Pertanyaan:
Syalom,
Saya mw tanya mengenai prodiakon…. yang saya tahu prodiakon itu membagi-bagikan hosti yang bisa dibilang sangat sakral… lalu, bagaimana apabila prodiakon tersebut ternyata bersikap bertentangan dengan ajaran gereja? seperti misalnya makan daging pada hari Jumat Agung, sedangkan prodiakon itu sendiri akan membagikan komuni pada hari jumat agung… ato misalkan prodiakon tersebut suka berkelahi dan mengancam serta mengintimidasi orang… apakah prodiakon tersebut masih layak untuk membagikan komuni pada hari Jumat Agung? apabila prodiakon tersebut berkeras untuk membagikan komuni pada hari Jumat Agung dengan dalih tidak ada yang tahu (padahal Tuhan tahu), maka apakah hosti tersebut tetap menjadi berkat bagi orang yang menerima komuni dari prodiakon tersebut? terima kasih…
Jawaban:
Shalom Leon,
Pertama- tama perlu kita ketahui bahwa kuasa mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Yesus diberikan oleh Kristus sendiri kepada para imam-Nya, oleh kuasa Roh Kudus. Oleh karena yang berperan adalah kuasa Kristus Tuhan sendiri, maka tidak tergantung dari faktor manusianya, dalam hal ini, apakah imamnya kudus atau tidak, atau prodiakonnya baik atau tidak; asalkan imamnya telah ditahbiskan secara sah, dan bahwa prodiakon itu sungguh telah memperoleh penugasan resmi oleh pihak otoritas Gereja. Sebab kondisi batin imam maupun prodiakon tidak membatalkan kuasa Tuhan yang oleh Sabda-Nya pada saat konsekrasi mengubah hakekat roti dan anggur itu menjadi Tubuh dan Darah Yesus. Hal ini diajarkan oleh St. Thomas Aquinas, seperti pernah dituliskan di sini, silakan klik.
Petugas prodiakon di Indonesia sebetulnya kalau di luar negeri disebut “Extraordinary minister of Holy Communion” atau pelayan luar biasa pembagi Komuni Kudus. Jadi mereka adalah kaum awam, bukan diakon tertahbis, hanya mereka ditugaskan oleh pastor paroki untuk membantu membagikan Komuni Kudus, ini diperbolehkan menurut Kitab Hukum Kanonik Kan 230, § 3. “Bila kebutuhan Gereja memintanya karena kekurangan pelayan, juga kaum awam, meskipun bukan lektor atau akolit, dapat menjalankan beberapa tugas, yakni melakukan pelayanan sabda, memimpin doa-doa liturgis, menerimakan baptis dan membagikan Komuni Suci, menurut ketentuan-ketentuan hukum.”
Tentu ada syarat- syarat bagi penunjukan prodiakon/ Extraordinary minister of Holy Communion ini. Dokumen Immensae Caritatis yang dikeluarkan oleh Sacred Congregation of the Sacraments 29 Januari 1973, menyebutkan ketentuannya antara lain sebagai berikut (selengkapnya, silakan klik di link ini):
“Umat beriman yang adalah pelayan luar biasa Komuni Kudus haruslah orang – orang yang mempunyai kualitas yang baik dalam kehidupan Kristiani, iman dan moral. Biarlah mereka berjuang untuk menjadi layak bagi tugas mulia ini, menumbuhkan devosi mereka sendiri terhadap Ekaristi, dan menjadi teladan bagi umat yang lain melalui devosi mereka dan penghormatan mereka terhadap sakramen yang maha agung di altar. Tak seorangpun dapat dipilih jika penunjukan tersebut mengganggu/ meresahkan umat.” (Immensae Caritatis, I)
Jadi memang seharusnya yang dipilih untuk menjadi prodiakon haruslah orang Katolik yang melaksanakan ajaran iman Katolik. Jika prodiakon itu ternyata orangnya suka berkelahi dan mengintimidasi orang lain, sebenarnya memprihatinkan. Apakah anda mempunyai bukti-bukti akan hal itu? Jika ada, silakan sampaikan kepada pastor paroki anda, agar beliau juga mengetahuinya dan menindaklanjutinya.
Sekarang mengenai ketentuan puasa dan pantang. Kitab Hukum Kanonik mengajarkan demikian:
Kan. 1251 – Pantang makan daging atau makanan lain menurut ketentuan Konferensi para Uskup hendaknya dilakukan setiap hari Jumat sepanjang tahun, kecuali hari Jumat itu kebetulan jatuh pada salah satu hari yang terhitung hari raya; sedangkan pantang dan puasa hendaknya dilakukan pada hari Rabu Abu dan pada hari Jumat Agung, memperingati Sengsara dan Wafat Tuhan Kita Yesus Kristus.
