebasan yang terjadi di masa yang lalu bukanlah pembebasan yang sifatnya definitif dan sudah selesai, sebab sejarah mereka terus diwarnai dengan perbudakan dan dosa. Dalam konteks inilah Kristus memperkenalkan karunia yang baru, yaitu sakramen Ekaristi, di mana Ia mengantisipasi dan menghadirkan kurban Salib-Nya dan kemenangan kebangkitan-Nya. Ia juga menyatakan kepada para rasul-Nya bahwa Ia-lah Anak Domba sejati yang dikurbankan, sesuai dengan rencana Allah Bapa (lih. 1Pet 1:18-20). ((lih. Paus Benediktus XVI, Ekshortasi Apostolik, Sacrament Caritatis, 10))
Maka Ekaristi adalah perjamuan kudus, sebab melalui Ekaristi di saat perjamuan Paska itu, Yesus mengubah roti dan anggur untuk menjadi Diri-Nya sendiri. Paus Yohanes Paulus II mengatakan, “Ekaristi adalah sungguh perjamuan sejati, di mana Kristus mempersembahkan diri-Nya sebagai santapan yang menguatkan kita.” ((Paus Yohanes Paulus II, Ecclesia de Euscharistia, 16)) Demikianlah, maka para jemaat pertama juga menyebut Ekaristi sebagai perjamuan Tuhan (1Kor 11:20). Kristus sendiri menyatakan bahwa Tubuh-Nya adalah benar-benar makanan dan Darah-Nya adalah benar-benar minuman (lih. Yoh 6:55), sebab Ia ingin agar kita menghubungkan Ekaristi dengan makanan dan minuman bagi kita sehari- hari. Sama seperti makanan dan minuman dapat menguatkan tubuh kita dan menjadi satu dengan tubuh kita; demikian pula Ekaristi dapat menguatkan kita, sehingga kita dapat menjadi seperti Dia yang kita terima.
Dengan menerima Kristus, kitapun menerima hidup ilahi-Nya. Kristus bersabda, “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal [μένω/ ménō] pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal [μένω/ ménō] di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal [μένω/ ménō] di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” (Yoh 15:4-5). Ekaristi merupakan cara bagi kita untuk tinggal di dalam Dia, menerima hidup ilahi sehingga kita dapat bertumbuh dan menghasilkan buah. Sebab Yesus bersabda, “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal [μένω/ ménō] di dalam Aku dan Aku di dalam dia.” Sebab sama seperti Kristus hidup oleh Bapa, maka kita yang memakan-Nya juga akan hidup oleh Kristus (lih. Yoh 6:57).
Ekaristi adalah Perjamuan yang mengakrabkan
Mungkin ada orang bertanya, atau bahkan kita sendiri bertanya, mengapa Tuhan Yesus memilih perjamuan untuk mendekatkan diri kepada kita? Nampaknya jawabannya sederhana: sebab makan bersama merupakan cara yang paling umum untuk membina persahabatan. Tak perlu jauh-jauh mencari contoh, sebab hal itu sungguh kita alami sendiri dalam kehidupan kita. Jika kita sedang bersyukur, misalnya merayakan ulang tahun atau lulus ujian umumnya kita makan bersama dengan keluarga. Kalau kita ingin berkenalan dengan lebih dekat dengan seseorang, umumnya kita mengajaknya makan bersama kita; dan dari situ kita dapat berbicara dari hati ke hati.
Injil juga mengisahkan hal yang serupa di dalam kehidupan Yesus. Mukjizat Yesus yang pertama dibuatnya di perjamuan kawin di Kana (Yoh 2:1-11). Yesus makan bersama sahabat- sahabatnya, seperti ketika Ia berkunjung ke rumah Maria dan Marta (lih. Luk 10:38-42). Ia mengunjungi Zakheus dan makan bersamanya (Luk 19:1-10) dan ini membuahkan pertobatan Zakheus. Selanjutnya, salah satu mukjizat yang besar, yang dicatat oleh keempat Injil adalah mukjizat pergandaan roti, saat Yesus memberi makan lima ribu orang (lih. Mat 14:13-21; Mrk 6:30-44; Luk 9:10-17; Yoh 6:1-13). Lalu sebelum wafat-Nya, Yesus mengadakan Perjamuan Terakhir bersama para murid-Nya, saat Ia menetapkan perjamuan roti dan anggur sebagai kenangan akan kurban Tubuh dan Darah-Nya (lih. Mat 26:26-29; Mrk 14:22-25; Luk 22:15-10). Demikian pula, setelah kebangkitan-Nya, Kristus menyatakan Diri-Nya kepada kedua murid-Nya di Emaus saat Ia duduk makan bersama mereka dan memecah roti (lih. Luk 24:30-31). Juga saat menampakkan diri kepada para murid-Nya di danau Tiberias, Ia makan bersama mereka (lih. Yoh 21:12-13). Bahkan Kerajaan Surga digambarkan sebagai perjamuan kawin Anak Domba (lih. Why 19:9). Itulah sebabnya sejak awal mula, Gereja merayakan perjamuan ini dengan memecah roti di antara mereka, di samping juga bertekun dalam pengajaran para rasul, persekutuan dan doa (lih. Kis 2:42). Maka perjamuan roti dan anggur- yaitu Ekaristi, yang mempersatukan kita dengan Kristus, memang menjadi hal yang nyata diajarkan dalam Kitab Suci (lih. 1Kor 11:23-26).
