Pertanyaan:
Syalom,
Saya telah menjadi Katolik sejak bayi,namun ada beberapa pertanyaan yang kadang membuat saya agak tidak perduli akan agama walau saya masih mengimani Yesus Kristus sebagai Tuhan dan mencoba untuk hadir ke Gereja setiap hari Minggu.
1. Kenapa Tuhan mengijinkan adanya agama dan bermacam-macam pula. Bukankah Yesus hadir untuk mengajarkan Ajaran Cinta Kasih dan mendirikan Gereja bukan membuat agama?
2. Kenapa Allah mengijinkan setan memperdaya Adam dan Hawa sehingga menjadi berdosa,bukankah Allah begitu mencintai manusia ciptaan-Nya?
3. Mengapa Allah menciptakan manusia dan alam semesta beserta isinya.Apakah maksud sebenarnya dari karya Penciptaan Allah tesebut?
4. Saya pernah membaca beberapa buku karangan Anthony de Mello SJ.Namun setelah membaca buku-buku tersebut saya makin penasaran akan arti keberadaan agama. Menurut anda,apakah isi buku-buku tersebut masih sesuai dengan ajaran Katolik?
Demikian beberapa pertanyaan saya,mohon bimbingan dan penjelasannya. GBU.
Thomas
Jawaban:
Shalom Thomas Windu,
1. Ya: Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan manusia dengan mendirikan Gereja, yang menjadi sakramen keselamatan itu; dan melalui Gereja, Yesus membuka jalan keselamatan dengan sakramen Pembaptisan dan Ia menyampaikan semua ajaran dan perintah-perintah-Nya (lihat Mat 28:10-20)terutama Ajaran Cinta Kasih seperti yang tertulis dalam Injil.
Maka agama-agama yang ada di dunia ini diijinkan ada oleh Tuhan sebagai persiapan akan ajaran Injil. Katekismus Gereja Katolik, mengutip Lumen Gentium 16, Nostra Aetate 2, Evangelii Nuntiandi 53 mengatakan,
KGK 843 Gereja mengakui bahwa agama-agama lain pun mencari Allah, walaupun baru “dalam bayang-bayang dan gambaran”. Ia memang belum dikenal oleh mereka, namun toh sudah dekat, karena Ia memberi kepada semua orang kehidupan, napas, dan segala sesuatu, dan Ia menghendaki agar semua manusia diselamatkan. Dengan demikian Gereja memandang segala sesuatu yang baik dan benar yang terdapat pada mereka sebagai “persiapan Injil dan sebagai karunia Dia, yang menerangi setiap orang, supaya akhirnya memperoleh kehidupan.”
Selanjutnya tentang keselamatan, saya mempersilakan anda membaca rubrik tanya jawab (TJ) tentang Keselamatan yang ada cukup banyak di situs ini. Jika masih ada pertanyaan silakan anda menuliskannya di bawah salah satu tanya jawab tersebut.
2. Kenapa Allah mengijinkan setan memperdaya Adam dan Hawa sehingga menjadi berdosa, bukankah Allah begitu mencintai manusia ciptaan-Nya? Jawabnya adalah karena kasih-Nya, maka Allah tidak mau menjadikan manusia hanya seperti robot. Maka Allah memberikan akal budi dan kehendak bebas kepada manusia, yang memungkinkan manusia memilih sendiri apa yang dikehendaki olehnya. Sebenarnya kehendak bebas inilah yang memungkinkan seseorang untuk mengasihi dalam arti yang sesungguhnya. Sebab kalau orang mengasihi hanya karena ‘dipaksa’/ ‘dibuat sedemikian rupa sehingga mengasihi’ itu sebenarnya bukan mengasihi. Allah menginginkan agar manusia mengasihi Dia atas kehendak kita sendiri, bukan karena dipaksa. Maka memang Ia memberi kehendak bebas kepada manusia, walaupun ini mempunyai resiko juga.
Resiko yang ditanggung oleh Allah adalah, bahwa manusia dapat memilih untuk tidak mengasihi Dia, tidak percaya kepada-Nya dengan lebih mempercayai perkataan Iblis. Dan inilah yang terjadi pada saat manusia pertama, Adam dan Hawa, berdosa. Mereka lebih memilih mempercayai Iblis daripada Tuhan. Maka sebenarnya kejatuhan Adam dan Hawa dimungkinkan oleh kehendak bebas mereka yang Tuhan berikan karena kasih-Nya kepada mereka. Namun Allah tidak membiarkan umat manusia hancur oleh kejatuhan mereka di dalam dosa. Karena kasih Allah tetap selamanya, maka Allah kemudian mengirimkan bantuan-bantuan kepada manusia agar manusia dapat kembali kepada-Nya dan hubungan kasih dengan manusia yang telah dirusak oleh dosa dapat diperbaiki. Di sepanjang sejarah manusia, kita mengenal Allah mengutus para nabi sampai akhirnya mengutus Putera-Nya sendiri, Yesus Kristus, untuk menyelamatkan kita dari belenggu dosa.