Maka memang umumnya pada Jumat Agung kita melakukan pantang daging, tetapi jika karena alasan tertentu sang prodiakon itu tidak memilih pantang daging, sebenarnya tetap diperbolehkan sepanjang dia tetap melakukan pantang yang lain, misalnya pantang kopi, pantang gula, pantang garam, atau pantang makanan lainnya yang paling disukainya. Lain halnya jika prodiakon itu ternyata lupa berpantang, walaupun memang seharusnya tidak demikian. Jika anda menemukan hal sedemikian, silakan anda mengingatkannya untuk melakukan pantang yang lain.
Selanjutnya, jika benar bahwa kelakuan sang prodiakon itu sungguh tidak sesuai dengan iman Katolik, memang ini memprihatinkan, tetapi sesungguhnya, hal ini tidak mempengaruhi efek berkat Komuni Kudus yang dibagikannya kepada umat lainnya. Sebab seperti telah dijabarkan di atas, efek Komuni Kudus itu terjadi karena kuasa Roh Kudus, dan bukan karena kekudusan pelayan/ petugas yang membagikannya. Sedangkan, perihal pembagian tugas Komuni, itu seharusnya diatur sesuai dengan kebutuhan paroki, sehingga seseorang tidak dapat menuntut, “Itu hak/giliran saya membagikan Komuni”, tetapi prodiakon itu harus mempunyai kerendahan hati untuk bertugas membagikan Komuni kudus sepanjang ia ditugaskan karena kebutuhan. Tugas prodiakon itu adalah sebagai pelayan “luar biasa” namun bukan menjadi suatu pelayanan yang harus dilaksanakan jika tidak ada kebutuhan.
Dokumen Inaestimabile Donum yang dikeluarkan oleh SCS (disetujui oleh Paus Yohanes Paulus II 17 April 1980) dengan lebih jelas menyatakan demikian:
9. Komuni Ekaristi. Komuni adalah karunia Tuhan, diberikan kepada umat beriman melalui pelayan yang ditunjuk untuk maksud ini. Umat tidak diperbolehkan untuk mengambil sendiri hosti yang sudah dikonsekrasikan dan piala yang suci, apalagi membagikan sendiri [hosti dan anggur itu] kepada orang lain.
10. Umat beriman, baik religius ataupun awam, yang telah diberi kuasa sebagai extraordinary ministers/ pelayan luar biasa Ekaristi (prodiakon) dapat membagikan Komuni hanya jika tidak ada imam, diakon [diakon tertahbis] ataupun akolit, ketika imamnya berhalangan karena penyakit atau usia lanjut, atau ketika jumlah umat yang menerima Komuni begitu banyak sehingga membuat perayaan Misa menjadi terlalu lama (lihat Immensae caritatis, 1). Oleh karena itu, kelirulah sikap para imam yang, meskipun hadir di perayaan tersebut, tetapi tidak membagikan Komuni dan membiarkan tugas itu dilaksanakan oleh para awam.
Demikian, tanggapan saya, semoga menjawab pertanyaan anda. Mungkin yang dapat anda lakukan, jika anda melihat seorang prodiakon yang sedemikian, adalah anda mendoakan dia, semoga Tuhan berbelas kasihan kepadanya dan memampukannya untuk meninggalkan sikap buruknya yang tidak sesuai dengan ajaran iman dan tugas mulia yang disandangnya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom,
Saya adalah Katolik dan telah dibaptis katolik sejak saya berumur 14thn. Namun saya kurang pengetahuan mengenai Katolik tetapi tidak perlu menyalahkan sesiapa, kerana itu seharusnya ada usaha diri untuk mencari tahu.Website ini sangat membantu saya mengetahui tentang Katolik, di mana saya mengenal Tuhan Yesus daripada Katolik. Walaupun ada kelemahan daripada beberapa buah chapel kerana pengurusan yg x seberapa agar anak2 dapat didedahkan sepenuhnya tentang ajaran gereja, sekiranya ada aliran lain yang cuba berbahas dengan kita. Saya berpendapat seharusnya kita mempunyai senjata dan point agar dapat menjawab setiap pertanyaan orang luar. Website ini sangat membantu dan saya sangat bersyukur. Namun ada beberapa pertanyaan yang ingin saya utarakan di sini:
1. Mengapakah para imam/father pada masa kini dibenarkan untuk minum minuman yang memabukkan? Kerana mereka adalah contoh untuk umat dan menjadi teladan buruk serta menjadi point untuk aliran Kristian lain untuk memandang serong kepada Katolik? Di tempat kami, imam minum hingga mabuk. Sekiranya mereka sudah mabuk mereka tidak dibenarkan memberkati umat. Tapi mengapakah imam diberikan kelonggaran untuk mabuk? Sehingga murid saya bertanya, mengapa father mabuk bukankah mereka seharunya memberikan teladan. Sejurus selepas itu, mereka berpandangan serong dengan ajaran Katolik,sedangkan di dalam bible tercatat pemabuk tidak mendapat tempat di sorga.Jadi saya ingin pendapat mengenai hal ini.
