Pertanyaan:
Salam Katolisitas,
Terima kasih kepada Bu Ingrid yang sudah menjawab pertanyaan saya sebelumnya.
Saya punya pertanyaan lain lagi. Kebetulan saya ditanya juga oleh orang lain yang non Katolik dan saya yang Katolik merasa tidak mengetahui jawaban yang benar, jadi saya tanyakan ke Katolistas.
Di awal misa, sebelum naik ke altar, Imam seringkali mengasapi altar dengan sesuatu wewangian. Selama ini saya pikir itu adalah kemenyan, tapi saya kurang yakin. Apa sebenarnya tujuan dan maksud dari pengasapan itu?
Setelah persembahan pun biasanya putra altar meminta umat untuk berdiri dan kemudian mengasapi umat secara simbolis. Apakah maksud dan tujuannya?
Terima kasih sebelumnya atas penjelasan yang diberikan.
Salam,
Paulina
Jawaban:
Shalom Paulina,
Sebenarnya, penggunaan ukupan wewangian (incense) yang digunakan dalam Misa Kudus itu merupakan simbol dari doa-doa yang naik ke hadapan tahta Allah, seperti yang disebutkan dalam Kitab Suci, demikian:
Mzm 141: 1-2
“Ya TUHAN, aku berseru kepada-Mu, datanglah segera kepadaku, berilah telinga kepada suaraku, waktu aku berseru kepada-Mu! Biarlah doaku adalah bagi-Mu seperti persembahan ukupan, dan tanganku yang terangkat seperti persembahan korban pada waktu petang.”
Why 8:3-4
Maka datanglah seorang malaikat lain, dan ia pergi berdiri dekat mezbah dengan sebuah pedupaan emas. Dan kepadanya diberikan banyak kemenyan untuk dipersembahkannya bersama-sama dengan doa semua orang kudus di atas mezbah emas di hadapan takhta itu. Maka naiklah asap kemenyan bersama-sama dengan doa orang-orang kudus itu dari tangan malaikat itu ke hadapan Allah.
Persembahan wewangian tersebut bahkan secara khusus diperintahkan Tuhan kepada Musa untuk menghormati kehadiran-Nya di dalam Tabernakel/ Kemah Pertemuan dalam Perjanjian Lama.
Kel 30:34-37
Berfirmanlah TUHAN kepada Musa: “Ambillah wangi-wangian, yakni getah damar, kulit lokan dan getah rasamala, wangi-wangian itu serta kemenyan yang tulen, masing-masing sama banyaknya. Semuanya ini haruslah kaubuat menjadi ukupan, suatu campuran rempah-rempah, seperti buatan seorang tukang campur rempah-rempah, digarami, murni, kudus. Sebagian dari ukupan itu haruslah kaugiling sampai halus, dan sedikit dari padanya kauletakkanlah di hadapan tabut hukum di dalam Kemah Pertemuan, di mana Aku akan bertemu dengan engkau; haruslah itu maha kudus bagimu. Dan tentang ukupan yang harus kaubuat menurut campuran yang seperti itu juga janganlah kamu buat bagi kamu sendiri; itulah bagian untuk TUHAN, yang kudus bagimu.”
Gereja Katolik percaya Perjanjian Lama telah digenapi dalam diri Kristus dan bahwa kini Tuhan Yesus Kristus sungguh hadir di dalam Tabernakel suci dalam rupa Ekaristi, dan karena itu, maka digunakan ukupan wewangian untuk menghormati kehadiran Tuhan tersebut. Wewangian ini digunakan Selain untuk tanda penghormatan,wewangian ini digunakan juga untuk menciptakan suasana penyembahan kepada Tuhan yang hadir dalam perayaan Ekaristi tersebut.