Jadi, walaupun Tuhan mengizinkan manusia pertama jatuh dalam dosa, yang membawa semua umat manusia ke dalam dosa, namun kemudian Tuhan juga menyediakan jalan bagi umat manusia untuk kembali bersatu dengan-Nya melalui Yesus Putera-Nya. Untuk kembalinya kita kepada Tuhan, memang diperlukan rahmat Tuhan, namun juga kehendak bebas kita untuk bertobat dan memilih menaati Tuhan, daripada berbuat dosa. Maka dengan kehendak bebas manusia berdosa, namun dengan kehendak bebas pula manusia dapat bertobat dan kembali kepada Tuhan.
3. Tuhan menciptakan alam semesta dan segala isinya, untuk membagikan kebaikan-Nya kepada ciptaan-Nya. Allah adalah kasih dan sifat utama kasih adalah memberi, membagi, menginginkan yang baik terjadi pada yang dikasihi. Maka, Allah menciptakan manusia, sebagai mahluk tertinggi yang dikasihi-Nya, dan memberikan alam semesta kepada manusia, agar dapat dikelola dan dikuasai dengan baik demi kebaikan manusia; dan agar melalui alam semesta tersebut manusia dapat mengenali Sang Pencipta.
Selanjutnya tentang tujuan Penciptaan sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.
4. Tentang tulisan Rm Anthony de Mello.
Saya juga sudah membaca tulisan-tulisan R. Anthony de Mello, memang ada banyak yang baik. Tetapi jika kita terus membaca karya-karyanya, lama kelamaan secara implisit kita dapat menangkap, seolah-olah pencerahan itu dapat diperoleh sendiri secara pribadi dalam keheningan, dan bukan melalui Kristus. Kardinal Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI) pernah secara khusus menulis komentar tentang karya R. Mello, pada tahun 1998,yang ada di link http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/cfaith/documents/rc_con_cfaith_doc_19980624_demello_en.html
Kardinal Ratzinger mengatakan bahwa di awal karyanya R. Mello memang masih setia dengan pengajaran Katolik, tapi lama kelamaan cenderung menyimpang, dengan memperkenalkan sosok Tuhan sebagai ‘pure void’/ ‘kosong’, yang bukan berupa ‘Pribadi Ilahi’. Dengan demikian spiritualitas yang diajarkan R. Mello meninggalkan konsep Allah Tritunggal (Allah yang satu dengan tiga Pribadi); figur Kristus-pun disejajarkan dengan tokoh agama lain; lalu agama dipandang sebagai penghalang untuk menemukan kebenaran. Hal-hal ini yang bertentangan dengan Spiritualitas Katolik.
Pada akhirnya, kekatolikan kita dinyatakan jika kita mempunyai Roh dan semangat Kristus, menerima dengan taat pengajaranNya yang disampaikan oleh Gereja Katolik (Lumen Gentium 14). Jadi, suara Gereja tentang tulisan R. de Mello harusnya mengarahkan sikap kita terhadap tulisan-tulisan beliau. Kita menerima dengan rendah hati pandangan Gereja, yang pasti telah didahului dengan segala penelitian akan semua karya-karya R. Mello. Sedangkan yang kita baca mungkin hanya sebagian saja.
Maka anda benar jika dalam sebagian karya-karya R. de Mello ini ada yang membingungkan seolah mengatakan agama tidak penting, atau bahkan Kristus tidak penting. Dan inilah yang dianggap menyimpang oleh pihak Magisterium. Maka kita sebagai umat Katolik harus waspada saat kita membaca karya-karya beliau, agar kita dapat memilah: yang baik boleh kita terima, namun yang tidak sesuai dengan ajaran Katolik, tentu tidak kita terima.
Demikian tanggapan saya atas pertanyaan anda, semoga bermanfaat bagi anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org
jadi, menurut Katolik, agama-agama yang ada di dunia ini sebelum Kristen juga berasal dari Allah? Bagaimana dengan agama yang hadir setelah masa Kristus? Apakah ini berarti Allah juga mengirimkan nabi-nabinya ke seluruh penjuru dunia, tetapi tidak ditulis dalam Kitab Suci?