Ekaristi mempersatukan kita dengan Kristus
Sebagaimana perjamuan mengakrabkan seseorang dengan yang lain, dengan menerima Kristus dalam Ekaristi, kita menjadi akrab dan digabungkan dengan Kristus. Perjamuan ini menjadi kenangan yang hidup akan kasih Tuhan Yesus yang demikian besar kepada kita, sampai Ia mau wafat bagi kita. Sebab sungguh ayat ini digenapi oleh Kristus: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yoh 15:13) Kristus memandang kita sebagai sahabat-sahabat-Nya, sebagai pemberian Allah Bapa kepada-Nya, sehingga Ia mau tinggal bersama-sama dengan kita (lih. Yoh 17:24). Maka Yesus mengaruniakan Ekaristi agar Ia dapat mempersatukan kita dengan-Nya, agar genaplah Sabda-Nya: “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia.” (Yoh 6:56)
Untuk menangkap kedalaman makna persatuan dan kebersamaan ini, mungkin kita perlu merenungkan kedekatan kita dengan orang- orang yang kita kasihi di dunia ini. Contohnya, saat sebagai orang tua, kita mendekap anak kita, atau kebersamaan antara suami dan istri, atau kedekatan dengan seorang sahabat. Ekaristi adalah persatuan yang melampaui semuanya ini, sebab Ekaristi adalah persatuan kita dengan Kristus sendiri; dan melalui Kristus, dengan Allah Bapa dan Roh Kudus. Persatuan kita dengan Kristus inilah yang kita sebut sebagai “Komuni kudus”, yang menjadikan kita mengambil bagian di dalam Tubuh dan Darah-Nya (lih. KGK 1331).
St. Ignatius dari Antiokhia mengatakan dengan indahnya tentang persatuan kita dengan Kristus ini, “Pada pertemuan-pertemuan ini [perayaan Ekaristi], kamu … memecah roti yang satu, yang adalah obat kekekalan, dan penawar racun yang menghapus kematian, namun menghasilkan hidup kekal di dalam kesatuan dengan Yesus Kristus.” ((St. Ignatius of Antioch, Letter to the Ephesians, n.20)). Ya, komuni dengan Tubuh dan Darah Kristus, memperteguh persatuan kita dengan Kristus, mengampuni dosa-dosa ringan yang kita lakukan, dan melindungi kita dari dosa berat, sebab dengan menerima sakramen ini, ikatan kasih antara kita dan Kristus diperkuat, dan dengan demikian kesatuan Gereja juga diperteguh (lih. KGK 1416).
Ekaristi mempersatukan kita dengan sesama anggota Kristus
Maka, selain mempersatukan kita dengan Kristus, Ekaristi juga mempersatukan kita dengan sesama anggota Tubuh Kristus lainnya. Oleh karena kita menerima Kristus yang satu dan sama, maka kita dipersatukan di dalam Dia yang adalah Sang Kepala kita (lih. Kol 1:18; Ef 5:23). Rasul Paulus mengajarkan, “Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus? Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu.” (1Kor 10:15-16). Ya, dengan mengambil bagian di dalam Ekaristi, kita bersatu dengan Kristus Sang Kepala, dan dengan sesama anggota-Nya menjadi satu Tubuh (lih. KGK 1329).
Kita manusia diciptakan oleh Tuhan untuk menjadi semakin menyerupai Dia, yaitu supaya semakin dapat mengasihi; sebab Tuhan adalah Kasih (1 Yoh 4:8). Kasih itu mempersatukan. Oleh karena itu, sebagai manusia kita menginginkan persatuan, baik dengan Tuhan, maupun dengan sesama kita. Kristus- juga mempunyai kerinduan yang sama: bahwa Ia ingin tinggal bersama semua orang yang percaya kepada-Nya (lih. Yoh 6:56), namun juga Ia ingin agar semua yang percaya kepada-Nya menjadi satu, “Aku berdoa ….juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku …. supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.” (Yoh 17:21). Maka, persatuan kita dengan Kristus, harus juga membawa persatuan kita dengan semua orang yang percaya kepada-Nya; sebab hal ini merupakan kehendak Kristus sendiri.
Ekaristi juga mempersatukan kita dengan semua anggota yang sudah beralih dari dunia ini
Karena Kristus hanya satu dan Tubuh-Nya juga hanya satu, maka satu jugalah kita semua anggota-anggota-Nya, baik Gereja yang masih berziarah di dunia ini, Gereja yang sudah berjaya di surga, maupun Gereja yang masih dimurnikan di Api Penyucian. Karena semua anggota- anggota Kristus dipersatukan oleh kasih Kristus yang melampaui maut (lih. Rom 8:38-39). Itulah sebabnya di dalam Komuni kudus ini kita mengingat juga persekutuan dengan para kudus di surga, terutama Bunda Maria (lih. KGK 1370); dan kita dapat mengajukan intensi doa permohonan bagi saudara- saudari kita yang telah mendahului kita, yaitu mereka yang ‘telah meninggal di dalam Kristus namun yang belum sepenuhnya dimurnikan’ sehingga mereka dapat memasuki terang dan damai Kristus (KGK 1371) yang kekal dalam kerajaan Surga.