Gereja Katolik, berdasarkan pengajaran Kristus dan para rasul, mengajarkan bahwa pada setiap Misa Kudus, maka kurban Yesus Kristus yang satu-satunya itu dihadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus, untuk mendatangkan berkat pengudusan bagi umat-Nya. (Selanjutnya tentang makna Ekaristi sebagai Sumber dan Puncak Kehidupan Kristiani, silakan klik di sini). Kurban Kristus dalam Ekaristi, yang dihormati dengan korban bakaran ukupan/ wewangian inilah yang menggenapi nubuat nabi Maleakhi, dalam Mal 1:11, “Sebab dari terbitnya sampai kepada terbenamnya matahari nama-Ku besar di antara bangsa-bangsa, dan di setiap tempat dibakar dan dipersembahkan korban bagi nama-Ku dan juga korban sajian yang tahir; sebab nama-Ku besar di antara bangsa-bangsa, firman TUHAN semesta alam.”
Karena makna “kurban” tersebut, maka Altar tempat terjadinya kurban merupakan obyek yang suci, oleh karena itu kita melihat wewangian ukupan diarahkan kepada Altar. Demikian juga ukupan tersebut digunakan juga pada saat prosesi/ sesaat sebelum pembacaan Injil, yang dihormati karena Injil merupakan Sabda Tuhan. Ukupan juga ditujukan kepada imam yang mempersembahkan Misa, karena karena pada saat Misa, ia bertindak atas nama Kristus (“persona Christi”). Ukupan juga ditujukan kepada umat, sebab melalui Pembaptisan, setiap umat beriman menjadi tempat kediaman Roh Kudus dan mempunyai peran imamat bersama, sehingga dalam perayaan Ekaristi, setiap umat diundang untuk mengangkat persembahan doa-doanya ke hadapan Tuhan, sehingga dengan demikian mereka mempersatukan doa-doa mereka dengan doa Kristus sendiri (yang diucapkan oleh imam) kepada Allah Bapa.
Jadi penggunaan ukupan wewangian sebenarnya telah berakar sejak lama dalam sejarah umat beriman, dan Gereja Katolik melanjutkan tradisi ini, karena memang mengandung makna yang dalam. Wewangian ini melengkapi penyembahan dan ucapan syukur kita kepada Tuhan yang melibatkan seluruh panca indera kita dalam Ekaristi: dengan indra penglihatan kita melihat seluruh ibadah, dengan indra pendengaran kita mendengar kidung pujian dan doa-doa, dengan indra peraba kita mengambil air suci yang melambangkan rahmat Pembaptisan, dan dengan indra pengecap kita menyantap Hosti kudus, dan dengan indra penciuman kita menikmati wewangian ukupan yang melambangkan naiknya doa-doa kita ke hadapan tahta Allah.
Demikian yang dapat saya tuliskan tentang penggunaan wewangian dalam Misa Kudus. Semoga berguna dan membantu kita semakin menghayati maknanya dalam perayaan Ekaristi.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org
syalom ibu inngrid
saya mau menanyakan apa boleh, di rumah waktu doa membakar ukupan?
trimakasih. ditunggu jwbnnya.
[dari Katolisitas: Tidak ada aturan yang tertulis tentang hal ini, namun umumnya ukupan digunakan dalam perayaan Ekaristi (Misa), dan bukan dalam doa-doa pribadi di rumah. Dasar penggunaan ukupan, adalah seperti tertulis di artikel di atas. Jika yang diinginkan adalah penggunaan lambang doa-doa yang naik ke hadirat Tuhan, dapat digunakan lilin, yang juga mempunyai makna yang sama].
Shalom Katolisitas,
Saya ingin mendapat pencerahan mengapa dalam perayaan ekaristi sering digunakan asap dari sejenis dupa (maaf saya lupa istilahnya), apakah tidak cukup dari doa yang diucapkan dan dipimpin oleh Pemimpin Misa (Romo) saja?. Kalo saya rasa hal ini seperti kepercayaan orang Hindu atau Budha atau Konghucu atau kepercayaan jawa kuno yang setiap kali berdoa (upacara keagamaan) selalu menggunakan asap dari dupa atau kemenyan.
Hal-hal begini kita sering mendapatkan pertanyaan dari kawan kita yang beragama Kristen Protestan dan dari Moslem
Maafkan kalo saya kurang mengerti, terima kasih atas pecerahannya.
