Pertanyaan:
salam katolisitas
Dalam surat pembaca majalah hidup edisi 17 Januari 2010 memuat tulisan Rm.Frans Magnis Suseno
berjudul’ Tepuk Tangan waktu Komuni”. Pada prinsipnya romo Magnis tidak setuju umat bertepuk
tangan setelah selesai mendengarkan penyanyi solo dari anggota koor pada waktu komuni tersebut.
Bahkan romo Magnis juga menulis seandainya dia yang memimpin misa waktu itu akan dihentikan
dan menyuruh umat melakukan Doa Tobat bersama.
Pertanyaan saya: Apakah betul Tepuk tangan( Aplauss) umat memuji suara penyanyi koor
pada saat komuni disuatu misa dilarang ( pantang )
Apakah termasuk pelanggaran peraturan Liturgi ?
Sekian dan atas perhatiannya sebelumnya terima kasih.
Jawaban:
Shalom Jimmy,
Pertama- tama harus diketahui dahulu bahwa maksud perayaan Ekaristi adalah mengenang Misteri Paska Kristus, yang olehnya Kristus menggenapi karya keselamatan bagi kita manusia (lihat KGK 1067). Sehingga fokus utama dari perayaan Ekaristi sebenarnya adalah Allah Tritunggal Maha Kudus:
KGK 1358 Dengan demikian kita harus memandang Ekaristi
- sebagai syukuran dan pujian kepada Bapa;
- sebagai kenangan akan kurban Kristus dan tubuh-Nya;
- sebagai kehadiran Kristus oleh kekuatan perkataan-Nya dan Roh-Nya.
Dan kalau kita menghayati bahwa persatuan kita dengan Kristus sendiri mencapai puncaknya pada saat kita menerima Ekaristi, maka saat-saat Komuni dan sesudah Komuni merupakan saat-saat yang paling intim, antara kita dengan Dia. Hal ini memang sebaiknya dihayati dengan keheningan antara setiap pribadi dengan Allah. Ini adalah saat yang paling tepat bagi setiap umat untuk meresapkan kehadiran Tuhan di dalam diri mereka, secara rohani dan jasmani, dan mengucapkan syukur, penyembahan dan kasih yang terdalam kepada Tuhan. (Jika anda ingin membaca tentang makna Ekaristi, silakan klik di sini dan pentingnya Ekaristi sebagai sumber dan puncak kehidupan kita, klik di sini.)
Kondisi inilah yang memang tidak dihayati atau “dirusak” jika ada tepuk tangan meriah pada saat Komuni, yang tidak ditujukan kepada Tuhan, tetapi malah kepada para penyanyi koor. Fokus yang harus nya tertuju kepada Tuhan jadi “berbelok” kepada sang penyanyi koor. Ini tentu tidak sesuai dengan yang seharusnya kita hayati dalam Ekaristi. Maka tak heran bahwa Romo Magnis mengusulkan untuk melakukan Doa Tobat, jika hal itu terjadi, sebab itu menggambarkan kurangnya penghayatan akan makna Ekaristi yang baru mereka sambut.
Tidak menjadi masalah untuk memberikan tepuk tangan/ applause kepada koor, tetapi seharusnya itu dilakukan setelah Misa selesai, yaitu setelah selesai lagu penutup.
Semoga kita dapat semakin menghayati perayaan Ekaristi, sehingga kita dapat menentukan sikap yang layak dalam mengikuti perayaan tersebut.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org
Maaf bu Ingrid, Pak Stef dan yang lain saya mau ikut nimbrung, agak curhat juga..
Saya berprofesi sebagai pemusik di luar gereja dan tentunya saya juga ikut paduan suara di gereja saya, hal itu bagi saya adalah bentuk dari terima kasih saya pada Tuhan sehingga boleh ikut dalam pelayanan2 di gereja, namun akhir – akhir ini saya juga cukup bingung dengan situasi musik liturgi dalam gereja, apalagi saya juga tidak mempunyai cukup pengetahuan dan beberapa kali kesulitan mencari sumber informasi, mohon bantuan anda sekalian.
Mengenai tepuk tangan di dalam gereja, saya juga tidak setuju dengan tepuk tangan sebelum misa berakhir, toh sebagian besar pemusik gereja yang saya kenal benar – benar menujukan pelayanan tersebut untuk memuji Tuhan bukan untuk mendapat pujian dari manusia. Memang benar pada faktanya pasti manusia tidak luput dari godaan, maka jika ada segelintir yang menganggap misa sebagai ajang pamer kebolehan, itu memang salah tetapi jangan dipakai sebagai tolak ukur juga bahwa semua begitu. karena akhir – akhir ini ada kecenderungan untuk menganggap bahwa koor yang nyanyi bagus berarti dia sedang pamer.. padahal seringkali kita hanya berusaha bagaimana supaya musik gereja berkembang kualitasnya, dan jangan lupa kalau koor yang nyanyi jelek pasti di cerca habis – habisan baik oleh romo maupun umat (nyanyi bagus salah, nyanyi jelek salah, nda tau deh yang penting bagi kami kami ingin nyanyi sebaik mungkin buat Tuhan)
Kalau di beberapa tempat yang saya tahu, para pemusik gereja sudah berusaha dengan betul – betul keras untuk mengikuti semua aturan. misalnya, menggunakan lagu2 yang sesuai dengan liturgi baik kata2 maupun isi lagu, menciptakan suasana ibadah yang kondusif, jika ada waktu latihan bersama dengan umat sebelum misa dimulai, dan 90% lagu yang dinyanyikan adalah lagu yang familiar dengan umat (misal lagu2 puji syukur) sehingga umat bisa bernyanyi bersama (bukan show off paduan suara menyanyi umat menonton, kalo itu namanya konser). paling hanya ketika komuni saja paduan suara membawakan 1-2 lagu yang tidak familiar dengan umat. apakah ada poin2 penting lain yang harus diperhatikan oleh paduan suara? apakah memang harus 100% semua lagu bersama dengan umat, karena sempat ada yang protes begitu?
