Kehidupan seorang imam

Kehidupan seorang imam di zaman ini selalu penuh tantangan, baik yang besar maupun kecil. Di manapun, kapanpun, dalam hal apapun, tantangan menghiasi setiap jalan seorang imam bagaikan berjalan menemui kerikil-kerikil tajam. Jatuh bangunnya kehidupan seorang imam itulah sebuah dinamika perjalanan menuju kesucian para imam. Suci atau kudus dalam konteks Kitab Suci Perjanjian Lama (KS PL) senantiasa diartikan “yang dikhususkan bagi Allah”. Imam yang disucikan dalam KS PL berarti orang yang terpilih dan dikhususkan bagi Allah. Maka kehidupan seorang imam dikuduskan oleh Allah dalam melayani umat-Nya. Meskipun demikian seorang imam adalah manusia biasa yang kadang pernah jatuh karena dosa. Pertanyaan berikutnya adalah, apakah imam mampu bangun kembali dan meneruskan perjalanan imamatnya atau tetap di situ?

Kesucian menurut Kitab Suci

Dalam konteks Kitab Suci Perjanjian Baru dan dunia millenium saat ini, kesucian seorang imam tidaklah hanya dilihat dari sisi kerohanian karena dia adalah seorang yang dipilih Allah menjadi imam-Nya, melainkan karena seorang imam adalah manusia biasa yang setia dalam panggilannya. Maka kesucian mesti dilihat dari kemampuan dan daya tahan seorang imam dalam menjalankan kehidupan imamatnya. Ketika jatuh, seorang imam sadar dan mengakui kesalahannya dan bangkit untuk bangun kembali, berjalan tegak menapaki jalan imamat sehari-hari. Untuk itu ada beberapa hal pokok yang perlu mendapat perhatian bagi seorang imam yang berusaha hidup suci dalam panggilan imamatnya. Seorang imam adalah seorang yang dipilih oleh Allah untuk berdoa bersama dengan umat-Nya. Konsili Vatikan II dalam Dekrit Presbyterorum Ordinis, 5 menyatakan: Allah satu-satunya yang kudus menguduskan, berkenan mengikutsertakan manusia sebagai rekan serta pembantu-Nya untuk dengan rendah hati melayani karya pengudusan. Imam mengambil bagian dalam kekudusan Allah dan menyalurkan kekudusan itu kepada umat beriman. Pengudusan itu berpusat pada misteri wafat dan kebangkitan Kristus dari alam maut. Dalam pengudusan itu, imam berperan sebagai pendoa yang terus menerus melatih diri. Maka seorang imam selain berdoa pribadi wajib mendoakan Ibadat Harian atau Ofisi. Doa menjadi senjata utama dalam menghadapi kerikil dan batu besar yang menghadang perjalanan seorang imam.

Tantangan kesucian imam

Tantangan terbesar bagi seorang imam di zaman ini adalah kemampuan imam untuk berdialog dengan umat. Kemampuan berdialog bagi seorang imam dituntut dalam rangka pastoral kegembalaan bagi umat. Apalagi jika seorang imam yang berkarya di Keuskupan Agung Jakarta, tentu “tuntutan” kemampuan berdialog menjadi lebih tinggi. Umat Keuskupan Agung Jakarta cenderung lebih kompleks, maka persoalan yang ada juga lebih variatif. Mencari jalan keluar lewat dialog dengan umat mungkin juga lebih sulit. Dialog juga tidak hanya melulu untuk mencari jalan keluar atas suatu masalah. Dialog diperlukan juga untuk menjadi dekat dengan umat, apapun latar belakangnya, tanpa pandang bulu. Seorang imam adalah pemimpin pastoral sebagai gembala yang baik (bdk. Yoh 10:11). Yesus mengikutsertakan para murid-Nya untuk mencari domba yang hilang. Tugas penggembalaan itu terkait dengan kuasa yang diterima dari Yesus. Kuasa itu diberi untuk menyalurkan kekuatan ilahi demi kesejahteraan rohani dan merangkul semua domba dalam kawanan yang sama. Maka untuk itu dibutuhkan hidup kerohanian seorang gembala yang melayani dan rela berkorban demi umatnya. Untuk itu pula dibutuhkan kemampuan pendampingan seorang imam kepada umatnya. Dengan persoalan yang kompleks, kemampuan para imam untuk bisa mengimbangi dalam pendampingan juga menjadi tantangan. Bagaimana membantu umatnya melewati masa sulit sebagai wakil sosok Kristus yang hadir di dunia. Bagaimanapun, umat yang mengalami masalah tentu butuh sahabat yang bisa dijadikan tempat bersandar selain imam yang mampu memberikan penguatan spiritual.

Jakarta dan sekitarnya menawarkan kehidupan yang metropolis. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi para imam untuk tetap setia dengan kaul kekalnya. Berbagai fasilitas yang bersifat hiburan mulai dari internet sampai model ponsel terbaru, sungguh menggoda sebagai “pelarian” dari kejenuhan dan stres. Para imam bisa saja terpeleset dan terlena ke dalam kondisi yang nyaman, manja, mapan, merasa tidak cukup, bahkan sampai mencari ketenaran, kuasa, dan harta. Ini sangat bertolak belakang dengan kesucian hidup imam. Maka tantangan ini menjadi unik karena berbeda satu dengan lainnya. Di tengah gaya hidup metropolis seperti ini, muncul dilema antara melayani dan ingin dilayani. Tidak dapat dipungkiri bahwa tingkat ekonomi umat Keuskupan Agung Jakarta sangat banyak yang di atas rata-rata. Maka “fasilitas” yang diberikan kepada imamnya sebagai tanda kasih bisa menjadi bumerang. Maka baik kalau umat jangan memberikan hadiah yang mewah kepada imam, karena dapat menimbulkan akibat yang kurang baik. Yesus sendiri membasuh kaki para rasul-Nya pada Malam Perjamuan Terakhir. Semangat ini seyogyanya juga dimiliki oleh para imam. Melayani dengan rendah hati, bukan dilayani.