Berkat Dalem
Vincensius Susilo
[Dari Katolisitas: Silakan membaca artikel di atas, silakan klik]
Salam Ekaristi tim katolisitas…..
nama saya agung subroto..sy mau menanyakan tentang teknik pendupaan…
1. adakah aturan yg baku untuk teknik pendupaan?misalkan untuk pastur..koreksi jika sy salah..untuk pastur aturan teknik pendupaan 2x crik / ayunan sebanyak 3x..(crik..crik…stop..crik…crik…stop…crik…crik….)
kalau untuk umat, Sakramen Maha Kudus, benda suci / relikwi, jenasah, dll…bagaimana teknik pendupaannya?
[dari katolisitas: silakan melihat tanya jawab mengenai pertanyaan serupa di link ini dan di tanya jawab di bawahnya, silakan klik]
2. apakah seorang misdinar harus memegangi jubah pastur pada saat pastur mendupai altar dan hosti?
3. apakah seorang misdinar yg bertugas memegang turibulum hanya 1 orang atau boleh berdua?
terima kasih tim katolisitas….
Salam Agung,
2. Sebaiknya misdinar membantu memegang jubah pastor pada saat pastor mendupai, apalagi kalau kasulanya rentan terhadap panas api. Cukup banyak kasula yang lubang karena terkena panas api pada turibulum waktu pastor mendupai.
3. Sebaiknya dua misdinar: yang satu memegang turibulum, yang lain memegang wadah kemenyan. Bila kekurangan misdinar boleh satu, asal cukup trampil melaksanakan tugas pelayanan itu.
Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli.
saya hanya mau meneruskan tentang incense, berapa kali kah seharusnya dibuat pada Pastor, Injil, dan pada umat? karena saya melihat perbedaan disetiap paroki. dan apakah arti dari nomor dan jumlah incense itu?terimakasih…
Salam Chmel,
“Dalam Pedoman Umum Misale Romawi no. 277 ditulis: Peduapaan diayunkan tiga kali untuk penghormatan (a) Sakramen Mahakudus, relikui salib suci dan patung Tuhan yang dipajang untuk dihormati secara publik; (b) bahan persembahan; (c) salib altar, Kitab Injil, lilin paskah, imam dan jemaat”. Dalam tradisi liturgi, angka tiga berarti lengkap-sempurna.
Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli.
Salam damai dan kasih sejahtera dalam Tuhan kita bagi bpk-ibu pengasuh,
Waktu saya jadi misdinar thn 70an, saya diajarkan bhw pengayunan wiruk untuk umat adalah 1 X, untuk imam 2X, untuk Sakramen Mahakudus (dan juga terhadap jenasah umat beriman – dalam Misa requiem) adalah 3X. Menunjuk tulisan Romo Boli Ujan di atas, apakah memang ada perubahan tata cara pendupaan atau kami2 yg dulu jadi misdinar ini salah informasi? Mohon dijelaskan. Terimakasih.
[NB. Mungkin hal seperti ini terlalu remeh bagi orang lain, namun karena dulu kami melakukan dgn cara yang agak berbeda, maka kami tertarik untuk menanyakan hal ini].
Salam Herman Wib,
Aturan pengayunan wirug sekarang ialah 3 (tiga) kali untuk semua, kecuali untuk gambar/arca (patung) para kudus hanya dua 2 (dua) kali. Landasan teologisnya ada dalam dokumen “Sacrosanctum Concilium” (SC) artikel 7. Demikian jawaban Rm Bosco Da Cunha, O.Carm, Sekretaris Eksekutif Komisi Liturgi KWI.
Salam damai & sejahtera bagi Romo Dwi Harsanto serta segenap pengasuh katolisitas.
Terima kasih banyak atas penjelasan Romo Dwi. [Tentu saja si misdinar hanya boleh mendupai imam jika tidak ada imam konselebrans lain (setelah imam mendupai altar/salib/alkitab/lilin dsb), dan setelah itu si misdinar baru mendupai umat].
Saya coba buka dokumen SC di website ini (https://katolisitas.org/konstitusi-sacrosanctum-concilium/) pada artikel 7 (Bab Satu, I-7) tapi belum berhasil memahami jalinan antara landasan teologis dgn pendupaan tsb. Namun untuk sementara saya cukupkan saja dahulu semua penjelasan Romo Dwi. Terima kasih atas penjelasannya.