[Dari Katolisitas: Silakan untuk terlebih dahulu membaca terjemahan dokumen Gereja Katolik yang membahas tentang hal ini, yaitu Deklarasi Dominus Iesus, silakan klik]
Salam Damai Kristus,
saya mau sedikit berkomentar perihal keturunan Kain dan Habel, karena menurut saya penjelasan Ibu sangat membingungkan . Maaf komentarnya sangat telat, saya juga baru baca tulisan ini. Penjelasan Bu Ingrid mengatakan bahwa selain Kain dan Habel, masih ada anak-anak lain dari pasangan Adam dan Hawa yang dalam Kitab Suci tidak disebutkan nama dan jumlahnya. Yang ingin saya tanyakan:
1. Sumbernya Ibu peroleh dari mana?(selain dari Kitab Suci) Bahwa Kain dan Habel masih mempunyai saudara-saudara yang lain
2. Dengan mengatakan bahwa terjadi perkawinan sedarah antara anak-anak adam dan Hawa, berarti ibu mengatakan seluruh umat manusia berasal dari keturunan yang sama. (Dan saya rasa itu sangat mustahil)
3. Bagaimana Ibu menjelaskan keanekaragaman Ras, Warna Kulit, suku, budaya dari seluruh manusia di muka bumi ini? jikalau memang dari keturunan yang sama, menurut saya bedanya tidak jauh-jauh amat. Kenyataan-nya lain kan?
kalau menurut saya kisah tentang keturunan Adam dan Hawa, biarlah kita terima sebagai suatu misteri kehidupan yang tidak pernah terpecahkan. Ketimbang memberi penjelasan yang hanya akan tambah membingungkan,
Shalom Ansel Mare,
Sejujurnya, memang tidak mudah kita mendapatkan bukti empiris tentang hal asal usul manusia pertama dan keturunan langsungnya (Kain, Habel dan saudara-saudara mereka). Mengapa? Karena saat manusia diciptakan, mereka hidup dalam zaman pra-sejarah, di mana budaya menulis belum ada, sehingga bukti tertulis tentang mereka tidaklah dapat ditemukan. Oleh karena itu, nampaknya mustahil jika Anda mensyaratkan bukti tertulis tentang Kain, Habel, Set dan saudara-saudarinya, di luar dari apa yang kita ketahui diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Musa, yang tertulis dalam Kitab Kejadian (lih. Kej 5:4). Teori evolusi yang banyak diyakini oleh para ilmuwan sekalipun, tidak dapat menunjukkan bukti tertulis tentang hal manusia pertama ini, dan apa yang mereka yakini itu sendiri merupakan kesimpulan yang diambil dari rangkaian hipotesa sehubungan hal itu, namun juga bukan dari bukti tertulis dari sumber manapun di zaman prasejarah itu.
Jika Anda tertarik untuk membaca tentang evolusi dan iman, silakan membaca di sini, silakan klik.
2. Ya. Gereja Katolik berdasarkan wahyu ilahi memang mengajarkan bahwa seluruh manusia berasal dari sepasang manusia pertama, yaitu Adam dan Hawa. Mungkin menurut Anda hal ini mustahil, tetapi nampaknya itu tidak mustahil bagi Allah. Sebab memang sudah menjadi bagian dari rencana Allah, yaitu bahwa kejatuhan manusia pertama (Adam) ke dalam dosa, dipulihkan oleh Adam yang baru, yaitu Kristus Yesus, sebagaimana diajarkan dalam Rom 5: 12-21. Ini hanya mungkin jika Adam yang pertama hanya ada satu orang, sehingga penggenapannya juga hanya ada pada Satu Orang, yaitu Kristus, yang adalah sungguh Manusia dan sungguh Allah.
“Sebab, jika karena pelanggaran satu orang semua orang telah jatuh di dalam kuasa maut, jauh lebih besar lagi kasih karunia Allah dan karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya atas semua orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus.” (Rom 5:15)
3. Tentang berbagai ras dan warna kulit pada umat manusia:
Adanya perbedaan ras di dunia merupakan ciri-ciri eksternal saja; namun secara umum terdapat kesamaan esensi dari semua ras dalam hal struktur fisik manusia maupun mentalnya. Fakta dalam transplantasi organ manusia, yang memungkinkan adanya donor yang cocok meskipun berasal dari ras yang berbeda (misalnya seorang Asia dapat memperoleh donor organ yang cocok dari Afrika) membuktikan adanya kesamaan genetika secara general antar semua umat manusia.
Maka adanya perbedaan ras lebih ditentukan oleh keadaan geografis dan iklim daerah tempat tinggal para nenek moyang keturunan Adam dan Hawa yang kemudian berpencar di seluruh dunia. Mereka yang menetap di daerah utara (seperti Eropa) sedikit demi sedikit akan kehilangan pigmen warna gelap pada kulit mereka, oleh karena sedikitnya sinar matahari yang mereka terima di sana sepanjang tahunnya. Oleh karena itu pigmen kulit dan warna rambut secara perlahan- lahan menjadi lebih terang. [Demikian pula warna bola mata biru, yang relatif dapat melihat lebih baik di dalam keadaan cahaya rendah, dibandingkan kemampuan bola mata dengan warna gelap]. Sedangkan mereka yang menetap di selatan ataupun di khatulistiwa, akan mempunyai pigmen kulit yang lebih gelap, demikian juga warna rambut dan warna bola matanya.