Saya hanya memikirkan, selama ini musik dalam gereja Katolik di daerah Indonesia (yang mana iklim bermusiknya masih segini – segini saja) seringkali kurang diberi perhatian (maksud saya, peraturan2 disosialisasikan, standar2 yang berlaku di laksanakan) sehingga banyak kesalahan2 prosedural, kualitas yang kurang dan sebagainya. hal ini menurut saya suatu penurunan,, jika kita perhatikan kekayaan musik Gereja kita sangatlah banyak.. mulai dari komposer2 klasik dengan karya2 yang rumit seperti oratorio bahkan lagu2 Mass, sampai musik2 pop rohani jaman sekarang maupun lagu2 dengan nuansa musik daerah, smua komposer berusaha mempersembahkan karya mereka untuk Tuhan, namun jaman sekarang kenyataannya musik2 tersebut malah karena ketidak tahuan dimana tempatnya di dalam gereja, semuanya terkubur sia – sia, malah terkadang justru saudara2 kita gereja2 lain yang mengapresiasi musik tersebut (misal lagu2 kyrie, gloria dll yang semestinya sesuai dengan iman Katolik)
kadang serba salah juga karena ada dikatakan bahwa lagu yang digunakan harus familiar dengan umat.. jadi ada beberapa paduan suara yang bawakan lagu itu – itu saja, nah problemnya karena umat tidak tahu ada himbauan seperti itu, muncul anggapan miring bahwa ‘wah koor A lagunya itu2 aja malas belajar lagu baru’ ‘ lagu gereja nya kok ini ini lagi apa ga ada yang lain’ ‘ wah koor B kok begini, koor C..’ dll dst,, kami jadi pusing dan serba salah, pergi bertanya juga jawabannya selalu beda2 romo A bilang A, romo B bilang B…
Saya pribadi beranggapan bahwa musik itu adalah salah satu dari banyak anugrah Tuhan yang terindah diberikan pada manusia… mungkin bisa dibantu dalam penjelasan mengenai peran dan posisi musik dalam gereja selanjutnya? selain itu saya mohon kepada umat sekalian juga jangan terlalu berprasangka terhadap pelayan2 musik gereja.. kita manusia biasa yang bisa khilaf, mungkin jika terjadi hal2 negatif (seperti pamer dll) umat, pengurus dan romo bisa membantu mengingatkan.. bagaimanapun kami juga ingin maju dalam bidang musik gereja, terus belajar bermusik supaya musik gereja itu bisa maju, supaya kami bisa memberikan yang terbaik bukan asal ato setengah2 karena bermusik untuk Tuhan.. Kami ingin nyanyi di gereja lebih bagus daripada konser, karena konser untuk manusia sedangkan di gereja untuk Tuhan.. bahwa dengan bermusik saangat2 membantu para penyanyinya untuk lebih dekat dgn Tuhan melalui menghayati lagu, dan kami ingin berbagi itu dengan umat supaya umat juga bisa melihat keagungan Tuhan melalui musik ciptaannya… tentunya kami akan senantiasa berusaha supaya musik dalam misa selalu sesuai dengan kaidah2 yang ada dan membuat situasi yang kondusif untuk beribadah lebih dekat dengan Tuhan.
Maaf curhatnya jadi panjang, mohon masukan untuk pertanyaan – pertanyaan seputar musik dalam misa gereja dan masukan2 untuk musik gereja.. terimakasih atas perhatiannya, GBU
Shalom Sesilia,
Terima kasih untuk sharing anda. Ya, benar, peran Koor dalam membawakan lagu- lagu pujian dalam Misa Kudus, sesungguhnya sangat penting, untuk menciptakan suasana doa dan menghantar umat untuk semakin menghayati makna perayaan Ekaristi. Pertanyaan dan curhat anda ini sudah saya teruskan kepada Rm. Boli, semoga Romo nanti dapat memberikan pernjelasan lebih lanjut.
Sepanjang pengetahuan saya tidak ada ketentuan tertulis dan spesifik tentang bagaimana seharusnya dalam menentukan lagu- lagu dalam Misa Kudus, dalam artian apakah harus dari Puji Syukur semua, atau berapa persen dari Puji Syukur dan berapa persen yang dari “luar” Puji Syukur. Namun yang diharuskan memang adalah lagu- lagu yang sesuai dengan liturgi “surgawi” dalam Misa Kudus, sehingga tidak diperkenankan menyanyikan lagu pop atau lagu sekular lainnya di dalam Misa Kudus.
Sedangkan untuk lagu- lagu gerejawi lainnya, termasuk lagu- lagu klasik yang sesuai, tentu saja baik, asalkan dinyanyikan dengan mempertimbangkan prosentasenya juga, agar tidak “mendominasi” di keseluruhan Misa Kudus, sampai- sampai umat tidak dapat berpartisipasi sama sekali. Ini yang saya rasa memang memerlukan kebijaksanaan dari pemimpin koor maupun seksi liturgi di paroki, agar dapat dicari jalan keluarnya.
