Umat beriman Kristiani yang terkasih, tidak terasa waktu bergerak maju dan tidak kembali. Kita sedang menatap hari kedatangan Sang Juru Selamat Yesus Kristus. Hari Raya Natal telah tiba. Banyak tokoh yang mengelilingi kedatangan Tuhan Yesus di hari raya Natal. Mereka mendapat perhatian seluruh umat manusia di hari raya Natal. Mereka itu adalah:

Yusuf, merupakan figur seorang bapa dan suami yang sederhana, tidak banyak bicara tetapi bertanggungjawab. Nampaknya, figur Yusuf kurang mendapat perhatian. Kita lupa bahwa dalam karya keselamatan Allah, peran Yusuf  tidaklah kalah penting jika dibandingkan dengan peran Maria. Dapatkah kita bayangkan, apa yang akan terjadi jika Yusuf tidak menerima Maria? Kemungkinan besar Maria sudah dirajam habis oleh orang Yahudi, mengingat bahwa hukuman bagi seorang gadis yang mengandung di luar ikatan perkawinan adalah hukuman rajam (lih. Ul 22:21). Maria telah mengambil resiko yang sangat besar dengan mengatakan YA, terhadap undangan Malaikat Gabriel, untuk mengandung Kristus walaupun ia belum bersuami. Fiat voluntas tua, “Terjadilah menurut kehendakmu”, demikianlah jawab Maria kepada malaikat itu.

Marilah kita renungkan bersama, keadaan pada saat itu: Siapakah yang percaya bahwa buah kandungan Maria adalah dari Roh Kudus? Siapakah yang dapat menjawab bahwa buah kandungan Maria adalah Putera Allah sendiri?  Bukankah Maria sama dengan perempuan lainnya yang dapat mengandung dan melahirkan seorang bayi? Mengapa Maria menjadi istimewa? Jika kita membaca Injil terutama Injil Matius tentang kisah silsilah Yesus, maka kita akan menemukan ada empat puluh dua generasi, dari Abraham sampai kepada Yesus Kristus. Kemudian kalau dihitung kata “memperanakkan” ada 41 kali, tetapi pada giliran Yusuf, tiba-tiba Matius mengubah menjadi: …”suami Maria yang melahirkan Yesus” (Mat 1:16). Sedangkan Lukas sedikit berani dengan menulis Yesus sebagai ‘anak Yusuf’, tetapi masih dengan embel-embel ‘menurut anggapan orang’, se-olah-olah dia ingin membela diri: bukan aku lho yang mengatakannya! Yusuf memang berdiri di samping palungan pada saat kelahiran Yesus, dan selanjutnya selalu menyertai Yesus dan Maria ibu-Nya, sehingga orang mengenalnya sebagai bapa Yesus walaupun sesungguhnya ia adalah bapa angkat Yesus.

Yusuf umumnya digambarkan sebagai seorang lansia yang memegang tongkat untuk menopang tubuhnya yang sudah renta dimakan usia. Cobalah kita periksa baik-baik semua patung Yusuf, umumnya ia memegang tongkat. Kita bisa usil dan mempertanyakan, apakah memang benar Yusuf adalah seorang yang sudah tua, yang lebih pantas menjadi kakek Maria atau setidaknya ayahnya? Ataukah sesungguhnya Yusuf tidaklah setua itu pada saat mengambil Maria sebagai istrinya?

Sebenarnya, gambaran Yusuf yang sudah lansia kemungkinan diambil dari penjabaran the Protoevangelium of James yang dikecam oleh St. Thomas Aquinas. Menarik kita renungkan di sini adalah penjabaran tentang St. Yusuf menurut para mistik seperti Maria de Agrida yang terberkati, Anne Catherine Emmerich yang terberkati, dan Padre Pio. Mereka, berdasarkan penglihatan yang mereka terima, menjabarkan ciri- ciri Yusuf demikian: sebagai seorang muda yang belum menikah saat ia mengambil Maria sebagai istrinya, ia tampan dan baik hati, namun juga sederhana dan bersahaja, murni dalam pikiran dan perbuatan. Kekudusannya tak tercela baik di hadapan Allah maupun manusia.

Sesungguhnya, apakah usia Yusuf patut dipersoalkan? Mungkin saja tidak. Memang lebih mudah untuk mempercayai bahwa Yusuf adalah seorang yang tua, sehingga ia lebih dapat melindungi Maria dan menjaga kesucian Maria. Sebab memang diperlukan kebajikan yang lebih heroik bagi seseorang pria yang masih muda, namun tetap dengan kasih melindungi istrinya yang mengandung bukan anaknya, membesarkan anak itu, dan untuk seterusnya hidup menjaga kemurnian dalam kehidupan keluarganya dengan menghormati kaul keperawanan istrinya. Kebajikan inilah yang layak menjadikan Yusuf sebagai ‘pelindung Gereja’ dan teladan para suami. Sebab melalui St. Yusuf, para suami dapat belajar untuk mengasihi istrinya dengan tulus tanpa pamrih dan tanpa syarat. Yusuf adalah seseorang yang tulus hati (Mat 1:19). Sejauh mana kitapun tulus hati dalam mengasihi sesama kita? Sejauh mana para suami telah mengikuti teladan St. Yusuf dalam mengasihi istrinya?