Shalom Helnah,
Kita harus membedakan antara oknum dan ajaran. Dapat saja seseorang – baik dari awam maupun klerus – melakukan hal yang bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik. Gereja Katolik tidak pernah mengajarkan bahwa mabuk adalah tidak apa-apa. Bahkan sebaliknya dalam Katekismus Gereja Katolik ditegaskan sebagai berikut:
Jadi, seseorang yang mabuk dan membahayakan keamanan orang lain telah membuat dosa berat. Dengan kata lain, Gereja Katolik melarang umatnya untuk bermabuk-mabukan. Semoga menjadi jelas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Dalam kesempatan pertemuan prodiakon disepakati kalau pada saat prodiakon mengirim komuni kepada orang sakit atau lansia cukup mengenakan samir saja, tanpa alba. Apakah hal ini bisa dibenarkan, apa alasan dan dasarnya?
Salam Yoyon,
Sebaiknya hindarkan pemakaian samir saja, karena yang benar adalah memakai samir setelah mengenakan alba dengan singel. Harap samirnya tidak sangat mirip stola.
Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli.
Bu Ingrid dan tim Katolisitas yang baik,
Saya kemarin malam baru saja di institusikan sebagai Akolit oleh Uskup Auksilier Keuskupan Agung Perth, Don Sproxton. Walaupun perihal tugas – tugas dan tanggung jawab Akolit jelas diatur dalam KHK ataupun PUMR, namun saya kebingungan menerjemahkannya dalam konteks Gereja Indonesi karena yang kita sering dengar adalah pro-diakon atau asisten imam. Oleh karena itu saya ingin bertanya :
1. Apakah pro-diakon sama dengan Akolit? ataukah hanya setara dengan Extra-ordinary minister for Holy communion (EMHC)?
Buat saya pribadi pro-diakon lebih dari EMHC karena nama jabatannya mgkn bisa disamakan dengan jabatan klerikal purba subdeacon. Tetapi pro-diakon juga menurut saya tidak sama dengan akolit karena diangkat/diberhentikan oleh pastor paroki dan ada masa jabatan, sedangkan akolit menjabat seumur hidup dan diangkat/diberhentikan oleh Uskup.
2. Misa kemarin malam disebut Institution Mass, saya kesulitan menerjemahkan dalam bahasa Indonesia kata Institution. Apakah sepadan dengan pelantikan, pengangkatan, penetapan?
Terima kasih.
Edwin ST
Salam Edwin,
Jawaban saya untuk pertanyaan pertama : sebaiknya kita tidak memakai istilah ‘pro-diakon’, tetapi ‘asisten pastoral’ atau ‘asisten imam’. Asisten pastoral/asisten imam membantu imam dalam melaksanakan tugasnya. Mereka adalah tokoh umat yang terpilih, dipersiapkan, dan dilantik untuk melaksanakan tugas. Uskup (atau imam yang mendapat wewenang dari uskup) melantik mereka. Masa pelayanan : selama tidak diberhentikan. Tugas : seperti seorang akolit. Sedangkan EMHC disebut pelayan komuni tak-lazim.
Untuk pertanyaan kedua : disebut Misa Pelantikan Akolit (Asisten Pastoral / Asisten Imam).
Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli.
Berkah Dalem,
Di sini saya sebagai seorang Ketua Lingkungan di salah satu wilayah di Perumnas Mojosongo, Paroki Purbowardayan Surakarta.
Pertanyaan saya :
Di dalam pengajuan seorang prodiakon apakah diperbolehkan apabila calon prodiakon tersebut mempunyai latar belakang kehidupan menggereja yang kurang baik, namun sekarang mereka telah aktif mengikuti peribadatan dengan perilaku dan tata cara berkehidupan kristiani yang baik.
Demikian mohon penjelasan. Matur nuwun.
Salam dan hormat
Ig eko suprapto
Salam Ignatius Eko Suprapto,
Syarat pengajuan calon prodiakon/ asisten imam ialah: berkelakuan baik (bukan pendosa publik misalnya penjudi, pemabok, penghujat iman, pewarta paham anti Gereja Katolik, jika menikah ia setia pada janji perkawinan, dsb.), menghayati iman dengan nyata yang ditunjukkan dengan secara berkala menyambut Sakramen Ekaristi dan Tobat, aktif dalam doa-doa bersama di lingkungan, dan hadir di acara lingkungan atau paroki, dan tentu saja, diterima / dipercaya oleh umat (yang ditunjukkan dengan pemilihan pencalonan prodiakon/asisten imam). Orang yang di masa lalu jahat namun kemudian telah terbukti secara objektif bertobat menjadi baik dan setia pada Gereja Katolik selama waktu yang cukup, boleh diajukan untuk menjadi calon prodiakon/asisten imam. Penentu mana calon yang diajukan umat untuk menjadi prodiakon/ asisten imam, tetaplah pastor paroki. Karena itu, data “track-record” dan kesaksian mengenai calon tetap dilampirkan agar dibaca diketahui pastor paroki sebagai bahan beliau mempertimbangkannya.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr
Salam…
Apakah prodiakon (pelayan tak-lazim) yang telah ditunjuk diperbolehkan memiliki jabatan/pengurus harian dalam Gereja????
