Pengantar
Salah satu pertanyaan yang disampaikan oleh umat melalui email ke ruang hukum Gereja Mirifica e news adalah tentang kepemimpinan Gereja. Apakah umat beriman kristiani awam memiliki kuasa kepemimpinan dalam Gereja? Partisipasi kepemimpinan macam apa yang dimiliki oleh umat beriman kristiani awam?
Kitab Hukum Kanonik 1983 dibawah judul De potestate regiminis (kuasa kepemimpinan) menjelaskan secara rinci tentang kepemimpinan Gereja (bdk. kann. 129-144). Kepemimpinan Gereja mengacu pada kuasa ilahi yang diperoleh seseorang beriman melalui penerimaan sakramen tahbisan. Oleh karena melalui tahbisan itu ada kuasa yang dalam kodeks disebut dengan potestas sacra (bdk. LG, 10b; 18a). Dalam kodeks lama KHK 1917 disebut dengan potestas ordinis yang memiliki gradasi atau hirarki atas dasar tahbisan (bdk. kan. 108, §1, KHK 1917). Dari penerimaan tahbisan seseorang menerima kuasa untuk memimpin hal itu dinyatakan dalam kanon 1008, KHK 1983: “dengan sakramen tahbisan menurut ketetapan ilahi sejumlah orang dari kaum beriman kristiani diangkat menjadi pelayan-pelayan suci, dengan ditandai meterai yang tak terhapuskan, yakni dikuduskan dan ditugaskan untuk menggembalakan umat Allah, dengan melaksanakan dalam pribadi Kristus Kepala, masing-masing menurut tingkatannya, tugas-tugas mengajar, menguduskan dan memimpin”. Dibedakan dalam kodeks lama potestas ordinis (kuasa tahbisan) dan potestas iurisdictionis (kuasa kewenangan). Potestas ordinis diperoleh dengan penerimaan sakramen tahbisan yang menuntut adanya jabatan, sedangkan potestas iurisdictionis diperoleh melalui pemberian kewenangan dari otoritas yang lebih tinggi. Dalam kodeks yang baru KHK 1983, keduanya menjadi satu, seorang beriman memiliki potestas iurisdictionis setelah menerima potestas ordinis melalui tahbisan suci.
Dari satu kuasa untuk anekaragam pelayanan
Konsili Vatikan II mengamini apa yang dinyatakan di atas bahwa kuasa (potestas/exousia) kepemimpinan dalam Gereja diperoleh melalui penerimaan tahbisan. LG, 21: “Untuk menunaikan tugas-tugas yang mulia itu para Rasul diperkaya dengan pencurahan istimewa Roh Kudus, yang turun dari Kristus atas diri mereka (bdk. Kis 1:8). Dengan penumpangan tangan mereka sendiri meneruskan kurnia rohani itu kepada para pembantu mereka (bdk. 1 Tim 4:14). Kurnia itu sampai sekarang ini disalurkan melalui tahbisan Uskup sebagai kepenuhan tahbisan imamat”. Dari kurnia ilahi yang diterimakan seseorang melalui tahbisan lahirlah kuasa kepemimpinan Gereja secara hierarkis sesuai dengan tahbisan yang diterimanya: Diakonat, Presbiteriat dan Episcopat. Penerimaan sakramen tahbisan tersebut mengandung aneka ragam pelayanan kepada umat, yang terbagi dalam tugas pelayanan menguduskan, mengajar dan memimpin (tria munera in persona Christi) atas nama Kristus (bdk. kann 1008-1009). Dengan potestas sacra yang ada pada imam pejabat membentuk dan memimpin umat beriman, menyelenggarakan korban Ekaristi atas nama Kristus dan mempersembahkannya pada Allah atas nama segenap umat. Imamat jabatan itu mereka laksanakan pada saat merayakan sakramen-sakramen, berdoa dan bersyukur, memberi kesaksian dan pengingkaran diri serta cinta kasih yang aktif (bdk. LG 10b).
Kuasa kepemimpinan kaum awam
Kanon 129, §1 menengaskan pernyataan Konsili: “menurut ketentuan norma hukum, yang mampu mengemban kuasa kepemimpinan yang oleh penetapan ilahi ada dalam Gereja dan juga disebut kuasa yurisdiksi, ialah mereka yang telah menerima tahbisan suci”. Baru dalam paragrap kedua kanon yang sama menyatakan letak kepemimpinan kaum awam: “dalam pelaksanaan kuasa tersebut, orang-orang beriman kristiani awam dapat dilibatkan dalam kerjasama menurut norma hukum”. Di sinilah letak kepemimpinan kaum awam yakni: berkat penerimaan sakramen pembaptisan awam mengambilbagian dalam tiga tugas Kristus sebagai Nabi, Imam dan Raja. Kaum awam memperoleh imamat umum yang membedakan dari imamat jabatan/hirarkis yang diterima melalui tahbisan imamat. Kendati berbeda dan juga tingkatannya imamat umum dan jabatan satu sama lain saling terarahkan. Sebab keduanya dengan caranya yang khas masing-masing mengambilbagian dalam satu imamat Kristus (bdk. LG. 10,b). Jadi kepemimpinan awam merupakan pengambilbagian dari “exercitio eiusdem potestatis” yang dimiliki oleh Imam/Uskup.
Ad normam iuris cooperari possunt
Kanon 129 menyatakan sebuah solusi tentang masalah siapa yang memiliki kuasa memimpin (munus regendi) di dalam Gereja. Masalah timbul dari determinasi hubungan antara imamat umum dan ministerial dan kuasa memimpin di dalam Gereja. Paragrap satu kanon 129, menetapkan bahwa ada dua jalan untuk pelayanan di dalam Gereja: pertama pelayanan Gereja yang membutuhkan kuasa dari sakramen tahbisan dan misi kanonik. Kuasa sakramen itu merujuk pada kemampuan yang bersumber atas nama Kristus secara spiritual dan pengudusan dari ikatan tahbisan. Misi kanonik diberikan oleh pemimpin Gereja sebagai kuasa yang didelegasikan “potestas delegata” (bdk. kan. 131) seturut norma kanonik kepada seseorang untuk melaksanakan tugasnya. Perbedaan ini secara eksplisit dalam paragrap kedua kanon 129 dinyatakan: “in exercetio eiusdem potestatis, christifideles laici ad normam iuris cooperaro possunt”.