NB.
Ternyata sesuatu hal (dlm hal ini misdinar pemegang wirug) yg dulu dilakukan semata-mata karena tugas putra altar (dan saya sungguh2 mendapatkan kegembiraan & kebanggaan karenanya!) menjadi tampak lebih bermakna sekarang (!) setelah kita mengerti lebih dalam tujuan dan maknanya; apalagi setelah membaca kekaguman seorang Scott Hahn (dlm “Rome Sweet Home”) ketika dia mengikuti ekaristi Gereja Katolik Roma. Menurut pengakuannya sendiri, liturgi tsb sangat khusyuk dan pendupaannya mengingatkannya kepada peribadatan umat Jahudi sejak jaman Nabi Musa. Saya merasa agak ‘kecolongan’ juga setelah seorang Scott Hahn (yg tadinya belum Katolik) lebih mampu merasakan keindahan liturgi gereja Katolik!
Salam Herman Wib,
Dalam SC artikel 7 menyatakan dalam kalimat terakhir dengan dasar Mat 18:20, bahwa jika kita merayakan Liturgi Suci Gereja Katolik, maka Allah hadir melalui Yesus Kristus kepada kita sebagai anak-anak yang setara, hanya beda fungsi dan peran saja. “Jika ada dua atau tiga orang hadir dalam nama-Ku, Aku hadir di tengah-tengah mereka” artinya, bahwa Ia hadir bersama kita, menunggui anak-anak-Nya yang sejajar dan Ia kasihi semuanya. Maka jumlah ayunan wirug tiga kali yang sama baik untuk paus, uskup, imam, diakon, altar, evangeliarium, dan sebagainya mencerminkan hal itu. Hanya untuk patung dan gambar orang kudus, ayunan wirug dua kali saja, karena mereka juga hadir namun hadirnya tidak secara tampak mata dan kita rasakan secara langsung. Ayunan wirug dua kali cukuplah, bagi para kudus mewakili kata-kata Yesus “Jika dua atau tiga orang hadir…” .
Saya pun kagum pada mantan pendeta Scott Hahn yang menangkap getaran misteri liturgi begitu rupa sehingga ia langsung menghubungkannya dengan Kitab Suci Perjanjian Lama dan Baru, serta pokok-pokok ibadat bangsa Israel kuno yang mendambakan Kristus, yang dipenuhi dalam Gereja yang satu, kudus, katolik, apostolik. Sebagai imam, saya pun lalu tertantang membuka hati untuk mengalami kehadiran-Nya yang menguatkan Gereja dalam ibadat Katolik kita.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr
Terima kasih tanggapannya Pak Stef…
Saya sama sekali tidak memiliki perasaan merendahkan atau yang lainnya, namun bukankah akan lebih baik jika kebiasaan ini disamakan supaya selain seragam, saya rasa akan lebih menunjukkan penghormatan..
Saya sedih sekali jika melihat kebiasaan2 katolik mulai digeser dan ditawar2..meskipun saya percaya sepenuh hati Tuhan Yesus sendiri yang menjaga dan melindungi Gereja-Nya..
berkah dalem
Shalom Robertus Fred,
Sebenarnya anda tak perlu sedih melihat adanya perbedaan cara menyambut Komuni, ada yang di tangan dan ada yang di lidah. Sebab yang terpenting adalah disposisi hati orang yang menerimanya. Kedua cara tersebut dibenarkan, sebab keduanya memiliki dasar pengajaran dari para Bapa Gereja. Walaupun memang, cara yang dipilih oleh Vatikan sebenarnya adalah di lidah (Bapa Paus memberikan Komuni hanya kepada umat yang berlutut dan menerimanya di mulut/ di lidah). Agaknya harus diterima, bahwa cara menerima Komuni ini berhubungan dengan cara yang dipilih oleh masing- masing umat agar dapat semakin menghayati makna yang terkandung di dalamnya.