Ketulusan Yusuf mengasihi Maria mengatasi harga dirinya. Yusuf tidak membutuhkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mungkin berkecamuk di dalam batinnya. Setelah mendengar kabar malaikat di dalam mimpinya, Yusuf tidak mempersoalkan kehamilan Maria tunangannya dan juga tidak mendesak Maria untuk menceritakan secara mendetial apa yang sebenarnya terjadi. Yusuf tidak merajuk, bahwa di dalam keluarga itu, ia bukanlah ayah kandung dari bayi yang dikandung oleh Maria. Dalam relasinya dengan Maria, Yusuf sungguh memberi ruang yang luas pada Maria untuk menjadi dirinya sendiri. Bagaimana dengan anda terutama umat Kristiani? Apakah anda akan kecewa berat dan sakit hati jika tidak mendapatkan peran yang anda inginkan dalam kegiatan anda bermasyarakat? Atau anda mendapat peran, tetapi tidak diperhitungkan oleh orang lain, apakah anda lalu sakit hati? Jika kemalangan datang menghadang, apakah pikiran dan perasaan kita langsung dipenuhi dengan sejuta tanya: Mengapa? Kadang kita juga mengharapkan jawaban seketika dari Tuhan atas doa-doa kita yang kebanyakan merupakan permohonan. Mengapa kita cenderung mengharapkan jawaban dari Tuhan dengan segera atas doa-doa kita? Sebab kita tidak sabar! Bahkan kita mempertanyakan keberadaan Tuhan. Tuhan ada nggak sih? Kok Tuhan diam saja, sedangkan kita sedang menghadapi masalah silih berganti. Kita sudah berdoa novena terus menerus, lalu kita bertanya kepada Tuhan, “Tuhan, mana jawabannya?” Kerap kita juga cepat bertengkar dengan orang lain, yang dimulai dengan persoalan kecil, misalnya karena perbedaan pandangan dalam keluarga. Karena kurang sabar, maka dalam berelasi dengan orang lain, kita cenderung menyalahkan, melarang bahkan menghakimi mereka. Padahal seharusnya, kita meneladani Yusuf yang sabar, tenang, mendengarkan, dan percaya penuh kepada penyelenggaraan Tuhan.  Perbedaan ataupun masalah bagi Yusuf malah menjadi sarana untuk menambah wawasan memahami sesama, dan cara untuk mendewasakan dalam berelasi. Santo Yusuf, semoga tingkah laku kami dapat berubah menyerupai teladanmu.

Maria, ah itu dia. Dengan mantel birumu Engkau semakin cantik dan indah. Meskipun demikian, sesungguhnya Maria tidak pernah memiliki mantel seindah itu. Dia adalah perempuan yang sederhana, gadis desa yang lugu. Sayangnya banyak patung Maria, yang nampak terlalu mewah dengan mantel biru itu. Gambaran tentang Maria melalui patung yang menghiasi kandang Natal, sepertinya tidak sesuai dengan kenyataan diri Maria yang sesungguhnya. Maria mengalami aneka kesulitan, baik karena dirinya yang mengandung dari Roh Kudus maupun karena relasinya dengan Anaknya Yesus hampir tidak pernah diceritakan. Sebagai perempuan Yahudi yang saleh bisa kita bayangkan betapa taatnya Maria pada aturan dan hukum Taurat. Oleh karena itu, pastilah Maria cemas ketika Yesus berkali- kali melanggar hukum Taurat, terutama tentang ketentuan hari Sabat. Maria juga sedih ketika banyak orang mengatakan bahwa anaknya “gila”. Maria berusaha membawa anaknya pulang kampung namun tak berhasil karena Yesus terlalu sibuk dan sampai- sampai tidak ada waktu untuk makan. Sebagai seorang ibu tentu Maria prihatin atas kesehatan anaknya. Jika sesekali Yesus pulang kampung ke rumah, kita yakin Maria sebagai ibu akan menyediakan makan kesukaan Yesus…

Banyak ketidakpastian memenuhi benak Maria, seperti setiap ibu, mungkin Maria pun ingin agar anaknya memiliki tempat tinggal tetap, menikah dan memberi cucu-cucu manis serta dihormati oleh masyarakat. Namun anaknya tidak memenuhi harapan ibunya. Yesus anaknya tidak menikah dan tidak ada waktu memikirkan diri-Nya sendiri karena Dia memberikan seluruh hidupnya untuk sesama dan Allah Bapa-Nya. Maria menyimpan segala perasaan ini di dalam hatinya. Dilihat dari kacamata ini, Maria dapat dikatakan sebagai seorang Ibu yang malang dengan anak yang berkarakter sulit. Sang Anak yang mempunyai cara berpikir dan cara hidup yang sangat berbeda dengan kebanyakan orang muda pada jaman itu. Namun Maria memberikan kebebasan pada Anaknya untuk berkembang sesuai dengan cita-cita-Nya. Maria tidak membentuk kepribadian Yesus seperti yang dia ingini. Maria mengakui dan menerima perbedaan karakter dengan Anaknya.