Apa maksud dari kalimat ad normam iuris cooperari possunt? Kodeks memberikan aneka kemungkinan bagi kaum awam untuk bekerjsama (kooperatif) dengan Imam dalam pelaksanaan kuasa yurisdiksi yang dimilikinya. Kerjasama dalam bentuk ambilbagian dalam kuasa kepemimpinan Gereja oleh kaum awam terwujud dalam tugas-tugas Gereja baik dalam eksekutif maupun yudikatif level. Sebagai contoh kaum awam dapat menjadi notarius, atau defensor vinculi dalam tribunal Gereja, atau menjadi anggota Dewan Keuangan Keuskupan/Paroki, atau Dewan Pastoral Keuskupan/Paroki. Jadi baik Imam (clerus) maupun kaum awam (laicus) dapat bekerjasama dalam pelaksanaan kuasa yurisdiksi oleh seorang berkat penetapan ilahi yang diterimanya atau oleh kuasa yang didelegasikan. Kepemimpinan kaum awam dalam Gereja didasarkan pada penerimaan sakramen baptis dan imamat umum yang diterimanya. Kuasa memimpin awam dalam Gereja dimungkinkan sejauh pelaksanaan kuasa memimpin itu tidak memerlukan kuasa tahbisan seturut norma hukum. Contoh, awam tidak bisa menjadi pastor paroki karena untuk menjadi pastor paroki dibutuhkan kuasa kepemimpinan berdasarkan tahbisan “potestas ordinaria” (bdk. kan. 521, §1, ).
Sisi demokratisasi kepemimpinan dalam Gereja
Meski kepemimpinan dalam Gereja didominasi oleh seorang yang menerima kuasa kepemimpinan melalui penerimaan tahbisan suci (bdk. kan 129), kaum awam bukanlah kelas nomor dua dalam Gereja. Mengapa? Karena konsep Gereja sebagai Umat Allah (bdk. kan. 204) dimana semua umat beriman kristiani (Uskup, Imam, Awam, Biarawan/Biarawati) berkat penerimaan sakramen pembaptisan diinkoperasi pada Kristus, mengambilbagian dalam tugas Kristus dengan caranya sendiri. Disini tidak ada lagi pembagian kelas dalam Gereja, semua sama dan wajib berpartisipasi dalam kepemimpinan Gereja sesuai dengan fungsinya. Keputusan dalam kepemimpinan Gereja ada ditangan pemimpin yang memiliki kuasa ilahi (potestas sacra) namun sebelum mengambil keputusan, dia wajib mendengarkan umat beriman demi kebaikan bersama. Oleh karena itu, babak baru dalam kepemimpinan Gereja adalah membangun sebuah kerjasama yang harmonis antara Uskup/Imam dan umat beriman awam dalam memimpin umatnya. Kepemimpinan Gereja tidaklah clerical (kaum tertahbis) sentris lagi atau laical (kaum terbaptis non tertahbis) sentris tetapi Kristus sentris dimana semua anggota Gereja berpartisipasi dalam kepemimpinan Gereja sesuai dengan jabatan dan fungsinya. Semoga.
Yth. Romo RD.Yohanes Dwi Harsanto
Romo RD.Bagus Kusumawanta
Berkah Dalem,
Terima kasih Romo atas penjelasannya, sehingga saya lebih paham akan tugas seorang Ketua Dewan Stasi, sehingga dalam pelaksanaan harian tidak akan melenceng dari ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Sebenarnya saya menginginkan buku panduannya, seperti buku untuk Prodiakon, Buku untuk Pengurus lingkungan yang diterbitkan oleh Kanisius, namun untuk Dewan Pastoral / Dewan Stasi saya belum menemukan. Dan kalau boleh tau dan memang ada, saya harus mencari ke mana Romo.
Senantiasa Allah Bapa di surga selalu menyertai Romo dalam aktivitas sehari-hari.
Salam,
haryo yudhanto.
Salam Haryo Yudhanto,
Pada dasarnya tiap keuskupan menerbitkan Pedoman Dewan Paroki. Anda bisa memperolehnya pada pastor paroki Anda. Setiap keuskupan sudah membagikan panduan Dewan Paroki ke para pastor paroki. Setiap anggota Dewan Paroki pun sudah diberi. Keuskupan Agung Jakarta baru saja menerbitkan Pedoman Dasar Dewan Paroki yang terbaru. Anda bisa melihat pemberlakuannya oleh uskup agung KAJ di http://www.kaj.or.id
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
Berkah Dalem,
Mohon penjelasan fungsi dari pada DEWAN STASI dan kegiatan-kegiatan apa saja yang biasa dilakukan oleh Dewan Stasi. Terima kasih.
Salam Haryo Yudhanto,
saya kutipkan dari “Pedoman Dasar Dewan Paroki Keuskupan Agung Semarang 2004 dan Penjelasannya”.
Bab I, pasal 1 ayat 3: Stasi, persekutuan lingkungan-lingkungan dan/atau wilayah-wilayah yang berdekatan dan mempunyai kemampuan untuk menjadi paroki.
Bab II, Tujuan, Fungsi, Wewenang dan Tanggungjawab Dewan Paroki
Dalam hal stasi, maka dewan stasi memiliki fungsi yang mirip namun di tingkat stasi.
Pasal 5, Tujuan. Dewan Paroki bertujuan: 1. Menyelenggarakan tata penggembalaan yang melibatkan, mengembangkan, dan memberdayakan seluruh umat dalam hidup dan karya paroki untuk menemukan ungkapan dan perwujudan iman yang khas dalam persekutuan dengan paroki-paroki se-keuskupan. (NB. Dalam hal ini, kata “paroki” diganti “stasi” dan “keuskupan” diganti “stasi”).
Bab III, Tugas Dewan Paroki
Pasal 8 Tugas Umum Dewan Paroki
Dewan paroki bertugas menggerakkan dan mengkoordinasikan keterlibatan umat, dan dalam terang iman memutuskan, merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi reksa pastoral paroki yang meliputi bidang-bidang: liturgi dan peribadatan, pewartaan, pelayanan kemasyarakatan, paguyuban dan tata organisasi. (NB, dalam hal ini, kata “paroki” diganti “stasi”).
Pasal 9. Tugas Dewan Harian: 1. Menangani masalah-masalah sehari-hari yang timbul dalam kehidupan umat beriman, 2. Mempersiapkan rapat atau pertemuan dengan kemungkinan membentuk panitia tersendiri (ad hoc). 3. Mengundang rapat Dewan Inti atau Dewan Plenbo atau sebagian, secara berkala. 4. Menyampaikan laporan tahunan kepada uskup. (NB dalam hal ini, kata “uskup” bisa diganti menjadi “pastor paroki”).
Pada pasal 12 Pedoman itu, ada pula tugas pastor paroki yang bertanggunbgjawab untuk menampakkan dan menghadirkan jiwa persekutuan dan pelayanan, menjaga kemurnian ajaran iman dan moral Katolik, tanggung jawab penyelenggaraan administrasi, dan membuat berita acara dan pelaporan waktu ada penggantian pastor, kepada pastor penggantinya.
Dalam hal ini, tampak bahwa Stasi, di bawah reksa pastoral Pastor Paroki. Maka Dewan Stasi hendaknya selalu berkomunikasi dengan pastor paroki.
Pada Pasal 10 disebutkan tugas Dewan Paroki: menjabarkan prioritas reksa pastoral paroki dalam programn kerja, menyusun rencana jangka panjang dan jangka pendek yang disahkan oleh rapat pleno, dan melaksanakan serta melaporkannya.