Jika anda tertarik dengan topik ini, silakan anda klik di sini, untuk membaca pembahasan tentang cara penerimaan Komuni, di lidah atau di tangan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam Katolisitas..
Saya mau menanyakan satu hal, sebetulnya yang betul itu menerima hosti di tangan atau langsung pakai mulut?? kalau pakai tangan apakah itu pantas karena kita menyambut tubuh kristus sendiri…
Dulu saya menerima hosti memakai tangan namun sekarang memakai mulut setelah membaca buku maria shima karena saya takut dosa sakrilegi..
ini bagaimana? karena di indonesia rata2 memakai tangan jika menerima hosti…kalau salah seharusnya kebiasaan ini dirubah secara menyeluruh.. dan tidak dibiarkan..
trimakasih
Shalom Robertus Fred,
Untuk menjawab pertanyaan anda, maka kita dapat melihat Redemptionis Sacramentum (RC, 92), yang mengatakan:
Dari dokumen tersebut, maka menerima komuni dengan lidah adalah selalu diperbolehkan. Namun jika konfrensi uskup suatu negara memutuskan bahwa umat dapat menerima Tubuh Kristus dengan tangan dan telah mendapatkan persetujuan dari Vatikan, maka umat juga dapat menerimanya dengan tangan. Jadi, kita harus menghormati keputusan dari Gereja lokal yang telah disetujui oleh Vatikan. Namun, satu hal, anda boleh menerima Tubuh Kristus dengan lidah tanpa merendahkan orang yang menerima Tubuh Kristus dengan tangan. Jadi, kalau anda menerima Tubuh Kristus dengan tangan, maka hal itu bukanlah satu tindakan sacrilege. Namun, kalau anda menerima Tubuh Kristus dengan lidah, itu adalah sesuatu yang baik. Semoga penjelasan ini dapat diterima.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Bu inggrid / Rm. wanta saya mau tanya, apa fungsi air suci setiap kita masuk ruangan gereja mengambil nya dan membuat tanda salib ? dalam setiap penggunaan Air suci di setiap liturgi, mulai dari pemercikan sampai menggunakan nya untuk pembaptisan, Air yang bagaimana yang di gunakan ? apakah ada campuran2 bahan tertentu dalam kandungan air tsb ? Terima kasih sebelum nya.
Salam dan doa
Mike
Mike Yth
Air suci terdiri dari air biasa yang diberkati dan dicampur garam sedikit untuk keperluan pemberkatan dan penyucian.
salam
Rm Wanta
Tambahan dari stef:
Makna dari membuat tanda salib dengan air suci ketika kita masuk gereja adalah mengingatkan kita akan pembaptisan yang telah kita terima. Pemercikan air suci pada perayaan Ekaristi juga mempunyai makna yang sama, yaitu peringatan akan pembaptisan yang telah kita terima -di mana kita telah menerima pengampunan dosa. – serta mohon agar Tuhan membersihkan kita dari dosa-dosa kita. Dan kita akan dapat menghayati hal ini, kalau kita menyimak apa arti dari lagu Asperges (lihat Puji Syukur 233 – bagian Tata Perayaan Ekaristi – [12]). Sedang dalam baptisan, maka air adalah merupakan material (matter), mengikuti apa yang diajarkan oleh Kristus dan para rasul.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
salam Tim katolisitas…
aq mo tanya ttg liturgi…
Apa Liturgi dan Apa saja yang disebut sebagai liturgi…
dan apa kriterianya shingga disebut litugi..karena ada perbedaan pendapat terutama ttg
Perayaan Sabda hari Minggu. Apkah itu bisa dikatakan Liturgi. Karna perbedaan pendapat itu, akhirnya ada orang yang mengusulkan PSHM diganti saja dengan ibadat harian. Trimakasih
Simon Yth
Liturgi adalah perayaan iman dari umat sebagai ungkapan doa dan syukur kepada Allah yang diimaninya. PSHM adalah Liturgi Sabda tanpa Imam pada Hari Minggu. PSHM tidak sama dengan Ibadat Harian. Ibadat Harian adalah doa Gereja yang dilakukan secara privat maupun komunal oleh religius pada umumnya, Ibadat Harian juga Liturgi perayaan iman Gereja.