Selanjutnya harus kita ingat, bahwa masa penciptaan dan pembentukan ras manusia tersebut terjadi dalam kurun waktu beribu- ribu tahun sehingga adanya perbedaan warna eksternal pada tubuh manusia terjadi secara berangsur- angsur, karena tuntutan geografis dan iklim daerah tempat tinggal nenek moyang mereka dalam kurun waktu tersebut. Bahwa setelah ras sudah terbentuk maka hal itu tidak mudah berubah, itu juga dapat dimengerti, misalnya orang Negro yang lahir dan tinggal di Kutub selama 50 tahun, tentu saja ciri- ciri fisiknya sebagai orang Afrika akan tetap, (dia tidak akan jadi pirang seketika) karena pembentukan ras seperti telah dipaparkan di atas itu membutuhkan waktu beribu- ribu tahun, dan periode 50 tahun di sini menjadi tidak sebanding dengan ribuan tahun masa pembentukan ras dari nenek moyangnya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Halo, hanya sekedar sumbangsih pikiran sy yang sedang belajar.
Latarbelakang saya: seorang Katolik sejak lahir sampai hari ini.
IMHO, Tuhan atau sang Primera Causa, adalah lebih tinggi & mulia & lebih segalanya dibandingkan dengan apapun (the infinite one). Sehingga kita, manusia yang serba finite, ini sekontemplatif apapun, sepercaya apapun, se-logic apapun, tetap belum mampu comprehend apa yang menjadi kehendak Tuhan.
Apa yang kita lakukan sekarang ini TIDAK bisa LEPAS dari interpretasi SUBJEKTIF kita atas teks, dogma, panduan, dan pemahaman KITA atas Tuhan / Catholicism. IMHO, Kita tidak akan mampu untuk benar-benar bisa 100% memahami maksud & latar belakang Tuhan (bukankah kita jadi sama dgn Tuhan bila kita merasa yang paling paham maksudnya? kurang ajar banget ya? hehe..).
Atau kalau kita bisa 100% tidak Subjektif artinya kita hanya sama dgn komputer ya? dimana input=output gak peduli yg lain-lain. hehe…
Terus gimana dgn fenomena yg terjadi di masyarakat & keimanan kita thd Tuhan & Yesus, dll ?
Kalau saya pribadi mengambil sikap sbb:
1. SUBJEK dari semua agama adalah MANUSIA, bukan Tuhan.
a. Semuanya bicara tentang tingkah laku & pedoman hidup manusia biar selamat & masuk surga (to be very simple) kan?
b. Mnrt saya Tuhan (dgn segala keagungannya) gak butuh agama & gak butuh disembah-sembah / diikuti massa, apalagi harus dibela mati-matian toh?
c. Tuhan jelas lebih besar dari sekedar sebuah agama / kepercayaan / dogma tertentu, bahkan dari semua makhluk selain manusia.
2. Sehingga yg kita lakukan selama HIDUP di dunia fana ini:
a. Mengambil esensi / intisari dari tuntunan hidup (value) yang ditawarkan oleh agama yg kita anut.
b. Implementasi hal itu pada kehidupan nyata di masyarakat
c. Tidak apriori terhadap intepretasi berbeda atau bentuk ritual atau dogma yang berbeda yang ditawarkan oleh kelompok manusia lain, dan menengok lebih ke dalam, pada esensi nilai-nya
3. Saya berpendapat bahwa:
a. Mungkin memang Tuhan membuat manusia beragam suku, etnis, kelamin, budaya, dan TERMASUK agama, warna kulit, dll. agar dunia dapat saling melengkapi dari kelebihan & kekurangan masing2.
b. Saya tidak berani menyatakan bahwa Tuhan memang menciptakan beragam agama, atau sebaliknya Tuhan hanya menciptakan satu agama, sementara yg lainnya cuman kira-kira / bayangan / palsu / dll, sebab berpedoman pada keterbatasan sy sbg manusia yg jelas tdk mampu comprehend kehendak Nya
c. Selagi hari ini, fenomena sosial antropologisnya demikian, maka BERAGAM kelompok manusia ini perlu untuk dapat CO-EXIST dan saling bekerjasama memanfaatkan kelebihannya & meminimalkan kekurangannya msg2.