Pasal 13 bicara khusus mengenai Tugas Ketua Stasi pada ayat 1:
Ketua Stasi bertugas: a. Mengkoordinasi kegiatan antar-lingkungan, b. Mengkoordinasi kegiatan antar wilayah (bila ada), c. Mewakili stasinya dalam Dewan paroki, d. Menyampaikan hasil rapat dewan paroki kepada pengurus lingkungan dan wilayah. e. Menyelenggarakan administrasi mandiri.
Semangat Pedoman Dasar Dewan Paroki Keuskupan Agung Semarang itu ialah semangat communio (LG 2, 4, Yoh 17:21-22, GS 19, 1 Tim 2:4, DV 2, Ibr 1:1-3, Ef 2:18).
Mau membuat kegiatan apapun harus mengacu ke semangat communio tesebut, agar orang sampai ke persekutuan Allah Tritunggal Mahakudus.
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
Salam Haryo Yudhanto,
tambahan dari saya, nama stasi tidak ada dalam kodeks hukum gereja. Stasi merupakan istilah Gereja Katolik di Indonesia untuk wilayah teritorial yang lebih kecil dari paroki dan tidak memiliki pastor yang tinggal di stasi. Jaraknya jauh dari paroki pusat.
salam
Rm Wanta
Selamat pagi, pengasuh Katolisitas
Saya langsung saja ke pertanyaan yang ingin saya tanyakan
1. Mengapa sebuah stasi dibentuk dan apa tujuannya?
2. Dari literatur yang saya baca di internet, bentuk kumpulan jemaat terkecil adalah paroki (parish). Apakah pemahaman saya salah? Jika ya, mohon penjelasannya!
3. Mengapa Dewan Pastoral Gereja seperti DPL (Dewan Pastoral Lingkungan), DPS (Dewan Pastoral Stasi), dan DPP (Dewan Pastoral Paroki) dibentuk dan apa fungsi dari dewan ini?
4. Bagaimanakah hubungan antara stasi dengan paroki? Apakah hubungannya dapat dianalogikan dengan batu bata dan dinding? Jika kurang tepat ataupun salah, analaogi apakah yang tepat untuk menggambarkannya?
5. Bagaimana pula hubungan antara lingkungan-lingkungan di dalam sebuah stasi?
6. Tepatkah bila saya mengatakan bahwa Gereja Katholik bertujuan untuk mewartakan keselamatan bagi manusia dan mewujudkan Kerajaan Allah di dunia? Atau ada tujuan-tujuan lain? Atau pendapat saya tersebut masih kurang tepat?
Terima kasih sebelumnya.
Semoga Tuhan tetap memberkati para pengasuh Katolisitas.
Valerius yth,
Dalam hukum gereja tidak dikenal stasi apalagi lingkungan atau sektor atau kring (jawanya). Istilah itu ada di Indonesia karena Gereja Katolik Indonesia adalah Gereja yang dinamis kreatif. Stasi merupakan komunitas umat beriman yang lebih kecil dari Paroki karena letaknya agak jauh dari pusat paroki, dan mereka rutin mendapat pelayanan pada hari Minggu entah ibadat sabda atau perayaan Ekaristi. Pelayanan pastoran dan administrasi dilayani oleh Paroki sebagai induk dari beberapa stasi. Pada umumnya di stasi ada kapel/Gereja dan umat yang tetap/stabil sekitar 500 jiwa. Stasi dibentuk karena memenuhi syarat: jumlah yang memadai, umat domisili tetap, memiliki kapel/Gereja, kemandirian dalam tenaga pastoral dan dapat mandiri. Stasi menjadi bakal calon paroki yg disebut Quasi Paroki dan nantinya menjadi Paroki.
Dewan pastoral hanya ada dua, Dewan Pastoral Keuskupan dan Dewan Pastoral Paroki. Tidak perlu ada Dewan Pastoral Lingkungan atau Dewan Pastoral Stasi. Mungkin di stasi ada pengurus stasi saja karena pastoralnya diatur dan dilayani oleh dan dari Paroki (induk stasi).
Hubungan stasi dan paroki bagaikan anak dan induk semangnya. Stasi bagian dari Paroki bukan sebaliknya.
Lingkungan itu bagian kecil dari stasi, beberapa lingkungan menjadi Stasi. Lingkungan terdiri dari 8-15 KK yang ideal untuk menjadi sebuah komunitas basis gerejawi atau insani.
Tepat sekali kehadiran Gereja Katolik adalah menjadi tanda dan sarana keselamatan dunia dengan mewartakan Kerajaan Allah melalui kesaksian hidupnya.
salam
Rm Wanta
Terima kasih banyak, Romo
Salam Damai Kristus Romo.
Saya mw bertanya, jadi sebenarnya, apakah orang awam boleh berdoa dengan menumpangkan tangannya utk orang yg dia doakan?? Dan bagaimana pandangan Gereja mengenai hal ini?
Trima kasih.
[Dari Katolisitas: Umat awam boleh saja mendoakan dengan menumpangkan tangan pada orang lain yang didoakan, namun penumpangan tersebut tidak memberikan efek sakramental seperti yang dilakukan oleh para tertahbis jika mereka menumpangkan tangan saat mendoakan ataupun pada saat menerimakan sakramen-sakramen Gereja.]
Merlyn yth,
Penumpangan tangan adalah tradisi Gereja dalam Kitab Suci bisa ditemukan umat kristiani awal di dalam Gereja perdana, berdoa dengan menumpangkan tangan untuk orang yang didoakan. Memang harus dibedakan penumpangan tangan bagi orang yang didoakan saat perayaan tahbisan imam. Hanya imam dan Uskuplah yang memiliki kewenangan mendoakan dan menumpangkan tangan pada orang yang akan ditahbiskan, menumpangkan tangan di atas kepala dan bahkan memegang kepala. Awam tidak diperkenankan melakukan itu. Pada umumnya mendoakan dengan memegang bahunya dilakukan untuk awam tidak memegang kepala.