Semoga Tuhan memberkati usaha anda mengembalikan talenta musik anda untuk memuliakan Tuhan. Semoga semakin banyak pemusik gerejawi yang bersikap seperti anda, yaitu melihat bahwa Tuhanlah yang menjadi fokus utama dalam segala lagu- lagu pujian anda penyembahan, sehingga segala kemuliaan hanya bagi Tuhan. Hanya Dia yang patut menerima pujian, sebab kita hanya alat semata, sedangkan Ia adalah Sumber-Nya, yang memberikan talenta musik itu kepada kita.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
[dari katolisitas: Romo Boli telah menjawab dalam artikel tentang musik liturgi di sini – silakan klik]
Koor kami pernah mengalami tdk diperbolehkan utk menyanyikan lagu2 dengan berbagai alasan meskipun sdh dikonsultasikan dg uskup tp tetap tdk diperbolehkan meskipun awalnya sdh diizinkan dan bisa berubah ssesuai kemauan uskup dan kalau perayaan besar Natal dan Paska koor kami dilarang tampil tanpa alasan yang jelas dan dirigen kami seorang kristen dan dilarang utk mengambil bagian dalam pelayanan koor tsb meskipun Tuhan sendiri tdk membedakan, dan satu hal lagi pada waktu komuni kami dilarang juga utk menyanyi (koor) kalau bisa tdk usah dinyanyikan kenapa digereja kami selalu yg terbaik buat Tuhan selalu tdk diperbolehkan apakah krn sdh emeritus jd tdk bisa menerima kenyataan padahal koor kami cukup mempunyai nama baik didaerah kami maupun dijawa dan beberapa kejuaraan yang telah kami ikuti dan diundang utk mengisi acara digereja kristen bagaimana tanggapan gereja terhadap larang kami mengisi acara digereja kami katolik mohon penjelasan sehingga potensi dan talenta koor kami tidak hilang terima kasih
Tanggapan dari Romo Boli:
Salam Sugioto,
Informasinya kurang jelas (ditambah dengan tanda baca yang tak jelas: titik dan komanya tak cukup jelas). Mengapa pada mulanya diisinkan, lalu kemudian tidak diisinkan? Karena diketahui kemudian bahwa yang memimpin koor adalah seorang Kristen? Apakah ada alasan yang berkaitan dengan teks nyanyian, sikap anggota koor?
Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli Ujan, SVD.
Tambahan dari Ingrid:
Shalom Sugioto,
Perlu diketahui bahwa dalam liturgi Gereja Katolik, lagu- lagu yang dinyanyikan merupakan ungkapan iman, jadi bukan hanya sekedar ungkapan perasaan, sebagaimana umumnya pada syair lagu- lagu pop rohani. Oleh karena itu, tidak semua lagu rohani dapat dinyanyikan dalam liturgi. Silakan dilihat kembali apakah lagu- lagu yang dinyanyikan oleh kelompok koor Anda memenuhi persyaratan liturgis?
Lalu perlu diketahui juga bahwa tugas kelompok koor dalam perayaan Ekaristi adalah untuk membantu umat mengangkat hati untuk memuji Tuhan, jadi bukan untuk pertunjukan, melainkan untuk melayani/ membantu umat, di samping juga merupakan ungkapan iman dan doa bagi para anggota koor itu sendiri. Dengan prinsip ini maka sebaiknya yang menjadi anggota koor ataupun dirigennya adalah mereka yang satu iman, dalam hal ini adalah anggota Gereja Katolik, karena yang diungkapkan melalui nyanyian dalam koor adalah ungkapan iman Katolik. Maka silakan Anda mencari talenta dari anggota-anggota Gereja Katolik, dan kemudian juga mempelajari syarat- syarat lagu-lagu liturgi, dan kemudian nyanyikanlah dengan sebaik- baiknya, maka potensi dan talenta kelompok koor Anda tidak hilang, dan Anda dapat menyumbangkannya dalam kesatuan dengan liturgi di dalam Gereja Katolik. Nampaknya Anda perlu mendiskusikannya dengan para anggota koor Anda, apakah kiranya tujuan utama kelompok koor Anda. Sebab kalau memang tujuannya untuk tampil menyanyi di berbagai acara, pertunjukan atau lomba, memang tidak sama dengan tujuan koor untuk menyanyi di dalam liturgi Gereja Katolik. Untuk menyanyi dalam liturgi memang ada ketentuannya, dan silakan mengikuti ketentuan tersebut jika memang kelompok menghendaki demikian. Sedangkan jika tidak terpanggil untuk menyanyi dalam liturgi Gereja Katolik, ya tidak apa- apa, kelompok koor Anda tetap dapat menyanyi dalam kesempatan lain yang bukan liturgi, dan talenta tersebut juga tidak akan hilang.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
syalom bu ingrid,,,,
Kadang dalam misa di gereja diadakan pelantikan suatu panitia atau pengurus gereja baru disatukan, biasanya selesai pemberkatan oleh pastur umat sering diajak untuk bertepuk tangan ,,,padahal masih dalam misa.bukankah lebih baik hal seperti itu diadakan diluar misa?
Gereja katolik juga sering membuat acara ritus pembuka maupun pengantar persembahan dengan adat dan budaya(mis, di sumatera utara dengan tarian tor2 dan pakaian adat lengkap dengan mangkuk berisi daun sirih,air,jeruk purut)bukankah itu penyimpangan kalau bukan apa makna dari simbol tersebut, apalagi musik tariannya diiringi lagu tradisional yang bukan lagu rohani.
Disamping itu gereja katolik sangat banyak ornamen2 patung2 yang unik apabila non katolik melihatnya mereka sering menganggap kita sebagai dinamisme… sebenarnya disamping untuk memperindah gereja apalagi fungsi itu semua ???
terimakasih dan salm sejahtera!
Shalom Krisman Manik,
1. Sebaiknya pelantikan panitia atau pengurus diadakan di luar Misa Kudus. Misalnya setelah Misa Kudus, di Aula Gereja. Jadi pendapat anda benar, dan sesuai dengan yang diajarkan oleh Paus Benediktus XVI. Kasus pelantikan ini berbeda dengan Pembaptisan dan Krisma yang merupakan satu kesatuan dengan Liturgi Ekaristi.
2. Persembahan dengan tari-tarian adat juga sesungguhnya tidak dianjurkan, apalagi dengan lagu-lagu yang bukan lagu rohani. Walaupun demikian, Uskup dapat memberikan izin, jika dipandang itu relevan. Contohnya, pada perayaan Misa memperingati St. Juan Diego di Mexico City, Amerika (perayaan penampakan Bunda Maria di Guadalupe 1521). St. Juan Diego adalah seorang Indian, sehingga pada waktu perayaan misa, ada beberapa lagu yang musiknya disesuaikan dengan musik Indian, tentu tanpa melupakan segi religiusnya. Namun tentu ini tidak dilakukan pada setiap misa pada umumnya.