4. Menjadi seorang Katolik bagi saya adalah:
a. Hubungan transendental, intim dan personal antara saya dengan Tuhan melalui Yesus adalah begitu UNIK-nya sehingga setiap pribadi memiliki corak & intensitas hubungan yang amat variatif.
b. Corak & intensitas tersebut TIDAK PERLU di seragamkan / di massalkan / diuniversalkan di seluruh dunia, sehingga justru dapat me-reduksi ke-intiman & keunikan kualitas hubungan personal itu.
c. Gereja atau tempat ibadah lainnya adalah pemenuhan kodrat manusia sebagai makhluk sosial, yang MEMFASILITASI agar setiap pribadi TERJAMIN hak-nya untuk memelihara & mengembangkan keintiman & KEUNIKAN hubungan personalnya dengan Tuhan.
d. Semua tindakan saya di dunia, sebisa mungkin sesuai dengan Tuntunan Nilai yang saya pahami dari ajaran Katolik, yang di aplikasikan dalam dunia yang heterogen dan plural, dengan semangat cinta kasih & coexistantialism. Perkara urusan saya diselamatkan & masuk surga/neraka, tidak ada seorang pun yang tahu, gak ada rumusan kuantitatifnya & diserahkan pada Tuhan saja, repot amat…
e. Berusaha menjadi pribadi yang konsisten & tidak berstandar ganda. Nilai, judgement, perilaku, apa yang kita alami, haruslah dapat berlaku VICE-VERSA terhadap orang lain, walaupun beda kelompok (suku, ras, warna kulit, kelamin, dll, termasuk agama)
Mudah-mudahan saya dapat terus belajar dari rekan2 semuanya.
Mohon dimaklumi bila ada pendapat yang kurang pas sebab sedang proses terus mencari.
Shalom Alaikhem.. may peace be upon us..
Shalom Paulus Prana,
Benar bahwa Tuhan adalah Sang “Penyebab Utama”/ Primary Cause yang tak terbatas (infinite) yang mengatasi segala sesuatu. Kita sebagai manusia yang finite, memang tidak dapat sepenuhnya memahami misteri Allah. Namun demikian, kita juga percaya ada banyak hal dari misteri Allah itu yang telah diwahyukan-Nya (melalui Kitab Suci dan Tradisi Suci), dan yang dipercayakan interpretasikannya kepada Gereja-Nya, yang diajarkan oleh Magisterium Gereja Katolik. Dengan berpegang kepada pangajaran Magisterium Gereja Katolik, maka kita umat Katolik tidak mengandalkan pemahaman pribadi tentang suatu topik ajaran, sebab kita telah mempunyai patokan pengajaran dari Magisterium yang dalam pengajaran secara definitif-nya cukup jelas dan obyektif, sehingga ajaran Gereja Katolik tidak bersifat relatif/ subyektif yang bisa ditafsirkan sendiri sesuai dengan kehendak hati setiap orang.
Kebenaran yang hakiki memang harus bersifat obyektif, artinya tidak boleh ditafsirkan sesuka hati. Namun ini tidak berarti bahwa sifatnya adalah mekanikal macam input dan output dalam komputer, seperti yang anda contohkan. Sebab ada perbedaan memang dalam hal daya tangkap manusia, jadi walaupun kebenaran tersebut sudah dinyatakan, dan manusia telah menangkapnya sesuai dengan akalbudi dan imannya, namun kesempurnaan pemahamannya baru dapat tercapai pada saat manusia sepenuhnya bersatu dengan Allah di surga.
Dengan prinsip ini, maka saya akan melanjutkan tanggapan saya atas pernyataan anda:
1. Subyek semua agama adalah manusia?
St. Agustinus mengajarkan bahwa agama artinya adalah pengikatan kita dengan Tuhan yang Maha Esa dan Mahakuasa (“Religion binds us [religat] to the one Almighty God“, seperti dalam On the True Religion). Dengan demikian, terdapat dua pelaku di sini yaitu manusia yang mengikatkan dirinya dengan Tuhan. Maka tidak dapat ditekankan manusia sebagai subyek, terlepas dari Tuhan. Bahkan lebih tepat dikatakan bahwa subyek utamanya adalah Tuhan, yang kepada-Nya manusia mengikatkan dirinya. Sebab jika tidak ada Tuhan (subyeknya hanya manusia) maka tidak akan ada agama, sebab agama itu mengarahkan manusia kepada Tuhan. Maka untuk mengarahkan dan ‘mengikat’ manusia kepada Tuhan, Tuhan harus diketahui terlebih dahulu, dan apakah kehendak-Nya, baru sesudah itu manusia dapat menaatinya.
Maka memang benar Tuhan tidak butuh disembah-sembah oleh manusia; dalam arti kemuliaan Tuhan tidak bertambah atau berkurang dengan adanya penyembahan manusia. Namun penyembahan kepada Tuhan itu adalah hak Tuhan sebagai Pencipta kita, berdasarkan prinsip keadilan; karena bahkan dalam hubungan antar manusia, kita dengan adil akan memberikan apa yang menjadi hak dari orang yang bersangkutan, terutama jika itu berkaitan dengan hutang. Demikianlah manusia ‘berhutang’ kepada Allah yang telah memberikan karunia kehidupan dan keselamatan kekal yang diperoleh melalui Kristus Allah Putera.