Menjadi seorang imam tentu menyangkal diri, meninggalkan hal-hal duniawi dan mengorbankan kepentingan pribadinya, termasuk ego. Seperti halnya Kristus yang mengorbankan diri-Nya di kayu salib, begitu juga para imam mengorbankan dirinya untuk gereja. Pada prakteknya, pengorbanan yang dilakukan memang terlihat sepele, seperti hobi. Hobi pada umumnya dilakukan pada waktu senggang, bukan menjadi prioritas hidup. Maka ketika pelayanan berhadapan dengan kebutuhan pribadi duniawi, para imam diharapkan untuk mengutamakan pelayanan. Imam bukan hanya untuk Gereja atau hanya untuk umat. Imam menjadi pelayan keduanya. Kedekatan dengan umat bisa dijadikan tolok ukur bagaimana imam melayani umatnya tanpa pilih kasih. Imam diharapkan menjadi gembala di tengah kawanannya, bukan di luar. Gembala yang baik tentu berada di antara dombanya, menjaga agar kawanannya tetap teguh, bersatu, dan tidak hilang seekor pun. Imam juga diharapkan untuk memiliki komitmen untuk bekerja sama tidak hanya dengan umat tapi juga gereja lokal berdasarkan kebijakan gereja lokal. Imam-imam misionaris dan diosesan harus dapat bekerja sama dengan baik. Dengan kolaborasi yang baik di antara para imam ini, tentu membuat umat juga semakin gembira menjalani hidupnya.

Yang perlu dilakukan seorang imam

Ada beberapa hal yang diharapkan untuk dilaksanakan para imam untuk mencapai kesucian:

  • Bertumbuh dalam kematangan hidup rohani. Doa pribadi dan offisi harian dan meditasi merupakan jalan kematangan hidup rohani
  • Mengembangkan kepribadian yang utuh dan matang. Dengan rohani dan kepribadian yang matang, umat akan merasa lebih aman dan damai hidup bersama gembalanya.
  • Belajar setia pada Kristus dengan merayakan Ekaristi Kudus setiap hari. Menjadi imam adalah panggilan untuk menjadi sosok Kristus di dunia. Kesetiaan pada panggilan dan hidup imamat tidak akan habis dikikis oleh tantangan dan waktu, melainkan akan semakin dinamis dan dewasa.
  • Melakukan aksi cinta kasih pastoral yang total pada Kristus, Sang Gembala Agung.
  • Menghidupi kesucian hidup imam dengan latihan rohani: rekoleksi dan retret, meditasi harian, dan adorasi pada Sakramen Maha Kudus. Menjadi seorang imam adalah menjalani pola hidup yang suci. Sebagai manusia, imam juga bisa sesekali jatuh. Dengan kesadaran hidup suci itu, tentu pertobatan yang sungguh bisa mengembalikan kesucian hidup imam.

Hidup menjadi imam tentu tidak dapat dijalani oleh sembarang orang. Hanya yang terpanggil dan terpilih yang berjalan berdampingan dengan Kristus. Menjadi sangat indah di tengah kehidupan duniawi yang semakin tidak jelas arahnya, ada seorang yang memberikan hidupnya sebagai persembahan pada Kristus di altar-Nya yang suci. Dan itulah imam kita. Maka dukung dan kasihi imam-imam Anda dan terima apa adanya sebagai manusia yang biasa, namun memiliki anugerah kuasa ilahi untuk Gereja.

Imam diosesan dan perutusannya

Paus Yohanes Paulus II dalam Ensikliknya Redemptoris Missio mengatakan bahwa “tugas perutusan Kristus Sang Penebus, yang dipercayakan kepada Gereja, masih sangat jauh dari penyelesaiannya, bahkan masih di tahap awal. (bdk. RM. 1). Maka Ia  mengundang peran aktif seluruh umat Kristiani untuk terlibat dalam karya misioner. Hampir seluruh pewartaaan Gereja  diwarnai perutusan misioner, khususnya di zaman sekarang ini. Jadi kata misioner tidak asing lagi bagi mereka yang bergerak dalam pewartaan. Bahkan untuk anak-anak SEKAMI (Serikat Kepausan Anak Misioner)  dikenal istilah Misionaris Cilik.   Pada imam diosesan dikenal satu istilah “Misionaris Fidei Donum”. Istilah Misionaris Fidei Donum ini muncul ketika dikeluarkannya Ensiklik Fidei Donum oleh Paus Pius XII, 21 April 1957. Ensiklik Fidei Donum ditulis pra konsili Vatikan II. Pada masa itu pandangan tentang seorang misionaris adalah seseorang yang diutus keluar negara / tanah misi. Ensiklik ini berisikan himbauan kepada para uskup (sedunia) untuk mengijinkan para imam diosesan (dalam kurun tertentu) menjadi misionaris di Afrika. Karena pada waktu itu negara Afrika baru terbebas dari penjajahan (mendapatkan kemerdekaannya).

Para imam inilah dikenal dengan sebutan “Misionaris Fidei Donum”. Dan  sampai saat ini, istilah “Misionaris Fidei Donum” masih tetap dipakai. Bahkan untuk negara Eropa (Italia) adanya satu komisi untuk menangani secara khusus bagi “Misionaris Fidei Donum”.  Namun di zaman millennium III, hampir seluruhnya himbauan/surat Paus mengarahkan pada seluruh umat Kristiani (kita) untuk menjadi seorang misionaris. Berjiwa misioner bagi setiap orang yang telah dibaptis. Menjadi misionaris dengan ikut ambil bagian dalam karya perutusan misioner Gereja. Namun, bagi para imam, mereka mempunyai kekhususan sendiri dalam tugas perutusan. Terlebih di daerah-daerah di mana orang-orang Kristen merupakan minoritas, para imam mendapatkan tugas secara khusus (bdk. RM. 67).

Walaupun demikian, setiap imam mempunyai tugas yang sama, yakni untuk membangun umat Allah. Hal ini ditegaskan dalam dokumen Pastoral davo Vobis sebagai berikut: Kenyataannya semua imam, entah diosesan atau religius, berpartisipasi dalam satu-satunya imamat Kristus, Kepala dan Gembala. Mereka mengerjakan satu hal yang sama, yakni: “membangun Tubuh Kristus, yang memerlukan bermacam-macam fungsi serta penyesuaian baru, khususnya dewasa ini”, lagi pula dari abad ke-abad diperkaya dengan karisma-karisma yang setiap kali baru (PdV, 17).