Dengan adanya kesatuan dengan Kristus Tuhan sebagai Sang Kepala dan dengan semua anggota Kristus, baik yang dunia ini maupun yang sudah beralih dari dunia ini, maka ada dimensi ilahi dalam setiap perayaan Ekaristi. Perjamuan Ekaristi tidak hanya merupakan penyembahan dan ucapan syukur kita di dunia ini tetapi juga para malaikat dan semua para kudus di surga. Melalui Ekaristi, mata hati kita diarahkan akan penggenapan iman dan harapan kita, akan kemuliaan surgawi (lih. KGK 1402), di mana kita akan bersatu dengan Dia dan seluruh isi surga untuk memuji dan memuliakan Dia.
Ekaristi sebagai janji kemuliaan Tuhan yang akan datang
Gereja mengajarkan bahwa Kristus hadir di tengah umat-Nya, dan di dalam rupa Ekaristi saat ini, namun Ia hadir secara terselubung. Kita tetap “menantikan dengan penuh kerinduan akan kedatangan Penyelamat kita Yesus Kristus”, di mana kita akan dapat memandang Allah, menjadi serupa dengan-Nya, memuji Dia selamanya melalui Kristus (lih. KGK 1404). Sebab pada Perjamuan Terakhir, Kristus berkata bahwa Ia tidak akan minum lagi dari pokok anggur sampai pada saat Ia meminumnya bersama dengan kita dalam Kerajaan Bapa (lih. Mat 26:29; Luk 22:18; Mrk 14:25). Maka setiap kali Gereja merayakan Ekaristi, ia mengingat janji ini sambil mengarahkan pandangannya kepada Kristus yang akan datang (lih. KGK 1403), yang akan menggenapinya. Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa di dalam perayaan Ekaristi, “…kita disatukan dengan ‘liturgi’ surgawi dan menjadi bagian dari para kudus yang jumlahnya berlaksa-laksa yang menyerukan, “Keselamatan bagi Allah kami yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba!” (Why 7:10). Ekaristi adalah sungguh sekilas surga yang nampak di dunia.” ((Paus Yohanes Paulus II, Ecclesia de Eucharistia, 19))
Maka Ekaristi menuntun Gereja mencapai tujuan akhirnya di mana persekutuan dengan Allah dan sesama mencapai kesatuan yang sempurna, yaitu “keadaan persatuan dengan Kristus, yang pada saat yang sama membuatnya mungkin untuk masuk ke dalam kesatuan yang hidup dengan Allah sendiri, sehingga Tuhan dapat menjadi semua di dalam semua (1Kor 15:28).” ((Joseph Cardinal Ratzinger (Pope Benedictus XVI), Called to Communion, (San Francisco: Ignatius Press, 1991), p. 33))
Ekaristi adalah Perjamuan Tubuh dan Darah Kristus menurut Bapa Gereja
Berikut ini adalah pengajaran dari para Bapa Gereja, yang sudah sejak abad awal mengajarkan bahwa perayaan Ekaristi sungguh merupakan perayaan perjamuan Tubuh dan Darah Kristus, di mana Kristus sendiri hadir dan menyatu dengan kehidupan jemaat:
1. St. Yustinus Martir (100-165)
“Maka lalu dibawa kepada pemimpin para saudara, roti dan sepinggan anggur yang dicampur dengan air; dan saat mengambilnya ia memberi pujian dan kemuliaan kepada Allah Bapa Semesta alam, melalui nama Sang Putera dan Roh Kudus, dan mempersembahkan syukur yang panjang karena kita dianggap layak menerima semua ini dari tangan-Nya. Dan ketika ia telah menyelesaikan doa- doa dan ucapan syukur, semua orang yang hadir menyatakan persetujuan mereka dengan mengatakan, Amin. Perkataan Amin dalam bahasa Ibrani menjawab, “biarlah demikian”. Dan ketika pemimpin telah mengucap syukur, dan semua orang telah menyatakan persetujuan mereka, mereka yang disebut diakon memberikan kepada setiap yang hadir, untuk mengambil bagian dari roti dan anggur yang telah dicampur air yang atasnya telah diucapkan syukur dan kepada mereka yang tidak hadir, mereka bawakan bagiannya.