Mohon petunjuk…
[dari katolisitas: Tidak ada larangan bahwa seorang pelayan tak-lazim tidak dilarang untuk menjabat pengurus harian. Namun, tentu saja harus dilihat apakah orang tersebut dapat mengemban dua tugas tersebut dengan baik.]
Syalom,
Saya mau berdiskusi mengenai pro-diakon di paroki kami yang salah satu bagian dari Keuskupan Pangkalpinang.
Apakah pro-diakon diperbolehkan membagi-bagikan hosti dari sibori yang satu ke sibori yang lain di altar?
Salam Elias,
Tentang hal ini tidak ada petunjuk dalam Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR). Hanya tentang pemecahan roti, PUMR no. 83 menulis: “Ritus ini (pemecahan roti) dilaksanakan hanya oleh imam dan diakon.” Berikut ini pendapat pribadi. Bila kita melihat tindakan “membagi-bagikan hosti dari sibori yang satu ke sibori yang lain di altar” sebagai lanjutan dari pemecahan hosti, maka sebaiknya hanya imam dan diakon melakukannya. Dalam situasi yang amat khusus, bila ada beberapa sibori kosong yang harus diisi, dan tidak ada diakon, imam dapat dibantu juga oleh asisten imam, asal dilakukan dengan tertib sehingga hosti tidak tercecer.
Tks dan doa. Gbu.
Rm Boli.
Kepada pengasuh Katolisitas, saya salah satu anggota prodiakon di salah satu paroki di Jogjakarta. Di lingkungan kami, ada seorang umat (Bapak) yang usianya sekitar 60 tahun. Dan saat ini sedang sakit stroke dengan kondisi fisik, tidak bisa bicara, tidak bisa duduk, kalau makan perlu disonde (via selang) yang setelah dihaluskan (diblender). Istri yang sakit ini, beberapa hari yang lalu konsultasi ke saya, kenapa koq para prodiakon di lingkungan ini, koq selama ini (sekitar 4 bulan terakhir) setiap hari Sabtu atau Minggu tidak ada yang mengirim komuni ke rumah, malahan mereka minta bantuan dari prodiakon paroki lain. Ternyata setelah saya telisik, ternyata komuni yang diterimakan tersebut disatukan (diblender) dengan makanan lain yang setiap kali waktu makan, entah Sabtu sore, atau Minggu Siang, atau Minggu Sore. Saya sebagai prodiakon tentu tidak merekomendasikan untuk menerima komuni suci. Kan tetapi istri dan keluarga besarnya tetap tidak mau terima alasan saya, bahwa si penyambut Tubuh Kristus tidak bisa menghayati akan arti komuni itu sendiri, malah saya menyarankan, agar setiap Sabtu, Minggu prodiakon tersebut mendoakan saja kepada yang sakit. Apakah dasar alasan saya tersebut benar, bahwa penerima Tubuh Kristus tersebut sudah tidak bisa menghayati arti dari Komuni Kudus, karena yang sakit ini, juga sudah tidak bisa bicara dan menelan apapun.
Mohon diberikan penjelasan, dan telaah dan acuan gereja yang dipakai dasar untuk meyakinkan kepada keluarga ini. Sekian dan terimakasih atas penjelasannya.
Salam Suyadi,
Jawaban dari romo Bosco Da Cunha, O Carm, sekretaris eksekutif Komisi Liturgi KWI sebagai berikut:
“Pertama, istilah prodiakon lebih tepatnya ialah “asisten imam”, sesuai kesepakatan nasional komisi Liturgi dan lewat persetujuan Sidang KWI kira-kira 10 tahun yang lalu.
Kedua, setiap orang sakit yang rindu menerima komuni, juga lewat kerinduan keluarganya karena dia sulit berkomunikasi, harus dan wajib dilayani.
Ketiga, cara yang lazim bagi yang sukar menelan ialah membantu menelan dibantu didorong dengan air putih sendokan. Mencampur hosti dengan makanan lain, kurang layak. Biasanya dibantu air putih saja”.
Dengan demikian, semoga jelas.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr
Terimakasih atas penjelasan dari Romo, namun saya sebagai Asistem Imam, belum begitu jelas dengan penjelasan Romo yang belum lengkap. Perlu saya sampaikan bahwa, penderita sakit stroke ini, sudah tidak bisa menelan (saraf lidah sudah tidak berfungsi), sehingga semua obat, makanan, minuman, buah-buahan semuanya dimasukkan melalui selang yang dipasang di hidung penderita. Pertanyaan saya, apakah layak Tubuh Kristus dihaluskan (direndam dengan air putih) baru diterimakan/dimasukkan melalui selang (sonde) tersebut. Terimakasih atas penjelasannya.
Salam Suyadi,
Benar bahwa penerimaan komuni bagi yang kesulitan menelan ialah hanya dengan cara Sakramen Mahakudus diletakkan di lidah dan didorong dengan air. Selain cara itu tidak diperkenankan.