Memang Tuhan lebih besar dari segala sesuatu, baik manusia maupun agama tertentu. Namun tidak dapat dikatakan bahwa karena Tuhan mengatasi agama, lalu agama menjadi tidak penting. Gereja Katolik adalah Gereja yang didirikan Kristus, dan melaluinya kita sebagai umat Katolik mengetahui bagaimana caranya bagi kita untuk mengikatkan diri kita kepada Tuhan, yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Oleh sebab itu, subyek yang dibicarakan di sini adalah Tuhan yang adalah Kasih, yang ingin menyelamatkan semua manusia, dan ingin agar setiap manusia sampai pada pengetahuan tentang kebenaran-Nya (lih. 1 Tim 2:4).
Karena kasih Allah yang begitu besar kepada manusia inilah, maka Ia mengutus Kristus Allah Putera menjadi manusia untuk menyelamatkan kita (Yoh 3:16). Dengan demikian maka kasih Allah memang tercurah kepada manusia. St. Irenaeus mengajarkan, “Man fully alive is the glory of God“, maksudnya jika manusia sungguh hidup oleh Allah, maka itu menjadi kemuliaan bagi Allah sendiri. Hidup oleh Allah di sini maksudnya adalah hidup dalam kekudusan dengan pandangan tertuju kepada Allah.
2. Jadi apa yang perlu kita lakukan di dunia ini?
Kita berusaha mencari Kebenaran Allah, dan jika sudah menemukan, hidup sesuai dengan Kebenaran tersebut. Memang dalam hal ini ada banyak faktor yang mempengaruhi, misalnya latar belakang keluarga dan lingkungan, namun itu tidak membebas tugaskan bagi seseorang untuk tidak berusaha mencari, menemukan kebenaran dan melakukannya.
Maka jika kita melihat ada orang yang tidak seiman dengan kita, maka kita memang tidak boleh apriori, apalagi menghakimi orang tersebut. Namun demikian, hal ini juga tidak untuk mengaburkan kenyataan bahwa Kebenaran itu sifatnya obyektif, karena telah disampaikan oleh Tuhan sendiri melalui Kristus Yesus yang telah mendirikan Gereja-Nya, yang kini berada di Gereja Katolik. Silakan anda membaca deklarasi Dominus Iesus, silakan klik, atau membaca ringkasan dokumen ini yang pernah saya tuliskan di sini, silakan klik.
Prinsipnya, kita menghargai segala yang baik yang diajarkan oleh agama lain, sebab semuanya itu merupakan persiapan bagi nilai-nilai Injil.
3. Mengapa ada keberagaman di dunia ini?
Tuhan memang membuat bermacam keberagaman agar manusia dapat saling melengkapi satu sama lain. Namun dalam hal agama, kita tidak dapat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan banyak agama, apalagi jika agama- agama itu tidak mengarah kepada Kristus, atau yang menunjukkan perpecahan dalam Tubuh-Nya. Adanya keberagaman agama adalah karena keterbatasan dari pihak manusia untuk menangkap apa yang diwahyukan Allah tentang Diri-Nya. Kristus sendiri tidak menginginkan adanya keberagaman dalam arti perpecahan, sebab Ia sendiri berkata demikian, “…. supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku.” (Yoh 17:23)
Maka persatuan dalam Tubuh Kristus itu dikehendaki oleh Kristus, dan jika kita tidak menghendakinya, artinya kita belum mempunyai pikiran dan kehendak yang sama dengan Kristus.
4. Apa maksudnya kita menjadi Katolik?
Maka menjadi Katolik seharusnya merupakan ungkapan penyerahan ketaatan iman yang total kepada Allah yang mewahyukan Diri-Nya (lihat Konsili Vatikan II, tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum 5) dengan menyerahkan segenal akal budi dan kehendak yang penuh kepada-Nya, yang menyatakan Kebenaran-Nya melalui Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja Katolik. Maka menjadi Katolik artinya adalah menjadi murid Kristus yang sepenuhnya, dengan menerima semua pengajaran-Nya dan pengajaran para rasul-Nya dan dengan menjadi anggota Gereja yang didirikan-Nya.
a. Dengan demikian menjadi Katolik tidak hanya merupakan hubungan pribadi antara setiap orang dengan Kristus, tetapi selalu melibatkan Gereja/ anggota Tubuh-Nya yang lain. Hal ini kita ketahui dari Kitab Suci sendiri, bahwa kita sebagai sesama anggota Tubuh Kristus akan dipersatukan oleh Kristus menjadi satu Tubuh (lih. Rom 12:4,5; 12: 12-20). Kesatuan kita dalam Tubuh Kristus dengan Kristus sebagai Kepalanya inilah yang kita rayakan dalam Perayaan Ekaristi, sehingga Ekaristi ini memang menjadi sumber dan puncak kehidupan kita sebagai umat Kristiani, seperti yang pernah dituliskan di sini, silakan klik.