Dan makanan ini disebut di antara kami sebagai Ekaristi, yang tentangnya tak seorangpun diperkenankan menyambutnya selain seseorang yang percaya bahwa hal-hal yang kami ajarkan adalah benar, dan yang telah dibasuh dengan Pembaptisan yaitu untuk penghapusan dosa, dan untuk kelahiran kembali, dan yang hidup sesuai dengan apa yang diperintahkan Kristus. Sebab bukanlah sebagai roti biasa dan minuman biasa kami terima ini semua; tetapi sebagaimana pada Yesus Kristus Penyelamat kita, yang setelah menjelma menjadi manusia oleh Sabda Tuhan, mempunyai tubuh dan darah demi keselamatan kita, demikianlah pula, kami telah diajarkan bahwa makanan yang telah diberkati dengan perkataan doa-Nya dan yang dari mana darah dan tubuh kami diberi makan oleh transmutasi, adalah tubuh dan darah dari Yesus yang telah menjadi manusia. Sebab para Rasul dalam catatan peringatan yang mereka susun, yang disebut Injil, telah diteruskan kepada kami apa yang telah diajarkan kepada mereka; bahwa Yesus mengambil roti, dan ketika Ia telah mengucap syukur, dan berkata, “Perbuatlah ini sebagai peringatan akan Aku, inilah tubuh-Ku… (Luk 22:19) dan dengan cara yang sama, setelah mengambil piala dan mengucap syukur, Ia berkata, “Inilah darah-Ku; (Mat 26:28) dan memberikan kepada mereka…. ” ((St. Justin Martyr, First Apology, ch. 65-66))
2. St. Siprianus (w 258)
“Akulah roti hidup yang turun dari Surga. Barangsiapa makan roti ini akan hidup selamanya …. (Yoh 6:51-52). Sejak saat Ia berkata demikian, barangsiapa yang makan Roti itu, memperoleh hidup kekal, sebagaimana dinyatakan bahwa mereka hidup, yang menerima Ekaristi dengan komuni yang benar, dan di sisi yang lain, kita harus gentar dan berdoa, jika tidak, siapapun, ketika ia terputus dan terpisah dari tubuh Kristus, menjadi tetap terpisah dari keselamatan, seperti yang dikatakan-Nya, “Jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu.” Maka kita mohon agar roti kita, yaitu Kristus, diberikan kepada kita setiap hari, sehingga kita yang tinggal dan hidup di dalam Kristus, tidak akan menarik diri dari pengudusan-Nya dan dari Tubuh-Nya. ((St. Cyprian, The Lord’s Prayer, Ch. 18))
3. St. Sirilus dari Yerusalem (313-386)
“Oleh karena itu dengan keyakinan yang penuh marilah kita mengambil bagian dalam Tubuh dan Darah Kristus: sebab di dalam rupa Roti diberikan kepadamu Tubuh-Nya, dan di dalam rupa anggur, Darah-Nya; sehingga dengan mengambil bagian di dalam Tubuh dan Darah-Nya, kamu dapat dibuat menjadi tubuh yang sama dan darah yang sama dengan Dia. Sebab dengan demikian kita dapat mengandung Kristus di dalam kita, sebab Tubuh dan Darah-Nya dibagikan melalui anggota- anggota kita, sehingga karena itu, menurut Petrus yang Terberkati, kita menjadi pengambil bagian dalam kodrat ilahi (2 Pet 1:4).” ((St. Cyril of Jerusalem, Catecheses, 22:3))
4. St. Ambrosius (337-397)
“Mungkin kamu akan berkata, “Aku melihat sesuatu yang lain, bagaimana kamu dapat menyatakan bahwa aku menerima Tubuh Kristus?” Dan ini adalah hal yang tetap bagi kita untuk dibuktikan. Dan bukti apa yang harus kita gunakan? Biarlah kita membuktikan bahwa ini bukan apa yang dibuat oleh kodrat, tetapi apa yang oleh rahmat dikonsekrasikan, dan kuasa rahmat lebih besar daripada kuasa kodrat, sebab oleh rahmat, kodrat itu sendiri diubahkan.” ((St. Ambrose, On the Mysteries, 9:50))
“Jangan melihat di dalam roti dan anggur bahan- bahan alami biasa, sebab Kristus telah mengatakan dengan jelas bahwa roti dan anggur itu adalah TubuhNya dan Darah-Nya: iman meyakinkan kamu akan hal ini, meskipun perasaanmu menyatakan sebaliknya.” ((St. Ambrose, Mystagogical Catecheses, IV, 6: SCh 126, 138))
5. St. Agustinus (354-430)
“Daging-Ku,” kata-Nya, “Kuberikan untuk hidup dunia” (Yoh 6:51). Para orang percaya mengenali tubuh Kristus; jika mereka mengabaikannya, janganlah menjadi tubuh Kristus. Biarlah mereka menjadi tubuh Kristus, jika mereka ingin hidup oleh Roh Kristus. Tak ada seorangpun hidup oleh Roh Kristus tetapi hanya tubuh Kristus …. Adalah untuk ini Rasul Paulus menjelaskan tentang roti ini, “Satu roti,” katanya, [maka] “kita walaupun banyak namun adalah satu” (1Kor 10:17). O rahasia kesalehan! O tanda kesatuan! O ikatan cinta kasih! Ia yang mau hidup, mempunyai tempat untuk hidup, mempunyai sumber untuk hidup. Biarlah ia datang mendekat, biarlah ia percaya, biarlah ia menjadi satu, sehingga ia dapat menjadi hidup.” ((St. Augustine, On the Gospel of John, Tr 26:13))
6. St. Leo Agung (391-461)