Para imam mendapatkan perutusan misioner berdasarkan Sakramen Tahbisan Imamat yang diterimanya. Jadi dalam hal ini, semua imam tergolong misionaris. Dalam Ensiklik Redemptoris Missio, 67 dijelaskan demikian:  “Sebagai rekan-rekan para uskup, para imam dipanggil berdasarkan pada Sakramen Tahbisan Imamat untuk ikut ambil bagian di dalam kepedulian akan tugas perutusan Gereja, “anugerah rohani, yang diterima para imam dalam tahbisan, tidak mempersiapkan mereka untuk satu perutusan yang terbatas dan sempit, melainkan untuk perutusan keselamatan, yang sangat luas dan universal sampai ke ujung bumi” dalam cakupan universal perutusan yang diserahkan Kristus kepada para Rasul”. Karena alasan ini maka pendidikan untuk para calon imam mesti diarahkan pada usaha memberikan mereka “jiwa yang benar-benar Katolik. Yang membiasakan mereka melampau batas-batas dioses, negara, atau ritusnya, dan membantu kebutuhan seluruh gereja dengan hati yang siap untuk mewartakan Injil di mana saja”. (bdk. RM. 67, PvD 18, PO.20).  (Tulisan ini diolah dari berbagai sumber)

RD. D. Gst Bgs Kusumawanta

(Ketua Unio Indonesia 2011-2014)

27 COMMENTS

  1. salam

    Terima kasih romo Santo atas penjelasannya. Benar2 mencerahkan saya. Saya kadang juga ingin menyepi, menghindar dari ketidakpastian dunia ini. Kadang saya ingin tutup telinga ato mengistirahatkan batin saya dari segala masalah2 ato dari hingar bingar dunia ini dan mencari kedamaian ato setidaknya hening,melepaskan segalanya dan menyerahkan semua beban kepada Tuhan tapi saya takut saya hanya mementingkan diri sendiri dan tdk menjadi orang kristen yang baik , ternyata apa yang saya pikirkan salah. Terima kasih romo

  2. salam

    bagaimana pandangan GK ttg hidup membiara ato bertapa krn bnyk kisah hidup orang kudus yg sy baca sebagian besar dr mereka lbh sk hidup membiara dn bertapa, misal Suster Lucia Santos dr Fatima ato seorg uskup (lp namanya) yg mengundurkan diri krn terlalu bnyk konflik dn lbh memilih hidup membiara dn bertapa, bahkan smp ada yg hidup menyendiri hidup di hutan ato gua smp ajal mrk. Saya salut terhdp cr hidup mrk yg totalitas hanya utk Tuhan tp sy kmd bingung bgmn dg berkarya ato mewartakan iman ato dg hidup bermasyrkt? Kalau mrk memilih hdp spti tsb bukankah mrk egois krn mrk terkesan melarikan diri dn menghindari dr realita hidup dr dunia yg carut marut ini. Kita mmg berusaha hdp kudus slm di dunia ini shg hdp bertapa dn ‘menyepi’ lbh bs menghindarkan kita dr dosa tp bknkah org2 biasa lbh dpt berkembang dn tumbuh scr rohani krn penderitaan2 yg mrk alami dlm permslhn mrk bermsyrkt dn lbh dpt membagikan iman mrk kpd sesama dibanding mrk yg hdp mengasingkan diri dn bertapa. Mohon dibenarkn jika pendpt sy slh. Terima kasih

    • Salam Maria,

      Kita bisa mencari informasi mengenai hidup kerahiban atau pertapaan ini di berbagai sumber dari baiara-biara mereka seperti http://www.ocso.org, http://www.trappistabbey.org/

      Mengenai sejarah pertapaan umumnya dan khususnya di Rawaseneng bisa dilihat di http://sites.google.com/site/rawaseneng/sejarah. Mereka mempunyai aturan pertapaan dengan visi mendoakan dunia. Tidak mudah menjalani hidup doa dan karya yang utuh, namun hal itu mungkin. Mereka pun bekerja tangan dengan hasil kabun, hasil ternak hasil pertanian yang nyata. Anda bisa mengunjungi pertapaan OCSO Rawaseneng di kabupaten Temanggung dan Pertapaan OCSO Bunda Pemersatu Gedono kabupaten Salatiga untuk mengetahui lebih dalam akan hidup kerahiban. Kesaksian mereka ada di http://sites.google.com/site/rawaseneng/kesaksian

      Gereja Katolik sangat mendukung cara hidup monastik dengan dukungan yang sama pada cara hidup aktif di tengah keramaian. Dua bentuk baik kontemplatif maupun aktif tetaplah harus integral (utuh) dalam diri setiap manusia Katolik. Dalam lembaga dan jalan kerahiban, cara kontemplatif lebih ditekankan. Dalam lembaga sekular-aktif, gaya aksi di tengah keramaian lebih ditekankan. Namun keduanya sebenarnya dua sisi dari satu mata uang yang sama, yaitu panggilan kekudusan dari Allah. Keduanya tetap ada di dalam dunia yang sama. Yang kontemplatif tidak meninggalkan dunia. Sebaliknya, yang aktif pun tidak meninggalkan kontemplasi.

      Banyak orang datang ke pertapaan Bunda Pemersatu Gedono dan Rawaseneng untuk belajar berdoa atau konsultasi mengenai hidup rohani. Beberapa trapis (rahib) dan trapistin (rubiah) menulis buku untuk kita pun bertugas pula di luar seperti berceramah. Artinya, hidup doa yang dipegang teguh oleh para rahib menjadi sauh di kala aktivitas dunia mengguncang kemanusiaan. Mereka tetap tahu keadaan dunia dan mendoakan kesengsaraan dunia juga dalam kesengsaraan mereka sendiri di pertapaan walaupun tanpa hp, BB, televisi, radio, HT, telepon kabel, surat kabar, internet, dll. Yang memegang alat komunikasi hanya satu orang rahib atau rubiah yang diberi tanggungjawab bagian komunikasi saja. Motivasi orang Katolik yang menjadi petapa yang telah dimurnikan ialah mendoakan dunia dan memberikan sauh bagi dunia yaitu doa tiada putus di hadirat Allah.

      Salam
      Yohanes Dwi Harsanto Pr

  3. salam

    syarat-syarat apa saja utk jadi imam? Terus ada syarat-syarat tertentu juga nggak yang membuat seseorang tidak bisa jadi imam? Misal seseorang dengan kelainan sex seperti homosexual, transgender, bisex, kepribadian ganda dll. Apabila seorang imam di kemudian hari diketahui imam tsb tidak layak atau tidak memenuhi syarat utk jadi imam, misal diketahui imam tsb telah ganti identitas karena telah operasi dari wanita ke pria dll, apakah imam tsb kena sangsi? Kalau iya sangsi apa yg dikenakan?
    terima kasih

    • Salam, Maria

      Halangan tahbisan tercantum dalam KHK kanon 1041: Yang telah menderita kegilaan atau penyakit psikis lain, yang sesudah dikonsultasikan dengan para ahli dinilai tidak mampu melaksanakan pelayanan dengan baik. Yang telah melakukan tindakan pidana, murtad atau skisma. Yang telah mencoba menikah, walaupun secara sipil saja. Yang telah menggugurkan kandungan atau bekerja sama secara positif untuk keberhasilan pengguguran kandungan. Yang mencoba bunuh diri, membuat mutilasi berat untuk kejahatan diri sendiri dan orang lain. Yang pernah mempraktekkan tahbisan yang tidak pernah diterimanya.
      Kesehatan psikis tersebut termasuk segala bentuk anomalia seksual seperti yang Anda sebut. Jika Gereja “kecolongan” menahbiskan orang dengan kelainan tersebut, maka, Gereja harus mengobatkannya, kemudian dia ditempatkan di tempat di mana mereka ada dalam kondisi yang tidak akan mengaktualkan potensi kelainannya tersebut. Itulah sangsinya.

