Pendahuluan
Ketika saya tinggal di Amerika, saya beruntung sekali dapat menyaksikan pemilihan umum presiden Amerika. Beberapa kali, saya juga menyaksikan debat calon presiden. Saya tidak terlalu tertarik ketika mengamati perdebatan tentang isu politik, ekonomi, isu dalam negeri dan luar negeri. Namun, saya begitu tertarik mendengar penuturan mereka tentang isu kemanusiaan, seperti isu aborsi. Dari debat kedua calon presiden – Obama dan McCain – kita dapat secara tegas memberikan kesimpulan bahwa Obama adalah pro-choice dan McCain adalah pro-life, karena Obama mendukung aborsi dan McCain menolak aborsi. Walaupun sulit untuk mengerti bahwa seseorang dapat mendukung aborsi – yang adalah pembunuhan (lihat artikel ini dan ini), saya mencoba mengerti bahwa mungkin mereka yang bukan Katolik memilih untuk pro-choice. Namun, yang membuat saya sungguh-sungguh bersedih dan tidak dapat menerima adalah ketika 54% umat Gereja Katolik di Amerika ini memilih seorang calon presiden yang mendukung aborsi. Betapa ironisnya!
Ketika kenyataan seperti ini terjadi, saya teringat akan seruan “Evangelisasi Baru“, yang sering didengung-dengungkan oleh Paus Paulus VI dan juga Paus Yohanes Paulus II. Ketika lebih dari setengah umat Katolik di Amerika tidak tahu bagaimana menempatkan isu moral lebih utama dibandingkan dengan isu-isu yang lain, maka kita harus bersama-sama merenung dan menyadari bahwa kita perlu untuk melakukan evangelisasi di dalam Gereja Katolik sendiri. Ketika dunia ini didominasi oleh nilai-nilai sekular dan materialisme dan mengesampingkan nilai-nilai iman, maka evangelisasi baru sungguh-sungguh penting dan harus dilakukan. Ketika umat beragama hidup seolah-olah Tuhan tidak ada, maka gerakan evangelisasi baru tidak dapat ditawar-tawar lagi. Mari, bersama-sama kita melihat perkembangan dan dasar-dasar evangelisasi baru, sehingga kita juga turut serta dalam gerakan yang menuntun kita kepada keselamatan kekal.
Perkembangan dari evangelisasi baru
Mungkin kita dapat menghubungkan evangelisasi baru dengan Paus Yohanes Paulus ke II, karena memang beliau menggunakan istilah ini dalam berbagai kesempatan. Dia menggunakan istilah “evangelisasi baru” sekitar 75 kali dalam surat-suratnya, dan 175 kali dalam homili-homilinya. Bahkan istilah ini muncul sekitar 890 kali dalam website vatican.va. Dari frekuensi munculnya istilah ini, maka kita dapat menilai bahwa evangelisasi baru begitu penting dalam perkembangan Gereja Katolik.
Istilah evangelisasi baru, muncul ketika Paus Yohanes Paulus II memberikan surat ensiklik “Redemptoris Missio (RM)” atau “Misi dari Sang Penyelamat“, yang diberikan pada tanggal 7 Desember 1990, yang merupakan ulang tahun ke-25 dari dokumen “Ad Gentes” atau “Dekrit tentang kegiatan missioner Gereja“, yang dapat dibaca di sini (silakan klik). Dengan demikian, istilah evangelisasi baru adalah merupakan suatu rangkaian dari dokumen Vatikan II, khususnya “Ad Gentes“, “Lumen Gentium” dan sinode-sinode, yang membahas tentang evangelisasi berdasarkan surat apostolik “Evangelii Nuntiandi” (EN / Evangelisasi di dunia modern), yang dibuat oleh Paus Paulus VI pada 8 Desember 1975. Hal ini diperkuat oleh surat apostolik “Tertio Millennio Adveniente (TMA)“, yaitu surat yang berisi persiapan tahun Yubelium Agung 2000. Dikatakan di paragraf 21:
Bagian dari persiapan untuk menyambut tahun 2000 adalah rangkaian sinode yang telah dimulai setelah Konsili Vatikan II: sinode-sinode umum bersama dengan sinode-sinode tingkat benua, regio, bangsa dan keuskupan. Tema yang mendasarinya adalah evangelisasi, atau lebih tepatnya evangelisasi baru, di mana dasarnya telah diletakkan dalam surat apostolik Evangelii Nuntiandi dari Paus Paulus VI, diterbitkan pada 1975 setelah pertemuan umum ketiga dari sinode para uskup. Sinode-sinode ini adalah bagian dari evangelisasi baru: mereka lahir dari visi Gereja dari konsili Vatikan II. Mereka membuka area yang luas untuk partisipasi dari kaum awam, yang beberapa tanggung-jawab khusus di dalam Gereja telah didefinisikan. Mereka [sinode-sinode] merupakan ekspresi kekuatan, di mana Kristus telah diberikan kepada seluruh umat Allah, membuatnya mengambil bagian dari Misi keselamatan-Nya [Kristus] sebagai Nabi, Imam dan Raja. Hal ini dinyatakan secara jelas di dalam pernyataan dari Konstitusi dogmatik Lumen Gentium. Persiapan untuk tahun Yubelium 2000 dilakukan oleh seluruh Gereja, pada tingkat semesta dan lokal, memberikan kepadanya [Gereja] sebuah kesadaran dari misi keselamatan yang telah dia [Gereja] terima dari Kristus. Kesadaran ini secara khusus terbukti dalam ajakan sesudah sinode (the post-synodal Exhortations) yang diperuntukkan secara khusus untuk misi dari kaum awam, formasi para imam, para katekis, keluarga, nilai dari pertobatan dan rekonsiliasi dalam kehidupan Gereja dan kemanusiaan pada umumnya, juga yang akan datang diperuntukkan untuk hidup bakti (consecrated life).
Dualitas adalah inti dari evangelisasi baru
Kalau kita mengerti akan dualitas (dikotomi) dari perintah Kristus, kodrat Gereja, dan Konsili Vatikan II, maka kita akan dapat mengerti makna evangelisasi baru secara lebih baik. Kita akan membahas dualitas dari konsili Vatikan II, sehingga kita dapat lebih mengerti konsep dari evangelisasi baru. Dualitas dari perintah utama Kristus akan memberikan kepada kita isi dan elemen dari evangelisasi baru. Dualitas dari Gereja sebagai cara (means) dan tujuan akhir (end) akan menyadarkan kita bahwa evangelisasi baru tidak dapat dipisahkan dari Gereja. Masing-masing dari dualitas ini harus mampu untuk memperbaharui manusia ((EN, 19)), dan budaya ((EN, 20)), yang ditunjukkan dengan menjadi saksi Kristus yang baik ((EN, 21)).
Mari sekarang kita melihat beberapa dualitas ini.
Semangat dari Konsili Vatican II: melihat ke belakang untuk maju ke depan
Kalau kita melihat semangat dari Konsili Vatican II, maka kita akan dapat menyimpulkannya dalam dua hal yaitu ressourcement (kembali ke sumber) dan aggiornamento (updating / memperbaharui). Dalam hubungannya dengan evangelisasi, maka Gereja Katolik kembali ke sumber, yaitu Alkitab, Tradisi dan Magisterium Gereja, dan melihat kodrat dari Gereja yang memang harus missioner. Dalam dokumen Lumen Gentium (LG), kita melihat akan hakekat dari Gereja, yang merupakan Tubuh Mistik Kristus, yang kelihatan (means) dan tidak kelihatan (end), yang mengemban tugas mewartakan Kristus kepada segala bangsa. Menyadari bahwa Kristus sendiri yang mengutus para rasul (lih. Yoh 20:21) untuk mengemban amanat agung Kristus ke segala bangsa (lih. Mt 28:19-20; Kis 1:8), maka Gereja dengan penuh ketaatan mengemban misi ini. Inilah sebabnya, secara kodrat, Gereja mempunyai sifat misioner. ((LG, 17; AG, 5)) Dan sifat misioner ini dimungkinkan karena Roh Kudus sendiri yang menjadi Roh dari Gereja. Karena Kristus, sebagai Kepala Gereja menginginkan agar seluruh umat manusia memperoleh keselamatan, maka Gereja Katolik sebagai Tubuh Mistik Kristus harus mengemban misi ini berdasarkan inspirasi dan kekuatan dari Roh Kudus.
Pentingnya untuk memberitakan Kristus pada saat ini tidak dapat ditawar-tawar lagi, melihat kondisi jaman pada saat ini, yang dipenuhi dengan kebohongan materialisme, individualisme, dan sekularisme, relativisme. Bahkan umat beriman yang telah mengenal Kristus banyak yang bertindak dan hidup sebagaimana orang-orang yang belum mengenal Kristus. Inilah sebabnya, melihat tanda-tanda jaman, Paus Yohanes Paulus II menyebut mereka sebagai “practical atheism“. ((lih. Paus Yohanes Paulus II, Post-Synodal Apostolic Exhortation, Ecclesia in Europe, 47)) Seperti contoh di atas, kita melihat bagaimana setengah umat Katolik di Amerika memilih seseorang yang mendukung aborsi sebagai presiden mereka. Ini menunjukkan bagaimana mereka tidak menerapkan prinsip-prinsip kekristenan dalam mengambil keputusan penting di dalam hidup mereka.
Dua realitas inilah yang harus dihadapi oleh Gereja. Di satu sisi, Gereja menyadari mempunyai sifat misionaris, namun di satu sisi, kenyataan di dalam kehidupan, terlihat bagaimana orang-orang yang belum mengenal Kristus dan bahkan umat Allah sendiri banyak yang tidak hidup menurut jalan Tuhan. Untuk itulah, Gereja menyerukan evangelisasi baru, untuk kembali merangkul umat Allah dan menyadarkan mereka akan hakekat mereka sebagai umat kesayangan Allah, yang juga harus bertindak menurut hukum Allah. Gereja juga ingin menjangkau mereka yang belum mengenal Kristus, sehingga mereka juga dapat memperoleh kebenaran penuh dan diselamatkan.
Mengasihi Allah dan mengasihi sesama adalah isi dari evangelisasi baru
Tidak ada perintah yang lebih utama daripada mengasihi Allah dan mengasihi sesama. (lih. Mt 22:37-40; Mk 12:30-31) Oleh karena itu, semua hal yang dilakukan oleh Gereja harus mendukung dua perintah pokok ini. Demikian juga dalam aktifitas evangelisasi baru, Gereja dan seluruh elemen Gereja – termasuk masing-masing dari kita – harus mencerminkan kasih kepada Tuhan dan kasih terhadap sesama yang didasarkan pada kasih kepada Tuhan. Hal ini dilakukan baik dengan sikap hidup yang baik ((EN, 21)), maupun dengan pemberitaan Injil secara terbuka ((EN, 22)).