“Sebab ketika Tuhan berkata, “Jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak akan mempunyai hidup di dalam dirimu” (Yoh 6:53), demikianlah kamu harus menjadi pengambil bagian di dalam altar yang kudus, dan tak mempunyai keraguan apapun mengenai realitas Tubuh dan Darah Kristus. Sebab apa yang diterima di dalam mulut adalah apa yang dipercaya di dalam iman, dan adalah sia-sia bagi mereka untuk menjawab Amin, yang meragukan apa yang telah diterima. ((St. Leo Agung, Sermons, no. 91:3))
Gereja hidup dari Ekaristi
Sebagaimana manusia dapat hidup karena makan, demikianlah sejarah Gereja menunjukkan bahwa Gereja hidup oleh perjamuan Ekaristi. Gereja menerima santapan surgawi dari Kristus, dan karena itu memperoleh hidup dari Kristus ((lih. Paus Yohanes Paulus II, Ecclesia de Eucharistia, 1,7)), dan menjadikannya sebagai hidupnya sendiri. Tuhan Yesus telah memberikan seluruh hidup-Nya, supaya kita yang percaya kepada-Nya dapat hidup di dalam Dia. Yesus bersabda, “Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia….” (Yoh 6:51). Karena Kristus sendirilah yang kita sambut di dalam Ekaristi, maka benarlah apa yang dinyatakan dalam Konsili Vatikan II, yaitu bahwa Ekaristi disebut sebagai “sumber dan puncak kehidupan Kristiani” (KGK 1324). “Sebab di dalam Ekaristi terkandung keseluruhan kekayaan rohani Kristus: yaitu Kristus sendiri, Paska kita dan Roti kehidupan kita. Melalui Tubuh-Nya sendiri yang sekarang dibuat hidup dan memberi hidup oleh kuasa Roh Kudus, Kristus mempersembahkan hidup-Nya bagi manusia.” ((Konsili Vatikan II, Dekrit Pelayanan dan Kehidupan Para Imam, Presbyterorum Ordinis, 5))
Kesimpulan
Oleh karena besar kasih-Nya, Kristus meninggalkan kenangan perjamuan Ekaristi kepada Gereja-Nya. Ia menghendaki agar kita yang tergabung di dalam Tubuh-Nya sungguh menyantap Tubuh dan Darah-Nya yang adalah benar- benar makanan dan minuman, agar kita beroleh hidup yang kekal di dalam Dia. Karena Kristus Tuhan sendirilah yang kita sambut dalam Ekaristi, maka Ekaristi menjadi sumber dan puncak kehidupan kita sebagai umat Kristiani. Sebagai tanda kasih Kristus, Ekaristi mempersatukan kita dengan Kristus Tuhan yang adalah Kasih, dan juga mempersatukan kita dengan sesama anggota Kristus, yaitu Gereja. Dengan kesatuan dengan Kristus yang adalah Kepala, kita juga disatukan dengan semua anggota tubuh-Nya, baik yang masih hidup di dunia, maupun yang telah beralih dari dunia ini, yaitu mereka yang masih dimurnikan di Api Penyucian dan mereka yang telah berjaya di surga. Dalam kesatuan dengan Kristus, kita mengarahkan pandangan kepada kesatuan yang sempurna dengan Allah dan sesama di Surga kelak, di mana Allah meraja di dalam semua (lih. 1Kor 15:28).
Agaknya peninggalan kurban dan perjamuan Ekaristi yang diperingati Gereja setiap hari sampai akhir zaman merupakan penggenapan dari kalimat ini: “Kristus mengasihi kita sampai pada akhirnya”. Ia menunjukkan kasih-Nya ini dengan mengurbankan hidup-Nya (lih. Yoh 15:13); namun kasih-Nya ini tidak berhenti setelah kematian-Nya. Sebab Kristus terus hidup setelah kebangkitan-Nya, demikianlah kasih-Nya kepada kita tetap ada selamanya. St. Agustinus mengatakannya dengan begitu indahnya, “Tidak hanya sejauh itu saja Ia mengasihi kita, [sebab] Ia selalu dan selamanya mengasihi kita. Jauhlah kiranya dari kita untuk berpikir bahwa Ia menjadikan kematian sebagai akhir dari cinta kasih-Nya kepada kita, [sebab] Ia tidak menjadikan kematian sebagai akhir dari kehidupan-Nya.” ((St. Augustine, In Ioann. Evang., 55,2)). Cinta kasih Kristus yang tiada berakhir dan tiada terbatas ini yang dirayakan di dalam Ekaristi. Selayaknya kita senantiasa bersyukur untuk karunia Ekaristi, yang memungkinkan kita untuk selalu mengalami kasih-Nya dalam kesatuan dengan Dia, sebab kita disatukan dengan Tubuh dan Darah-Nya, Jiwa dan ke-Allahan-Nya.
“Tuhan Yesus, kumohon, buatlah aku semakin memahami, mengasihi dan mengalami Engkau yang hadir dalam Ekaristi.”
Appendix
Doa sebelum dan sesudah Komuni
Doa sebelum Komuni
disusun oleh St. Thomas Aquinas, Pujangga Gereja (1225- 1274)
Tuhan yang Mahabesar dan kekal,
aku menghadap sakramen Putera Tunggal-Mu, Tuhan kami Yesus Kristus.
Aku datang sebagai orang yang sakit kepada Sang Tabib Kehidupan,
sebagai orang yang berdosa ke hadapan mata air belas kasih,
sebagai orang buta ke hadapan Terang yang kekal,
sebagai orang miskin dan papa kepada Tuhan langit dan bumi.
Karena itu, aku memohon kelimpahan rahmat-Mu yang tak terbatas
agar Engkau berkenan memulihkan penyakitku, mencuci noda dosaku, menerangi kebutaanku, memperkaya kemiskinanku,
sehingga aku dapat menerima Roti para malaikat, Raja dari segala raja,
dengan segala penghormatan dan kerendahan hati, dengan kasih yang besar,
dengan kemurnian dan iman, dengan tujuan dan maksud
yang dapat berguna bagi keselamatan jiwaku.