Hal yang menjadi puncak pengorbanan dan iman Maria adalah kesetiaannya kepada Yesus, yang membuatnya teguh berdiri menyertai Yesus di kaki salib-Nya, di saat hampir semua murid-Nya meninggalkan Dia. Maka Maria selalu mempertahankan “Fiat”-nya sampai akhir, walaupun Maria baru dapat memahami semuanya itu setelah kebangkitan Kristus dari wafat-Nya di kayu salib. Maka, hampir di sepanjang hidupnya, Maria bergelut dalam permenungan memahami cara pikir dan bertindak dari Putera-nya. Kita mengingat bahwa banyak ibu atau para istri yang tidak dengan mudah bisa memahami suami, dan anak-anak mereka. Kita mesti belajar dari Maria untuk merenungkan ketidakpastian dalam hidup ini, dan menyimpannya di dalam hati agar kita bisa bertindak dengan bijaksana.

Para Gembala, mereka adalah orang-orang pertama yang mengunjungi Yesus. Bagi kita hal ini membawa makna penting.  Para gembala adalah orang-orang yang selalu berjaga dan siaga, peka terhadap hal-hal yang tidak terduga. Mereka tidak ngotot berpegang teguh pada satu kepastian. Bukankah setiap saat serigala dapat datang menerkam domba- domba muda milik mereka?  Para gembala tetap siap sedia menjaga mereka. Mereka sangat bertanggungjawab. Kita memang bukan orang yang pandai matematika, atau ekonomi. Namun sikap kita kadang terlalu matematis; kaku dan ingin persis, karena takut akan perubahan yang tak terduga. Sebagai umat Kristiani yang baik, kita juga selayaknya belajar dari perilaku hidup para gembala yang siap sedia, siaga menjaga dan menanti kedatangan Tuhan. Mari belajar dari mereka dalam hal keluwesan dan keberanian untuk berubah, tentu ke arah yang lebih baik.

Keledai dan Sapi, mereka binatang yang terpilih dari sekian banyak binatang ciptaan Tuhan.  Berikut penutur kisah binatang, tentang apa yang layak menemani keluarga Yusuf di kandang? “Pertama, munculah Singa si raja binatang. Dia merasa bahwa hanya dia yang berdarah biru yang layak mengabdi Tuhan langit dan bumi. Dengan sombongnya dia menunjukkan kebolehannya lalu mengaum sekuat tenaga dan siap mencabik-cabik siapa saja yang mengganggu ketenangan sang bayi Yesus dalam palungan. Namun malaikat itu menjawab: “Engkau tidak memiliki perikebinatangan”, hardik sang malaikat. “Aku tidak membutuhkan kamu.” Berikutnya dengan langkah anggun mendekatlah Serigala. Ekornya mengibas-ibas dengan tenangnya dan diiringi senyum binal. Layaknya pencuri profesional berkatalah dia: “Setiap pagi aku akan mencuri madu murni bagi si bayi Yesus dan ayam betina bagi si ibu muda Maria”. Jawab Malaikat: “Hai pencuri ulung yang merugikan semua binatang, aku tak butuh penjaga macam kamu.” Begitulah satu persatu binatang muncul namun tak satupun yang layak. Malaikat melihat ke sekeliling dan tampaklah dari kejauhan Sapi dan Keledai yang berjalan hati-hati serta mendekat ragu dan malu. “Apa yang dapat kamu tawarkan?” sapa sang malaikat. “Aku tak punya apa-apa yang mulia,” jawab keledai dengan pandangan mata yang sedih. “Mereka menyebut kami berdua si tolol, yang tak berpendidikan dan tak punya kecakapan. Namun, toh kami ingin menawarkan diri untuk mengabdi Tuhan.” Lalu Sapi menyahut, “Mungkin Yang Mulia, kami bisa berguna. Kemampuan kami sederhana saja: mengibas-ibaskan ekor kami. Tapi siapa tahu, dengan melakukan ini kami mampu mengusir nyamuk dan lalat yang datang mendekat tanpa mengusik si bayi Yesus yang tidur lelap.” “Ahhhaaa,” seru Malaikat gembira, “Binatang yang beginilah yang kubutuhkan.” Akhirnya, Sapi dan Keledai dipilih  sebagai yang layak dan pantas menjadi teman yang mendampingi Yusuf sekeluarga”. Ceritanya selesai sampai di sini. Kita perlu mawas diri, agar dapat hidup sederhana tanpa ambisi menjadi orang hebat. Menjadi keluarga Kristiani yang baik dimulai dengan hidup apa adanya, sederhana, tidak sombong dan pongah. Sebab dengan kesederhanaan ini kita mengikuti teladan keluarga kudus di Nazaret.