Mengasihi Allah adalah pondasi dari evangelisasi baru
1. Dimensi Trinitas dan Kristologi
Untuk memberitakan kasih Allah, maka evangelisasi tidak dapat terlepas dari dimensi Trinitas. Kasih inilah yang membuat Allah Bapa telah mengutus Putera-Nya yang tunggal untuk membebaskan dosa dan memanggil manusia kepada kehidupan yang kekal (lih. Yoh 3:16), yaitu dengan cara hidup kudus – yang hanya mungkin dicapai dengan karunia Roh Kudus. ((EN, 26)). Oleh karena itu, evangelisasi yang tidak memberitakan satu Allah dalam tiga Pribadi, tidak memberitakan kebenaran secara penuh. Inilah sebabnya, Paus Yohanes Paulus II memberikan program 3 tahun dari tahun 1997-1999, setelah melalui persiapan pertama tahun 1994-1996. Tahun 1997 diperuntukkan sebagai tahun Allah Putera ((lih. ensiklik Redemptoris Hominis atau Penyelamat manusia)), 1998 sebagai tahun Allah Roh Kudus ((lih. ensiklik Dominum et Vivificantem atau Roh Kudus di dalam hidup Gereja dan dunia)), dan 1999 sebagai tahun Allah Bapa ((lih. ensiklik Dives in Misericordia atau Belas kasih Allah)). Semua hal ini dijabarkan dalam dokumen Tertio Millennio Adveniente (persiapan untuk Yubelium tahun 2000), par. 35-54.
a) Pusat dari seluruh evangelisasi adalah pada pribadi Kristus. Inilah sebabnya, Paus Yohanes Paulus II, pada tahun pertama dari kepausanannya, memberikan ensiklik Redemptoris Hominis (1979) dan kemudian mulai tanggal 27 Agustus 1986 sampai April 1989, dia memberikan pelajaran tentang hal-hal sehubungan dengan Kristus, serta tambahan 28 pelajaran pada tahun 1997 atau tahun Allah Putera.
Dengan demikian, kita melihat bahwa kalau kita ingin berpartisipasi dalam evangelisasi, maka kita harus memberitakan Kristus – yang lahir, berkarya, menderita, wafat, mati, bangkit, dan naik ke Sorga. Bahkan kita harus turut serta mengikuti jejak Kristus, karena kita yang telah mati terhadap dosa, di dalam Kristus, – oleh Sakramen Baptis, akan bangkit bersama Kristus. (lih. Rm 6:4).
b) Jiwa dan kekuatan evangelisasi adalah Roh Kudus. Hasil dari pertukaran kasih Allah Bapa dan Allah Putera – yang dimanifestasikan secara penuh pada peristiwa penyaliban – maka Roh Kudus dicurahkan kepada Gereja dan setiap anggota Gereja. Paus Yohanes Paulus II kemudian mengeluarkan ensiklik “Dominum et Vivificantem” atau Roh Kudus di dalam hidup Gereja dan dunia pada hari Pentakosta, 18 Mei, 1986. Dia memberikan 7 refleksi tentang Roh Kudus tahun 1989 dan 80 pelajaran katekese dari 26 April 1989 sampai 3 Juli 1991, yang dilanjutkan dengan pengajaran tentang Roh Kudus selama tahun Roh Kudus (1998)
Inilah sebabnya, dalam setiap misi evangelisasi, kita semua harus bergantung pada karya Roh Kudus, karena Roh Kudus adalah jiwa dari Gereja. Roh Kuduslah yang membuat orang dapat bertobat, karena Roh Kuduslah yang menyatakan dosa kepada dunia. ((lih. DV, 27-29)) Roh Kudus-lah yang memberikan kita kekuatan untuk dapat melakukan misi evangelisasi. Dan Roh Kudus yang sama telah dicurahkan untuk Gereja dan menjadi jiwa dari Gereja. ((lih. DV, 3-26))
c) Belas kasih Allah adalah kabar gembira dalam evangelisasi. Dalam evangelisasi baru, kita harus mendengungkan bahwa Allah berbelas kasih dan mengasihi umat-Nya. Dia tidak hanya adil, namun lebih daripada itu, Dia berbelas kasih. Bahkan di dalam ensiklik Dives in Misercordia (Belas kasih Tuhan, 30 November 1980), Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa belas kasih Tuhan adalah atribut terbesar dari Allah Bapa. Hal ini pernah dituliskan di sini, silakan klik. Inilah sebabnya, Paus Yohanes Paulus II memberikan 58 pengajaran tentang Allah Bapa dari 16 Januari 1985 sampai 25 Juni 1986, yang dilanjutkan dengan 28 pengajaran pada tahun 1999, tahun Allah Bapa.
Jadi, dalam evangelisasi, kita harus memberitakan belas kasih Allah sebagai kabar gembira utama. Karena belas kasih Allah inilah, yang membuat Dia memberikan Putera-Nya, yang terkasih untuk menebus dosa manusia (lih. Yoh 3:16). Dialah Bapa yang senantiasa menantikan anak yang hilang untuk kembali ke rumah Bapa. (lih. Lk 15:11-32) Akhirnya, demonstrasi kasih ini dimanifestasikan secara penuh pada peristiwa penyaliban Kristus, di mana Bapa merelakan Anak-Nya yang tunggal mati di kayu salib untuk menebus dosa manusia.
2. Dimensi ekklesiologi (Gereja)
Bagaimanakah kita menjawab kasih Yesus yang sedemikian sempurna dan tak terhingga, yang telah dibuktikan-Nya dengan mati di kayu salib? Kalau kita ingin mengasihi Yesus secara penuh, maka kita juga harus mengasihi Tubuh-Nya, yaitu Gereja Katolik. (lih. Ef 5) Bahkan dikatakan bahwa Gereja dikandung pada waktu air dan darah mengalir dari sisi Yesus ketika Dia tergantung di kayu salib. Gereja lahir dari proses evangelisasi dari Kristus dan para rasul. Dan kelahiran Gereja dimanifestasikan secara penuh pada hari Pentakosta, di mana ketika para murid telah menerima Roh Kudus, mereka mewartakan kabar gembira, sehingga pada hari yang sama 3000 orang memberikan diri untuk dibaptis. (Kis 2:1-41). Dengan demikian, evangelisasi tidak dapat dipisahkan dari Gereja, karena fokus dari evangelisasi adalah Kristus dan Kristus adalah Kepala dan Mempelai Pria dari Gereja. Tidak membawa dimensi Gereja dalam evangelisasi adalah mewartakan Kristus yang tidak lengkap. Oleh karena itu, dalam evangelisasi, kita tidak dapat memisahkan diri dari Gereja Katolik dan harus senantisa mewartakan dogma dan doktrin yang telah ditetapkan oleh Magisterium Gereja, karena semuanya bersumber pada Kitab Suci dan Tradisi Suci.
3. Dimensi soteriologi (keselamatan)
Kasih Allah bukanlah menawarkan kebahagiaan sementara, namun kebahagiaan kekal di dalam Kerajaan Allah. Inilah sebabnya, Yesus berjalan berkeliling dan memberitakan Kerajaan Allah (lih. Mt 4:17). Untuk inilah Kristus datang, yaitu memberitakan Kerajaan Allah dan membawa umat Allah masuk ke dalam Kerajaan Allah. ((EN, 8-9)) Oleh karena itu, evangelisasi yang menekankan kebahagiaan duniawi, kemakmuran sementara tidaklah menyampaikan pesan Kristus secara murni. Oleh karena itu, Paus Paulus VI dalam Evangelii Nuntiandi menekankan pentingnya seseorang dengan berani memikul salib, mengikuti Yesus, karena menaruh pengharapan pada kebahagiaan kekal di Sorga dan bukan pada kebahagiaan di dunia ini. ((EN, 10, 28,34))
4. Dimensi pertobatan dan kesaksian hidup
Kasih Allah yang ditawarkan oleh manusia yang berdosa, hanya mungkin diterima oleh manusia dengan pertobatan sebagai langkah pertama. Lebih tepatnya, Roh Kuduslah yang bertindak untuk menyadarkan manusia akan segala dosanya. Hanya melalui pertobatan yang sejati, maka rahmat Allah dapat mengalir kepada manusia. Oleh karena itu, semua orang yang terlibat dalam evangelisasi haruslah mengalami pertobatan sejati terlebih dahulu, sehingga dia dapat juga menjadi alat Tuhan untuk membawa pertobatan bagi orang lain. Orang yang telah mengalami pertobatan yang sejati tidak akan menjadi manusia yang sama lagi, karena dia telah mati terhadap dosa bersama dengan Kristus (lih. Rm 6:4). Kematiannya dari dosa, membuatnya terbuka terhadap rahmat Allah. Dan sebagai akibatnya, maka kekudusan akan mewarnai kehidupannya. Dan pada saat seseorang menampakkan buah-buah kekudusan, maka dia telah menampakkan buah-buah evangelisasi, yang akan terus berkembang dan mempengaruhi keluarga dan komunitas di sekitarnya. Inilah buah evangelisasi yang otentik. Paus Paulus VI mengatakan:
“Manusia modern, secara sukarela lebih mendengarkan para saksi daripada para pengajar, dan jika dia mendengarkan para pengajar, hal tersebut disebabkan karena mereka [para pengajar] adalah para saksi” ((EN, 41 mengambil Paus Paulus VI dalam Address to the members of the Consilium de Laicis (2 Oktober 1974): AAS 66 (1974), p. 568))
Mengasihi sesama adalah buah dari evangelisasi baru
Orang sering salah melangkah dengan mencoba aktif dalam kegiatan-kegiatan tanpa landasan spiritualitas yang baik. Atau dengan kata lain, orang sering mencoba untuk mengasihi sesama dengan cara aktif dalam kegiatan Gereja tanpa landasan kasih kepada Allah. Tanpa berlandaskan kasih Allah, seseorang yang mencoba aktif dalam evangelisasi tidak akan bertahan lama, karena tinggal menunggu waktu, maka akan terjadi keributan, ketidakcocokan dengan teman, dan akhirnya akan tercerai berai. Hal ini sama seperti membangun rumah di atas pasir (lih.Mt 7:26), yang tidak akan bertahan pada waktu badai menerpa. Jadi, untuk dapat melakukan evangelisasi, maka kita harus mengasihi Tuhan. Dengan demikian, semua kegiatan gereja dan kegiatan evangelisasi adalah merupakan buah dari kasih kita kepada Allah.