salam
Rm Wanta
Dear katolisitas.org, saya seorang dosen Kepemimpinan Krsitiani, bisakah membantu saya merekomendasikan bahan-bahan Kepemimpinan yang khas katolik dan di mana saya bisa menemukannya? Karena saya lbh banyak menemukan bahan2 kepemimpinan dari Kristen Protestan. Terima kasih atas atensinya, maju terus Katolisitas.org, GBU
Salam Agus Benedict,
Prinsip kepemimpinan Katolik tak beda dari prinsip kepemimpinan pada umumnya, selain pada spiritualitas yang berpusat pada pribadi Yesus Kristus dalam Gereja Katolik. Secara khusus buku-buku mengenai kepemimpinan memang terbatas dari kalangan Katolik. Hal ini bisa dipandang sebagai keprihatinan, namun juga menantang Anda untuk menyusun buku berdasar pengalaman Anda sendiri sebagai pengajar beragama Katolik. Beberapa buku kepemimpinan yang muncul di penerbit Katolik antara lain:
Silahkan klik http://www.kanisiusmedia.com/product/detail/014339/SIAP-JADI-PEMIMPIN-Latihan-Dasar-Kepemimpinan
Kemudian ada buku modul, klik ini http://www.obormedia.com/content/calling-lead-0
dan buku modul http://www.obormedia.com/content/preparing-excellent-leaders-0
Gambaran umum kepemimpinan hierarki dalam buku ini http://www.pustakanusatama.com/index.php?productID=638
Buku-buku kepemimpinan Katolik biasanya berupa modul pelatihan yang langsung bisa diterapkan dalam sebuah kursus kepemimpinan. Hampir semua kalangan / lembaga kaderisasi Katolik sebenarnya memiliki modul-modul kepemimpinan dan kaderisasi. Karena terlalu khas, maka mereka tidak mau menerbitkannya untuk umum. Untuk bisa mendapatkan buku-buku modul khas kelompok Katolik, sebenarnya Anda bisa langsung berhubungan dengan pengurus Lembaga Kader Katolik baik yang berupa Ormas seperti PMKRI, Pemuda Katolik, WKRI, ISKA, maupun komunitas pengkaderan seperti Komisi Kepemudaan Keuskupan, Pastoral Kemahasiswaan Keuskupan, bahkan kelompok/komunitas doa yang memiliki mekanisme pengkaderan seperti PDKK, KTM, atau kelompok pelayanan seperti San’t Egidio, SSV, dan sebagainya.
Untuk pengolahan spiritualitas kepemimpinan, Anda bisa mendapatkan dari buku-buku karangan Henri JM Nouwen. Jika Anda mengunjungi website penerbit Katolik kemudian memutar mesin pencari dengan kata “pelayanan” maka yang akan muncul sebenarnya ialah buku yang berisi kepemimpinan khas Katolik. Kadang kala, unsur kepemimpinan terselip dalam berbagai judul buku spiritualitas. Memang benar demikian, karena hakikat kepemimpinan dalam Gereja Katolik ialah pelayanan yang bersumber dari spiritualitas. Misalnya
http://www.kanisiusmedia.com/product/detail/012093/Pelayanan-yang-Kreatif
Sedangkan pengetahuan umum mengenai organisasi-organisasi Katolik, silahkan melihat buku “Kelompok, Gerakan, Perkumpulan, Organisasi Katolik” karangan Dr Piet Go. O.Carm, terbitan Dioma, Malang, 1991. Buku ini dilengkapi dengan lampiran AD dan ART Pemuda Katolik, Wanita Katolik RI, PMKRI, ISKA, SSV.
Gereja Katolik memiliki anggota berjumlah satu milyar lebih sekian ratus juta anggota. Di Indonesia umat Katolik tersebar di 37 keuskupan dengan banyak lembaga, ordo/ kongegasi/tarekat religius. Mustahil tak ada yang berpengalaman dalam kepemimpinan. Mustahil tiada yang pandai dalam teori kepemimpinan maupun terampil memimpin. Beberapa dari mereka mau menulis buku kepemimpinan. Buku-buku itu ada, namun kebanyakan bukan untuk konsumsi publik. Semoga akan makin banyak buku bertema kepemimpinan/pelayanan Katolik.
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
Yth Ibu Inggrid/Bp Stefanus
Sy mohon pencerahan apakah ada tanda2 nya gereja2 non katolik akan kembali ke pangkuan Gereja katolik sbg umat Allah yang satu, katolik & apostolik..?
Joseph carolosa
Shalom Joseph,
Injil Yohanes mencatat bahwa sebelum sengsara-Nya, Tuhan Yesus berdoa bagi persatuan “orang- orang yang percaya kepada-Nya oleh pemberitaan para murid-Nya” (Yoh 17:20-21); dan demikian, persatuan Gereja [yang terdiri dari orang- orang yang percaya kepada-Nya oleh pemberitaan para murid-Nya] merupakan kehendak Tuhan Yesus sendiri. Jika Tuhan Yesus mendirikan Gereja-Nya di atas Rasul Petrus (lih. Mat 16:18) dan bahwa Ia berpesan kepada Petrus untuk menguatkan saudara- saudaranya (lih. Luk 22:32), dan bahwa Ia akan menyertai Gereja-Nya sampai akhir zaman (lih. Mat 28:19-20), maka kita mengetahui bahwa sudah menjadi kehendak-Nya juga bahwa Gereja-Nya yang masih mengembara di dunia ini bersatu di dalam Gereja yang didirikan-Nya dan yang kini dipimpin oleh penerus Rasul Petrus.
Apakah ada tanda- tandanya bahwa gereja- gereja non Katolik akan kembali bersatu dengan Gereja Katolik? Kita berharap demikian, walaupun memang hanya Tuhan yang mengetahui apakah dapat terjadi demikian sebelum akhir zaman. Suatu fakta yang patut disyukuri adalah kembalinya sebagian gereja Anglikan ke pangkuan Gereja Katolik. Gereja Katolik melalui Paus Benediktus XVI, menyambut baik niat gereja Anglikan untuk bergabung kembali ini. Paus mengeluarkan dokumen yang disebut Anglicanorum coetibus, yang mengatur secara prinsip hal kembalinya gereja Anglikan ini ke dalam kesatuan Gereja Katolik, sebagaimana pernah diulas di sini, silakan klik.
Selanjutnya belum lama ini (Oktober 2011) gereja Episkopal (gereja Anglikan yang didirikan di Amerka Serikat) yang bernama gereja St. Luke di Maryland secara resmi kembali bergabung dalam kesatuan dengan Gereja Katolik. Berita tentang hal ini pernah sekilas dibahas di sini, silakan klik. Kita dapat berharap semoga akan ada gereja- gereja non- Katolik lainnya yang kembali bergabung dengan Gereja Katolik, agar persatuan Gereja yang dikehendaki oleh Kristus dapat terwujud.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Yth. Rm. Wanta dan Rm. Boli,
Saya ingin menanyakan tentang doa penumpangan tangan oleh awam yang dimaksudkan untuk mencurahkan Roh Kudus, yang biasa ditemui dalam PDKK.
Meskipun penumpangan tangan itu non liturgis, apakah bisa kita mengimani bahwa Roh Kudus benar-benar tercurah karena penumpangan tangan oleh awam tersebut? Sebelumnya saya ucapkan terima kasih.
Shalom Biji Sesawi,
Jawaban ini sudah disetujui oleh Rm. Boli:
Efek sakramen (dalam hal ini mungkin yang dimaksud adalah sakramen Penguatan yang memberi tanda meterai di jiwa) hanya dapat diberikan oleh penumpangan tangan para tertahbis; sedangkan penumpangan tangan awam tetap dapat memberikan efek pencurahan Roh Kudus dalam artian yang berbeda dengan efek sakramen; sebab Allah tidak terbatas/ dibatasi oleh sakramen, sehingga Ia tetap dapat berkarya di luar sakramen, dalam hal ini, Ia dapat mencurahkan Roh Kudus melalui doa pribadi, doa kelompok ataupun doa penumpangan tangan oleh awam.