Maka, cara yang bijaksana dan hormat ialah terpaksa tidak bisa terima komuni, dan mengajak yang bersangkutan berdoa.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr
Romo, jika dalam kondisi si sakit seperti itu, apakah boleh hosti itu dicuil kecil-kecil dan dimasukkan ke dalam mulut sampai habis dan kemudian diberi air putih, bagaimana menurut Romo? Terima kasih atas penjelasannya. GBU
Salam Aris,
Boleh dengan tetap hormat pada Kristus dalam Sakramen Mahakudus dan demi si sakit. Namun jika tidak bisa menelan, tidak perlu upaya apapun selain cukup berdoa saja.
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
Terima kasih atas tanggapannya, Romo.
Dear Katolisitas,
saya ada bbrp pertanyaan ttg tata gerak prodiakon yg sangat bervariasi antar paroki.
Memang dalam PUMR maupun Redemptionis Sacramentum, sangat sedikit menyinggung ttg pelayan tak lazim atau prodiakon ini, sehingga mungkin jadi kerancuan dalam tata gerak prodiakon.
Poin2 dalam PUMR 2002 yg saya catat berhubungan dgn tugas prodiakon ada di
tentang kebutuhan prodiakon:
100, 160,
tentang posisi saat DSA s/d komuni
162 ……Pelayan-pelayan seperti ini hendaknya tidak menghampiri altar sebelum imam menyambut Tubuh dan Darah Tuhan. Mereka selalu menerima dari tangan imam bejana kudus yang berisi Tubuh atau Darah Kristus untuk dibagikan kepada umat beriman.
tentang komuni umumnya:
182, 191
tentang komuni 2 rupa:
282, 283, 284, 285, 286, 287
Yang menjadi pertanyaan saya adalah:
1. Mengacu pada PUMR 162, apakah diperbolehkan prodiakon naik ke atas altar di belakang atau samping kiri kanan meja altar saat Agnus Dei? Melihat posisi misdinar dan 162, bukankah seharusnya prodiakon tdk boleh menghampiri altar?
2. Jika utk menghampiri altar tdk diijinkan, secara logika maka yg diijinkan utk membuka tabernakel dan mengambil sibori dan meletakkan di atas altar hanyalah imam. Tetapi ada yg dilakukan oleh prodiakon saat Agnus Dei.
3. Begitu pula dgn sibori yg akan dibawa oleh prodiakon, melihat PUMR 162 apakah harus diterima dari tangan imam?
Harapan saya tata gerak prodiakon bisa mempunyai standar paling tdk dalam sebuah keuskupan.
Sebelumnya saya ucapkan terima kasih.
Shalom Mea Culpa,
Terima kasih atas referensi yang anda berikan sehubungan dengan prodiakon dalam kapasitasnya sebagai pelayan tak lazim (extraordinary minister). Dan harus diakui bahwa ada beberapa gerak dari pelayan tak lazim yang menyalahi apa yang ditetapkan. Tentu saja, menjadi tugas imam di paroki yang bersangkutan untuk memberikan pelatihan yang lebih baik. Atau dapat saja diadakan seminar khusus untuk prodiakon. Berikut ini adalah tanggapan yang dapat saya berikan sambil menunggu jawaban dari Romo Boli:
1. Pelayanan Tak Lazim hanya boleh menghampiri altar setelah imam menyambut Tubuh dan Darah Kristus, dengan dasar PUMR, 162 yang menuliskan “…Pelayan-pelayan seperti ini hendaknya tidak menghampiri altar sebelum imam menyambut Tubuh dan Darah Tuhan. Mereka selalu menerima dari tangan imam bejana kudus yang berisi Tubuh atau Darah Kristus untuk dibagikan kepada umat beriman.” Dengan dasar ini, sesungguhnya tidak dibenarkan para pelayan tak lazim untuk naik ke altar pada saat lagu Bapa Kami maupun lagu Angnus Dei, yang kadang menjadi pemandangan umum dalam Ekaristi. Dan ini memang perlu diperbaiki.
2. Dan seperti yang anda soroti, konsekuensi dari hal ini adalah imamlah yang membuka tabernakel dan mengambil sibori. Namun demikian, perlu juga digarisbawahi, bahwa sebaiknya Tubuh Kristus yang dibagikan adalah dari perayaan Misa saat itu , sehingga terlihat jelas hubungan antara komuni dan kurban yang sedang dirayakan (RS, 89). Namun demikian, tentu saja harus diperhitungkan agar tidak terjadi kekurangan Tubuh Kristus untuk dibagikan.
3. Sibori yang akan dibawa oleh prodiakon juga harus diterima dari tangan iman. Dengan demikian, salah satu prodiakon tidak diperkenankan untuk membagi-bagikan sibori kepada prodiakon yang lain.