Bayi Yesus dalam palungan. Dia yang kaya dan mulia mau merendahkan diri menjadi yang hina-papa, miskin dan manusiawi. Bisa kita bayangkan suasana kandang tempat Yesus dibaringkan, sepi, dingin, sunyi-senyap. Kehidupan baru ditawarkan pada manusia. Bayi mungil yang lahir itu adalah Sang Juru Selamat dunia! Dapatkah aku menjadi palungan bagi kehadiran Tuhan, lewat hidup dan pelayananku? Lewat kesetiaanku pada panggilan sebagai pasangan suami istri dan hidup religius: para imam, suster,bruder? Dalam keheningan malam kudus ini, kita patut menyalakan lilin-lilin kecil agar bersinar menyinari hidup yang baru berkat kedatangan Yesus di hari Natal. Kita bisa berharap agar bisa menjadi secercah harapan bagi sesama yang menderita: mereka yang tidak memiliki tumpangan, para gelandangan, fakir miskin peminta- minta di jalan dan lorong-lorong kehidupan kita. Ataupun kepada mereka yang miskin secara rohani, mereka yang kesepian dan putus asa. Apalagi jika ternyata mereka itu ada di sekitar kita, dan ada di dalam keluarga kita sendiri…

Tuhan Yesus, silakan datang di hari raya Natal ini. Ketuklah pintu hati kami, ya, Tuhan. Ya, masing- masing dari kami, entah kami para imam, suster dan bruder, pasangan suami istri, anggota keluarga ataupun orang muda. Kami berharap, apabila Cinta datang mengetuk hati, kami akan dapat menyambut-Nya dengan menyediakan diri kami menjadi terang yang menyinari sesama. Yesus datanglah di hari raya Natal, ketuklah hati kami agar mampu menjadi alat-Mu, menyinari setiap kegelapan dosa dan hati yang pilu mendamba hidup-Mu.

Bagi kita semua, mari, mulailah berdamai dengan diri sendiri, dan kemudian berdamailah dengan Tuhan dan sesama. Percayalah bahwa diri kita mampu membawa damai bagi dunia sekitar kita. Seperti kata Malaikat yang membawa kabar: “Damai di bumi bagi orang yang berkehendak baik, yang berkenan kepada-Nya” (lih. Luk 1:14)

“We wish you a Merry, Happy Christmas and Happy for Ever”

RD. D Gusti Bagus Kusumawanta,

Renungan ini mendapat inspirasi dari kartu ucapan seorang sahabat, dan telah dimuat dalam Majalah Relasi ME Indonesia bulan Desember 2010. Renungan ini juga telah diedit oleh redaksi Katolisitas.org

4 COMMENTS

  1. Terima kasih atas renungannya. Semoga bisa membantu saya untuk sabar menanti jawaban doa saya dan tidak memaksakan keinginan sisi manusia saya.

  2. renungannya mantap ………………..dan sangat menyentuh hati saya………so thank you.

  3. Terimakasih banyak atas renungan yang seakan menyimpulkan bahwa “KESEDERHANAAN MERUPAKAN SEBUAH KESEMPURNAAN”. Kesederhanaan membuat hati seseorang menjadi rendah hati, dan mau berbagi. Sedangkan biasanya kekayaan(harta) membuat orang yang tidak beriman kuat, selalu was2 dan khawatir akan semua yang dimilikinya.
    Yusuf dan Maria telah menunjukkan bahwa mereka memiliki “Cinta sejati yang tulus” karena telah menerima Utusan Tuhan untuk melahirkan Yesus kedalam dunia dengan kuasa Roh Kudus. Para Gembala, Keledai dan sapi, bahkan Bayi Yesuspun seakan mengajarkan sebuah kesederhanaan yang memancarkan sebuah kesempurnaan.
    Terimakasih karena ini akan membuat saya untuk tidak mengeluh dalam sebuah kesederhanaan, dan mengerti bahwa kekayaan sesungguhnya jika berada dalam kasih yang sebenarnya, yang membuat tenang.
    Salam Damai
    n.n

  4. Renungan yang sangat bagus sekali. Terima kasih Romo Wanta..terutama mengenai peran Yusuf yang seringkali kita lupakan..

Comments are closed.