Sebab Konsili Vatikan II dalam dokumen Lumen Gentium 12, mengajarkan:
“Selain itu, tidak hanya melalui sakramen- sakramen dan pelayanan Gereja saja, bahwa Roh Kudus menyucikan dan membimbing Umat Allah dan menghiasinya dengan kebajikan- kebajikan, melainkan, Ia juga “membagi-bagikan” kurnia-kurnia-Nya “kepada masing-masing menurut kehendak-Nya” (1Kor 12:11). Di kalangan umat dari segala lapisan Ia membagi-bagikan rahmat istimewa pula, yang menjadikan mereka cakap dan bersedia untuk menerima pelbagai karya atau tugas, yang berguna untuk membaharui Gereja serta meneruskan pembangunannya, menurut ayat berikut : “Kepada setiap orang dianugerahkan pernyataan Roh demi kepentingan bersama” (1Kor 12:7). Karisma-karisma itu, entah yang amat istimewa, entah yang lebih sederhana dan tersebar lebih luas, hendaknya diterima dengan rasa syukur dan gembira, sebab karunia- karunia tersebut sangat sesuai dan berguna untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan Gereja. Namun kurnia-kurnia yang luar biasa janganlah dikejar-kejar begitu saja; jangan pula terlalu banyak hasil yang pasti diharapkan daripadanya untuk karya kerasulan. Adapun keputusan tentang tulennya karisma-karisma itu, begitu pula tentang penggunaannya secara layak/ teratur, termasuk dalam wewenang mereka yang bertugas memimpin dalam Gereja. Terutama mereka itulah yang berfungsi, bukan untuk memadamkan Roh, melainkan untuk menguji segalanya dan mempertahankan apa yang baik (lih. 1Tes 5:12 dan 19-21).”
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
1. Saya hanya brpendpt bhw prumpamaan dari Tuhan Yesus ttg domba2 dan penggembala itu hanya berlaku dlm konteks yg sempit skl, krn yg pasti, domba2 dpt hidup [ liar ] tanpa gembala, sedang penggembala tak dpt hidup tanpa domba, yg memberi kebutuhan hidup [ domba mberi susu,keju,daging, kulitberbulu ].
2. perumpamaan yg berlaku dlm arti yg sempit itu ditenteng utk mendasari hukum kanon di gerja, yg belaku sampai sekarang [dan sepanjang segala abad ?].
3.Di semua masyarakat [apa saja] berlaku kenyataan bhw yg lebih bermodal itu memimpin dan menguasai.
Modal itu berupa soft power, [pengetahuan,moral,kebijaksaan,dll,dll], dan/atau modal hardpower [uang,senjata,tentaradll]. Hanya sejak th 1930-an saja Gereja tidak punya lagi hard powernya.
Dewasa ini krn klerusnya itu lebih bermodal drpd umatnya, jelas kepimpinannya dan sisa kekuasaannya tetap mendominasi kehidupan gereja. Istilah awam itu sebenarnya deregatory [ merendahkan ], yaitu : yg tidak tahu apa2.. Keadaan ini tetap berlaku sekarang [ krn telah membudaya ] dan tetap dipelihara. Siapa yg memelihara ? Itu pasti dari yg berkuasa. Jadi sumber situasi yg jelek, busuk, jahat itu adalah kekuasaan.
4Jadi para klerus itu telah begitu lama mensalahartikan perintah Yesus, bhw yg diberikan oleh Dia itu sebenarnya TUGAS & KEWAJIBAN, yaitu evangelisasi. Rohaniwan itu misionaris dlm arti yg sedalam- dalamnya. Hal ini telah dialpakan oleh pimpinan gerja utk berabad2, yg menhasilkan alienisasi umat di Eropa, dan yg sedang berlaku di negara Katolik, Brasil dan Filipina.
5.-Jika Rm Wanta dpt mengubah minset/ paradigma kekuasaan,[ kesampingkan dulu segala macam potestas itu ] dgn menjabarkannya dlm tugas/ kewajiban seorang misionaris [rm.vanLith,Spekle,Dieben], maka tidak ada itu pengertian teokrasi kek, demokrasi kek dlm gereja, -yg diharapkan bernafaskan, beraroma, beraura cintakasih, yg dpt sekali terjadi di dunia spt di surga. Bukankah masyarkat kerjaan Romawi takjub dgn suasana cintakasih umat Kristen waktu itu. Itu berkat para rasul waktu itu. Sekarang?
Shalom Agustinus,
Terima kasih atas komentar anda. Secara prinsip, kalau kita melihat klerus sebagai manifestasi kekuasaan, maka kita akan sampai pada kesimpulan yang salah. Kalau kita melihat sejarah kekristenan, maka kita senantiasa akan melihat adanya kaum klerus dan kaum awam. Suka atau tidak suka, dapat dikatakan, inilah yang diinginkan oleh Tuhan untuk membawa seluruh umat Allah kepada tujuan akhir, yaitu Sorga.
Tentu saja tidak dapat disangkal ada sebagian klerus yang tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Namun, adalah benar juga bahwa ada sebagian kaum awam yang juga tidak menjalankan fungsinya sebagai umat Allah dengan baik. Dengan demikian, kalau ada permasalahan, bukanlah status klerus yang menjadi masalah, namun apa yang harus dilakukan untuk membenahi agar baik kaum klerus maupun kaum awam dapat melakukan fungsinya masing-masing dengan baik. Konsili Vatikan II, dalam Lumen Gentium menyatakan menyatakan bahwa para imam tertahbis (uskup, imam, diakon) dapat melayani imamat bersama (kaum awam), sehingga kaum awam mempunyai motifasi dan kekuatan untuk dapat menjadi garam dan menjadi ragi di dalam komunitasnya.
Dalam konteks inilah, sebenarnya pembicaraan tentang soft power dan hard power yang anda sebutkan tidaklah relevan dalam pembinaan umat Allah. Jadi, kita harus melihat hirarki sebagai sarana (means) untuk mencapai tujuan (end), yaitu persatuan dengan Allah. Kalau kita menangkap Gereja hanya sebagai sarana (means), hirarki, unsur manusia, dll, maka kita telah gagal untuk melihat secara total hakekat Gereja, yang juga mempunyai sisi ilahi, persatuan dengan Allah, kekudusan, dll.
Jadi, sekali lagi, adalah tidak layak kalau kita mengeneralisasi bahwa kaum klerus telah salah untuk mengartikan perintah Kristus. Bahwa ada sebagian yang kurang dapat menjalankan fungsinya dengan baik, itu adalah satu kenyataan dan sama nyatanya ada sebagian besar klerus yang sungguh-sungguh menjalankan fungsinya dengan baik, yang memancarkan Kristus di tengah umat. Dan dengan kondisi yang sama, kita tidak dapat mengatakan bahwa semua rasul telah gagal menjalankan tugas mereka karena ada satu rasul yang telah berkhianat. Mari kita menempatkan permasalahan dengan semestinya. Dan yang terpenting adalah, mari kita menjalankan bagian kita dengan baik untuk dapat turut serta membangun Gereja Katolik yang kita kasihi dari dalam. Dan jangan lupa,… untuk mendoakan para imam yang telah Tuhan pilih. Semoga masukan ini dapat diterima.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Dengan hormat,
Saya tidak ingin atau bermaksud berdebat dgn para pemimpin yg ahli dlm keagamaan, krn saya ini hanya seorang umat (=rakyat “beragama”). Saya hanya melihat/mengamati kenyataan kehidupan sehari2 di paroki dan mengomentari tulisan ttg kuasa2 dlm Gereja, yg berdasar pd hukum (=kuasa) kanon yg ditulis oleh Rm Wanta tsb di atas.