Kalau anda melihat beberapa pelanggaran liturgi terjadi di paroki, maka alangkah baik kalau bertemu dengan imam dan mendiskusikannya dalam suasana kasih, sehingga apa yang salah dapat diperbaiki. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Terima kasih atas jawabannya.
Masih berusaha utk mendiskusikan dgn pastor paroki agar bisa memahami hal tsb.
NB:
Yg terjadi di sebuah paroki, sibori bukan diestafet dari prodiakon ke prodiakon tapi prodiakon setelah menerima komuni menghampiri altar dan mengambil sendiri.
[dari katolisitas: Pelayan tak lazim tidak boleh mengambil sendiri sibori dari altar, namun harus menerimanya dari tangan imam, sesuai dengan PUMR, 162.]
+ AMDG
Berkah Dalem,
Maaf, mungkin pertanyaan ini nakal. Namun sesungguhnya, hanya sekedar ingin tahu. Semoga dapat dimaklumi. : Bolehkah, seorang prodiakon jika meninggal dunia, dirias dengan dikenakan kepadanya alba (jubah), singel dan samir. Sebagaimana pastor yang meninggal dikenakan padanya alba ataupun stola.? Terima kasih, Tuhan memberkati.
Salam Rudy
“Asisten imam” merupakan “pembantu tak lazim” untuk imam dalam menerimakan komuni. Ada yang menyebutnya “prodiakon paroki”. Mereka adalah awam, bukan imam. Mereka hidup sebagaimana layaknya awam. Mereka memakai pakaian liturgi sebagai asisten imam ketika bertugas membantu membagikan komuni atau ketika tugas yang diberikan imam. Masa tugas mereka terbatas, biasanya tiga tahun atau boleh dipilih sekali periode lagi. Pakaian asisten imam (alba) merupakan pakaian liturgi, sebagaimana pakaian misdinar/ putra-putri altar dan lektor. Pakaian liturgi hanya dikenakan hanya pada waktu bertugas.
Sedangkan pakaian klerikal (pakaian imamat), melekat pada hakikat mereka sebagai imam anggota hirarki dan pelayan sakramen. Imamat pun merupakan sakramen, yang menjadi jalan panggilan khusus mereka sebagai imam hingga kekal. Maka, pakaian imam memang khas dan hanya boleh dikenakan oleh imam. Karena pertimbangan tersebut, pada hemat kami, walaupun tidak ada larangan secara hukum bahwa jenazah diberi pakaian apa saja, namun hendaklah mempertimbangkan realitas sosial. Yaitu hakikat kedudukan orang tersebut di mata Gereja (Hukum Kanonik), di mata keluarga, dan masyarakat. Agar, tidak malahan muncul gunjingan orang, yang mengganggu ketenangan keluarga dan umat, setelah penguburan/kremasi almarhum/almarhumah.
Kakek saya almarhum ialah asisten imam prodiakon angkatan pertama (tahun 1970-an) di paroki Pugeran Yogyakarta. Waktu itu belum ada periodisasi masa tugas asisten imam, tak ada pemilihan oleh umat, namun ditunjuk dan diberhentikan oleh pastor paroki. Beliau bertugas lama, dan mengajarkan agama pula ke sana ke mari. Namun ketika beliau meninggal, tidak ada terbersit dalam pikiran anak cucunya memberi busana asisten imam / prodiakon paroki. Jenazah almarhum sebagaimana orang awam yang lazim di mata umat, keluarga dan masyarakat setempat, diberi busana sesuai dan diterima oleh adat masyarakat setempat, yaitu busana tradisional Jawa. Saya kira walau belum eksplisit, keluarga dan umat menganggap pertimbangan di atas masuk akal dan memberi ketenangan batin serta kenangan indah yang wajar.
Salam
Y. Dwi Harsanto Pr
+ AMDG
Berkah Dalem.
Matur sembah nuwun Rm, Kirun. Penjelasan Romo sangat jelas dan lugas, saya salut dengan acungan jempol papat.. Sekali lagi terima kasih.
Sekarang persoalan lain : Di gereja paroki kami ada ruwatan, bagi anak-anak sukreta (misalnya : anak perempuan yang diapit oleh adik dan kakak laki-laki atau sebaliknya). Bisakah Romo menjelaskan hubungan inkulturasi ini dalam konteks keselamatan gereja. Bukankah, sakramen pembaptisan sudah menjadi meterai keselamatan manusia? Terus-terang aja Mo, saya bingung. Tolong kasih pencerahan ya. Trims. GBU.
[Dari Katolisitas: Tentang topik apakah ruwatan diperbolehkan? klik di sini. Selanjutnya, jika anda ingin bertanya tentang topik tertentu, silakan anda menggunakan fasilitas pencarian, di sudut kanan homepage]
Salam Kevin
Saya membaca link yang Anda tunjukkan. Menurut saya, isinya yang menekankan kehadiran nyata Yesus Kristus dalam Sakramen Mahakudus tidak bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik. Kehadiran Kristus dalam rupa roti tak beragi (dan anggur murni) ekaristi, merupakan kebenaran iman kita.