salam
Rm Wanta
Tambahan dari Ingrid:
Shalom Simon,
Berikut ini saya sertakan juga definisi Liturgi, seperti yang diajarkan dalam Katekismus:
KGK 1069 Kata “liturgi” pada mulanya berarti “karya publik”, “pelayanan dari rakyat dan untuk rakyat”. Dalam tradisi Kristen, kata itu berarti bahwa Umat Allah mengambil bagian dalam “karya Allah” (Bdk. Yoh 17:4). Melalui liturgi, Kristus Penebus dan Imam Agung kita, melanjutkan karya penebusan-Nya di dalam Gereja-Nya, bersama Dia dan oleh Dia.
KGK 1070 Dalam Perjanjian Baru kata – liturgi – tidak hanya berarti “perayaan ibadat” (Bdk. Kis 13:2; Luk 1:23), tetapi juga pewartaan Injil (Bdk. Rm 15: 16; Flp 2:14-17; 2:30) dan cinta kasih yang melayani (Bdk. Rm 15:27; 2 Kor 9:12; Flp 2:25). Segala hal itu menyangkut pelayanan kepada Allah dan manusia. Dalam perayaan liturgi, Gereja adalah pelayan menurut teladan Tuhannya, “pelayan” (Bdk. Ibr 8:2,6) satu-satunya, karena dalam ibadat, pewartaan, dan pelayanan cinta, ia [Gereja] mengambil bagian pada martabat Kristus sebagai imam, nabi, dan raja.
“Maka memang sewajarnya juga liturgi dipandang bagaikan pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus; di situ pengudusan manusia dilambangkan dengan tanda-tanda lahir serta dilaksanakan dengan cara yang khas bagi masing-masing; di situ pula dilaksanakan ibadat umum yang seutuhnya oleh Tubuh Mistik Yesus Kristus, yakni Kepala beserta para anggota-Nya. Oleh karena itu setiap perayaan liturgis, sebagai karya Kristus Sang Imam serta Tubuh-Nya yakni Gereja, merupakan kegiatan suci yang sangat istimewa. Tidak ada tindakan Gereja lainnya yang menandingi daya dampaknya dengan dasar yang sama serta dalam tingkatan yang sama” (Sacrosanctum Concilium 7).
KGK 1071 Sebagai karya Kristus, liturgi itu juga tindakan Gereja-Nya. Liturgi melaksanakan dan menyatakan Gereja sebagai tanda persekutuan antara Allah dan manusia melalui Kristus. Ia mendorong umat beriman ke dalam persekutuan hidup baru. Ia mengandaikan bahwa semua orang mengambil bagian dalam liturgi kudus dengan “sadar, aktif, dan penuh makna” (Sacrosanctum Concilium 11).
KGK 1072 “Liturgi kudus tidak mencakup seluruh kegiatan Gereja” (Sacrosanctum Concilium 9); penginjilan, iman dan pertobatan harus mendahuluinya; barulah ia dapat menghasilkan buahnya dalam kehidupan umat beriman: kehidupan baru dalam Roh Kudus, keterlibatan yang aktif dalam perutusan Gereja, dan pelayanan pada kesatuannya.
KGK 1073 Liturgi adalah juga keikut-sertaan dalam doa yang Kristus sampaikan kepada Bapa dalam Roh Kudus. Di dalamnya segala doa Kristen menemukan sumber dan penyelesaiannya. Oleh liturgi manusia batin akan berakar dalam “kasih yang besar”, yang dengannya Bapa telah mengasihi kita dalam Putera-Nya yang kekasih (Ef 2:4) serta berdasar pada kasih itu (Bdk. Ef 3:16-17). “Perbuatan Allah yang besar” ini dihidupkan dan diresapkan ke dalam batin, kalau orang “setiap waktu” “berdoa di dalam Roh” (Ef 6:18).