Pemberdayaan umat itu belum juga beranjak dari ensiklik2 , dlm hal mana para uskup tidak/belum mampu menterjemahkan dlm sikon konteks masing2 diosesan. Memang saya mengamati adanya satu paroki yg meremajakan perangkat paoki dgn orang2 muda ( dgn melengserkan total orang2 tua ). Namun saya skeptik dgn hasilnya, kalau tidak dilengkapi dgn katekese yg memadai.
Karena Rm Wnta tidak/belum menanggapi komentar saya, saya hanya berspekulasi beliau itu sebenarnya dapat menyetujui keseluruhannya, atau dlm kesulitan membantah kenyataan hidup ini dgn meluruskan pendapat saya, atau pendapat saya itu tidak pantas ditanggapi oleh seorang klerus.
Kita semua saling mendoakan.
Shalom Agustinus Purnama,
Terima kasih atas komentar anda. Tidak ada yang salah ketika ada perbedaan pendapat. Untuk itulah diperlukan sebuah dialog yang membangun. Saya mencoba agar kita semua dapat melihat segala sesuatunya dengan seimbang, sehingga kekuasaan dapat dilihat bukan sebagai sebuah tirani, namun diinstitusikan untuk mengatur umat Allah demi mencapai kebaikan bersama. Kekuasaan bukanlah sesuatu kejahatan, dan bahkan diberikan oleh Kristus sendiri. Kekuasaan untuk menjalankan fungsi tertentu yang diberikan kepada beberapa orang adalah baik, sebagai contoh: Kristus memberi kuasa untuk mengampuni dosa kepada para rasul, yang diteruskan oleh Paus, para uskup dibantu dengan para imam. Walaupun demikian, umat yang telah menerima Sakramen Baptis sebenarnya juga mempunyai tiga misi Kristus, yaitu sebagai nabi, imam dan raja.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ada sebagian imam yang kurang menjalankan fungsinya dengan benar, kurang memberdayakan kaum awam. Namun, adalah satu kenyataan bahwa ada banyak imam di paroki-paroki yang sungguh-sungguh dapat memberdayakan kaum awam untuk turut membangun Gereja. Jadi, dalam kapasitas kita masing-masing, kita mencoba untuk melakukan sesuatu sehingga kita turut serta dalam membangun Gereja. Anda dapat memberikan masukan kepada pastor anda, berdoa untuk pastor anda, turut serta dalam kegiatan lingkungan, wilayah atau tingkat paroki, atau anda juga dapat terjun dalam katekese, dll.
Romo Wanta belum menanggapi karena kesibukannya. Jadi, kita tidak perlu berspekulasi, kecuali memang pada saat ini beliau sibuk. Yang perlu diluruskan adalah tidak ada yang membantah bahwa ada yang perlu diperbaiki di lapangan. Namun, pada saat yang sama, kita semua juga dipanggil untuk memperbaiki keadaan ini dalam kapasitas kita masing-masing. Mari, kita bersama-sama membangun Gereja Katolik yang kita kasihi. Semoga jawaban ini dapat diterima.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Salam. Saya sudah tidak berspekulasi lagi, ttp saya malahan sudah berpendapat begitu, kecuali bila beliau itu dpt menyangkal saya. Saya sama skl tidak menyentuh kekuasaan Ilahi, ttp hanya melokalisir kekuasan di dunia ini, dan dlm lingkup opersional paroki, di mana pastor belum masuk dlm ilahi. (lih: Perat. Dewan Paroki KAJ). Yg saya gugat adalh “bithright” umat, yg harus dpt diperoleh dari pastornya dlm ajaran dan bimbingan yg murwat / reasonable, yg merupakan tugas/kekuasaan pastor. Kita tak usah bicara ttg khotbah, yg tak pernah komunikatif (meski sudah di-sinoda-kan bbrp puluh th lalu.) Umat yg sederhana di mana saja ingin berperan dlm proki, ttp umumnya tak tahu di mana harus berperan, peran yg benar hidup, berisi dan bermakna dlm kehidupan bersama krn bekalnya sangat minim.
Saya berpendapat kita harus belajar dari pendeta Rick Warren, pemimpin megachurch di USA, mampu menterjemahkan ajaran preferential option for the poor ,yg mampu merambah hingga dlm jantung Afrika, yg tidak melihat creed mereka yg harus ditolong, ttp need mereka. Apa yg saya baca itu memang upaya2 yg benar2 Katolik. Saya terkesan dgn ucapan Rick Warren : “the church has to grow larger and smaller at the sama time. Larger than the Sunday Service, and through the proliferation of small groups” activities.
agustinus purnama January 22, 2012 at 9:19 pm (Edit)
Perbaikan dan kemajuan hanya dpt dicapai dgn kritik dan otokritik. Lihat juga buku Rm Eddy Kristianto ofm “Sakramen Politik” (Lamalera 2008 )
Shalom Agustinus,
Terima kasih atas komentar anda. Menjadi hak anda kalau anda tetap dengan pendapat anda dan saya percaya anda dapat mengerti kalau menjadi hak kami untuk mencoba menerangkan apa yang terjadi. Tidak ada yang menganggap bahwa semua yang dilakukan oleh seorang pastor adalah perbuatan ilahi. Namun, kita juga harus mengakui bahwa ada saat-saat tertentu dimana seorang pastor bertindak dalam nama Kristus (in persona Christi). Kalau yang anda persoalkan adalah hak dari umat untuk memperoleh pengajaran, maka berkonsentrasilah untuk membahas hal ini. Kalau ada perbaikan untuk para pastor, maka sampaikanlah dengan baik masukan anda. Dengan demikian, diskusi dapat berjalan dengan baik. Bahwa ada yang dapat dipelajari dari gereja-gereja lain, tentu saja kita dapat melakukannnya dalam konteks Gereja sebagai cara (means). Namun, Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus, sebagai tujuan (end), adalah sesuatu yang harus kita syukuri. Anda dapat melihat dualitas Gereja ini di sini – silakan klik. Sebenarnya kalau kita melihat, Gereja Katolik seluruh dunia secara umum menyadari hakekat dari Gereja yang memang harus berpihak kepada kaum miskin. Katekismus Gereja Katolik menyatakan demikian:
Dari kutipan di atas, kita dapat melihat bahwa Ekaristi menghasilkan semangat berbagi, terutama dengan kaum miskin – baik miskin secara fisik maupun secara spiritual. Dan hirarki juga harus berpihak pada kaum miskin. Bahwa ada yang harus diperbaiki dalam Gereja Katolik, saya tidak menyangkalnya. Namun, semangat pembaharuan harus dibarengi juga dengan pengenalan akan identitas dari Gereja Katolik sebagai Tubuh Mistik Kristus. Jadi, tidak ada yang melarang siapapun untuk memberikan kritikan. Semoga jawaban ini dapat diterima dan mari, sebagai anggota Gereja Katolik, kita bersama-sama membangun Gereja yang kita kasihi.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Bolehkah seorang awam mengatakan “Dominus Vobiscum” dan dijawab “et cum Spiritu tuo” sebagai salam kepada saudara seiman? Apakah benar kata tersebut tidak boleh digunakan karena perlu otoritas imamat?