Tidak mustahil pula bahwa atas seizin Allah maka kebenaran iman itu ditegaskan kembali, melalui kasus kerasukan setan dan larinya setan karena sakramen Mahakudus. Dalam kesaksian saya di website ini, saya pun mengalami bahwa kerasukan pada anak muda itu hilang setelah saya bawa ke hadapan Sakramen Mahakudus.
Namun demikian, saya tidak tahu bagaiman sebenarnya yang terjadi benar-tidaknya peristiwa eksorsisme Nicola Aubrey. Tentu pembaca katolisitas lain dipersilahkan untuk menemukan sumber yang otentik mengenai benar tidaknya kasus ini. Hanya saja, catatan saya ialah: Gereja Katolik selalu mengakui dengan rendah hati, bahwa misteri kebenaran iman bisa dijelaskan dengan intelektualitas manusia bertahap-tahap, namun selebihnya tetaplah misteri yang hanya bisa diterima dengan penuh hormat dan syukur atas rencana Allah yang penuh kasih.
Salam
Y. Dwi Harsanto Pr
Yth. Bp. Stefanus Tay
Ada prodiakon di paroki kami yang mengalami penampakan (katanya) bahwa menerima komuni harus dengan mulut dan tidak boleh dengan tangan. Hal ini diajarkannya dalam pendalama-pendalaman lingkungan. Bagaimana menykapi hal ini? Dan bagaimana menjelaskan tentang soal menerima komuni apakah harus dengan mulut atau tangan dan apa dasar-dasarnya?
[Dari Katolisitas: silakan anda membaca jawaban ini, silakan klik]
Shalom P. Stef & Bu Ingrid,
Belum lama ini pernah ada kejadian, seorang prodiakon dimintai memimpin ibadat arwah ( memperingati 3 tahun orang yg meninggal ). Ceritanya, ada seorang ibu yang Katolik meminta ibadat memperingati 3 tahun meninggalnya suaminya tapi suaminya itu Kristen Protestan. Nah…pas bagian memberikan homili, ada bagian yang mengganjal di hati saya, karena apa yg diungkapkan rasanya kok kurang pantas diungkapkan sehingga rasanya hanya ingin menyenangkan hati si ibu dan keluarganya saja ( karena dari keluarga ibu tadi, yg Katolik ya ibu itu saja, sedangkan anak2nya + menantunya semua Protestan ). Misalnya seperti ini : prodiakon itu mengatakan tentang baptisan bahwa karena yg sdh meninggal sdh dibaptis, walaupun baptis secara Protestan, prodiakon tsb mengatakan yang pasti bapak tsb ( yg meninggal ) tidak di neraka, paling tidak di api penyucian. Lah….kok bisa bilang gtu ya? Sedangkan bagi Protestan tdk mengimani adanya Api Penyucian.
Bagaimana ya memberi tahukan ke prodiakon itu, kok kayaknya ada yg kurang pas dengan homilinya itu?
Terima kasih sebelumnya.
Shalom Dewi,
Memang dalam situasi tersebut, prodiakon dihadapkan pada situasi pastoral yang mungkin tidak mudah. Dalam kondisi seperti itu, maka prodiakon tersebut dapat mengatakan bahwa kita mempercayakan keselamatan arwah suami tersebut ke dalam tangan Tuhan. Baptisan memang memberikan pengharapan bahwa dia telah dipersatukan dengan Kristus, namun di satu sisi, memang kita tidak tahu apakah dia memang setia sampai akhir dan apakah dia benar-benar telah mencari kebenaran dengan sungguh-sungguh, sehingga tidak sampai pada pengertian akan Gereja Katolik sebagai sakramen keselamatan. Di satu sisi, kita juga tidak dapat secara langsung mengatakan bahwa dia masuk neraka, karena kita tidak tahu persis pada saat-saat akhir hidupnya. Dengan demikian, pernyataan untuk menyerahkan semuanya kepada belas kasih Allah adalah pernyataan yang lebih tepat. Mungkin, inilah yang sebenarnya ingin disampaikan oleh prodiakon tersebut, sehingga dia mengatakan bahwa arwahnya ada di dalam Api Penyucian. Kalau kita menerima kebenaran tentang Api Penyucian – silakan klik – maka Api Penyucian ini tetap ada walaupun ada orang yang tidak mempercayainya. Silakan berdiskusi dengan prodiakon tersebut dengan semangat kasih.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Terima kasih atas sarannya P. Stef.
Saya akan coba diskusikan dg prodiakon tsb kalau nanti bertemu lagi.