1. Evangelisasi menjangkau semua bahasa dan semua agama, termasuk umat Katolik.
Karena sesama kita adalah semua bangsa, tidak memandang suku, bahasa, agama, maka evangelisasi juga harus diwartakan ke semua orang, ((EN, 49)) karena Allah menghendaki keselamatan bagi semua orang. Pewartaan kabar gembira dan kabar keselamatan ini adalah merupakan bentuk kasih kita sesama yang berdasarkan kasih kepada Tuhan. Hal ini diperintahkan oleh Yesus sendiri, ketika Dia mengatakan “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.” (Mt 16:15). Kalau kasih adalah “menginginkan yang baik bagi orang yang dikasihi” dan tidak ada kebaikan yang lebih daripada keselamatan kekal, maka evangelisasi ke semua bangsa adalah merupakan bentuk kasih. Berikut ini adalah golongan yang yang harus dicapai dalam misi evangelisasi baru:
a) Orang-orang yang belum mengenal Kristus berhak untuk mendengarkan kabar gembira. Ini adalah misi yang diberikan Kristus kepada Gereja untuk membuat segala bangsa mendengar kabar gembira. ((EN, 51)) Cara-cara yang dapat digunakan untuk menjangkau semua orang dapat berbentuk pemberitaan secara langsung melalui kotbah, namun juga dapat melalui seni, pendekatan ilmu pengetahuan, filosofi dan cara-cara yang sah untuk menyentuh hati manusia. Kita juga harus mengingat bahwa anak-anak juga termasuk orang-orang yang belum mendengar Kabar Gembira. Oleh karena itu, setiap orang tua harus melakukan evangelisasi di dalam rumah masing-masing, sehingga anak-anak dapat bertumbuh dalam iman.
b) Orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan berhak untuk mengetahui kebenaran yang membebaskan. Dunia saat ini, banyak dipenuhi dengan orang-orang yang tidak percaya akan Tuhan, yang hanya percaya sesuatu yang terlihat, sesuatu yang empiris, pragmatis, materialisme, sekularisme, yang disebut oleh Hendri de Lubac sebagai “the drama of atheistic humanism“. Pada akhirnya semuanya ini hanya akan mendatangkan kekecewaan, kekosongan dan kehampaaan, karena tidak ada yang sempurna di dunia ini.
Orang-orang yang telah diubah oleh Kristus harus dapat menunjukkan kepada golongan ini, bagaimana kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai di dalam Kristus, silakan klik. Oleh karena itu, orang-orang percaya harus dapat menunjukkan kebahagiaan di dalam Kristus walaupun sedang menghadapi percobaan, sakit, dll. Kita harus mengingat apa yang dikatakan oleh Rasul Paulus “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?” (Rm 8:35). Dan hal yang dapat dilakukan adalah berdialog dengan mereka, yaitu dengan menggunakan akal-budi (reason) maupun “argument of the heart“, yang menceritakan bagaimana seseorang telah diubah oleh Kristus dan memperoleh kehidupan yang baru, penuh kebahagiaan, kekuatan untuk menghadapi kehidupan, dan pengharapan yang tak tergoyahkan akan Kerajaan Sorga.
c) Orang-orang beragama non-Kristen berhak untuk mengetahui kepenuhan kebenaran yang ditawarkan Kristus. Mewartakan Kristus kepada umat dari agama non-Kristen adalah sesuatu yang harus kita lakukan, karena Injil atau Kabar Gembira diperuntukkan untuk semua golongan. Gereja Katolik melihat bahwa ada kebenaran dalam setiap agama, termasuk kebenaran dalam agama-agama non-Kristen, walaupun kebenaran ini tidak penuh seperti yang diajarkan Kristus. Percikan kebenaran dalam agama- agama lain dipandang oleh Gereja sebagai persiapan untuk menerima Injil. ((lih. LG, 16)). Maka untuk berdialog dengan mereka, maka kita harus menunjukkan bagaimana Yesus Kristus adalah benar-benar Allah. Kita dapat menggunakan argumentasi filosofis sebagai dasar pijakan yang sama.
d) Orang-orang Kristen non-Katolik berhak untuk mengetahui kepenuhan kebenaran di dalam Gereja Katolik. Di dalam ensiklik Ecclesiam Suam (ES), Paus Paulus VI menegaskan bahwa kita dapat berbicara tentang hal-hal yang mempersatukan kita, namun tidak dapat berkompromi terhadap integritas iman Katolik, baik dogma maupun doktrin yang berakar pada Alkitb, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja, yang dapat ditelusuri dari perkembangan doktrin. ((ES, 109)) Harus ditunjukkan bahwa dogma dan doktrin bukanlah merupakan spekulasi teologi, namun bersumber pada keinginan dan mandat dari Kristus sendiri.
e) Orang-orang Katolik harus menyadari bahwa kepenuhan kebenaran ada di dalam Gereja Katolik. Yang tidak boleh dilupakan dalam evangelisasi baru adalah umat Katolik sendiri. Dalam kasus di atas, di mana setengah dari umat Katolik di Amerika memilih calon presiden yang mendukung aborsi, maka kita melihat kenyataan yang menyedihkan, bahwa banyak umat Katolik yang tidak benar-benar mengetahui akan iman Katolik. Banyak dari antara mereka terjebak dengan pendapat bahwa semua agama adalah sama saja. Banyak dari mereka berfikir bahwa iman dan kehidupan nyata adalah dua hal yang berbeda, seolah-olah iman hanya digunakan pada hari Minggu, pada waktu ke gereja. Ada sebagian yang berpendapat bahwa seseorang dapat memilih-milih dogma maupun doktrin, di mana yang sesuai dengan keinginan pribadi diterima dan yang tidak sesuai ditolak. Dengan demikian iman direduksi menjadi suatu pendapat yang kebenarannya relatif dan dapat berbeda antara yang satu dengan yang lain. Betapa banyak umat Katolik yang perlu membaca deklarasi Dominus Iesus (silakan klik), agar dapat semakin mengenal akan imannya!
Keadaan ini sebenarnya menciptakan toleransi yang semu, yang menempatkan kebenaran sebagai sesuatu yang relatif. Untuk itulah, semua elemen di dalam Gereja Katolik harus menjangkau umat, agar mereka dapat benar-benar meyadari kekayaan Gereja Katolik yang begitu indah dan benar. Menyadari bahwa kepenuhan kebenaran ada di dalam Gereja Katolik. Dan berjalan dengan tegak bahwa dirinya telah menjadi anggota Gereja Katolik, namun dibarengi dengan kerendahan hati, karena menyadari bahwa iman adalah pemberian Tuhan dan menyadari sulitnya berjuang untuk hidup kudus. Dengan demikian, tidak ada yang dapat dibanggakan dari diri kita, kecuali menceritakan kasih dan rahmat Allah yang telah tercurah dalam kehidupan kita masing-masing.
Kita juga perlu menyadari bahwa ada yang perlu diperbaiki dalam proses katekese. Kalau seseorang yang telah belajar iman Katolik selama setahun dan kemudian setelah dibaptis dapat berpindah ke agama lain dengan alasan hangatnya komunitas, indahnya kotbah dari gereja lain, dan alasan pribadi yang lain, maka dapat dikatakan bahwa ada yang salah dalam proses katekese tersebut (silakan memberikan masukan pada proses katekese di sini – silakan klik). Oleh karena itu, semua pihak yang terlibat dalam proses katekese harus benar-benar mengerti dan mengasihi iman Katolik dan mempunyai hati yang mengasihi Yesus dan Gereja-Nya. Dia juga harus mengajarkan apa yang memang diajarkan oleh Magisterium Gereja dan senantiasa berada dalam kesatuan dengan Gereja, baik Gereja Lokal (tingkat paroki maupun tingkat keuskupan) dan juga gereja semesta. ((EN, 60))
2. Cara yang bijaksana perlu diterapkan dalam evangelisasi baru.
Kasih bukanlah kasih kalau memaksa. Oleh karena itu, evangelisasi – sebagai bentuk kasih – tidak boleh dilakukan dengan paksaan. Kita harus mempresentasikan iman Katolik dengan penuh hormat dan kelemahlembutan (lih. 1 Pet 3:15), sehingga orang-orang dapat melihat keindahan akan dogma dan doktrin Gereja Katolik. Dan keindahan ini dapat lebih bersinar, ketika dogma dan doktrin diterapkan dalam kehidupan nyata, yaitu dalam perjuangan untuk hidup kudus. Bahkan kekudusan dapat didefinisikan sebagai hidup menurut dogma dan doktrin.
Kasih bukanlah kasih kalau tidak disertai dengan kebenaran. Kalau kasih adalah menginginkan sesuatu yang baik untuk orang yang dikasihinya, maka kalau kita tidak mewartakan kebenaran, sebenarnya kita tidak memberikan yang baik bagi orang yang kita kasihi. Oleh karena itu, kita tidak perlu takut kalau ada perbedaan pendapat, pandangan dalam hal iman. Justru perbedaan ini, harus menjadi kesempatan bagi kita untuk mewartakan kebenaran.
Namun, untuk mewartakan kasih yang disertai kebenaran diperlukan kebijaksanaan. Tanpa kebijaksanaan, maka maksud baik kita akan dapat disalahartikan dan menjadi tidak efektif. Oleh karena itu, kita harus mengingat apa yang dikatakan oleh Yesus, yaitu “Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.” (Mt 10:16) Jadi, kalau kita mengenal latar belakang, permasalah, budaya, dari orang-orang yang mau diberitakan, maka kita akan dapat memberitakan Injil secara efektif. Kita harus tahu apakah yang mendengarkan pewartaan adalah anak-anak muda, orang-orang tua, pendidikan mereka, sehingga pesan yang ingin disampaikan menjadi lebih efektif dan berdaya guna. Evangelii Nuntiandi menekankan akan pentingnya evangelisasi bagi kaum muda, di mana mereka perlu mendengar semangat dan ide dari Injil yang sangat baik sebagai sesuatu yang harus diketahui dan diikuti. ((EN, 72))
Dalam perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur (silakan klik), Yesus mengatakan “Sebab anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya dari pada anak-anak terang” (Lk 16:8). Pada jaman ini, kita melihat informasi tersebar begitu luas dan cepat dengan penggunaan media masa, yang bahkan sering digunakan untuk menyebarkan informasi yang bertentangan dengan semangat Injil. Paul Paulus VI menekankan pentingnya penggunaan media masa untuk menyebarkan kebenaran Injil, sehingga semua orang dari segala bangsa dapat mendengarkan kabar gembira, karena kabar gembira harus diberitakan secara lantang dari atap-atap rumah (lih. Mt 10:27). ((EN, 45)) Dan inilah juga yang diserukan berkali-kali oleh Paus Benediktus XVI, di mana dia mengatakan “Young people in particular, I appeal to you: bear witness to your faith through the digital world!” Sudah saatnya dunia yang dipenuhi dengan informasi yang bertentangan dengan kebenaran dapat juga dibendung dengan informasi tentang Sang Kebenaran, yaitu Yesus Kristus, yang dapat menuntun manusia pada keselamatan kekal, karena Dia adalah Jalan, Kebenaran, dan Hidup! (lih. Yoh 14:6).
Penutup
Mungkin ada yang bertanya-tanya, setelah membaca artikel di atas: Apanya yang baru dari evangelisasi baru? Memang tidak ada yang baru dari sisi kebenaran yang diberitakan, karena “Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya.” (Ibr 13:8) Kalau kita perhatikan tidak ada doktrin yang baru yang diberikan oleh Konsili Vatikan II. Tidak ada yang baru dalam dua perintah utama, yaitu mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama atas dasar kasih kepada Tuhan. Tidak ada yang baru pada dimensi Trinitas dan ekklesiologi, dimensi soteriologi, dimensi pertobatan dan kesaksian hidup. Kita harus tetap memberitakan semua kebenaran ini, karena kebenaran-kebenaran tersebut dapat menuntun seseorang kepada keselamatan kekal. Mereduksi kebenaran tidak dapat dibenarkan, karena Yesus sendiri mengatakan “ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mt 28:20) dan bukan “sebagian perintah” atau “perintah yang saya suka” atau “perintah yang gampang“.