3. Patung-patung di Gereja Katolik merupakan fungsi utama sebagai alat bantu bagi umat untuk mengarahkan hati untuk berdoa. Maka patung- patung ini juga bukan sembarang patung asal unik, tetapi patung yang menggambarkan Kristus atau orang kudus. Jadi bukannya asal sembarang patung yang tidak menggambarkan siapa-siapa. Silakan anda membaca artikel di situs ini: Orang Katolik tidak menyembah patung, silakan klik, agar ada dapat mengetahui bahwa kita sebagai umat Katolik tidak menyembah patung.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Dear Katolisitas;
Sebenarnya saya agak ragu menyampaikan ini, karena berkaitan dgn pribadi seseorang.
Ada kebijakan di suatu Paroki yg melarang anak-anak dari orang tua yg pernikahannya belum selesai secara kanonik untuk menerima Komuni Pertama.
Dengan alasan: pendidikan iman anak adalah di tangan orang tua, bila orang tuanya belum membereskan hubungannya dgn Gereja (dalam hal ini status pernikahan), maka dikuatirkan anak tsb juga belum mendapat pendidikan iman / teladan yg memadai untuk Komuni Pertama.
Terlepas dari betapa bandelnya para orang-tua anak-anak tsb , dan betapa jengkelnya Romo Paroki dan Dewan untuk menghimbau orang-tua spt itu, sehingga tetap tidak mau menyelesaikan urusan pernikahan secara kanonik, saya melihatnya dari sisi anak itu sendiri.
Selagi teman-teman sekelasnya mendapat katekisasi dan menyambut Komuni Pertama, mereka justru tersisihkan. Bukankah ini menjadi hukuman sosial bagi anak tsb , apalagi hal itu bukan karena kesalahan anak-anak itu sendiri.
Saya dapat mengerti bila larangan Komuni berlaku untuk para orang tuanya, karena itu memang kesalahan mereka. Saya mengerti merreka tidak boleh menerima Ekaristi karena mereka sedang tidak di dalam “communio” yg sempurna / tidak dalam hubungan yg damai dgn Gereja.
Dari sudut pandang teologi: apakah kebijakan “larangan Komuni Pertama” ini sesuai?
Seingat saya Gereja BERKEWAJIBAN memberi Sakramen “untuk melengkapi/memberikan apa yang kurang pada umatnya” dalam hidup spiritual untuk mendapat keselamatan (maaf saya lupa ini kutipan dari mana).
Dan melihat betapa pentingnya Sakramen bagi hidup spiritual anak-anak (terlebih komuni/Ekaristi) apakah benar menghalangi anak untuk menerima Sakramen dgn alasan di atas?
Bukankah juga tidak ada larangan untuk memberi Sakramen Baptis pada anak yg lahir dari perkawinan tidak sah atau yg perkawinan tidak kanonik.. asalkan ada wali Baptis yg sesuai?
Dari sudut pandang pastoral: mengenai alasan pelarangan.
Menurut saya, memang pendidikan iman anak ada di orang tua. Tapi pasti bukan orang-tua SAJA. Masih ada saudara-saudara , sekolah (apalagi sekolah Katholik), warga Lingkungan , Wilayah , Paroki (termasuk Romo Paroki sendiri), dan akhirnya seluruh umat Gereja bertanggung jawab atas pertumbuhan iman sesamanya?
Saya kuatir, kebijakan ini malah dipandang umat karena alasan praktis; sekedar untuk mendesak/menekan para orang tua untuk segera membereskan perkawinan kanonik.
Mohon saran . Terima kasih.
Fxe Yth
Dulu codex 1917 masih menerapkan larangan yang demikian bahwa jika keluarga mengalami kasus perkawinan dan hidup bertentangan dengan ajaran Gereja (kena sangsi hukuman tidak bisa menerima komuni) misalnya hidup dalam perkawinan tidak sah atau hidup perkawinan gagal dan cerai, anak yang dilahirkan menerima halangan dari persoalan orang tuanya untuk mendapatkan layanan rohani seperti komuni pertama atau tahbisan imamat. Codex 1917 banyak larangan, tapi kini codex yang berlaku 1983 lebih menekankan aspek communio, Gereja sebagai Umat Allah dan menampilkan hukum yang lebih menampakkan kerahiman dan kebaikan Allah serta manusiawi. Hal yang saya sampaikan di atas di dalam Codex 1983 tidak ada lagi. Jadi anak yang lahir dari perkawinan gagal dapat menerima komuni dan dapat juga ditahbiskan menjadi imam atau uskup bahkan (ada contohnya tapi tidak perlu disampaikan di sini). Bukti itu memberikan yurisprudensi untuk mengambil langkah pastoral yang didasarkan pada cinta kasih. Maka saya setuju pada anda jangan menghalangi rahmat Tuhan dari anak yang rindu bersatu dengan Tuhan Yesus, pihak orang tua yang belum beres perkawinannya secara sah di dalam Gereja Katolik perlu dirangkul (Familiaris Consortio, Paus Yohanes Paulus II). Selain itu pastor paroki tidak memiliki kewenangan fakultas legislatif dari tahbisannya, hanya Uskup memiliki kewenangan menetapkan aturan UU partikular di Gereja Lokal. Codex 1983 UU Gereja Katolik Universal, di dalam Gereja lokal Uskup memiliki kewenangan untuk membuat UU partikular tentang aturan komuni pertama. Usul saya anak diterima komuni dengan jaminan dididik sungguh secara katolik lewat orang tua atau sekolah Minggu/ Bina Iman, di lingkungan anda.
salam
Rm Wanta
Terima kasih sekali atas tanggapan Romo yg sangat cepat & tegas.