      Sedangkan mengenai syarat tahbisan dicantumkan dalam KHK kanon 1029: Untuk tahbisan-tahbisan hendaknya hanya diajukan calon-calon yang menurut penilaian arif Uskupnya sendiri atau Pemimpin tinggi yang berwenang, setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, memiliki iman yang utuh, terdorong oleh maksud yang benar, mempunyai pengetahuan yang semestinya, mempunyai nama baik, integritas moral serta dilengkapi dengan keutamaan- keutamaan yang teruji dan kualitas lain, baik fisik maupun psikis, yang sesuai dengan tahbisan yang akan diterimanya.

      KHK Kan 1025: § 1 Agar tahbisan presbiterat atau diakonat dapat diberikan secara licit, dituntut bahwa calon, setelah menjalani masa probasi menurut norma hukum, memiliki kualitas-kualitas yang semestinya, menurut penilaian Uskupnya sendiri atau Pemimpin tinggi yang berwenang, tidak terkena suatu irregularitas dan halangan, dan telah memenuhi syarat-syarat sesuai norma Kanon 1033-1039; selain itu ada dokumen-dokumen yang disebut dalam Kanon 1050 dan telah dilakukan penyelidikan yang disebut dalam Kanon 1051.
      § 2 Selain itu dituntut agar, menurut penilaian Pemimpin yang berwenang tersebut, ia dinilai bermanfaat bagi pelayanan Gereja.
      § 3 Uskup yang menahbiskan bawahannya sendiri, yang diperuntukkan bagi pelayanan keuskupan lain, harus pasti bahwa calon tahbisan itu akan digabungkan dalam keuskupan itu.

      KHK kan 1026: Untuk ditahbiskan, seseorang harus mempunyai kebebasan yang semestinya; sama sekali tidak dibenarkan memaksa seseorang dengan cara apapun dan atas alasan apapun untuk menerima tahbisan, atau menolak calon yang secara kanonik cakap untuk menerima tahbisan itu.

      KHK kan 1027 Para calon diakonat dan presbiterat hendaknya dibina dengan persiapan yang seksama, menurut norma hukum.
      KHK kaan 1028 Uskup diosesan atau Pemimpin yang berwenang hendaknya mengusahakan agar para calon, sebelum diajukan untuk suatu tahbisan, diajar dengan baik mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tahbisan itu serta kewajiban-kewajibannya.

      KHK kanon 1031: Tahbisan tingkat Presbiterat (imamat) jangan diberikan kecuali kepada mereka yang telah mencapai umur genap duapuluh lima tahun dan cukup matang, disamping telah terpenuhi tenggang waktu sekurang- kurangnya enam bulan antara tahbisan diakonat dan presbiterat; yang diperuntukkan bagi presbiterat hendaknya hanya diizinkan menerima tahbisan diakonat setelah berumur genap dua puluh tiga tahun.

      KHK kanon 1032: Calon presbiterat dapat diajukan untuk diakonat hanya setelah selesai mengikuti kurikulum studi filsafat-teologi tahun kelima. Sesudah selesai mengikuti kurikulum studi, diakon hendaknya ambil bagian dalam reksa pastoral sambil melaksanakan tahbisan diakonatnya selama waktu yang layak, yang harus ditetapkan oleh Uskup atau oleh Pemimpin tinggi yang berwenang, sebelum diajukan untuk tahbisan presbiterat.

      KHK kanon 1033: Hanya calon yang telah menerima Sakramen Krisma dapat menerima tahbisan.

      KHK Kan 1034: Calon untuk diakonat atau presbiterat janganlah ditahbiskan jika belum terdaftar di antara para calon dengan suatu ritus liturgis penerimaan oleh otoritas yang disebut dalam Kanon 1016 dan Kanon 1019, sesudah yang bersangkutan mengajukan permohonan yang dibuat dengan tulisan tangannya sendiri dan ditandatanganinya, dan yang telah diterima secara tertulis oleh otoritas itu juga.

      KHK kan. 1037: Calon untuk diakonat permanen yang tidak beristri, demikian pula calon untuk tahbisan presbiterat, jangan diizinkan untuk menerima tahbisan diakonat, kecuali secara publik di hadapan Allah dan Gereja menurut upacara yang sudah ditetapkan, telah menerima kewajiban selibat, atau sudah mengucapkan kaul kekal dalam tarekat religius.

      KHK kanon 1039: Semua yang hendak menerima suatu tahbisan (frater calon diakon, diakon calon imam, imam calon uskup – pen) , hendaknya melakukan retret selama sekurang-kurangnya lima hari, di tempat dan dengan cara yang ditentukan oleh Ordinaris. Sebelum melangkah ke penahbisan, uskup penahbis sudah diberitahu bahwa para calon telah melakukan retret itu dengan baik.

      Salam
      Yohanes Dwi Harsanto Pr

  4. Romo Mardi saya mau tanya boleh tidak ?
    Saya dulu pernah masuk di seminari menengah di kelas KPA (Kelas Persiapan Atas) dan saya juga mempunyai seorang adik kelas di seminari menengah di kelas KPP (Kelas Persiapan Pertama) dan dia dulu sangat bersemangat sekali menjadi Frater OFM, dan sekarang dia malahan menjadi umat Katolik Orthodoks. Padahal dia baru saja pindah agama dari Islam ke Katolik Roma.
    Pertanyaan saya adalah apakah berdosa tidak kalau kita pindah agama Katolik Roma ke Katolik Orthodoks ? Juga apa perbedaan Katolik Roma dengan Katolik Orthodoks ? Juga pemimpin agama disebut apa sih ?
    Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih kepada Romo Mardi

    • Shalom Handry,

      Nampaknya istilah yang anda gunakan agak rancu. Sebab yang kita kenal sekarang dengan sebutan gereja Orthodoks tidak mengakui kepemimpinan Bapa Paus, sehingga mereka tidak dapat dikatakan sebagai Gereja Katolik ataupun gereja Katolik Orthodoks. Usaha dari para pemimpin kedua belah pihak sudah ada (Paus dari Gereja Katolik, dan patriarkh dari gereja Orthodoks) namun mungkin masih memerlukan waktu dan jalan yang panjang untuk merealisasikannya. Tentang hal ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik, dan tentang perbedaan secara garis besar antara gereja Orthodox denagn Gereja Katolik, silakan klik di sini.