Dapat dikatakan bahwa yang baru adalah situasi jaman, yang memang semakin bertentangan dengan semangat Injil. Dunia yang dipenuhi dengan keinginan daging, keinginan mata, dan keangkuhan hidup (lih. 1 Yoh 2:16). Dunia yang diwarnai dengan kebohongan materialisme, individualisme, dan sekularisme, relativisme, dengan gampangnya menyeret manusia dan bahkan umat Katolik sendiri untuk terlena dalam kenikmatan dunia yang bertentangan dengan kebahagiaan Sorga. Di tengah-tengah sebagian umat Katolik yang suam-suam kuku, tidak mempunyai daya untuk menjadi saksi Kristus yang baik, tidak mempunyai semangat untuk mewartakan kebenaran, maka “evangelisasi baru” menyerukan kembali seruan untuk berdiri tegak sebagai umat Katolik, percaya akan kepenuhan kebenaran yang ada di dalam Gereja Katolik, dan dengan penuh kebijaksanaan menyerukan kebenaran ini ke segala bangsa. Untuk itu, evangelisasi baru harus dimulai dari dalam Gereja Katolik sendiri dan pada saat yang bersamaan mewartakan Yesus yang tersalib dan bangkit ke segala bangsa. Semua komponen dalam Gereja Katolik, baik dalam hirarki, klerus, yang tergabung dalam ordo religius, dan kaum awam, harus bahu-membahu dalam membangun Gereja. Dan semuanya harus dimulai dengan menjadi saksi Kristus yang baik, yaitu dengan hidup kudus dan pewartaan tanpa henti dengan menggunakan cara-cara yang strategis dan bijaksana.
Mari, dalam kapasitas kita masing-masing, kita bertanya:
“Apakah yang telah saya lakukan untuk Kristus dan Gereja-Nya, sebagai tanda kasihku kepada Allah?“
Shaloom,
Saya ingin bertanya dan curhat jg. Saya pacaran dengan orang yg Non-Katolik. Kami merasakan ada perbedaan tetapi kami pikir ya sudah lah sama2 pcaya Jesus Christ. Dia punya impian merrid di gereja lokal dia. Tetapi saya bersikeras harus menikah di Gereja Katolik, awalnya dia berat tp mau jg dengan syarat dia tidak mao ttd janji utk mendidik anak secara iman katolik. (wah berat ini di dlm hati saya), akhir sama2 kami putuskan salah satu musti ada yg pindah kalau begitu. Saya jg pribadi ingin dan rindu sekali punya keluarga Katolik (ga perna rasain rosario bareng atau apapun).
Karena saya percaya bangat kalau kepenuhan kebenaran ada di GK maka saya tau saya tidak mgkn pindah dan sgt persuasif sekali dalam menceritakan GK. Saya juga suru dia buka katolisitas.org
Singkat cerita kami sudah putus dgn baik2 tp kmrn ribut besar masalah ini. Dia memberikan saya renungan dr Rick Warren kalau Jesus is the Way,Truth and Life. jadi bukan agama atau ritual dsb tetapi Jesus. Saya seperti terprovokasi dengan maksud dia mengirimkan renungan tsb, seakan2 dia bilang semua Gereja sama saja yg ptg pusatnya Yesus. Sehingga saya kirim salah satu artikel dr katolisitas dan mengatakan tidak benar semua Gereja sama. Ada satu Gereja yg Tuhan sengaja dirikan utk kita.
Lalu kami berdebat ttg Gereja, saya bilang ada kepenuhan kebenaran di GK dan Gereja2 lain walaupun benar tetapi ada kekurangan. Dan Tuhan ingin Gereja Nya satu dsb. Dia bil yakin sekali Gereja Katolik adalah yg terbenar, dia saja tidak brani bil Gereja dia yg terbenar, saya bil berani bilang bgtu karena Janji Tuhan kepada Petrus.
Dia tetap tidak bisa terima semua argumen, karena dia bertumbuh di gereja lokal dia dan dia mencintai komunitas dia. Dan bukannya yg penting Jesus, mau di Gereja apapun semua sama saja. karena Jalan,kebenaran dan Hidup itu Dia bukan Gereja. Saya akui saya terbawa emosi jg ketika menjelaskan karena merasa kok bebal sekali ya dia. dan mgkn uda jadi batu sandungan buat dia.
dan sebenarnya saya sering skali mengabarkan ttg GK ke tmn2 saya yg Non-Katolik. Saya ada perasaan ingin mengkatolikkan seseorang. Karena ingin mereka tau Kebenaran yg utuh. Terutama ketika saya pulang dr Retreat dan mengalami suatu kesadaran kalau Tuhan mau Tubuh Nya di bagikan utk d makan semua orang.
Pertanyaan saya apakah saya salah kalau ingin mengkatolikkan orang? Apakah saya terhitung sebagai fanatik Katolik? bagaimana sebaiknya dalam menjelaskan ttg kepenuhan kebenaran d GK dan Tuhan menghendaki Persatuan yg baik? saya uda kasi ayat dan cerita2 sejarah, tetapi kok ga mempan ya?
Terima Kasih
Shalom Leonard,
Tidak dapat dipungkiri bahwa pacaran berbeda agama seringkali kurang mendapatkan pertimbangan pada awalnya. Pada waktu hubungan menginjak tahap yang serius, maka keduanya tiba-tiba terhenyak karena menyadari perbedaan yang memang serius di antara mereka. Dalam kasus anda, adalah hal yang baik bahwa anda berdua menyadari permasalahan ini dari awal, sebelum menginjak ke jenjang perkawinan. Sudah seharusnya, hubungan yang serius bukan hanya mendiskusikan tentang pekerjaan, ekonomi, dll, namun juga berdiskusi tentang iman, karena hal ini akan berpengaruh bagaimana mengarungi bahtera rumah tangga dan juga bagaimana mendidik anak-anak dalam iman.
Namun, tentu saja diskusi tentang perbedaan iman di dalam satu hubungan yang mulai serius tidaklah mudah dan seringkali berakhir dengan percekcokan. Di satu sisi, hal ini menjadi kesempatan bagi anda dan pasangan untuk belajar mengatasi perbedaan, karena perbedaan akan ada walaupun setelah pernikahan. Jadi, menurut saya, gunakanlah kesempatan ini untuk dapat belajar membagikan iman Katolik dengan bijaksana, dengan hormat dan lemah lembut (lih. 1Pet 3:15). Tidak ada yang salah dengan keinginan dan usaha untuk membagikan iman Katolik. Namun, kita harus berdoa kepada Tuhan, agar kita dapat diberi karunia kebijaksanaan, sehingga kita dapat membagikan iman kita dengan baik, tahu menempatkan diri dalam segala situasi dan tahu bagaimana membagikan iman secara efektif. Tidak ada cara yag lebih efektif dalam membagikan iman daripada kekudusan dan sukacita, karena sukacita adalah bukti otentik kekristenan.
Kalau anda mempunyai kesempatan untuk membagikan iman anda, maka anda harus melihat orang tersebut. Ada orang yang menempatkan kebenaran di atas semuanya, sehingga anda dapat mensharingkan alasan anda menjadi Katolik – baik dari sisi sejarah, teologis, ekklesiologi, dll. Namun, memang ada orang yang tidak terlalu perduli dengan kebenaran, namun menempatkan komunitas lebih dari segalanya, menempatkan kemudahan, kepraktisan dalam beragama. Untuk orang-orang seperti ini, kita harus menerima bahwa kebenaran-kebenaran teologis maupun sejarah tidaklah terlalu berpengaruh kepada mereka. Namun, perbuatan kasih, perhatian, menularkan sukacita lebih dapat menyentuh hati mereka.
Jadi, sekali lagi di dalam doa mintalah karunia kebijaksanaan, sehingga kita dapat membagikan iman kita dengan baik. Dan jangan lupa bahwa kesaksian terbaik dari iman kita adalah kekudusan dan sukacita. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Saya mempunyai satu keluarga tapi dalam keluarga saya ada yang beda agamanya… bagaimanakah saya harus menanggapi itu… dan bagaimana saya harus bersikap..
[dari katolisitas: silakan melihat artikel ini – silakan klik dan tanya jawab ini – silakan klik dan klik ini]
Salam Katolisitas,
Apakah sekarang ini kualitas iman umat semakin berkurang—–saya mencoba melihat dari sudut pandang semakin sedikitnya umat yang menerima panggilan untuk hidup membiara, sehingga dari tahun ke tahun jumlah tahbisan semakin sedikit dan semakin berkurangnya kesadaran umat jika ada Misa di lingkungan atau ada persekutuan” lain yg diadakan di lingkungan masing” bahkan mudika pun semakin sedikit…..
Lalu saya mohon sarannya bagaimana agar dpt menjadi umat yang walau secara kuantitas sedikit namun memiliki kualitas iman yg bagus, sehingga dpt benar” menjalankan perintah kasih Tuhan….
Sehingga dengan kasih dapat memberi pengertian pada saudara yang sudah jauh dari kehidupan Gereja Katolik….
Trima Kasih
Berkah Dalem
Ad Maiorem De Gloriem
Shalom Michael,
Terima kasih atas pertanyaan anda. Memang kita dapat melihat ada banyak umat Katolik yang tidak tahu secara persis tentang pengajaran iman Katolik. Namun, di satu sisi, saya melihat hal yang sungguh positif, karena melihat ada satu kerinduan dari kaum muda untuk mencoba menggali iman Katolik. Kalau kita melihat dari sisi panggilan menjadi imam, maka sebenarnya kunci utama adalah terletak pada keluarga. Keluarga Katolik yang dibangun dengan dasar iman yang kuat akan senantiasa mengajarkan pada anak-anaknya untuk mengasihi Sabda Allah, sakramen-sakramen, doa, dan juga memberikan kesempatan dan memupuk anak-anak untuk dapat menjawab panggilan Tuhan sebagai imam. Tanpa adanya initiatif dari keluarga, maka sangat sulit untuk mendapatkan calon-calon imam dalam jumlah yang banyak. Di sisi yang lain, orang tua tidak dapat mendidikan anak-anak dengan baik, kalau mereka sendiri tidak tahu tentang iman Katolik. Oleh karena itu, program katekese yang baik harus benar-benar dilaksanakan. Namun, di satu sisi, para imam yang memberikan kesaksian hidup yang penuh kasih, sukacita dalam menghayati panggilan mereka akan memberikan inspirasi kepada kaum muda untuk menjawab panggilan khusus ini.