Maaf , saya sangat buta masalah KHK. Dari penjelasan Romo , artinya memang ada “larangan eksplisit” terkait kasus di atas di KHK th.1917. Tetapi di KHK th.83 persisnya bagaimana; apakah larangan itu “dicabut eksplisit” atau hal itu “tidak diatur eksplisit” sehingga menjadi kebijakan partikular?
Maaf satu lagi pertanyaan dasar; sejauh mana aturan-aturan di Paroki harus mengacu ke KHK atau harus turun dari Uskup. Apakah aturan-aturan disipliner biasa harus mengacu ke KHK atau izin dari Uskup, misalnya aturan/disiplin pertanggung-jawaban panitia, aturan pemberitahuan perkawinan beda agama harus 6 bulan sebelumnya, disiplin surat-menyurat, terlambat datang Misa tidak boleh Komuni, dll. Apakah hanya aturan yg terkait Sakramen dan Ajaran Gereja yang harus mengacu ke KHK dan persetujuan Uskup..?
Bisakah “larangan Komuni Pertama” ini dianggap sekedar aturan disipliner yg menjadi tanggung jawab Paroki?
Terima kasih atas sarannya.
Fxe Yth
Larangan itu tidak eksplisit di KHK 1983 sudah tidak ada lagi. Peraturan tentang komuni pertama diberikan kepada Ordinaris setempat (Uskup) karena setiap keuskupan adalah otonom. Namun KWI dapat menentukan peraturan tentang hal itu dan juga yang lain tidak hanya komuni pertama, seperti lamanya jabatan pastor paroki. KHK 1983 tidak “njlimet” seperti dituduhkan kebanyak orang. KHK 1983 seperti UU Gereja Universal dan berlaku untuk semua ritus romawi (Latin). Saya anjurkan anda membeli KHK 1983 sehingga lebih paham dan menambah pengetahuan anda sebagai anggota Gereja. Tidak ada kanon berbicara bagaimana laporan pertanggungjawaban panitia Natal misalnya itu kan bukan hal yang menyangkut disiplin rohani umat beriman. KHK 1983 lebih tinggi hirarkhinya dengan UU partikular yang dibuat oleh Uskup. Di setiap keuskupan biasanya ada pedoman umum/statuta Dewan Pastoral Paroki. Di situ nampak bagaimana aturan tentang pastoral paroki yang berlaku hanya untuk keuskupan tersebut. Kadang terjadi larangan dibuat untuk pertimbangn pastoral yang berlaku untuk teritori tersebut namun pastor tidak memiliki kewenangan hanya Uskup memiliki kuasa legislatif. Bila anda berminat, silakan membeli buku-buku tentang hukum Gereja.
salam
Rm Wanta
Yth. Katolisitas, Bpk. Stef dan Ibu Ingrid
Menyimak tulisan mengenai tepuk tangan, mohon penjelasannya tentang beberapa hal berikut :
1. Apakah Lagu Penutup dimaksud adalah lagu yang dinyanyikan mengiringi Selebran dan Petugas lainnya keluar Panti Imam selesai Ritus Penutup (Berkat dan Pengutusan)?
2. Bagaimana dengan ajakan tepuk tangan (oleh Imam) menyambut para katekumen/anggota baru yang diterima resmi dalam upacara perayaan ekaristi?
3. Bagaimana sebenarnya fungsi koor pada perayaan ekaristi?, karena seringkali sepertinya terpisah secara eksklusif dari umat pada saat bernyanyi (hanya menyanyi baik kalau sedang koor / menyanyikan lagu mereka sendiri, tetapi tidak pada saat bernyanyi bersama umat)
Terima kasih atas penjelasannya, semoga berkat Allah senantiasa mengiringi Bapak/Ibu sekeluarga
Salam,
Shalom B Siahaan,
1. Ya, Lagu Penutup dimaksud adalah lagu yang dinyanyikan di akhir Misa setelah ritus penutup (berkat dan pengutusan), untuk mengiringi Selebran dan Petugas lainnya keluar gereja.
2. Tepuk tangan untuk menyambut para anggota baru Gereja (setelah Pembaptisan) itu diperbolehkan, karena sesuai dengan maksud diadakannya Misa Kudus itu. Lagipula tepuk tangan ini sebenarnya ditujukan kepada Tuhan yang telah memilih mereka untuk menjadi murid Kristus, dan yang telah menyertai mereka selama masa Katekumen, sehingga mereka dapat sampai pada saat Pembaptisan. Dengan prinsip yang sama, maka tepuk tangan diperbolehkan juga pada Misa Krisma (pemberian Sakramen Penguatan)
3. Fungsi koor pada perayaan Ekaristi adalah untuk mendorong segenap umat untuk bernyayi memuliakan Tuhan sebab tujuan restorasi dan pemajuan Liturgi Suci adalah untuk mendorong keikutsertaan aktif dan penuh dari semua umat yang hadir (lih. Konsili Vatikan II, Sacrosanctum Concilium, 14)
Jadi, jika memungkinkan memang koor memilih lagu-lagu yang dapat dinyanyikan bersama- sama dengan umat. Jika untuk alasan tertentu dipilih lagu- lagu pujian yang belum dikenal oleh umat, yang terpenting adalah liriknya sesuai dengan ajaran Gereja Katolik, dan iramanya mendukung suasana doa. Untuk hal ini memang dapat didiskusikan dengan seksi liturgi paroki. Koor yang baik adalah koor yang dapat menyanyi dengan baik, tidak saja dari segi teknis namun terlebih juga spiritual, artinya dihayati perkataannya dengan segenap hati; baik jika sedang menyanyikan lagu pujian bersama umat atau saat menyanyikannya sendiri (koor saja).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Kalo tepuk tangan dilarang selama misa berlangsung, ini seh memang seharusnya demikian.
Tetapi aku ada 3 pertanyaan :
1. bgmn dengan goyang badan, tangan/kepala karena lagu-lagu pujiannya terasa pas untuk gerakan tsb ?