      Namun demikian, ada beberapa Gereja Timur yang berada dalam kesatuan penuh dengan Gereja Katolik (yang berpusat di Roma) dan mengakui kepemimpinan Bapa Paus, dan Gereja- gereja ini disebut sebagai Gereja- gereja Katolik Timur, yang daftarnya ada di sini, silakan klik.

      Maka jika seseorang pindah dari Gereja Katolik ritus Latin ke Gereja Katolik ritus Timur, maka tidak menjadi masalah, karena masih sama- sama Gereja Katolik. Namun jika ia pindah dari Gereja Katolik ke gereja lain (non- Katolik), maka memang jawabannya tidak sesederhana itu, sebab ada banyak faktor yang bisa mempengaruhinya. Jika ia pindah karena pencarian yang tulus, tanpa mendahulukan kehendak dan pandangan pribadinya, sesungguhnya tak perlu dikuatirkan, sebab suatu saat ia dapat kembali lagi ke Gereja Katolik. Namun ceritanya berbeda, jika motivasinya adalah alasan pribadi, bukan karena pencarian kebenaran yang sejati, sehingga di sini ada unsur meletakkan kepentingan pribadi di atas kehendak Tuhan, yang telah mendirikan hanya satu Gereja di atas Rasul Petrus (lih. Mat 16:18), dan Ia sendiri menghendaki agar semua murid-Nya menjadi satu (Yoh 17:20-21). Jika kita sudah mengetahui kehendak Tuhan yang baik ini, namun kita dengan sadar tidak mengindahkannya/ melakukannya, maka harus diakui ada kesalahan dari pihak kita. Sebab Sabda Tuhan mengatakan, “Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa.” (Yak 4:17). Namun memang hanya Tuhan saja yang mengetahui sejauh mana seseorang sungguh- sungguh mengetahui akan kehendak Tuhan ini, sehingga memang bukan bagian kita untuk menghakimi orang- orang yang memutuskan untuk meninggalkan Gereja Katolik.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  5. Salam

    Terima kasih Romo Wanta atas dijawabnya pertanyaan saya. Saya mohon maaf Romo kalau pertanyaan saya tidak menghargai atau melecehkan imam. Bukan maksud saya, terlebih di bagian mengemis, karena dari yang saya baca dari kisah hidup santo semisal St.John of Vianney atau St.Ignatius Loyola, beliau2 dalam perjalanan mencari Yesus, mereka hidup dalam kemiskinan hingga mereka mengemis walaupun akhirnya uang dari mengemis disumbangkan atau diberikan kepada org2 miskin atau Gereja. Pertanyaan saya: kenapa mereka mengemis dan tidak bekerja saja semisal jadi pembantu dan bukankah hal tersebut bertentangan dengan 2Tes 3:7-10 dan apakah hal tsb masih berlaku? Saya pernah dengar sharing seorang romo sebelum beliau jadi romo beliau jadi pembantu kurang lebih 2 th di rumah seorang Katolik dengan merahasiakan identitasnya sebagai calon imam atau pekerjaan lain yang dianggap rendah oleh org lain. Ini yg saya maksud dengan “magang” apakah hal ini juga berlaku kepada calon imam yang lain? Kalau iya pekerjaan2 apa yang dilakukan atau dipilih calon imam sekarang sebelum jadi calon imam? Apakah hanya teori saja tanpa praktek seperti pengalaman romo yang saya tau? Kalau tidak, kenapa romo tsb melakukannya? Apakah atas inisiatif sendiri dengan 7an bisa merasakan jadi orang rendahan dan tidak dianggap masyarakat atau juga karena ingin melihat kehidupan iman umat Katolik yg sesungguhnya di lapangan? Dan masih tetap Romo pertanyaan saya ttg romo atau imam yg jatuh cinta kepada wanita? Apakah hal ini berdosa mengingat seorang imam adalah seorang yg telah menikah yaitu dengan Gereja atau dengan Yesus. Mohon maaf jika ada yang tidak berkenan pertanyaan2 saya, hanya ingin lebih tahu ttg kehidupan seorang imam dengan 7an agar saya lebih menghormati dan menghargai seorang imam dalam menjalani dan memenuhi panggilannya melayani Gereja. Kan tak kenal maka tak sayang, Romo…he..he..terima kasih.

    • Shalom Maria,

      1. Tentang St. Ignatius Loyola dan St. Yohanes Vianney

      Nampaknya anda salah paham dalam memaknai kesaksian hidup St. Ignatius Loyola dan St. Yohanes Vianney maupun santa-santo lainnya, jika mereka memilih hidup miskin.

      Kisah hidup St. Ignatius Loyola (1491-1556) yang selengkapnya dapat Anda baca di link ini, silakan klik. Memang di sana dikatakan bahwa St. Ignatius hidup miskin dan dalam kaul kemiskinan itu, mengemis seperti halnya berpuasa dan berjalan tanpa alas kaki. Itu merupakan salah satu bentuk matiraga, yang melaluinya ia semakin menghayati kehidupan seperti Kristus, yang sewaktu penjelmaan-Nya menjadi manusia juga hidup sebagai orang miskin. Namun demikian, kisah hidupnya mengatakan bahwa ia juga bekerja untuk memenuhi panggilan tugasnya. Dikatakan demikian, “Of all his external works, those nearest his heart, to judge by his correspondence, were the building and foundation of the Roman College (1551), and of the German College (1552). For their sake he begged, worked, and borrowed with splendid insistence until his death. The success of the first was ensured by the generosity of St. Francis Borgia, before he entered the Society. The latter was still in a struggling condition when Ignatius died, but his great ideas have proved the true and best foundation of both.” Maka untuk mendirikan sekolah/ kolese-kolese itulah St. Ignatius ‘mengemis’ para donatur untuk memberikan bantuan, tetapi ia sendiri juga bekerja untuk mewujudkannya, sebab mendirikan sekolah juga tidak hanya tergantung dari uang, tetapi juga dari banyak hal lainnya seperti menentukan sistem pendidikannya, formasi guru- gurunya dst yang tidak dapat dilakukan oleh para donatur. Lagipula yang dilakukannya adalah bukan untuk kebutuhan dirinya sendiri tetapi untuk kepentingan Gereja. Jadi jangan Anda sangka bahwa St. Ignatius ini hanya mengemis dan tidak melakukan apapun yang menjadi bagian tugasnya! Pekerjaan yang dilakukannya ini malah merupakan pekerjaan yang lebih sesuai dengan talenta yang Tuhan percayakan kepadanya, dan yang lebih sesuai dengan panggilan hidupnya, daripada ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga seperti usulan Anda.