Jadi, apa yang dapat dilakukan oleh umat dalam kondisi ini? Silakan melihat artikel tentang evangelisasi baru di atas – silakan klik. Sebagai kaum awam, kita dapat turut serta dalam pengajaran katekese, jika kita mempunyai kemampuan. Kita juga dapat turut serta dalam kegiatan-kegiatan kategorial maupun teritorial. Namun, yang lebih utama, seperti yang digariskan oleh Konsili Vatikan II dalam Lumen Gentium, imamat bersama (semua kaum awam yang telah dibaptis) harus dapat menggarami dunia. Ini berarti kaum awam harus dapat menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari, memberikan warna kristiani dalam pekerjaan dan keluarga. Untuk itu, kaum awam harus juga dibekali dengan iman Katolik yang baik, serta kehidupan doa, Firman dan Sakramen yang baik. Dengan menjadi saksi Kristus yang baik, maka kita benar-benar menjalankan apa yang diperintahkan oleh Kristus. Semoga jawaban ini dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Salam
Trima kasih atas penjelasan dan arahan dari bp. Stef yg semakin menguatkan saya untuk turut serta dlm karya pelayanan kaum awam…..
Namun ada satu pertanyaan lagi yang masih mengganjal di hati saya pak (mungkin curahan hati hehehhehe)
“Sbg umat yang mencoba menanggapi panggilan sebagai awam saya terkadang memiiliki dilema jika suatu saat diajak untuk pergi melepas penat bersama” tmn ke karaoke atau sekedar hang-out ke tempat” spt cafe atau bar (apakah salah sebagai awam pergi ke tempat hiburan seperti itu??)
Di lain sisi saya juga masih muda yang juga butuh hiburan dan membangun relasi dengan teman” muda lain, bagaimana Bp Stef ttg hal ini, saya mohon petunjuknya..
Memang saya tidak setiap saat pergi ke tempat” hiburan spt itu, mungkin cuma kalo ada even tertentu (ultah teman, dsb) dengan tidak mengesampingkan tugas” yang saya terima dari lingkungan dan gereja……
O yah, beberapa hari lalu saya sempat mendengar dari teman ttg syarat menjadi seorang pastor (romo) katanya sekarang orang yang sudah pernah menikah (tidak secara Katolik) boleh mendapat tahbisan, memang semula saya meragukan pernyataan ini, tapi alangkah baiknya jika mendapat jawaban dari sumber yg bener” dapat saya percaya (Katolisitas)^^
Mohon doanya juga, agar saya semakin dikuatkan dan dapat membantu gereja Katolik mewartakan karya keselamatan dan kasih kepada semua orang…..
Berkah Dalem
AMDG
Shalom Michael,
Terima kasih atas pertanyaannya. Memang kadang di dalam pekerjaan ada ‘social pressure‘. Namun, di satu sisi, ini menjadi kesempatan bagi kita untuk menjadi garam di dalam lingkungan atau komunitas kita. Secara prinsip, kita tidak boleh menganggap bahwa kita mempunyai iman yang kuat, yang tahan terhadap segala godaan, karena pada dasarnya kita itu lemah. Jadi, kalau kumpul-kumpul dengan teman dapat menggoda kita untuk berbuat dosa, baik dengan pikiran, perkataan maupun perbuatan, maka kita harus menghindarinya sejauh mungkin. Sebagai contoh, kalau tempat karaokenya adalah semacam family karaoke dan dilakukan hanya sekali-sekali, maka tentu saja tidak menjadi masalah. Namun, kalau anda tahu bahwa tempat karaoke ini adalah tempat yang tidak benar (menyediakan penghibur, minuman keras, dll), maka sudah seharusnya kita menjauhi tempat seperti ini. Demikian juga dengan bar maupun cafe. Kalau bar dan cafe menjadi tempat untuk memulai satu dosa, maka kita juga jangan terlibat di dalamnya. Ada banyak tempat untuk dapat mengobrol dan minum kopi tanpa harus tergoda akan dosa. Jadi, silakan menjalin relasi dengan komunitas anda, namun jangan pernah untuk berada pada tempat atau kesempatan untuk berbuat dosa. Kalau anda menjalankan ini secara konsisten, maka anda akan punya kelompok tersendiri yang baik.
Tentang pastor yang sebelumnya telah menikah bukan merupakan aturan baku, namun memerlukan kondisi khusus dan izin khusus dari Paus. Di Amerika pernah terjadi beberapa kali ada pendeta yang telah menikah dan kemudian dengan ijin khusus dari Paus kemudian menjadi pastor di dalam Gereja Katolik. Hal ini juga terjadi pada imam di dalam Gereja Anglikan, yang kemudian dapat tetap menjadi imam di dalam Gereja Katolik walaupun telah menikah. Namun, untuk para seminari-seminari di Gereja Anglikan yang ingin menjadi imam di Gereja Katolik harus tetap melakukan hidup selibat. Gereja Katolik Roma (Latin) tetap memandang bahwa hidup selibat bagi para imam adalah merupakan hal yang terbaik, ideal dan berakar pada ‘tradisi apostolik’. Mari kita bersama-sama saling mendoakan dan terus berjuang dalam kekudusan. Untuk itu, kita harus terus bergantung pada rahmat Allah. Dan selamat berkarya…
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
syaloom……
saya mau nanya nih tentang misi… bagaimana misi dijalankan di daerah konflik dan metode macam apa yang harus dipakai?????
Salam Fr Christophorus Rifeleli
Di seluruh dunia terdapat beberapa area konflik yang masih berlangsung maupun yang sudah mereda. Misi Katolik di daerah konflik wajib memperhatikan jenis konfliknya, apakah konflik antar umat beragama (umat agama apa melawan umat agama apa), apakah konflik antar suku, ataukah konflik politik (peperangan antar pendukung parpol-parpol), dan konflik ekonomi (peperangan para pedagang). Perlu dicermati pula sejauh mana kedalaman luka akibat konflik, apakah melibatkan senjata berat dan kerusakan berat, ataukah sampai kematian massal dan dendam yang berkepanjangan dalam keluarga-keluarga. Pengungsian dan pemisahan antar kelompok membuat luka makin dalam. Bisa pula konflik dianalisis sebagai konflik horisontal (antar warga) maupun konflik vertikal (antar warga dan pemerintah yang biasanya bekerjasama dengan cukong perdagangan). Sering kali semuanya bercampur.
Dengan mengetahui peta dan lapisan konflik, Gereja bisa lebih berpihak pada korban. Prinsip selanjutnya ialah bahwa Gereja ada di atas semua golongan yang berkonflik. Dengan prinsip itu, Gereja menyelamatkan korban terlebih dahulu. Gereja memperjuangkan misi kemanusiaan dan perdamaian, dan bekerja sama dengan lembaga-lembaga kemanusiaan. Khususnya Gereja mengutamakan yang paling rentan yaitu anak-anak dan kaum perempuan. Gereja berseru agar walaupun perang sudah pecah, tak bolehlah berbuat semaunya. Hukum moral tetap berlaku. (Gaudium et Spes 79, 4; KGK 2312)
Langkah selanjutnya ialah menggalang usaha-usaha dialog antar pihak untuk perdamaian. Gereja sedapat mungkin menyelenggarakan dan mengikuti pertemuan-pertemuan perdamaian dan mengajak umat berdoa untuk upaya itu. Patut pula dilihat apakah hukum ditegakkan benar-benar ataukah bisa dibeli oleh penguasa ekonomi setempat. Gereja tetap berpihak pada penegakan hukum dan menyerukan panggilan moralitas yang jernih di tengah arena konflik, agar segera terjadi gencatan senjata dan penghentian konflik fisik.
Jika Gereja sendiri ada dalam posisi dianiaya, maka Gereja setempat tetap wajib bersuara membela korban dan menyerukan upaya penegakan hukum dan meminta negara mengerjakan tugasnya untuk melindungi rakyat yang ditindas, serta menegakkan keadilan dan hukum. Ia harus berseru kepada umat agar tetap mengusahakan perdamaian dengan semua orang, meminta menaati hukum dan tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. Kebencian yang disengaja untuk merugikan sesama ialah dosa. (Mat 5:44-45; KGK 2303).
Tujuan perdamaian ialah agar kehidupan manusia dihormati. Perdamaian di bumi baru akan muncul jika milik pribadi terjamin, orang bisa bergaul bebas tanpa ancaman, keamanan dan ketertiban dijamin. (KGK 2304). Pada jangka panjang, Gereja mengusahakan dan mendesak Negara untuk menghentikan praktek ketidakadilan di bidang ekonomi dan sosial. Karena di situlah akar konflik. Iri hati, kecurigaan, kesombongan merajalela karena ketimpangan yang terlalu tajam. Itulah akar konflik yang harus dicabut. Semoga cita-cita Yes 2:4 tercapai dengan upaya nyata Gereja. (Lihat KGK 2317).
Salam
Rm Yohanes Dwi Harsanto Pr
Shalom Bu Inggrid dan Pak Stev, saya merasa bersyukur dengan adanya situs ini dan saya sangat mengaguminya. Perkenankan saya untuk bertanya. Dewasa ini ada fenomena dimana banyak gereja yang kosong terutama yang terjadi di Eropa dan Amerika. Malahan sebagian gereja telah dijadikan sebagai museum. Apakah umat kristiani sekarang “maaf” kalau boleh dikatakan hanya Kristen KTP. Kemudian ada fenomena lainnya gejala sekularisme (Christian without Church). Apakah ada langkah bijak yang ditempuh oleh gereja Katholik rome.
Shalom Bonefasius Sambo,
Terima kasih atas dukungan anda untuk karya kerasulan ini. Kita kembalikan semua kekaguman kepada Kristus sendiri yang telah mempersatukan kita dalam Gereja Katolik. Gereja yang kosong di Eropa dan Amerika adalah suatu fenomena pengaruh modernisme dan sekularisme. Tentang modernisme, sekularisme dan bagaimana menghadapi bahaya ini, dapat dibaca di artikel ini – silakan klik. Namun di satu sisi, kita juga harus introspeksi ke dalam, untuk melihat apakah kita yang telah menjadi umat Katolik benar-benar telah memancarkan kasih Kristus, yang melakukan apa semua yang telah diperintahkan Kristus. Dalam menghadapi kondisi yang menyedihkan yang melanda Eropa, Bapa Suci telah membuat suatu dewan untuk evangelisasi baru. Dia mengatakan “In this perspective, I have decided to create a new organism, in the form of pontifical council, with the specific task of promoting a renewed evangelization in countries where the first proclamation of the faith already resounded, and where Churches are present of ancient foundation, but which are going through a progressive secularization of society and a sort of ‘eclipse of the sense of God,’ which constitutes a challenge to find the appropriate means to propose again the perennial truth of the Gospel of Christ.“
Mari kita semua yang tergabung dalam Gereja Katolik bahu membahu agar lebih banyak lagi orang yang mengenal dan mengasihi iman Katolik, sehingga Gereja Katolik di Indonesia tidak mengalami seperti yang dialami oleh Gereja Katolik di Eropa. Dan semua ini hanya mungkin, kalau umat Katolik dapat benar-benar menjadi saksi Kristus yang baik. Kita mohon rahmat Allah agar memampukan kita, sehingga kita dapat bertumbuh dalam kekudusan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Shalom Pak Stefanus,
Saya punya teman2 yg beragama lain dan belum mengenal keselamatan dalam Yesus Kristus, bagaimanakah seharusnya sikap saya terhadap mereka ? Jika tidak seorangpun berani / mau menginjil kepada mereka apakah ini termasuk dalam Invicible Ignorance ?