2. bgmn dengan tertawa serentak karena kotbahnya lucu ?
3. bgmn dengan imam yang menyanyikan lagu pop pada saat homili/kotbah ?
Terima kasih
Shalom De Santo,
Saya rasa tolok ukurnya dalam hal ini adalah “prudence”/ kebijaksanaan dan kewajaran.
1. Goyang badan dan goyang kepala, jika memang karena menghayati lagu, saya rasa boleh saja. Tetapi jika maksudnya untuk menarik perhatian, tentu tidak pada tempatnya.
2. Jika khotbah pastor lucu, maka umat tertawa itu menurut saya juga wajar, tidak apa- apa.
3. Imam menyanyikan lagu pop waktu homili? Wah, menurut aturan sebenarnya tidak pada tempatnya. Homili adalah bagian dari liturgi yang dikhususkan untuk Tuhan, jadi tidak untuk dicampur adukkan dengan segala yang bersifat “hiburan”/ lagu-lagu pop. Kalau menyanyinya hanya sepotong, demi menceritakan sesuatu yang kontekstual dengan bacaan Kitab Suci, mungkin tidak apa- apa, tetapi kalau benar-benar menyanyikan lagu pop/ sekular, dari awal sampai akhir, menurut saya tidak pada tempatnya. Karena homili sebenarnya dimaksudkan untuk menjelaskan Sabda Tuhan yang baru dibacakan, dan bukannya hal -hal lain, apalagi yang tidak ada hubungannya dengan Tuhan. Namun jika anda ingin mengusulkannya kepada Romo, sampaikan dengan lemah lembut dan hormat.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Shalom Bu Ingrid,
Bagaimana dengan lagu pop yang dinyanyikan untuk lagu pembukaan (awal misa) dan/atau lagu penutup misa? Apakah juga tidak diperbolehkan? Jika tidak adakah ketentuan KHK atau peraturan yang lain yang menyatakannya demikian?
Terima kasih.
Abin.
[Dari Katolisitas: Pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]
Saya setuju kalau kita tidak memberikan tepuk tangan selama misa karena sejatinya penyanyi koor itu bernyanyi untuk Tuhan dan bukan untuk diberi tepuk tangan. Tetapi kadang saya juga merasa terpesona sehingga ingin memberikan apresiasi, dan saya sangat setuju sekali jika tepuk tangan itu dilangsungkan setelah misa saja agar tidak mengganggu kekhidmatan misa.
Bahkan pada pertunjukan konser non-religius pun, penonton dilarang bertepuk tangan sebelum si pemusik membawakan repertoinya secara utuh. Biasanya (setahu saya) penonton baru boleh bertepuk tangan ketika si pemusik (kalau ini resital piano atau string misalnya) berdiri, dan membungkuk pada penonton. Kalau si pemusik masih terus duduk walau lagu sudah selesai, itu berarti ia masih ingin lanjut ke lagu berikutnya dan penonton belum boleh tepuk tangan. Hal ini supaya tepukan tangan penonton tidak mengganggu konsentrasi pemusik dan musik yang dibawakan itu sendiri. Jadi janganlah untuk momen seperti misa malah diganggu dengan tepukan tangan (walaupun niatnya baik), ketika seharusnya suasana hening itu dijaga.
saya setuju klo tepuk tangan setelah lagu penutup atau sebelum memberi Berkat, Romo a/n umat mengucapkan terima kasih kpd smua pihak yg telah ikut membantu kelancaran misa.
Shalom Valen,
Jika mau sesuai dengan ketentuan, maka seharusnya, tepuk tangan untuk koor dan petugas Misa dilakukan sesudah Misa Kudus selesai, sesudah berkat dan sesudah lagu penutup. Romo dapat saja mengucapkan terima kasih kepada petugas, tetapi umat dapat diingatkan untuk memberikan ‘applause’, setelah Misa selesai. Kekecualian hanya diberikan jika tepuk tangan itu sendiri berhubungan dengan maksud liturgi diadakan, seperti contohnya penahbisan imam, ulang tahun tahbisan, ulang tahun kaul religius, dan sejenisnya dimana tepuk tangan ditujukan kepada Tuhan, maka tepuk tangan ini bisa dilakukan di tengah-tengah perayaan liturgi.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
kalo misalnya romo mengajak umatnya bertepuk tangan untuk koor,lektor,misdinar dan petugas lainya pada saat sebelum berkat /sesudah pengumuman apakah boleh?
Shalom Gentho,
Sebenarnya jika mengikuti aturannya, hal itu tidak diperkenankan, seperti yang juga dituliskan oleh Paus Benediktus XVI, bahwa jika ada tepuk tangan di tengah-tengah misa yang ditujukan kepada perorangan/ koor, sebelum Misa selesai, itu artinya merusak seluruh liturgi, karena menjadikan Misa seperti pertunjukan rohani, dan bukannya berfokus pada Kristus dalam Misteri Paska-Nya. Kutipan dari buku the Spirit of the Liturgy karangan Paus Benediktus XVI, yang disampaikan oleh Rachelle, sangat relevan, di mana Paus mengatakan, “Wherever applause breaks out in the liturgy because of some human achievement, it is a sure sign that the essence of liturgy has totally disappeared and been replaced by a kind of religious entertainment.”
Maka ada baiknya anda bicara baik- baik dengan Romo paroki, atau dengan seksi liturgi, mengenai hal ini. Semoga lain kali dapat dicari solusinya, misalnya tepuk tanganlah setelah Misa selesai, setelah lagu penutup. Ingatlah bahwa fokus Misa Kudus adalah Kristus dan bukannya para petugas Misa. Bahkan jika anda mau mengusulkan yang lebih ideal lagi, seharusnya pengumuman itu diucapkan sebelum Misa Kudus dimulai, sehingga seluruh Misa Kudus dapat difokuskan untuk Kristus bahkan sampai akhirnya. Dengan demikian Misa Kudus dapat menjadi lebih khidmat.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Saya setuju dgn pelarangan tepuk tangan ini. Tapi di paroki saya, malah romo yg ngajak tepuk tangan kalo koornya bagus… biasanya dilakukan setelah komuni selesai dan sebelum doa penutup. Bagaimana kita sebagai umat harus menanggapi ini? Apakah kita diam saja sementara romo meminta kita bertepuk tangan?