b. Jadi benar bahwa keberagaman di dalam tubuh tidak untuk diseragamkan, sama seperti anggota tubuh juga ada bermacam- macam, dan mempunyai fungsi yang bermacam- macam pula. Namun keberagaman ini selayaknya dihimpun dalam kesatuan sehingga dapat melakukan tugasnya masing- masing dalam keharmonisan seperti berada dalam pengaturan satu Kepala. Adanya keberagaman ini harus diarahkan kepada kesatuan, namun bukan kepada keseragaman.
c. Arti Gereja dalam hal ini bukan hanya tempat ibadah, tetapi kesatuan jemaat yang didirikan oleh Kristus di atas Petrus (Mat 16:18). Dengan demikian makna Gereja bukan hanya sekedar ‘pemenuhan kodrat manusia’, namun memiliki dimensi ilahi, karena didirikan oleh Kristus dan dikuduskan-Nya sendiri melalui air dan firman (lih Ef 5: 26).
d. Benar bahwa akhirnya kita harus berusaha menerapkan iman kita dalam kehidupan sehari- hari, atau dengan perkataan lain, kita berjuang untuk hidup kudus. Sebab dengan beriman kepada Kristus dan hidup dalam kekudusan, kita memiliki pengharapan agar kita dapat masuk dalam kehidupan yang kekal bersama Yesus. Perjuangan untuk hidup kudus ini merupakan perjuangan setiap orang seumur hidup, dan pada akhirnya, memang Kristuslah yang menghakimi setiap manusia, yang akan memutuskan apakah seseorang dapat masuk dalam kerajaan Surga atau tidak.
e. Kita memang dapat berjuang untuk hidup dengan konsisten, namun dasarnya harus juga merupakan sesuatu yang jelas dan obyektif. Sebagai umat Katolik, sebenarnya kita sungguh sangat terbantu dengan adanya pengajaran Magisterium Gereja Katolik, yang memang selalu mendasari ajaran dari Kitab Suci dan Tradisi Suci, sehingga kita dapat mempunyai dasar kuat dalam menyikapi segala sesuatu, termasuk adanya perbedaan dan keberagaman di sekitar kita.
Demikian yang dapat saya tanggapi dari pernyataan anda. Semoga berguna.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Salam Kasih Bu Ingrid,
Terima kasih banyak atas tanggapannya yang amat lengkap.
Saya banyak belajar dari pengetahuan Ibu yang luas ini.
Seluruh point yang Ibu kemukakan adalah hampir semuanya sependapat dgn saya ketika saya (bbrp waktu lalu) masih memandang segala fenomena sekitar kita dengan ukuran-ukuran dan kacamata-kacamata Katolik / Kristen.
Yang tentu dalam beberapa hal menyebabkan ketidaksesuaian, tetapi secara amelioratif dan kamuflatif “seolah-olah” berhasil saya temukan pedoman ajarannya.
Well, anyhow, sekarang saya telah mencoba lebih memperdalam keimanan Katolik saya dengan memperluas paradigma dan kausalitas yang lebih universal. Sehingga saya lebih dapat merasa benar-benar nyaman ketika berhadapan dgn fenomena atau prinsip atau bahkan hanya ritual yang berbeda, sebab saya tidak lagi mengukurnya dengan besaran & fungsi-fungsi Panduan tadi.
Hal ini, secara mengejutkan membuat saya semakin nyaman dan percaya akan kebesaran Tuhan melalui ajaran & iman Katolik-nya yang telah mem-“fasilitasi” saya untuk dapat melakukan “pengembaraan iman” ini.
Sementara saya melihat, ada beberapa kelompok ajaran yang “kurang beruntung” sebab pemahaman dan interpretasi akan dogma-nya telah “dipagari” dan bila keluar dianggap bersalah.
Sekali lagi terima kasih atas masukannya, dan saya amat menghargai corak & intensitas keintiman setiap individu dengan Tuhannya yang amat bervariasi.
Yang paling esensial adalah, ditemukannya rasa kedamaian, kenyamanan & cinta kasih dalam perjalanan hidup “si domba” masing-masing.
Saya amat terbuka untuk diberikan pencerahan lagi, & selalu ingin belajar.
Salam.
Shalom Paulus Prana,
Sebagai umat Katolik kita memang selayaknya memperdalam iman dan memperluas cara pandang kita, namun bukan berarti hal itu membuat kita meninggalkan kebenaran yang diajarkan oleh Gereja Katolik. Saya kurang paham dengan perkataan anda, “memperdalam keimanan Katolik saya dengan memperluas paradigma dan kausalitas yang lebih universal.” Karena kalau anda memperluas paradigma di luar ajaran Gereja Katolik, atau malah akhirnya tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik, maka sebenarnya paradigma itu adalah pandangan anda pribadi, dan selayaknya anda tidak mengatakannya bahwa paradigma itu adalah ajaran iman Katolik.