Karena saya rasakan secara umumnya orang2 spt saya akan sedikit enggan / sulit utk menginjil karena
beranggapan bahwa mereka sudah mempunyai kepercayaan sendiri dan sangat kecil kemungkinannya
mereka dapat percaya / beralih kepercayaan dengan mengakui karya penebusan Yesus Kristus.
Dan juga mungkin sedikit keengganan kalau2 mereka berubah sikap kpd saya sesudahnya.
Jika saya tidak pernah berbicara / mengabarkan ttg berita keselamatan ini apakah saya berdosa ?
Jika ya, kepada siapa saja saya harus mengabarkan injil keselamatan ? apakah batasannya ?
Shalom Setyohadi,
Terima kasih atas pertanyaannya. Kita tahu bahwa keselamatan hanya ada di dalam Kristus. Dan karena Kristus sendiri menjadikan Gereja Katolik sebagai sakramen keselamatan serta menjadi Kepala dari Tubuh Mistik Kristus – yaitu Gereja Katolik – maka keselamatan juga berada (subsist) di dalam Gereja Katolik. Dengan kesadaran ini, maka sebagai anggota Tubuh Mistik Kristus, maka kita harus benar-benar menjalankan apa yang diperintahkan oleh Kristus, sebagai bukti bahwa kita mengasihi Allah (lih. 1Yoh 5:3). Dan perintah dari Kristus termasuk amanat agung, yaitu perintah untuk menjadikan semua bangsa murid Kristus, membaptis mereka, dan agar mereka dapat menuruti semua yang diperintahkan oleh Kristus (lih. Mt 28:19-20).
Yang memang perlu dipikirkan adalah bagaimana untuk menyampaikan kabar gembira Kristus. Kita harus menyadari bahwa penginjilan bukan hanya melalui kata-kata, melainkan juga dengan menjalankan apa yang diperintahkan Kristus – mengasihi Allah dan mengasihi sesama atas dasar kasih kepada Allah atau disebut kekudusan. Dengan perjuangan kita untuk hidup kudus, maka orang dapat masuk ke dalam Gereja Katolik. Kita harus percaya akan prinsip “bonum diffusivum sui” atau kebaikan akan menyebar dengan sendirinya. Kita dapat melihat bahwa begitu banyak orang yang datang kepada orang-orang kudus, seperti bunda Teresa dari Kalkuta. Jadi untuk secara aktif mewartakan Kristus berarti juga secara aktif berjuang dalam kekudusan.
Cara yang lain, adalah mewartakan Kristus dengan kata-kata pada waktu yang tepat. Hal ini harus kita minta, agar Tuhan sendiri menuntun kita untuk memberikan kata-kata yang tepat yang dilakukan pada waktu yang tepat. Seringkali waktu yang tepat adalah apabila teman-teman kita menghadapi masalah. Ketika seseorang menghadapi masalah-masalah berat, maka seseorang mulai bertanya-tanya akan apa yang dialaminya, mencoba mengerti akan apa yang terjadi. Dan Kristus, Tuhan yang menderita dan tersalib dapat menjadi kekuatan, karena Dia adalah Tuhan yang mengerti bagaimana rasanya menderita dan Dia adalah Tuhan yang dimuliakan dengan kebangkitan-Nya. Dengan demikian pengharapan di dalam Kristus tidaklah sia-sia. Jadi, jangalah takut untuk menceritakan Kristus kepada teman-teman kita. Namun, kita minta Roh Kudus agar memberikan kepada kita kebijaksanaan, kita dapat menyampaikannya dengan tepat.
Jika kita tidak pernah terbeban untuk memberitakan Kristus, kita sebenarnya melanggar amanat agung seperti yang tertulis di Mt 28:19-20. Dan kalau keselamatan adalah sesuatu yang paling baik dan paling penting, maka sudah seharusnya kita mewartakannya kepada semua orang sebagai manifestasi kasih kita kepada Allah dan manusia. Tidaklah berdosa kalau kita tidak bersaksi dengan kata-kata, namun kita bersaksi dengan perbuatan, yaitu dengan menjadi saksi Kristus yang baik. Ini berarti dalam tindakan sehari-hari kita harus menampakkan Kristus, baik dengan kejujuran, ketulusan hati, kerendahan hati, dll. Dan hal ini tentu saja menjadi lebih baik kalau dibarengi dengan kesaksian lewat kata-kata ketika dipandang tepat.
Kita dapat mengabarkan kabar gembira Kristus mulai dari orang-orang terdekat kita, seperti keluarga, teman-teman sekerja, teman-teman dalam Gereja Katolik sendiri. Mungkin akan menolong, jika anda menyempatkan diri untuk membaca artikel tentang evangelisasi baru di sini – silakan klik. Semoga keterangan ini dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Shallom,
tulisan yang indah dari refleksi yang mendalam dari pakarnya….hehehehe.
setelah membaca beberapa tulisan di sini dengan segala komentar, pertanyaan, jawaban, tanggapan atau sanggahan dari dialog yang indah di situs ini; semuanya itu mengungkapkan keprihatinan rasa cinta sekaligus keprihatinan atas iman yang kita hidupi dalam hidup keseharian. apa lagi berbicara tentang evangelisasi baru atau katekese… sebagaimana dalam tulisan ini.
ininya bahwa iman kekristenan kita haruslah menjadi iman yang hidup yang dasarnya seperti yang telah diuraikan di atas, dan itu yang diberitakan (evangelisasi baru). untuk menjadi iman yang hidup, iman itu terlebih dulu harus dipahami dengan baik dan benar, iman yang dipahamin itu harus dirayakan (liturgi), dan dan menjadi saksi iman dari iman yang dipahami dan iman yang dirayakan. ketiga hal itu merupakan hak klasik yang juga ditekan dalam EN dan ensiklik lainnya dari Paus Yoh. Paulus II.
Maka, katekese atau evangelisasi dalam bentuk apapun tidak terlepas dati inti iman. katekese dalam bentuk apapun tidak terlepas dari katekes-liturgi.
apakah ada gerakan bersama secara nasional, digagas oleh konferensi para uskup indonesia (KWI), menuju inti iman ini, sebagai pedoman bersama untuk katekes atau evangelisasi baru? saya tidak memakai istilah “kembali” ke inti iman, seolah – olah sudah ditinggalkan dan kembali lagi. tetapi ” go to the hearth of faith”.
ini hanya sebagai usulan saya lewat forum ini, karena situs ini ada pembimbing yang berkopenten di bidangnya, dan kalau itu ditanggapin dengan baik, akan menjadi sangat indah.
Salam, Tuhan memberkati.
Shalom Phiner Seran,
Terima kasih atas tanggapan dan dukungannya untuk karya kerasulan ini. Kalau kita membaca dokumen-dokumen tentang evangelisasi, maka kita akan dapat melihat tema-tema yang sama, karena memang iman yang hendak dibagikan adalah sama (ressourcement). Namun, cara untuk membagikannya, metodenya, pelaksanaannya dapat berbeda-beda sesuai dengan perkembangan jaman (aggiornamento).
Nah, melihat konteks pluralistik di Indonesia inilah, memang diperlukan suatu pemikiran bagaimana untuk melakukan evangelisasi secara efektif di Indonesia. Untuk itulah memang kalau ada dokumen dari KWI, maka akan dapat membantu. Namun, sampai saat ini saya belum melihat dokumen resmi dari KWI yang membahas hal ini. Mungkin beberapa penekanan telah diberikan, seperti umat basis, menggiatkan umat untuk membaca Alkitab, gerakan untuk mengerti liturgi (melek liturgi), dll. Mungkin, evangelisasi baru yang diselenggarakan oleh Shekinah juga memberikan kontribusi dalam evangelisasi di tanah air. Yang mungkin perlu ditingkatkan adalah bagaimana untuk memberikan pelajaran tentang iman Katolik kepada umat Katolik, sehingga mereka mempunyai bekal yang kuat dan tidak mudah untuk diombang-ambingkan dengan doktrin-doktrin yang bertentangan dengan iman Katolik. Di sinilah diperlukan kerjasama dari semua pihak, baik mulai dari keluarga, tingkat paroki, maupun tingkat keuskupan dan nasional; baik dari kaum awam maupun klerus. Namun, usulan anda telah saya sampaikan kepada beberapa Romo. Semoga saja, suatu saat kita dapat melihat adanya dokumen yang komprehensif tentang evangelisasi baru di Indonesia.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Halo pak Stef dan bu Inggrid,
1) Saya terkejut waktu mengetahui Perjanjian Lama sekte Ortodox ternyata berbeda dari Perjanjian Lama yang diakui Gereja Katolik. Saya menemukan 3 Makabe, 4 Makabe, Mazmur 151, Doa Manaseh, 3 Esdras, 4 Esdras, dll. Apakah kitab-kitab demikian memang ada dalam Septuaginta? Kalau memang ada dalam Septuaginta, kenapa Gereja Katolik tidak menerima kitab-kitab demikian?
2) Orang yang sudah meninggal sebelum hari kiamat / Hari Penghakiman, akan dibangkitkan juga atau nggak di akhirat nanti? Akan diadili juga atau tidak? Masalahnya mereka kan udah masuk Surga atau Neraka sebelum Hari Penghakiman tiba, masak dihakimi dua kali?
3) Saya juga bingung tentang Liturgi Tobat dalam Perayaan Ekaristi yang berbunyi: “Saya mengaku, kepada Allah …” lalu dijawab pastor “Semoga Allah Yang Maha Kuasa mengampuni dosa saudara …”. Itu liturgi mubazir/sia-sia ya? Kan umat Katolik diwajibkan mengaku dosa langsung kepada pastor (face to face) kecuali halangan fisik (menurut Kitab Hukum Kanon artikel nomor tertentu, maaf lupa). Apa liturgi tobat dalam Perayaan Ekaristi hanya formalitas tanpa ada gunanya? Emangnya dalam liturgi itu dosa umat bisa dihapuskan?
4) Saya membaca berita ini: http://www.mirifica.net/artDetail.php?aid=5415
Father Jay Scott Newman menyatakan para pemilih Obama berdosa berat. Kalian kan (pak Stef dan bu Inggrid) penduduk Amerika Serikat. Memilih Obama menjadi Presiden dalam Pemilu itu dosa atau tidak? Kalau memang berdosa, itu dosa besar atau dosa kecil?
5) Saya membaca ayat-ayat ini:
1Kor. 11:5-6
Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya. Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya.