      Demikian juga dengan St. Yohanes Vianney (1786-1859) yang riwayat hidupnya dapat Anda baca di link ini, silakan klik. Walau St. Yohanes Vianney hidup miskin, namun bukannya ia tidak bekerja. Silakan membaca lagi dengan teliti kisah hidupnya. Di dalam kemiskinannya sebelum menjadi imam ia membuka sekolah untuk anak- anak desa, dan setelah ditahbiskan ia mencurahkan segenap hati dan tenaganya untuk melayani umatnya, terutama memberikan pelayanan sakramen- sakramen yang memang menjadi tugasnya sebagai imam, terutama sakramen tobat (11-12 jam sehari di musim dingin dan 16 jam sehari di musim panas).

      Maka tidak benar jika dikatakan St. Yohanes Vianney ini tidak bekerja dan mengemis saja. Jika sampai ia mengemis dan tidak dicatat di biografi yang saya baca, saya percaya, itu dilakukannya entah karena terpaksa atau karena latihan matiraga, solidaritas dan penghiburannya kepada umat-nya yang menjadi pengemis. Di link Advent Encyclopedia malah dikatakan demikian, “The greatest miracle of all was his life. He practised mortification from his early youth and for forty years his food and sleep were insufficient, humanly speaking, to sustain life. And yet he laboured incessantly, with unfailing humility, gentleness, patience, and cheerfulness, until he was more than seventy-three years old.” St. Yohanes Maria Vianney merupakan seorang imam yang rajin bekerja melakukan tugas imamatnya, dan tidak bermalas- malas.

      Dengan demikian tidak relevan jika anda mempertentangkan ayat 2 Tes 3:7-10 dengan kehidupan para kudus ini.

      2. Calon Imam yang magang sebelum jadi imam

      Terus terang, saya tidak tahu apakah ada program semacam ini. Setahu saya tidak ada, jika maksudnya adalah magang yang dikoordinasikan dari seminari bagi para imam untuk bekerja di lingkungan sekular, entah sebagai pembantu atau pegawai kantor. Mari menunggu jawaban dari para Romo jika jawaban ini keliru.

      3. Tentang imam yang jatuh cinta

      Nampaknya pertanyaan ini serupa dengan pertanyaan apakah berdosa jika seorang laki- laki yang sudah menikah jatuh cinta kepada wanita yang bukan istrinya? Tentu jawabnya, dosa, apalagi jika sampai membuahkan perbuatan yang tidak pantas. Para imam yang sudah ditahbiskan sudah memilih jalan panggilan hidupnya, sama seperti seorang pria yang sudah memilih untuk menikah dengan wanita kekasihnya. Jika bagi suami, pasangannya adalah istrinya, maka bagi para imam, pasangannya adalah Gereja, yaitu umat Tuhan secara keseluruhan, sebab dengan mengambil tugas sebagai imam bagi Kristus, para imam melakukan peran seperti Kristus yang menyerahkan diri seutuhnya kepada Mempelai-Nya yaitu Gereja. Perlu kita sadari bersama juga, di dalam hidup ini ada banyak pilihan dan kalau kita sudah membuat pilihan, maka ada konsekuensi yang harus dipikul sesuai dengan pilihan itu. Orang yang memilih untuk menikah secara Katolik konsekuensinya harus setia kepada pasangannya seumur hidup, demikian juga, orang yang memilih untuk ditahbiskan menjadi imam, harus setia sebagai imam seumur hidupnya. Tidak ada yang memaksa orang harus menikah ataupun menjadi imam, tetapi jika jalan itu dipilihnya, kemudian ia harus menerima konsekuensinya, tentu dengan sukacita. Hanya dengan melaksanakan panggilan hidupnya dengan penuh tanggungjawab dan kasih di dalam Tuhan, maka seseorang menemukan makna hidupnya.

      Mari kita mendukung dan mendoakan para imam yang karena kasih yang total kepada Tuhan telah mempersembahkan hidup mereka seutuhnya untuk kita semua sebagai kawanan umat Allah.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Salam

        terima kasih bu Ingrid atas jawabannya. Ya memang mengemis yang saya ketahui mengemis seperti kondisi sekarang yang kadang disalahgunakan ato kadang malah jadi profesi. Tentang imam yang menikah adalah berdosa, apakah itu termasuk dosa berat seperti seseorang yang selingkuh dan melakukan zinah (hub intim) atau dosa ringan? Saya pernah menonton tayangan Oprah tentang pastor menikah dengan umatnya janda anak 1, di situ si pastor mengalami pergulatan selama 10thn tentang perasaannya walau pada akhirnya beliau keluar dari Gereja Katolik ke Gereja Evangelist dan menikah. Di salah satu situs Katolik juga dibahas tentang salah satu pastor host di salah satu acara di tv EWTN yang dikatakan pastor tersebut mempunyai hub relasi yang lebih kepada penitennya atau kepada yang mengakukan dosanya dan berkonsultasi kepada pastor tsb selama 2th. Pastor tersebut kemudian mengundurkan diri dari acara tsb dan ‘mengasingkan diri’ utk mengatasi perasaannya tsb. Di situ terdapat pro dan kontra tentang imam yang jatuh cinta kepada wanita. Saya sebagai seorang awam berpendapat hal tsb tidak dosa karena masih dalam kewajaran karena jatuh cinta sama wanita tapi saya juga kagum dan semakin hormat kepada imam karena jatuh cinta kepada wanita saja mereka mengalami pergulatan batin yang begitu luar biasa. Saya selalu hormat kepada imam karena untuk memutuskan jadi imam saja tidak mudah apalagi menjalani kehidupan seorang imam yang mempunyai tanggung jawab besar terhadap keselamatan jiwa-jiwa yang digembalakannya

        • Shalom Maria,

          Pada prinsipnya, tahbisan imamat itu, seperti halnya ikatan perkawinan Katolik, sifatnya mengikat seumur hidup. Dengan demikian jika seorang imam melanggar janji tahbisannya dengan melakukan hubungan intim dengan seorang wanita, itu merupakan pelanggaran/ dosa berat, seperti halnya seorang suami yang melanggar janji perkawinan dengan melakukan hubungan intim dengan seorang wanita yang bukan istrinya. Pelanggaran ini adalah dosa berat, karena umumnya dilakukan dengan pengetahuan penuh bahwa perbuatan itu adalah dosa, namun tetap dilakukan juga. Silakan anda membaca di sini tentang prinsip pengertian apakah itu dosa berat dan apakah itu dosa ringan, silakan klik.