Shalom Eddy,
Wah ya, mungkin ada baiknya anda berbicara dengan Romo setelah Misa Kudus, untuk menyampaikan pandangan anda. Namun katakanlah juga dengan semangat kasih dan bukannya “menyalahkan” ataupun menggurui. Mungkin pastor juga bermaksud baik, yaitu ingin memberi semangat kepada para anggota koor yang sudah mengorbankan waktu dan tenaga untuk menyanyi bagi Tuhan. Maka mungkin anda dapat mengusulkan, supaya lain kali Romo mempersilakan umat memberi applause, tetapi setelah lagu penutup selesai dinyanyikan. Dengan demikian, kita tidak menyalahi liturgi, namun juga tetap memberikan perhatian/ dukungan kepada koor yang telah bersusah payah mempersiapkan diri menyanyi dalam perayaan Ekaristi tersebut.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Shalom Bu Ingrid,
Terima kasih atas balasannya… saya akan mencari momen yg tepat dan mencoba metode yg disarankan Bu Ingrid, atau di saat yg sama saya akan coba kosultasikan juga ke seksi liturgi.
Semoga Tuhan selalu menyertai kita semua,
Eddy
Saya juga sangat setuju dengan suasana gereja yang diciptakan sangat tenang,sakral,dan sangat intim antara Allah dengan GerejaNya. Apalagi alasan tepuk tangan adalah untuk “pelayan” liturgi. Selain membuat kita tidak fokus,namun ada juga dampak hati yang tidak benar dalam pelayanan umat tersebut seperti timbul kesombongan. Apalagi tepuk tangan itu dilakukan pada saat setelah komuni. Sebab koor yang bagus memang sudah seharusnya begitu terlebih koor itu membawa hatinya yang sungguh dalam pelayanan,koor juga wajib untuk membuat nyanyian menjadi sangat agung sebagai persembahan syukur dan doa kepada Allah.Sayangnya,cukup byk koor atau vokalis yang memakai misa sebgai ajang tampil. Namun menurut seminar liturgi yang saya dapatkan tepuk tangan tetap boleh dilakukan tapi harus pada saat yang tepat,seperti penahbisan Uskup atau imam atau hal bahagia lainnya dalam liturgi itu sendiri.
Shalom Andry,
Ya, saya setuju dalam hal penahbisan Uskup atau imam atau hal yang berhubungan dengan perayaan religius lainnya dan langsung terkait dengan liturgi itu sendiri, maka tepuk tangan boleh dilakukan. Sebab hal itu bukanlah merupakan semacam “performance”, namun merupakan kesatuan dengan maksud diadakannya liturgi itu sendiri.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Saya pribadi sangat setuju bahwa sebaiknya pada saat komuni umat tidak boleh bertepuk tangan untuk koor. Perayaan misa adalah perjamuan kudus surgawi yang ada di bumi, dimana kita sebagai umat katolik meyakini kehadiran Tuhan dalam perjamuan kudus tersebut dalam rupa roti dan anggur (hosti). Masa pada saat kita menyambut Tuhan kita malah memuji manusia? Bayangkan seorang kepala negara/raja yang datang saja kita begitu menghormatinya? apalagi ini Raja segala Raja? Mari kita renungkan bersama, layakkah? Mari kita sama-sama berjuang untuk lebih memahami makna ekaristi yang sesungguhnya. Semoga Tuhan Memberkati. Amin.
Berkah Dalem!
Saya setuju dengan ide “tepuk tangan sesudah lagu penutup”. Maksudnya adalah memberikan apresiasi / penghargaan / dorongan atas jerih payah rekan-rekan anggota koor yang sudah berpuluh-puluh jam mempersiapkan diri membantu memeriahkan Ekaristi. Baiklah kiranya kebiasaan beberapa pastor yang di akhir Misa menyampaikan terimakasih kepada siapa saja yang sudah membantu kelancaran perayaan Ekaristi: diakon, misdinar, koor, petugas kolekte, lektor, petugas parkir dll. Mengajak kita menghargai setiap bentuk pelayanan.
Salam,
agusnar
Shallom Katolisitas,
Ada baiknya juga disimak buku “The Spirit of Liturgy” yg ditulis oleh Bapa Suci Paus Benedictus XVI.
Disitu ada tertulis:
“Wherever applause breaks out in the liturgy because of some human achievement, it is a sure sign that the essence of liturgy has totally disappeared and been replaced by a kind of religious entertainment”
Dan saya harap semoga para pastur celebran juga menyadari hal ini karena dalam banyak kasus, justru pasturnya yg mengajak umat utk memberikan tepuk tangan. Kalau sudah begini susah jadinya.
Apakah kita sebagai umat bisa menegur pastur? Jika bisa, atas dasar otoritas apa? Mohon penjelasannya.
Terima kasih atas waktu dan jawaban dari Katolisitas.
salam katolisitas
Dalam surat pembaca majalah hidup edisi 17 Januari 2010 memuat tulisan Rm.Frans Magnis Suseno
berjudul’ Tepuk Tangan waktu Komuni”. Pada prinsipnya romo Magnis tidak setuju umat bertepuk
tangan setelah selesai mendengarkan penyanyi solo dari anggota koor pada waktu komuni tersebut.
Bahkan romo Magnis juga menulis seandainya dia yang memimpin misa waktu itu akan dihentikan
dan menyuruh umat melakukan Doa Tobat bersama.