Dear Arief,
dalam Pedoman Umum Perayaan Sabda Hari Minggu dan Hari Raya Tanpa Imam, yang dipimimpin oleh seorang yang tak tertahbis, dikatakan bahwa bila pemimpin awam itu memberikan salam kepada umat, harus dipakai rumus: Semoga Tuhan beserta kita, yang dijawab umat: Sekarang dan selama-lamanya, dan bukan salam: Tuhan sertamu/bersamamu… Karena menurut tradisi Gereja Katolik, salam “Dominus vobiscum — et cum spiritu tuo” adalah salam liturgis yang disampaikan oleh pemimpin tertahbis yang bertindak/berkata “in persona Christi”. Karena itu dalam TPE 2005, imam tidak lagi mengucapkan rumusan salam “Semoga Tuhan beserta kita”. Tak pernah dalam liturgi, pemimpin tertahbis menyalami umat dengan rumus: “Dominus nobiscum”. Bila dalam liturgi imam menggunakan rumusan: Semoga Tuhan beserta kita, maka ia menghilangkan rumusan yang secara tekstual memperlihatkan bahwa ia adalah orang tertahbis yang bertindak/berkata “in persona Christi”. Ada kesempatan lain dalam liturgi di mana pemimpin tertahbis lebih menyatakan secara tekstual bahwa ia adalah satu dari umat dan mewakili umat dalam perayaan, seperti dalam semua ajakan dan doa pemimpin: Marilah kita berdoa (oremus), marilah bersyukur kepada Tuhan Allah kita (gratias agamus Domine Deo nostro).
Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli.
Terima kasih Romo atas penjelasannya.
Sekali lagi bertanya Romo. Bagaimana dengan ucapan GBU (God bless u) apakah seharusnya diucapkan oleh seorang tertahbis, karena sama terdapat direct order. Sedangkan awam seharusnya “May God bless you”
Apakah benar demikian?
Salam Arief,
Wah sejauh saya tahu, ini adalah ucapan salam non liturgis, jadi bisa diucapkan oleh siapa saja.
Gbu.
Rm Boli.
Salam sejahtera dalam Kristus Tuhan, selamat Paskah buat segenap tim katolistas, org.
Saya mau bertanya:
1. seorang ketua lingkungan sudah pindah agama apa jabatan ketua lingkungan masih sah dalam Dewan Pleno?
2. Setahu saya pemilihan ketua lingkungan/koordinator wilayah adalah dipilih umat apakah seorang pastor boleh memilih langsun?
3.Syarat-syarat menjadi KLing / KorWil apa saja?
Sebelumnya saya ucapkan terima kasih untuk tim katolistas,org saya tunggu jawabannya.
Tuhan berkati. – Stefanus A.T
Stefanus AT Yth
Jika anda berada di wilayah KAJ silakan membaca persoalan ketua lingkungan di dalam Pedoman Pastoral Paroki KAJ. Mohon maaf saya tidak memiliki pendoman itu dan bukan imam diosesan dari KAJ. Namun secara umum Ketua Lingkungan dipilih dari umat di wilayah lingkungan tersebut, lalu pastor paroki, mengesahkannya saja. Kalau dia pindah agama tentu harus diganti karena ketua lingkungan harus orang Katolik. (dalam hati: kok bisa ketua lingkungan pindah agama???).
Syarat pada umumnya: beriman Katolik dan mempraktekkannya, memiliki nama baik di mata umat, berperilaku baik dan bertanggungjawab, dapat diterima oleh semua umat.
salam
Rm Wanta
Yth Romo,
Kalau boleh tau bagaimana dengan “penumpangan tangan” (untuk mencurahkan Roh Kudus) bolehkah awam melakukannya ?
Kalau tidak diperkenankan dimana larangan tersebut ada (dalam KHK no berapa ?)
Terima kasih Romo atas batuannya
Hormat saya,
Ray C.
Salam Ray,
Dalam semua perayaan liturgi, penumpangan tangan dalam semua perayaan liturgi, untuk mencurahkan Roh Kudus berkaitan erat dengan forma dan materia sacramenti. Menurut rubrik, penumpangan tangan itu dilakukan oleh orang yang tertahbis. Tak ada rubrik yang menulis bahwa penumpangan tangan (dalam perayaan liturgi) itu dilakukan oleh awam. Rubrik mengenai forma dan materia sacramenti mempunyai kekuatan hukum. Artinya, hanya orang yang tertahbis, yang dapat menumpangkan tangan untuk turunnya Roh Kudus pada waktu Sakramen Pengakuan, Ekaristi, Krisma, Tahbisan, Pengurapan Orang Sakit. Kalau awam melakukakannya, itu berarti suatu pelanggaran.
Namun di luar perayaan liturgi, sampai sekarang saya belum menemukan satu larangan atau ijin resmi dari Gereja bagi awam untuk berdoa bagi orang lain sambil menumpangkan tangan atas orang yang didoakan. Kalau ada yang mengetahui larangan atau isinan itu tolong sampaikan. Menurut pengamatan saya sejauh ini, orang melakukannya, atau sebaliknya enggan/tidak melakukannya karena tafsiran/kesadaran pribadi, atau karena kebiasaan kelompok/adat setempat, tentu dengan alasan dan makna yang bermacam-ragam.
Salam dan hormat. Doa dan Gbu.
Pst. Boli.
Saya sedang mencari tahu apa yang dimaksudkan dengan Hukum Kanonik Gereja Katolik tahun 1983.
dan Dimana Pengadilan Gereja Katolik itu? misal di Bogor atau di Jakarta?
mohon informasi dan penjelasanya:
1. Apa arti, Isi dan bentuk dari Hukum Kanonik Gereja Katolik tahun 1983
2. Dimana Pengadilan yang melaksanakan Hukum Kanonik Gereja Katolik tahun 1983
3. Divisi atau Unit kerja terkait dengan adanya Permasalahan Perkawinan para pihak yang sedang saling menggugat seharusnya di tangani oleh siapa (bila hendak dilaporkan untuk dapat di selesaikan) di dalam organisasi Gereja Katolik atau yang dimaksud setelah terjadi pernikahan sah baik secara katolik maupun secara negara.?