Berikankah kepadaku, kumohon,
rahmat untuk menerima tidak saja sakramen Tubuh dan Darah Tuhan kami,
tetapi juga rahmat dan kuasa dari sakramen ini.
O, Tuhan yang Maha Pemurah, dengan menerima Tubuh Putera-Mu yang Tunggal,
Tuhan kami Yesus Kristus yang dilahirkan oleh Perawan Maria,
karuniakanlah kepadaku rahmat untuk boleh digabungkan dengan Tubuh Mistik-Nya dan terhitung sebagai anggota- anggota Tubuh-Nya.
O Tuhan yang Maha Pengasih, berikanlah kepadaku rahmat untuk memandang wajah sesungguhnya dari Putera-Mu terkasih selamanya di surga, yang kini akan kuterima dalam rupa yang terselubung.
Amin.
Doa sesudah Komuni
disusun oleh St. Thomas Aquinas, Pujangga Gereja (1225-1274)
Aku berterima kasih kepada-Mu, Bapa yang kekal,
karena oleh belas kasihan-Mu yang murni
Engkau telah berkenan memberi makan jiwaku dengan Tubuh dan Darah Putera Tunggal-Mu, Tuhan kami Yesus Kristus.
Kumohon kepada-Mu agar Komuni kudus ini tidak menjadi kutukan bagiku,
tetapi menjadi penghapusan yang berdayaguna untuk semua dosaku.
Semoga Komuni ini menguatkan imanku, membangkitkan di dalamku semua yang baik, membebaskan aku dari kebiasaan- kebiasaan buruk, menghapuskan semua kecondongan terhadap dosa, menyempurnakan aku di dalam kasih, kesabaran, kerendahan hati, baik yang kelihatan dan tak kelihatan, menjadikankanku bersahaja dalam segala hal, mempersatukanku dengan-Mu dengan erat, Sang Kebaikan sejati, dan tempatkanlah aku dalam kebahagiaan yang tak dapat berubah.
Kini aku memohon dengan sungguh agar suatu hari nanti Engkau akan menerima aku, meskipun aku orang berdosa dan tidak layak, untuk menjadi seorang tamu pada Perjamuan Ilahi di mana Engkau, dengan Putera-Mu dan Roh Kudus, adalah Terang Ilahi, kesempurnaan kekal, sukacita yang tak berkesudahan dan kebahagiaan sempurna dari semua orang Kudus, melalui Kristus Tuhan kami.
Amin.
Doa sesudah Komuni
ANIMA CHRISTI
doa Gereja yang populer di abad 14, yang dikutip oleh St. Ignatius Loyola dalam bukunya Spiritual Exercises.
Jiwa Kristus, kuduskanlah kami
Tubuh Kristus, selamatkanlah kami
Darah Kristus, sucikanlah kami
Air dari lambung Kristus, basuhlah kami
Sengsara Kristus, kuatkanlah kami
O Yesus yang murah hati, luluskanlah doa kami
Dalam luka- luka-Mu sembunyikanlah kami
Jangan kami dipisahkan dari pada-Mu, ya Tuhan
Terhadap Seteru yang curang, lindungilah kami
Di saat ajal, terimalah kami
Agar bersama para kudus, kami memuji Engkau selamanya.
Dear Katolisitas,
Masih banyak yang mempertanyakan kehadiran 100% Tubuh dan Darah Yesus. Pada saat Perjamuan Terakhir, logikanya Yesus ada di depan para rasul, lalu mereka minum darah dan makan daging Yesus, padahal Yesus bersama mereka pada saat itu. Bagaimana sebaiknya menjelaskan hal ini?
Kemudian kenapa Kurban Kristus perlu dihadirkan kembali? Bukankah ketika Yesus disalib 2000 tahun yang lalu, dosa semua umat manusia sudah ditebus satu kali untuk selamanya? Seperti yang tertulis dalam Ibrani 10:14 Sebab oleh satu korban saja Ia telah menyempurnakan untuk selama-lamanya mereka yang Ia kuduskan. Yesus telah bangkit, tetapi Kurban dihadirkan kembali. Ini membuat saya bingung.
Lalu saya ingin bertanya, kita menerima Tubuh dan Darah Kristus saat komuni pertama, berarti mengalami penebusan, tapi kenapa setelah itu kita tetap menyambut komuni terus menerus? Apakah itu berarti kita tidak cukup mengalami satu kali penebusan?
Dan kenapa tidak diperkenankan menyambut komuni dalam keadaan berdosa berat? Padahal Kurban Kristus dalam Ekaristi justru mendatangkan pengampunan dosa-dosa tersebut.
Mohon penjelasannya.
Tuhan memberkati.