          Terus terang, saya tidak pernah menyimak kisah pastor tersebut yang ditampilkan di tayangan Oprah, sehingga saya tidak dapat memberikan komentar secara mendetail. Namun sekilas membaca dari penjabaran Anda, pelanggaran yang dilakukannya adalah pelanggaran akan janjinya sendiri di hadapan Tuhan. Pria yang jatuh cinta pada seorang wanita memang tidak otomatis berdosa, tetapi ceritanya lain, jika pria itu statusnya terikat dalam perkawinan dengan istrinya atau ia adalah seorang imam yang terikat dengan tahbisannya; apalagi jika hal jatuh cinta itu mengakibatkan hubungan seksual. Perbuatan perselingkuhan ini melanggar kemurnian dalam perkawinan ataupun kemurnian tahbisan.

          Mengingat pentingnya makna tahbisan dan perkawinan dalam Gereja Katolik, maka setiap kita sebenarnya harus secara masak- masak mempertimbangkan keputusan kita sehubungan dengan panggilan hidup kita (menikah atau selibat untuk Kerajaan Allah) sebab kedua hal itu mempunyai implikasi komitmen seumur hidup.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

  6. salam

    di artikel di atas dikatakan kalau imam jg manusia biasa yg berbuat dosa. Kalau begitu imam mengakukan dosanya kepada siapa? Demikian jg dg uskup atau bahkan Paus sendiri? Tentang godaan jaman skrg (internet,tlp dll) kepada imam, saya pernah saat homili seorang romo bercerita kalau beliau pernah punya hp keluaran terbaru dg segala fasilitas2 canggihnya, beliau begitu senangnya dg hpnya bahkan sampai smsan sampai pagi kemudian hp tsb tidak sengaja kerendam saat beliau nyuci pakaian, beliau sempat kecewa dan sedih, beliau jg sempat curhat ke umatnya dan ada umatnya yg mau patungan utk ngganti hpnya. Mendengar tsb saya sadar, beliau2 ini (para romo) ternyata juga sama seperti saya, masih dpt tergoda dg keduniawian dan terlebih lagi juga kadang lalai dlm berdoa (smsan sampai pagi). Kadang umat tahunya romo itu pasti suci ngga bakal berbuat dosa. Saat saya membaca kisah hidup santo, baik yang jadi imam atau biarawan kenapa mereka dlm mengikut sengsara Yesus memilih kaul kemiskinan dg mengemis, bukankah mengemis adalah tindakan seseorang yang malas bekerja? Hanya modal pakaian lusuh dapat uang. Bukankah hal tsb bertentangan dengan Kitab Suci yg mengatakan kita harus bekerja sehingga kita tdk menyusahkan org lain? Kan bisa saja bekerja sbg pembantu ato pemulung (sudah ada belum ya dulu?he..he..). Jaman sekarang para romo kalau ‘magang’ sebelum ditahbiskan jadi romo kebanyakan jadi apa? Apa mengemis masih berlaku utk ‘magang’ para romo (di dalam maupun di luar Indonesia)? Tentang romo yg jatuh cinta sama wanita, bagi seorang imam itu dosa tidak? Mengingat seorang imam adalah seorang yang telah menikah, menikah dg Gereja dan Yesus. Terima kasih

    • Maria Yth

      Kehidupan imam tidak lebih dan kurang sama dengan awam. Mereka manusia biasa yang dapat tergoda oleh bujukan duniawi ini. Maka sebaiknya jangan memberi barang yang mahal kepada rama kalau itu tidak untuk kepentingan yang penting dan mendesak untuk Gereja. Soal pengakuan dosa, baik imam, uskup, bahkan Paus mengaku dosa kepada imam. Istilah magang menjadi rama tidak ada. Apa yang anda maksudkan saya tidak mengerti. Calon imam tidak perlu mengemis, bahkan sudah disediakan semuanya untuk kepentingan pembinaan calon imam menjadi imam. Gereja sangat concern dalam pendidikan calon imam dengan biaya yang mahal. Karena itu mohon didukung para calon imam dan para imam, agar mereka tetap menampakkan Kristus di tengah dunia dan bersahaja.

      salam
      Rm Wanta

  7. Salam Romo Wanta, saya sering kesal, jika banyak pihak yang sering menjelek2an gereja Katolik akibat skandal2 pelecehan yang ada dalam gereja. Yang ingin saya tanyakan, berapa prosentasenya dibanding jumlah seluruh imam dalam Gereja Katolik? Berapa jumlah imam yang tercatat dalam Gereja katolik dan dari seluruh imam berapa banyak imam yang melakukan pelecehan tersebut? Apakah gereja lain tidak melakukan penyimpangan2 seperti itu? Bisakah dikasih link2 nya?

    Bagaimana kita bisa menjawab ini, jika kita mengatakan dalam syahadat bahwa Gereja Katolik itu kudus?

    Semoga Tuhan selalu menjaga Gereja Katolik dari para pengejek2 yang tidak bosan2nya menghina GKR

    GBU

    [dari katolisitas: silakan membaca diskusi ini – silakan klik.]

  8. Sakramen Perkawinan vs Sakramen Imamat

    Saya melihat bahwa dua sakramen ini “bertentangan” sekaligus sama. Sakramen perkawinan diterimakan oleh orang yang tidak menerima sakramen imamat; demikian pula sebaliknya. Tuntutan-tuntutannya rada-rada mirip: sekali seumur hidup. Akan tetapi, saya melihat ada perbedaan dalam perlakuannya. Tuntutan terhadap sakramen perkawinan lebih “berat” ketimbang sakramen imamat.

    Misalnya, dalam sakramen perkawinan ada tuntutan pengumuman di gereja sampai tiga kali tentang status bebas kedua calon pasutri. Tujuannya agar nanti tidak ada masalah yang menggagalkan perkawinan itu. Nah, kenapa dalam sakramen imamat tidak ada pengumuman? Seharusnya dan menurut saya sebaiknya ada pengumuman akan rencana penerimaan sakramen imamat. Diumumkan di paroki asal, paroki tempat TOP, paroki tempat kerasulan saat kuliah, dll.

    Saya kira, ini bisa menjadi salah satu sarana menjaga kesucian para imam.