4. Siapa dan dimana kantor Organisasi perwakilan Katolik di Indonesia?
5. Mohon gambarkan struktural Lembaga Hukum Organisasi Katolik dan buku-buku yang bisa dicari terkait dengan isi dan bentuk Hukum Kanonik Gereja Katolik tahun 1983 ..
demikian pertanyaan tersebut disampaikan, atas perhatian dan bantuannya disampaikan terimakasih.
ttd,
Lukas. S
Telephone; 0812 828 99 886
(Note: bila di mungkinkan mohon saya bisa di hubungi juga untuk penjelasannya)
Salam dlm Kasih Kristus..
Saya adalah umat di stasi yg kecil di Keuskupan Agung Medan.
Sewaktu paman saya meninggal yg membuat sy semangkin sedih adalah kerena Gereja tdk memberikan Liturgi utk org meninggal utk paman saya sebagai mana mestinya, dan hanya menyumbang lagu dan kata penghiburan saja. Alasan yg diberikan pengurus Gereja adalah sudah menjadi kebijakan yg dibuat oleh pengurus Gereja utk umat yg tdk aktif atw yg tdk pernah ke Gereja walau ia masih Katolik tujuannya katanya agar umat bisa aktif ke Gereja. Lain lagi di stasi yg lain, umatnya yg kurang aktif di lingkungan walaupun rajin ke Gereja maka umat tsb akn dikucilkan di lingkungan, misalnya tdk akn mendapat jadwal ibadat lingkungan di rumahnya, apalagi utk umat perantau atw yg hanya simpatisan atw tdk terdaftar di Gereja tsb. Dan utk yg baru-baru ini di stasi saya sekarang, seorang umat hampir tdk mendapat liturgi utk org meninggal juga lantaran keluarga tdk dpt menunjukkan surat Babtis Katoliknya utk pastor padahal keluarga tsb aktif di Gereja dan di lingkungan, tp untunglah dgn penjelasan semua pengurus utk pastor tsb akhirnya beliau mau memimpin liturgi tsb.
Untuk team Katolisitas yg dikasihi Tuhan apakah tdk aktifnya seorang umat di Gereja atw di lingkungan lantas para pengurus dapat ”mengekskomunikasi” umat tsb walaupun tujuannya adalah utk mendidik umat utk rajin dan aktif di Gereja?. Dan apakah peraturan-peraturan seperti di atas mempunyai dasar hukum kanoniknya di Gereja kita,.?
Dan bila tdk ada dasar hukumnya apa yg kiranya dpt saya lakukan utk menjelaskan /membantahnya? Ats perhatiannya dan bantuannya saya ucapkan bnyk terima kasih.
Salam…
Edison.
Edison, yth
TIDAK ADA dalam KHK 1983 yang menyatakan bahwa umat Katolik yang tidak aktif tidak mendapat pelayanan sakramen. Kan 1752 menyatakan bahwa hukum tertinggi adalah keselamatan jiwa- jiwa/ salus animarus. Maka tidak boleh pejabat Gereja pastor atau petugas liturgi melakukan tindakan melawan hukum kan 1752. Dia harus mengutamakan pelayanan jiwa- jiwa apalagi yang meninggal. Jadi di sini yang berlaku adalah Hukum kasih, mercy-belas kasih seperti Allah adalah KASIH.
Jika anda tidak keberatan, sampaikan pada saya, stasi itu masuk paroki mana di mana dari wilayah Keuskupan Agung Medan? Gereja harus menjadi persekutuan umat Allah didasarkan pada kasih dan pelayanan bukan kekuasaan.
salam
Rm Wanta
terima kasih..
Beri saya waktu untuk menjawab permintaan Romo, bila boleh saya akan kirim ke email romo.
email saya: [email dihilangkan untuk menjaga privacy].
terkadang bila saya melihat keganjilan di dlm Gereja saya bingung harus bertanya kpd siapa, apalagi keganjilan itu datangnya dari pengurus atw pastornya, dan terlebih saya masih muda dan tergolong umat yg tak mampu. GBu
Edison Yth
Silakan mencari data dan fakta yang akurat jika anda mengemukakan persoalan pastoral.
Bila bingung datanglah pada Tuhan Yesus Juru selamat kita dan bertanyalah pada katolisitas.org, kami akan menjawab persoalan anda.
salam
Rm Wanta
Lukas Yth
Kitab Hukum Kanonik 1983 adalah undang undang disiplin suci yang mengatur kehidupan umat beriman Katolik di dunia. KHK 1983 itu dipromulgasikan oleh PP Johannes Paulus II dan berlaku hingga sekarang. Bisa anda membelinya di toko Obor Jkt. Pengadilan Gereja pada umumnya dibentuk oleh Uskup diosesan di pusat Gereja Lokal seperti Jakarta, Bogor, Malang, Denpasar, Ende dll. Tidak ada divisi atau unit, yang ada badan yudikatif Gereja yang disebut dengan Tribunal Perkawinan Keuskupan…. Silakan datang ke TB Obor anda bisa bertanya di sana akan ditunjukan beberapa buku mengangkut hukum Gereja, atau Kanisius Ykt.
salam
Rm Wanta
Salam dalam Kristus Tuhan, Romo,
Mungkin pertanyaan yang saya sampaikan ini tidak nyambung dengan tema artikel di atas, namun saya berharap, Romo berkenan memberi penjelasan. Saya ingin memahami hal-hal berikut :
1. Apakah pelayanan Sakramen dapat digolongkan dalam kuasa kepemimpinan ?
2. Apakah ada Sakramen yang boleh diberikan oleh kaum Awam ?
3. Dalam perayaan Ekaristi, siapa saja yang diberi kuasa untuk membagikan hosti kepada umat ?
Terima kasih Romo.
Salam Damai Kristus Tuhan,
Romo,
Pada tingkat Paroki, bidang-bidang apa saja yang dapat dipimpin oleh kaum awam ?
Terimakasih Romo.
Beslam Yth
Awam dapat memimpin sesuai dengan martabat pembaptisan yang dia terima:
1. Memimpin doa dalam lingkungan
2. Membagi komuni kudus dalam keadaan luar biasa (asisten imam/pro diakon)
3. Membaptis orang dalam keadaan darurat (luar biasa karena tidak ditemukan imam)
4. Mendoakan orang sakit, memberi komuni kudus.
5. Mendoakan jiwa orang meninggal,
6. Menjadi saksi perkawinan dan wali baptis,
7. Mengajar umat beriman (katekese)
8. Membantu imam dalam kepemimpinan Gereja sebagai dewan Pastoral paroki
salam
Rm wanta
Beslam Yth
Jelas pelayanan sakramen itu menuntut kuasa tahbisan baik diakonat, presbiteriat maupun epoiskopat. Dalam keadaan luar biasa awam bisa memberikan sakramen baptis. Yang diberikan membagi komuni suci saat ekaristi adalah Uskup dan imam namun dalam keadaan luar biasa awam dapat memberikan komuni kudus dan religius. Bacalah di web katolisitas ada penjelasan yang bagus tentang ini atau anda bisa langganan majalah Liturgia dari KWI.
salam
Rm Wanta
Comments are closed.