Syalom,
setahu saya, untuk menjadi seorang prodiakon ( asisten imam ) adalah umat awam yang diusulkan oleh ketua lingkungan yg mewakili umat yang ada dilingkungan tersebut kepada Pastor Paroki, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang prodiakon, misalnya : mempunyai tingkah laku yang baik & menjadi panutan ( kehidupan iman / spiritual & keluarganya ) di lingkungan dimana calon prodiakon tsb tinggal, dan yang pasti harus sudah menerima Sakramen Inisiasi selama beberapa waktu, untuk dinilai oleh Pastor paroki apakah calon prodiakon tsb layak & pantas menjadi prodiakon, kmd dilanjutkan dengan
pembekalan / pengajaran oleh Pastor Paroki yang diadakan selama beberapa kali pertemuan ( minimal 14 kali disesuaikan dgn program pembekalan dr Pastor Paroki setempat ) dan ditutup dengan rekoleksi, kmd Pastor paroki membuat surat kpd Keuskupan dgn melampirkan daftar calon prodiakon dan berdasarkan surat persetujuan dari Keuskupan calon prodiakon tersebut dilantik dalam Misa Kudus / Perayaan Ekaristi dihadapan umat Paroki tersebut. ada beberapa Paroki di KAJ yang membatasi masa bhakti tugas Prodiakon maksimal 2 Periode masa bhakti @ 3 tahun, sesuai PDGP [edit: PGDP] yang dikeluarkan oleh KAJ. Demikianlah semoga bermanfaat, semoga Tuhan Yesus memberkati kita semua, Amin.
sebenarnya, yang seperti ini banyak, sih…misalnya, dia prodiakon tapi pembinaan iman keluarganya sendiri kacau atau kehidupan keluarganya tidak harmonis…
saya terkadang ingin tahu juga, Bu Inggrid, sebenarnya, sekali orang menjadi pro-diakon, apakah gereja menyediakan ‘sarana’ pembinaan2 bagi mereka? Maksudnya, jika dari penjelasan ibu, saya mendapat kesan, kok, saya jadi mengambil kesimpulan sendiri, karena mereka sifatnya ‘bukan menjadi wajib ada’, jadi, gereja juga tidak perlu melakukan pembinaan berkelanjutan bagi mereka yang sifatnya mungkin ‘wajib’ dan rutin di seluruh gereja katolik di indonesia terutama.
Saya mengerti betul perasaan sdr Leon. Bahkan, mertua saya, kadang2 tidak mau terima komuni dari prodiakon (istilahnya, kurang suci, katanya…haha…saya, sih, ketawa saja kalau dia sinis begitu. Habis mau gimana lagi? Beliau sudah tua dan konservatif sekali), maunya dari Romo/Pastor langsung.
Saya pribadi bisa membayangkan, sih, kalau kita tahu kehidupan seorang prodiakon itu misalnya gimana dan mungkin, kita yang jadi mikir,”kok, prodiakon begitu, sih?”, pasti ada rasa gimana gitu terima komuni “dari dia”.
Saya juga belum pernah mengalami langsung tapi mungkin, jika itu terjadi, salah satu tipsnya adalah ‘fokus’ bahwa ini yang kita terima Tubuh Tuhan dan seperti ibu bilang, ‘kuasa Tuhan saat konsekrasi’….Mudah-mudahan dengan begitu, kita bisa ‘ikhlas’ menerima tubuh Tuhan dari seorang prodiakon yang kita kurang sreg. (Bukan ikhlas menerima tubuh Tuhannya (karena pada dasarnya, hosti itu suci) tapi lebih kepada ikhlas menerimanya DARI prodiakon tersebut. Jadi, hati kita lebih diarahkan pada Tuhan, ketimbang prodiakonnya)…
Tapi saya setuju juga, kalau memang ada masalah, mending dibicarakan ke paroki saja. Bagus juga kalau jadi masukan buat paroki. Saya sendiri pernah, kok, membicarakan mengenai perilaku orang yang yaaah, gimana gitu, saat melakukan pelayanan di rumah sakit kepada Romo yang menjadi ‘bos’ bagian pelayanan2 seperti itu. Saya yakin itu akan menjadi teguran karena sebelumnya, ada kasus juga (orang lain) dan ditegur. Menurut Romo tersebut, setelah itu tidak ada lagi cerita tentang prilaku2 yang kurang mantesi (pantas) saat pelayanan…
Syalom,
Saya mw tanya mengenai prodiakon…. yang saya tahu prodiakon itu membagi-bagikan hosti yang bisa dibilang sangat sakral… lalu, bagaimana apabila prodiakon tersebut ternyata bersikap bertentangan dengan ajaran gereja? seperti misalnya makan daging pada hari Jumat Agung, sedangkan prodiakon itu sendiri akan membagikan komuni pada hari jumat agung… ato misalkan prodiakon tersebut suka berkelahi dan mengancam serta mengintimidasi orang… apakah prodiakon tersebut masih layak untuk membagikan komuni pada hari Jumat Agung? apabila prodiakon tersebut berkeras untuk membagikan komuni pada hari Jumat Agung dengan dalih tidak ada yang tahu (padahal Tuhan tahu), maka apakah hosti tersebut tetap menjadi berkat bagi orang yang menerima komuni dari prodiakon tersebut? terima kasih…
[Dari Katolisitas: Pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]
Comments are closed.