Salam
Shalom Paulus As,
1. Menjelaskan transubstansiasi pada saat Perjamuan Terakhir.
Sesungguhnya makna Perjamuan Terakhir baru dapat dipahami dengan lebih penuh, jika kita melihat kaitannya dengan perjamuan Paska Perjanjian Lama. Tuhan memerintahkan kepada Nabi Musa untuk merayakan Paska Yahudi pada waktunya (yaitu setiap hari yang keempatbelas bulan yang pertama), agar kenangan pembebasan bangsa Israel dari penjajahan Mesir dapat tetap hidup di dalam ingatan mereka (lih. Kel 12:1-13; Bil 9:1-5), Perjamuan Terakhir yang dilakukan oleh Kristus adalah untuk menggenapi apa yang sudah digambarkan secara samar-samar dalam PL tersebut. Injil menuliskan bahwa perjamuan terakhir Kristus dan para murid-Nya diadakan dalam rangka perayaan Paska Yahudi (lih. Mat 26:17). Sebagaimana perayaan kurban Paska Yahudi dilakukan untuk menghidupkan kembali kenangan pembebasan mereka dari penjajahan Mesir; demikian pula perayaan kurban Kristus dilakukan untuk menghidupkan kembali kenangan pembebasan umat Allah dari penjajahan dosa.
Transubstansiasi yang sungguh terjadi pada Perjamuan Terakhir ini, merupakan konsekuensi logis, jika kita mempercayai perkataan Yesus sendiri, karena Ia berkata, “Inilah Tubuh-Ku” [bukan “Inilah lambang Tubuh-Ku”]. Maka sejak awal para Rasul mengartikannya demikian (1Kor 10:16;11:23-29), dan juga para Bapa Gereja seperti St. Yustinus Martir, St. Irenaeus, St. Sirilus dari Yerusalem, dst. Dengan demikian, para Rasul meyakini bahwa roti yang dipegang oleh Yesus dalam Perjamuan Terakhir itu, setelah pengucapan syukur sungguh-sungguh telah diubah menjadi Tubuh-Nya yang mulia, yang esoknya akan dikurbankan di kayu salib, yang akan bangkit dan yang kemudian akan dihadirkan kembali di sepanjang segala abad, untuk memenuhi nubuat Nabi Maleakhi dalam Mal 1:11 (…dari terbitnya matahari sampai terbenamnya di seluruh dunia akan dikurbankan kurban yang murni bagi nama Tuhan). Kristus yang adalah Allah, menyatakan kuasanya untuk mengatasi ruang dan waktu, dengan menghadirkan Tubuh-Nya yang mulia bahkan sebelum peristiwa pengurbanannya terjadi, maupun sesudahnya, saat Ia tidak lagi hidup di dunia.
Dengan menghadirkan Tubuh-Nya bahkan sebelum pengurbanan-Nya ini, St. Bede menjelaskan, Yesus menunjukkan bahwa pengurbanan-Nya di kayu salib itu dilakukan atas kehendak-Nya sendiri (Mat 27:50; Mrk 15:37; Luk 23:46; Yoh 19:30). Ia sendiri sudah tahu apa yang akan terjadi di hari esoknya, bahkan sebelum hal itu terjadi, yaitu Ia akan menyerahkan Tubuh-Nya dan Darah-Nya, wafat menjadi kurban tebusan dosa umat manusia.
St. Bede yang terberkati, menuliskan demikian tentang Perjamuan Terakhir:
“Setelah menyelesaikan ritus Paska Perjanjian Lama, Ia [Kristus] beralih kepada Perjanjian baru, di mana Ia menghendaki Gereja untuk merayakan kenangan penebusan-Nya, dengan menggantikan daging dan darah anak domba, dengan sakramen Tubuh dan Darah-Nya dalam rupa roti dan anggur. Dan ia mengambil roti dan mengucap syukur … dan memecah-mecahkannya. Ia sendiri memecahkan roti yang dipegangnya, untuk menunjukkan bahwa pemecahan Tubuh-Nya itu, yaitu Sengsara-Nya, bukanlah terjadi di luar kehendak-Nya. Dan [Ia] memberikannya kepada mereka, sambil berkata, “Inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagimu.”
Sebagai penggenapan kurban penebus dosa, Kristus memilih jam 3 petang untuk menyerahkan nyawanya, bertepatan dengan jam kurban di bait Allah, yang juga dilakukan pada jam 3 petang (lih. Kis 3:1). Dengan demikian tergenapilah apa yang dikatakan-Nya, bahwa Ia akan menyerahkan nyawa-Nya bagi umat-Nya, atas kehendak-Nya sendiri. “Tidak seorangpun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali” (Yoh 10:18). Sebab ada saat-saat sebelumnya di mana Yesus sudah dikepung orang banyak dan mereka ingin membunuh-Nya, namun karena saat-Nya belum tiba (karena saat penggenapan itu harus terjadi di masa perayaan Paska Yahudi), maka tidak terjadi apapun pada Yesus (lih. Luk 4:30; Yoh 7:30;8:20). Saat itu tiba, ketika perayaan Paska Yahudi, saat Yesus duduk makan bersama-sama dengan rasul-rasul-Nya (Luk 22:14). Perjamuan Terakhir itu merupakan antisipasi akan apa yang akan terjadi di keesokan harinya, dan menjadi pernyataan permintaan terakhir dari Kristus sebelum wafat-Nya agar para murid-murid-Nya mengenang-Nya dengan cara tersebut (lih. Luk 22:19), dan dengan demikian mereka memberitakan kematian-Nya sampai Ia datang kembali di akhir zaman (1Kor 11:26).