Apakah ini berarti semua wanita Katolik (dan Kristen) harus berkerudung ketika berdoa dan ketika menghadiri missa kudus? Atau ajaran St Paulus tersebut bisa diabaikan. Saya tau ada beberapa ajaran yang sengaja dibuat untuk mentoleransi Yahudi dan para Kristen Yahudi seperti “mengharamkan darah” dalam Konsili Yerusalem.
Kis 15:19-20
Sebab itu aku berpendapat, bahwa kita tidak boleh menimbulkan kesulitan bagi mereka dari bangsa-bangsa lain yang berbalik kepada Allah, tetapi kita harus menulis surat kepada mereka, supaya mereka menjauhkan diri dari makanan yang telah dicemarkan berhala-berhala, dari percabulan, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari darah.
Apakah 1Kor. 11:5-6 memiliki latar belakang yang sama dengan Kis 15:19-20? Untuk apa para biarawati berkerudung? Kenapa nggak kayak perempuan awam yang lain yang berpakaian seadanya?
6) Saya membaca tulisan pak Stef pada https://katolisitas.org/katolik-menyalahgunakan-indulgensi-atau-surat-pengampunan-dosa/
“Paus Pius V membatalkan segala indulgensi yang melibatkan transaksi keuangan.”
Sepertinya Anda mengkopi dari Catholic Encyclopedia. Saya bukan hendak menyalahkan. Tapi saya risih dengan kata “membatalkan”. Kosakata “membatalkan” membuat kesan bahwa indulgensi untuk para penyumbang dana pada zaman Martin Luther adalah suatu kesalahan. Menurut saya tidak ada yang salah pada pemberian indulgensi tersebut. Martin Luther-nya saja yang menanggapi berlebihan. Apakah Anda (dan Catholic Encyclopedia) sepihak dengan Martin Luther, menyalahkan pemberian indulgensi tersebut? Maaf, saya tidak marah kok.
Mohon dijawab segera. Terima kasih. Tuhan memberkati kalian.
Shalom Andreas,
Terima kasih atas beberapa pertanyaannya. Berikut ini adalah jawaban yang dapat saya berikan:
1) Tentang kanon Alkitab. Seperti yang anda sebutkan, memang dalam Gereja Orthodox, ada 1 Esdras, 3 & 4 Maccabees, Psalm 151. Berikut ini adalah perkembangan kanon Alkitab:
a) Dekrit dari Paus St. Damasus I, Konsili di Rome, tahun 382.
“It is likewise decreed: Now, indeed, we must treat of the divine Scriptures: what the universal Catholic Church accepts and what she must shun.
The list of the Old Testament begins: Genesis, one book; Exodus, one book: Leviticus, one book; Numbers, one book; Deuteronomy, one book; Jesus Nave, one book; of Judges, one book; Ruth, one book; of Kings, four books; Paralipomenon, two books; One Hundred and Fifty Psalms, one book; of Solomon, three books: Proverbs, one book; Ecclesiastes, one book; Canticle of Canticles, one book; likewise, Wisdom, one book; Ecclesiasticus (Sirach), one book; Likewise, the list of the Prophets: Isaiah, one book; Jeremias, one book; along with Cinoth, that is, his Lamentations; Ezechiel, one book; Daniel, one book; Osee, one book; Amos, one book; Micheas, one book; Joel, one book; Abdias, one book; Jonas, one book; Nahum, one book; Habacuc, one book; Sophonias, one book; Aggeus, one book; Zacharias, one book; Malachias, one book. Likewise, the list of histories: Job, one book; Tobias, one book; Esdras, two books; Esther, one book; Judith, one book; of Maccabees, two books.
Likewise, the list of the Scriptures of the New and Eternal Testament, which the holy and Catholic Church receives: of the Gospels, one book according to Matthew, one book according to Mark, one book according to Luke, one book according to John. The Epistles of the Apostle Paul, fourteen in number: one to the Romans, two to the Corinthians, one to the Ephesians, two to the Thessalonians, one to the Galatians, one to the Philippians, one to the Colossians, two to Timothy, one to Titus one to Philemon, one to the Hebrews. Likewise, one book of the Apocalypse of John. And the Acts of the Apostles, one book. Likewise, the canonical Epistles, seven in number: of the Apostle Peter, two Epistles; of the Apostle James, one Epistle; of the Apostle John, one Epistle; of the other John, a Presbyter, two Epistles; of the Apostle Jude the Zealot, one Epistle. Thus concludes the canon of the New Testament.
Likewise it is decreed: After the announcement of all of these prophetic and evangelic or as well as apostolic writings which we have listed above as Scriptures, on which, by the grace of God, the Catholic Church is founded, we have considered that it ought to be announced that although all the Catholic Churches spread abroad through the world comprise but one bridal chamber of Christ, nevertheless, the holy Roman Church has been placed at the forefront not by the conciliar decisions of other Churches, but has received the primacy by the evangelic voice of our Lord and Savior, who says: “You are Peter, and upon this rock I will build My Church, and the gates of hell will not prevail against it; and I will give to you the keys of the kingdom of heaven, and whatever you shall have bound on earth will be bound in heaven, and whatever you shall have loosed on earth shall be loosed in heaven.“
b) Konsili Hippo, tahun 393 mengkonfirmasikan kanon yang telah ditetapkan oleh Paus Damasus I.
“It has been decided that besides the canonical Scriptures nothing be read in church under the name of divine Scripture.
But the canonical Scriptures are as follows: Genesis, Exodus, Leviticus, Numbers, Deuteronomy, Joshua the Son of Nun, Judges, Ruth, the Kings, four books, the Chronicles, two books, Job, the Psalter, the five books of Solomon (included Wisdom and Ecclesiastes (Sirach)), the twelve books of the Prophets, Isaiah, Jeremiah, Daniel, Ezekiel, Tobit, Judith, Esther, Ezra, two books, Maccabees, two books.”
(canon 36 A.D. 393).
c) Konsili Carthage III, tahun 397 memberikan konfirmasi kembali tentang kanon yang telah ditetapkan oleh Paus Damasus I. Berikut ini adalah kanonnya:
“It has been decided that nothing except the canonical Scriptures should be read in the Church under the name of the divine Scriptures. But the canonical Scriptures are: Genesis, Exodus, Leviticus, Numbers, Deuteronomy, Joshua, Judges, Ruth, four books of Kings, Paralipomenon, two books, Job, the Psalter of David, five books of Solomon (Proverbs, Ecclesiastes, Song of Songs, Wisdom, Sirach), twelve books of the Prophets, Isaiah, Jeremiah, Daniel, Ezekiel, Tobit, Judith, Esther, two books of Esdras, two books of the Maccabees.” (canon 47).
d) Konsili Carthage IV, tahun 419, kembali mengkonfirmasikan kanon-kanon yang telah ditetapkan di konsili-konsili sebelumnya. Inilah keputusan dari konsili ini:
“That nothing be read in church besides the Canonical Scripture. ITEM, that besides the Canonical Scriptures nothing be read in church under the name of divine Scripture. But the Canonical Scriptures are as follows: * Genesis * Exodus * Leviticus * Numbers * Deuteronomy * Joshua the Son of Nun * The Judges * Ruth * The Kings (4 books) * The Chronicles (2 books) * Job * The Psalter * The Five books of Solomon (includes Wisdom and Sirach) * The Twelve Books of the Prophets * Isaiah * Jeremiah * Ezechiel * Daniel * Tobit * Judith * Esther * Ezra (2 books) * Maccabees (2books).
The New Testament: * The Gospels (4 books) * The Acts of the Apostles (1 book) * The Epistles of Paul (14) * The Epistles of Peter, the Apostle (2) * The Epistles of John the Apostle (3) * The Epistles of James the Apostle (1) * The Epistle of Jude the Apostle (1) * The Revelation of John (1 book).
Let this be sent to our brother and fellow bishop, [Pope] Boniface, and to the other bishops of those parts, that they may confirm this canon, for these are the things which we have received from our fathers to be read in church.” CANON XXIV. (Greek xxvii.)
e) Konsili Frorence atau Basel, tahun 1431-1445, adalah konsili yang mengkonfirmasikan kembali kitab-kitab yang menjadi bagian dari PL dan PB.
“We, therefore, to whom the Lord gave the task of feeding Christ’s sheep’, had abbot Andrew carefully examined by some outstanding men of this sacred council on the articles of the faith, the sacraments of the church and certain other matters pertaining to salvation. At length, after an exposition of the catholic faith to the abbot, as far as this seemed to be necessary, and his humble acceptance of it, we have delivered in the name of the Lord in this solemn session, with the approval of this sacred ecumenical council of Florence, the following true and necessary doctrine. Most firmly it believes, professes and preaches that the one true God, Father, Son and holy Spirit, is the creator of all things that are, visible and invisible, who, when he willed it, made from his own goodness all creatures, both spiritual and corporeal, good indeed because they are made by the supreme good, but mutable because they are made from nothing, and it asserts that there is no nature of evil because every nature, in so far as it is a nature, is good. It professes that one and the same God is the author of the old and the new Testament — that is, the law and the prophets, and the gospel — since the saints of both testaments spoke under the inspiration of the same Spirit.
It accepts and venerates their books, whose titles are as follows. Five books of Moses, namely Genesis, Exodus, Leviticus, Numbers, Deuteronomy; Joshua, Judges, Ruth, four books of Kings, two of Paralipomenon, Esdras, Nehemiah, Tobit, Judith, Esther, Job, Psalms of David, Proverbs, Ecclesiastes, Song of Songs, Wisdom, Ecclesiasticus, Isaiah, Jeremiah, Baruch, Ezechiel, Daniel; the twelve minor prophets, namely Hosea, Joel, Amos, Obadiah, Jonah, Micah, Nahum, Habakuk, Zephaniah, Haggai, Zechariah, Malachi; two books of the Maccabees; the four gospels of Matthew, Mark, Luke and John; fourteen letters of Paul, to the Romans, two to the Corinthians, to the Galatians, to the Ephesians, to the Philippians, two to the Thessalonians, to the Colossians, two to Timothy, to Titus, to Philemon, to the Hebrews; two letters of Peter, three of John, one of James, one of Jude; Acts of the Apostles; Apocalypse of John.” (SESSION 11 4 February 1442)
f) Konsili Trente, tahun 1546-1565.
“And it has thought it meet that a list of the sacred books be inserted in this decree, lest a doubt may arise in any one’s mind, which are the books that are received by this Synod. They are as set down here below: of the Old Testament: the five books of Moses, to wit, Genesis, Exodus, Leviticus, Numbers, Deuteronomy; Josue, Judges, Ruth, four books of Kings, two of Paralipomenon, the first book of Esdras, and the second which is entitled Nehemias; Tobias, Judith, Esther, Job, the Davidical Psalter, consisting of a hundred and fifty psalms; the Proverbs, Ecclesiastes, the Canticle of Canticles, Wisdom, Ecclesiasticus, Isaias, Jeremias, with Baruch; Ezechiel, Daniel; the twelve minor prophets, to wit, Osee, Joel, Amos, Abdias, Jonas, Micheas, Nahum, Habacuc, Sophonias, Aggaeus, Zacharias, Malachias; two books of the Machabees, the first and the second.