KGK 1074 “Liturgi itu puncak yang dituju oleh kegiatan Gereja dan serta-merta sumber segala daya-kekuatannya” (Sacrosanctum Concilium 10). Dengan demikian ia adalah tempat yang paling istimewa untuk katekese Umat Allah. “Katekese mempunyai hubungan batin dengan seluruh kegiatan liturgis dan sakramental; sebab dalam Sakramen-sakramen dan terutama dalam Ekaristi, Yesus Kristus berkarya sepenuhnya untuk mengubah manusia” (Yohanes Paulus II, CT 23).
KGK 1076 Dengan pencurahan Roh Kudus Gereja dinyatakan kepada dunia pada hari Pentakosta. Pencurahan Roh Kudus menampilkan satu era baru dalam “penyampaian misteri”: era Gereja, di mana Kristus mengumumkan, menghadirkan dan menyampaikan karya keselamatan-Nya melalui liturgi Gereja-Nya, “sampai Ia datang” (1 Kor 11:26). Dalam era Gereja ini, Kristus hidup dan bertindak dalam dan bersama Gereja-Nya atas satu cara baru yang sesuai dengan zaman baru ini. Ia bertindak melalui Sakramen-sakramen. Tradisi bersama dari Gereja Timur dan Barat menamakan cara baru ini “tata sakramental”. Tata ini merupakan penyampaian buah-buah misteri Paska Kristus dalam perayaan liturgi Gereja yang “sakramental”.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom Pak Stefanus dan Ibu Inggrid,
Akhir-akhir ini ada 2 pertanyaan klasik yang saya kadang bingung menjawabnya,sehubungan dengan masa prapaskah dan pertanyaan lainnya …
1. Apa makna dari menutup salib dengan kain ungu?
2. Sehubungan dengan bacaan hari yg lalu tentang kecaman Yesus kepada orang farisi,mengapa di akhir perikop tersebut Yesus berkata bahwa tidak seorangpun di dunia ini yang boleh di panggil Bapa,rabi,atau pemimpin? ….
[Dari Katolisitas: kami edit….Pertanyaan lengkap dan jawabannya ada di atas, silakan klik]
Andry.
Salam Katolisitas,
Terima kasih kepada Bu Ingrid yang sudah menjawab pertanyaan saya sebelumnya.
Saya punya pertanyaan lain lagi. Kebetulan saya ditanya juga oleh orang lain yang non Katolik dan saya yang Katolik merasa tidak mengetahui jawaban yang benar, jadi saya tanyakan ke Katolistas.
Di awal misa, sebelum naik ke altar, Imam seringkali mengasapi altar dengan sesuatu wewangian. Selama ini saya pikir itu adalah kemenyan, tapi saya kurang yakin. Apa sebenarnya tujuan dan maksud dari pengasapan itu?
Setelah persembahan pun biasanya putra altar meminta umat untuk berdiri dan kemudian mengasapi umat secara simbolis. Apakah maksud dan tujuannya?
Terima kasih sebelumnya atas penjelasan yang diberikan.
Salam,
Paulina
[Dari Admin Katolisitas: Pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]
Terima kasih atas penjelasannya, Bu Ingrid. Sungguh mengagumkan, ternyata makna penggunaan wewangian itu sedemikian dalam.
Kalau boleh tahu, bahan untuk ukupan wewangian itu terdiri atas apa saja? Apakah tetap disesuaikan dengan apa yang tercantum dalam kitab Keluaran?
Salam,
Paulina
Shalom Paulina,
Terima kasih atas pertanyaannya. Ukupan (incense) yang digunakan biasanya dalam bentuk butiran atau bubuk yang dibuat dari frankincense dari Arab. (lih. Rev. Jovian P. Lang, OFM, Dictionary of the Liturgy (New York: Catholic Book Publishing, Corp, 1989), hal. 264) Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Dari Romo Wanta:
Paulina Yth,
Kemenyan yang dipakai dalam ukupan dalam liturgi Ekaristi dari wewangian, pohon cendana, dari pohon kenari getahnya diambil dan itu paling istimewa, lalu dicampur dengan kayu lain. Kadang inkulturasi menggunakan semacam dupa yang digunakan untuk orang Tionghwa saat upacara keagamaan. Demikian kiranya infrmasi ini dapat dipahami.
salam
Rm Wanta
Comments are closed.