    • Adrian Yth

      Tidak ada pertentangan antara kedua Sakramen Perkawinan dan Imamat. Keduanya sakramen relasional yang sakramental. Dalam pentahbisan seorang calon imam yang akan ditahbiskan juga harus diumumkan tiga kali, sudah lama cara itu dilakukan. Heran saja di mana anda tinggal, keuskupan mana? Mengapa tidak ada pengumuman bagi calon imam yang akan tertahbis. Jadi tidak ada pertentangan.

      salam
      Rm Wanta

      • Oya??? Waktu saya di keuskupan Pangkalpinang, saya tidak pernah mendengar adanya pengumuman bahwa seorang diakon akan menerima tahbisan imam. Demikian pula saat saya di keuskupan Jayapura. Atau ketika saya berada di Pematang Siantar (keuskupan agung Medan), saya belum pernah mendengarnya. Pengumuman yang saya maksud adalah mirip kayak pengumuman perkawinan: “Akan menerima sakramen perkawinan …….. dengan ……. Bagi yang mengetahui adanya halangan, mohon melapor ke pastor paroki.” Kalau hanya sekedar pengumuman, seperti “akan menerima tahbisan imamat, sdr…….” memang ada dan saya pernah mendengarkannya. Tapi kalau sampai mengajak umat untuk “melacak” halangan, seperti pengumuman perkawinan, saya belum pernah mendengar.

        Saya menulis kata “bertentangan” dalam tanda petik. Artinya bahwa saya tidak bermaksud mengartikannya persis begitu. Saya tidak persis mengartikannya sama seperti kontras, kontradiksi atau sejenisnya. Terus terang saya sendiri tidak menemukan kata yang persis. Karena itulah, kata tersebut saya tulis berada dalam tanda petik. Dan saya bukan mempertentangkan dua sakramen ini dalam konteks pengumuman, melainkan penerimanya. Sakramen perkawinan diterima oleh mereka yang tidak menerima sakramen imamat; demikian pula orang yang menerima sakramen imamat adalah orang yang tidak menerima sakramen perkawinan. Tentulah rumusan ini tidak sepenuhnya bisa diterima karena orang yang sudah ditinggal mati istri tanpa anak, orang tersebut bisa menerima sakramen imamat. Demikian pula sebaliknya.

        Demikian tanggapan saya. Akhir kata saya mengucapkan banyak terima kasih, karena minimal saya mendapat info baru. Salam!

        • Adrian Yth

          Pengumuman yang disampaikan oleh keuskupan tentang calon imam yang akan ditahbiskan bertujuan untuk diketahui oleh umat dan jika ada halangan atas pentahbisan itu maka dapat disampaikan kepada pihak keuskupan. Itu maksudnya, jadi bukan hanya sekedar pengumuman. Sejauh yang saya tahu Keuskupan Pangkalpinang dimana Uskupnya dulu ketua komisi seminari akan sangat tahu hal itu, demikian juga Keuskupan Agung Medan, dimana rektornya bersama saya dalam kepengurusan komisi seminari, akan sangat tahu hal itu. Jadi pengumuman tahbisan bukan sekedar penyampaian mohon doa tapi juga semua orang hendaknya menyampaikan halangan itu kepada pihak yang berwenang yakni keuskupan. Tahbisan imam adalah perayaan iman dan kegembiraan bagi umat dan Gereja.

          salam
          Rm wanta

          • Nah, yang terjadi adalah seperti itu, Romo. Tidak ada bunyi klausul “Bagi yang menemukan adanya halangan…….” seperti dalam pengumuman orang yang mau menerima Sakramen Perkawinan. Di antara umat juga sempat terlontar pertanyaan seperti itu. Kalau saya membaca jawaban Romo di atas, tampak jelas kalau pihak keuskupan MENGANDAIKAN umat tahu akan maksud dari pengumuman itu. Lalu berharap umat melapor jika menemukan halangan. Yang umat pahami selama ini adalah bahwa pengumuman itu hanya sekedar mohon doa restu.

            Tapi saya sudah puas dengan info dari Romo. Akan saya beritahu ke pastor paroki saya kalau nanti frater yang TOP di tempat kami, suatu saat ditahbiskan menjadi imam, harus dibuat pengumuman yang bukan hanya sekedar mohon doa dan dukungan melainkan juga “penyelidikan” atas halangan tahbisan.

            Salam!!!

  9. Shalom Rm Wanta…
    aku terlalu sering membaca tulisan Stef…yang akhirnya tulisan oleh Romo….eee pertanyaan saya ditujukan ke Stef….mohon maaf atas hal itu…Proficiat untuk Rm. Wanta atas terpilih menjadi ketua Unio imam-imam Projo Indonesia…

  10. Shalom Romo Wanta yang terkasih,
    Selamat atas tugas yang baru sebagai Ketua Unio Imam-Imam Projo Indonesia periode 2011-2014.
    Doa dan dukungan menyertai tugas baru yang diemban Romo sekarang. Semoga Tuhan Memberikan Kesehatan dan Kekuatan untuk Romo Wanta.

    Salam Dalam Kasih Kristus,

    Simon Welly

  11. Yang terkasih Rm Wanta,
    Selamat dan doa kami sekeluarga bagi Romo, semoga makin mengalir buah2 karya Roh Kudus melalui pekerjaan dan tugas yang Romo emban sekarang. Allah memberkati dan menguatkan.
    Hormat dan salam saya, Antonius H

  12. Trims atas penjelasan yg turut menjadi pengetahuan sy tentang tantangan imam diosesan.

  13. shalom Stef
    di stasi kami biasa dilayani Misa tiap bulan 1 kali, lalu karena masalah pada pekan mudika akhirnya kami sudah 2 bulan tidak di layani, saya sudah cros cek pada anak mudika dan pada pastor paroki meminta saya untuk mediasi. Ketika saya membawa koordinator mudika ke paroki untuk menyelesaikan masalah itu, pastor paroki mau supaya pastor kapelan juga hadir, sekarang koordinar mudika sudah tak mau ke paroki lagi karena ia menganggap tak bersalah, apa yang harus umat lakukan, kesalahan anak mudika menjadi semua kesalahan umat satu stasi…

    • Salam Bernardus,

      Saran saya, Anda tetap menjalin dialog terus menerus, karena di situlah fungsi mediasi yang dipercayakan kepada Anda. Kita yakin bahwa dengan dialog akan terbentuk pemahaman. Untuk itu saya mendoakan Anda agar memiliki daya tahan untuk bertekun mengupayakan dialog tersebut. Anda pun tetap berdoa. Allah sendiri pasti akan membuka pintu pemahaman itu. Menurut pengalaman di paroki, terjadinya kesepahaman dan rekonsiliasi itu hanya soal waktu, asalkan ada yang terus bertekun mendoakannya dan mengusahakan dialog dengan tulus. Peristiwa ini menjadi ajang belajar bagi Anda, untuk lebih menghayati dan memperjuangkan hakikat Gereja sebagai kesatuan kasih, di tengah salah paham dan aneka motivasi manusiawi.

      Salam
      Yohanes Dwi Harsanto Pr

    • Salah atau tidak salah tetapi sebagai umat kita harus dengan rendah hati memberanikan diri untuk berdialog demi penyelesaian masalah. Kami doakan agar permasalahan ini cepat selesai. Amin.

Comments are closed.