Of the New Testament: the four Gospels, according to Matthew, Mark, Luke, and John; the Acts of the Apostles written by Luke the Evangelist; fourteen epistles of Paul the apostle, (one) to the Romans, two to the Corinthians, (one) to the Galatians, to the Ephesians, to the Philippians, to the Colossians, two to the Thessalonians, two to Timothy, (one) to Titus, to Philemon, to the Hebrews; two of Peter the apostle, three of John the apostle, one of the apostle James, one of Jude the apostle, and the Apocalypse of John the apostle. But if any one receive not, as sacred and canonical, the said books entire with all their parts, as they have been used to be read in the Catholic Church, and as they are contained in the old Latin vulgate edition; and knowingly and deliberately contemn the traditions aforesaid; let him be anathema.” (Session 4, concerning the canonical Scriptures).
Pada akhirnya, kita harus percaya bahwa Gereja diberikan kuasa oleh Kristus sebagai pilar kebenaran yang dilindungi oleh Roh Kudus sesuai dengan janji Kristus sendiri (lih. Mt 16:17-19), termasuk adalah menentukan kanon Kitab Suci.
2) Tentang orang yang meninggal sebelum hari kiamat. Secara prinsip, semua orang yang meninggal sebelum hari kiamat akan mengalami pengadilan khusus, yang berarti orang tersebut akan masuk ke Sorga, Purgatorium, maupun neraka. Dan kemudian pada saat sangkakala dibunyikan, maka terjadi pengadilan umum, dimana kemuliaan dan keadilan Tuhan dinyatakan kepada semua orang dari setiap bangsa. Pengadilan khusus adalah pribadi demi pribadi, sedangkan pengadilan umum tidak mengubah keputusan dari pengadilan khusus. Silakan melihat tanya jawab ini – silakan klik.
3) Tentang pengampunan dosa dalam Ekaristi. Ekaristi dapat menghapuskan dosa-dosa ringan. Namun untuk dosa-dosa berat diampuni lewat Sakramen Tobat. Hal ini ditegaskan dalam Katekismus Gereja Katolik KGK, 1416. yang mengatakan “Penerimaan tubuh dan darah Kristus yang kudus mempererat hubungan antara yang menerima komuni dengan Tuhan, mengampuni dosa-dosanya yang ringan, dan melindunginya dari dosa-dosa berat. Oleh karena ikatan cinta antara yang menerima komuni dan Kristus diperkuat, maka penerimaan Sakramen ini meneguhkan kesatuan Gereja, Tubuh Mistik Kristus.“
Namun, hal ini seharusnya tidak membuat seseorang untuk tidak mengakukan dosa ringan di dalam Sakramen Tobat , karena “Pengakuan kekurangan sehari-hari, yakni dosa-dosa ringan, sebenamya tidak perlu, tetapi sangat dianjurkan oleh Gereja Bdk. Konsili Trente: DS 1680; CIC, can. 988 ?2.. Pengakuan dosa-dosa ringan secara teratur adalah suatu bantuan bagi kita, untuk membentuk hati nurani kita melawan kecondongan kita yang jahat, membiarkan kita disembuhkan oleh Kristus dan bertumbuh dalam hidup rohani. Kalau kita dalam Sakramen ini sering menerima anugerah belas kasihan Allah, Ia lalu mendorong kita, agar kita sendiri juga berbelaskasihan seperti Dia Bdk. Luk 6:36.?
“Siapa yang mengakukan dosanya, sudah bekerja sama dengan Allah. Allah menggugat dosa-dosamu; kalau engkau juga menggugatnya, engkau bergabung dengan Allah. Manusia dan pendosa, seakan-akan harus dibedakan: kalau berbicara tentang manusia, Allahlah yang menciptakannya; kalau berbicara tentang pendosa, manusialah yang menciptakannya. Robohkanlah apa yang telah engkau ciptakan, supaya Allah menyelamatkan, apa yang Ia ciptakan… kalau engkau mulai jijik akan apa yang engkau ciptakan, mulailah karya-karyamu yang baik, karena engkau menggugat karya-karyamu yang buruk. Pengakuan akan karya-karyamu yang buruk adalah awal karya-karyamu yang baik. Engkau melakukan kebenaran dan datang ke dalam terang” (Agustinus, ev. Jo. 12,13).“
4) Tentang dosa orang-orang yang memilih calon presiden yang pro-choice. Memang seseorang yang memilih presiden yang pro-choice adalah berdosa. Dosanya akan menjadi berat, kalau memenuhi tiga kriteria ini: 1) menyangkut hal yang berat, 2) tahu bahwa hal tersebut berdosa, 3) melakukan dosa itu secara sadar. Kita tahu seorang presiden yang pro-abortion dapat membuat keputusan yang membuat meningkatnya pembunuhan terhadap bayi-bayi yang tidak berdosa. Oleh karena itu, hal ini merupakan suatu kasus yang berat. Kalau orang yang memilih mempunyai kapasitas untuk mempelajari hal ini dan telah mendengar pandangan Gereja Katolik dalam kasus ini, namun tetap memilih presiden yang pro-choice, maka orang yang memilih memang dapat dikategorikan telah berbuat dosa berat. Kalau orang tersebut belum pernah mendengar tentang pandangan Gereja Katolik dan tidak mempunyai kapasitas untuk mencari dan bertanya, maka berarti dia tidak tahu bobot kesalahannya ini, sehingga dapat meringankan dosanya.
5) Tentang 1 Kor 11:5-6 – perempuan harus menutup kepalanya. Pada ayat tersebut rasul Paulus sebenarnya mengajarkan sopan santun (modesty) yang memang diterapkan pada jaman tersebut. Pada jaman tersebut, tidaklah sopan bagi perempuan untuk memperlihatkan kepala tanpa penutup kepada orang lain kecuali suaminya.
Tentang Kis 15:19-20. Kita melihat bahwa Gereja dapat memutuskan sesuatu yang bersifat disiplin, liturgi, maupun hukum moral. Yang jelas, keputusan tersebut tidak boleh bertentangan dengan pengajaran dari Kristus sendiri. St. Thomas Aquinas (ST, I-II, q. 98-108) mengatakan bahwa ada 3 macam hukum di dalam Perjanjian Lama, yaitu:
Moral Law: Moral Law atau hukum moral adalah menjadi bagian dari hukum kodrati, hukum yang menjadi bagian dari kodrat manusia, sehingga Rasul Paulus mengatakan “Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela” (Rom 2:15). Contoh dari hukum ini adalah yang tertulis di 10 perintah Allah, dimana terdiri dari dua loh batu, yang mencerminkan kasih kepada Allah (perintah 1-3) dan juga kasih kepada sesama (perintah 4-10). Hukum kodrati ini adalah hukum yang tetap mengikat (bahkan sampai sekarang) dan dipenuhi dengan kedatangan Kristus, karena hukum kodrati ini adalah merupakan partisipasi di dalam hukum Tuhan.
Ceremonial law atau hukum seremonial: sebagai suatu ekpresi untuk memisahkan sesuatu yang sakral dari yang duniawi yang juga berdasarkan prinsip hukum kodrat, seperti: hukum persembahan, tentang kesakralan, proses penyucian untuk persembahan, tentang makanan, pakaian, sikap, dll. Hukum ini tidak lagi berlaku dengan kedatangan Kristus, karena Kristus sendiri adalah persembahan yang sempurna, Kristus menjadi Anak Domba yang dikurbankan. Itulah sebabnya di Gereja Katolik sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Yesus dan juga para rasul (Petrus dan Paulus) tidak mempermasalahkan makanan-makanan persembahan, karena bukan yang masuk yang najis, namun yang keluar. Ulasan ini dapat melihat di jawaban ini (silakan klik ini, dan juga klik ini). Kalau kita mau terus menjalankan hukum seremonial secara konsisten, maka kita harus juga menjalankan peraturan tentang makanan yang lain, seperti larangan untuk makan babi hutan, jenis binatang di air yang tidak bersisik (ikan pari), katak, dll. (Lih Ima 11).
Judicial law: Ini adalah merupakan suatu peraturan yang menetapkan hukuman sehingga peraturan dapat dijalankan dengan baik. Oleh karena itu, maka peraturan ini sangat rinci, terutama untuk mengatur hubungan dengan sesama, seperti: peraturan untuk penguasa, bagaimana memperlakukan orang asing, dll. Contoh dari judicial law: kalau mencuri domba harus dikembalikan empat kali lipat (Kel 22:1), hukum cambuk tidak boleh lebih dari empat puluh kali (Ul 25:3). Setelah kedatangan Kristus, maka judicial law ini tidak berlaku lagi. Kalau kita mau konsisten, kita juga harus menjalankan hukuman rajam, hukum cambuk, dll. Judicial law ditetapkan oleh penguasa sebagai perwakilan dari Tuhan, sehingga hukum dapat ditegakkan untuk kepentingan bersama. Menarik bahwa Yesus tidak mengajarkan judicial law, karena judicial law diserahkan kepada kewenangan otoritas pada saat itu. Dan kewenangan disiplin di dalam kawanan Kristus diserahkan kepada Gereja, dimana disiplin ini dapat berubah sejalan dengan perkembangan waktu dan keadaan. Ini juga yang mendasari perubahan Kitab Hukum Gereja 1917 ke 1983.
Pembahasan tentang apakah seseorang dapat makan makanan yang terbuat dari darah dapat dibaca di sini – silakan klik.
6) Tentang penyalahgunaan indulgensi. Saya telah memberikan sumber dari jawaban saya, yaitu dari New Advent. Dan tidak menjadi masalah kalau kita menuliskan bahwa Paus Pius V membatalkan segala indulgensi yang melibatkan transaksi keuangan. Kita tidak mengatakan bahwa indulgensi-nya yang dibatalkan, namun yang dibatalkan adalah peraturan indulgensi [agar tidak salah paham, di artikel saya ubah dari indulgensi ke peraturan indulgensi] yang melibatkan transaksi keuangan. Dengan demikian, pengajaran tentang indulgensi tidak pernah dibatalkan. Namun, Gereja Katolik, yang dipercayai dengan harta kekayaan rohani dapat mengatur bagaimana kekayaan ini digunakan, dibagikan dan mengatur bagaimana cara mendapatkannya.
Semoga uraian singkat tersebut dapat memperjelas. Dan mungkin lain kali sebaiknya bertanya satu persatu, sehingga topik diskusi dapat lebih terkoordinasi. Terima kasih atas pengertiaannya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Hallo Dear, Syalom.
Thanks ya, aku mendapat banyak info seputar dunia pewartaan Injil.
Masih bolehkan aku bertanya lagi?
“Bagaimana latar belakang/sejarah dan perkembangan EVANGELISASI BARU?”
Thanks untuk kebaikan hati saudara
JBU
[dari katolisitas: silakan melihat artikel di atas – silakan klik]
Comments are closed.