2. Kenapa kurban Kristus perlu dihadirkan kembali?
Karena demikianlah pesan Yesus sendiri, agar merenungkan-Nya dengan cara yang sama ketika Ia hadir di tengah para murid-Nya di Perjamuan Terakhir. Sebab bukankah hal ini pula yang dilakukan-Nya sendiri, ketika Ia menampakkan diri kepada dua murid-Nya dalam perjalanan ke Emaus (Luk 24:13-35), dan juga ketika Ia menampakkan diri kepada para murid sebelum kenaikan-Nya ke Surga (lih Yoh 21:31)? Yesus berkenan hadir dalam pemecahan roti itu, yang melambangkan Sengsara Kurban-Nya. Pada saat- saat Yesus hadir dan memecah roti setelah kebangkitan-Nya, tentulah tidak berarti bahwa Yesus disalibkan kembali. Namun Ia sendiri menunjukkan bahwa sebagai Putera Allah yang telah bangkit dari mati, Ia mengatasi keterbatasan ruang dan waktu, sehingga dapat hadir kembali secara sakramental di manapun, dan kapanpun, menurut kuasa Roh Kudus-Nya. Gereja kemudian merayakan peristiwa penghadiran kembali kurban yang sama dan satu-satunya ini, secara sakramental dalam setiap perayaan Ekaristi.
3. Mengapa harus menerima Komuni lagi setelah Komuni Pertama?
Yesus, sebagai Sang Roti yang turun dari Surga, merupakan penggenapan makna dari roti manna yang diturunkan Allah kepada bangsa Israel. Sebagaimana dulu manna diturunkan Allah setiap hari sampai mereka (sebagai bangsa pilihan Allah) masuk ke tanah terjanji; demikianlah Kristus dalam rupa Komuni kudus dapat diterima Gereja (sebagai bangsa pilihan Allah yang baru) setiap hari, sampai mencapai Tanah Terjanji yang sesungguhnya yaitu Surga. Maka Gereja terus merayakan Ekaristi, setiap hari sampai kedatangan-Nya yang kedua di akhir zaman. Sebagaimana kita tidak hanya cukup makan satu kali untuk pertumbuhan jasmani, demikianlah, kita juga tidak cukup menerima satu kali Ekaristi untuk pertumbuhan rohani kita.
Nah, maka memang rahmat penebusan Kristus yang menguduskan itu telah kita terima, melalui pertobatan dan Baptisan, namun setelah Baptisan itu, tetaplah kita harus senantiasa bertobat dan bertumbuh dalam kekudusan. Pertumbuhan dalam kekudusan itu kita terima setiap kali kita menerima Ekaristi, namun juga dalam kerjasama kita dengan rahmat Allah untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya, terutama dalam melakukan perbuatan-perbuatan kasih, dan menghindari dosa. Sebab dosa itulah yang menghalangi persatuan/ Komuni kita dengan Allah, sehingga jika seseorang tetap menerima Komuni kudus dalam keadaan berdosa berat, ia sesungguhnya melaksanakan apa yang sesungguhnya bertentangan dengan hakekat Komuni itu sendiri.
4. Mengapa orang yang sedang dalam keadaan berdosa berat tidak dapat menerima Komuni kudus?
Karena sabda Allah mensyaratkan demikian. Rasul Paulus mengajarkan bahwa jika seseorang menyambut Ekaristi dengan tidak layak -yaitu dalam keadaan berdosa berat, maka ia berdosa terhadap Tubuh dan Darah Tuhan (lih. 1Kor 11: 26-27); atau kalau ia menyambut tanpa mengakui bahwa yang disambut itu adalah Tubuh Tuhan, maka ia mendatangkan hukuman atas dirinya sendiri (lih. 1Kor 11:29-30).
Maka untuk memperoleh pengampunan dari dosa berat, ia perlu terlebih dahulu mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan Dosa, di hadapan imam-Nya (sebagai para penerus Rasul). Sebab cara inilah yang dikehendaki oleh Kristus, sebagaimana dinyatakannya dalam Injil (Yoh 20:21-23). Baru setelah terlepas dari dosa berat, ia dapat menerima Komuni kudus. Selanjutnya tentang pengertian dosa berat dan dosa ringan, dan tentang sakramen Pengakuan dosa, silakan membaca artikel seri tentang sakramen Pengakuan dosa: Masih Perlukah Sakramen Pengakuan Dosa, bagian 1 s/d 4 di situs ini. Silakan menggunakan fasilitas pencarian di sisi kanan atas homepage.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
syalom..
langsung saja ya..
seorang teman pernah bertanya pada saya mengapa tata cara ibadah gereja katolik secara umum bisa sama seluruh dunia..dia seperti membandingkan dengan gereja nya yg cenderung punya tata cara ibadah yag berbeda.
mohon tuntunan atas pertanyaan ini, mungkin sudah ada artikel yg saya lewatkan yg juga membahas soal ini..
terimaksih
[dari katolisitas: Liturgi di dalam Gereja Katolik mengambil dari apa yang dilakukan oleh Kristus dalam Perjamuan Terakhir dan jemaat perdana dalam Kisah Para Rasul (lih. Kis 2:42), yang kemudian diteruskan oleh jemaat Kristen awal di abad-abad awal, mengalami perkembangan dan mendapatkan bentuk bakunya. Silakan melihat artikel di atas – silakan klik.]
Comments are closed.