Pertanyaan saya: Apakah betul Tepuk tangan( Aplauss) umat memuji suara penyanyi koor
pada saat komuni disuatu misa dilarang ( pantang )
Apakah termasuk pelanggaran peraturan Liturgi ?
Sekian dan atas perhatiannya sebelumnya terima kasih. Jimmy
[Dari Admin Katolisitas: Pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]
Terima kasih bu Ingrid atas penjelasannya.
Tuhan memberkati
Sekedar sharing aja, di gereja Katholik Nigeria diperbolehkan tepuk tangan pada lagu setelah confession. Disitu umat biasanya tepuk tangan cara Nigeria dan kadang sedikit menari untuk menyesuaikan dengan culture sini. Tapi selain itu tidak ada tepuk tangan, baik lagu pembukaan, lagu komuni maupun lagu penutup. Dengan begitu, misa tetap khimad.
Shalom Monika,
Kelihatannya kasus Misa di Gereja Katolik Nigeria/ negara Afrika lainnya itu berbeda dengan Misa di Indonesia. Di Afrika, seruan, tepuk tangan dan tarian merupakan bagian dari budaya mereka untuk menghormati seseorang, dan budaya ini sungguh sudah mendarah daging dalam masyarakat Afrika, seolah cara mereka menghormati seseorang adalah dengan menari dan bertepuk. Dengan demikian, sudah menjadi bagian dari hidup mereka untuk menari dan bertepuk untuk Tuhan yang mereka hormati. Doa bagi mereka adalah demikian. Maka sepanjang pengetahuan saya, sepanjang saya pernah mengikuti misa dengan kehadiran beberapa orang Afrika, tepuk tangan dan tarian itu mereka tujukan untuk Tuhan, dan mereka tidak bertepuk tangan untuk koor ataupun diri mereka sendiri.
Sedangkan yang dibicarakan di artikel di atas adalah berbeda. Walaupun di Indonesia ada tarian, tetapi tarian tidak menjadi suatu ‘keharusan’/ kewajiban bagi kita sebagai ungkapan penghormatan. Lagipula, yang ditanyakan adalah apakah boleh bertepuk tangan untuk para penyanyi koor. Inilah yang tidak pada tempatnya, karena seharusnya di dalam Misa Kudus, yang menjadi fokus adalah Tuhan dan bukannya petugas Misa, baik petugas koor atau petugas lainnya.
Demikian semoga kita semua dapat saling mengingatkan dan saling mengusahakan agar kekhidmatan Misa Kudus dapat tercapai, dimulai dari paroki kita masing-masing. Mari kita memberikan seluruh perhatian dan penghormatan kita hanya kepada Tuhan pada saat perayaan Ekaristi, sebagai ungkapan syukur karena Ia telah memberikan seluruh Diri-Nya kepada kita dalam perayaan tersebut.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
tepuk tangan khan untuk kebaikan untuk pelayanan (jadi anggota koor untuk pelayanan).
Kita tahu Tuhan itu baik dari sesama manusia , jadi tepuk tangan untuk koor yang baik / bagus juga untuk Tuhan. Sebab kita tahu semua untuk sesama ya untuk Tuhan.
Kita tahu Tuhan baik dari Orang Tua , saudara kita yang baik.
Jadi tepuk tangan juga untuk Tuhan hanya lewat perantara sesama manusia.
Shalom Sakerah,
Ya, tepuk tangan untuk Koor memang boleh saja, tetapi tidak untuk dilakukan di dalam Misa Kudus, karena itu konteksnya akan tetap seperti pertunjukan. Padahal saat Misa Kudus, terutama saat Komuni dan setelah Komuni, merupakan saat yang paling kudus dan agung di mana kita mengalami persatuan dengan Kristus sendiri. Sehingga tidak pada tempatnya untuk memberikan tepuk tangan yang ditujukan kepada koor atau petugas Misa lainnya pada saat itu, karena itu mengalihkan perhatian kita kepada fokus utamanya (Kristus), karena tepuk tangan itu mau tidak mau mengarahkan perhatian kepada koor, dan inilah yang tidak seharusnya terjadi, seperti yang diajarkan oleh Paus Benediktus XVI. Semoga dapat dipahami esensinya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Memang tepuk tangannya dilakukan setelah pengumuman gereja / sebelum romo meninggalkan altar.
Kalau salam damai bagaimana , suasananya sedikit gaduh , kok masih di tengah Misa Kudus . Sebab banyak yang bersalaman keluar dari tempat duduk menuju ke barisan lain sampai 3 baris.
Menurutku lebih baik salam damai diletakkan setelah persembahan …. atau sebelum persembahan.
Shalom Sakerah,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang salam damai di dalam Misa. Kegaduhan yang dikarenakan banyak orang bersalaman keluar dari tempat duduk dan menuju barisan lain tidak terjadi seandainya umat mengerti apa yang harus dilakukan pada waktu itu. Mari kita melihat rubrik dalam Misa:
Dari sini kita melihat bahwa konferensi uskup di setiap negara dapat memutuskan apa yang harus dilakukan pada waktu salam damai. Namun, yang terpenting adalah setiap orang harus memberikan salam damai kepada mereka yang terdekat dan dengan cara yang baik dan pantas. Dan kalau kita melihat di GIRM #154 juga menegaskan hal ini, di mana secara khusus dikatakan bahwa yang mempersembahkan misa (pastor) dapat memberikan salam damai kepada diakon dan pastor yang lain, dan harus tetap berada di daerah altar (sanctuary), sehingga tidak mengganggu perayaan Misa. Dengan demikian, kalau peraturan ini diterapkan, pastor tidak dapat memberikan salam damai kepada umat dan umat tidak dapat memberikan salam damai sampai meninggalkan tempat duduknya. Kalau ini dijalankan dengan baik, perayaan Misa dapat berlangsung dengan baik. Dan kita tidak dapat mengganti salam damai ke bagian lain, karena itu telah menjadi rubrik dari Misa. Semoga dapat memperjelas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Comments are closed.