Bagi umat Katolik, iman mempunyai dimensi obyektif dan subyektif. Silakan anda membaca jawaban saya di sini tentang iman, silakan klik. Maka, iman itu bukan soal perasaan nyaman atau tidak, tetapi soal apakah benar atau tidak. Manusia dapat merasa “nyaman/ damai”, untuk menerima suatu pandangan yang sesuai dengan kehendaknya sendiri; namun jika ini tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, maka Tuhan dapat mendorongnya untuk meninggalkan “kenyamanan” yang sementara ini untuk menerima kebenaran yang sesungguhnya, yang memberikan damai yang bersifat kekal selamanya.
Keinginan untuk terus menggali dan memahami kebenaran adalah dorongan Roh Kudus, dan selanjutnya, mari memohon agar Roh Kudus juga membantu kita untuk menyikapi kebenaran yang disampaikan kepada kita melalui Kitab Suci dan Tradisi Suci. Diperlukan kerendahan hati untuk terus belajar, agar kita tidak berpuas dengan pandangan sendiri, tetapi untuk mau mempelajari apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik, yang telah diberi kuasa oleh Tuhan Yesus untuk mengajar umat-Nya.
Semoga semangat kerendahan hati selalu ada pada kita yang adalah murid- murid Kristus, sehingga Roh Kudus dapat menghantar kita kepada seluruh kebenaran (lih. Yoh 16:13).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Hi Bu Ingrid,
Agar tidak miskomunikasi, perlu sy jelaskan bahwa:
a. saya amat percaya bahwa iman adalah privat, sehingga tidak bermaksud untuk mempengaruhi / menjustifikasi / mem-falsifikasi pendapat-pendapat yang ada di forum ini.
b. saya hanya ingin share pengalaman iman saya, sebagai referensi bagi siapapun yang membacanya, tanpa pretensi apapun.
Dari komen ibu, saya hanya meluruskan beberapa point:
1. IMHO, saya selalu kembali pada asumsi dasar bahwa:
a. Manusia sepandai apapun & se-diberkati apapun tetaplah Tidak Mampu comprehend 100% kehendak Tuhan (menyamai kepandaian / keagungan Tuhan)
b. Andaikata mampu-pun, dalam proses diseminasi informasi & faith tsb pasti mengalami reduksi / distorsi yang dapat berasal dari:
(1) interface yang tidak 100% kompatibel antara penyampai pesan dengan penerima pesan
(2) penerima pesan (umat kebanyakan) yang hampir pasti sub-consciously mereduksi informasi tsb sesuai dengan tingkat pemahaman & interpretasinya
c. Sampai kapanpun, dengan panduan bagaimanapun, manusia Tidak Akan Pernah berhasil 100% memahami (apalagi implementasi) kehendak & ajaran Nya secara komprehensif (Misteri Illahi). Yang terjadi adalah Never-Ending Effort for a Better Quality of Life.
2. Sehingga, menurut saya, Manusia harus dengan rendah hati berpendapat:
a. memperluas paradigma / value-value lain, yang per-hari-ini “dikategorikan” diluar / tidak sesuai ajaran Gereja, adalah Belum Tentu Tidak Sesuai Iman Katolik, sebab bukankah kita belum mampu comprehend 100% ajaran Tuhan / Yesus?
Bisa jadi, nilai-nilai itu sebenarnya juga terkandung di ajaran Katolik, hanya belum ter-eksplor atau mampu dipahami atau karena sebab lain.
b. Saya tidak berani menyatakan bahwa suatu Nilai tertentu itu Termasuk / Tidak Termasuk dalam ajaran Katolik, sebab walau dengan referensi atau dokumen eklesiastik apapun, interpretasi kita (manusia) tetap belum mampu menjustifikasi / falsifikasinya. Biarlah Tuhan yang menjudge di hari akhir kita.
c.Iman bagi saya adalah pengalaman hidup. Sangat analogis dengan ketika kita sekolah.
Ketika kita lulus S1 dengan Cum Laude, artinya kita telah menguasai ilmu itu dengan amat baiknya, sehingga kita merasa punya referensi yang memadai untuk menjawab masalah bidang keilmuan kita.
Ketika kita lanjut ke S3 atau bahkan riset Post-Doc, ternyata baru kita sadari bahwa ilmu yg kita pelajari di S1 (yg cum laude itu) ternyata hanyalah Secuil dibandingkan dengan Hal-Hal yang masih unexplored dan unanswered. Ternyata sebagian ilmu itu, sedang dichallenge kebenarannya oleh riset yang lebih maju, sebab ditemukan fakta-fakta baru yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Maka Saya jadi mahfum, ketika ngobrol dengan lulusan S1/S2 cum laude dari univ terkenal, mereka dengan yakinnya mengemukakan ilmu & argumentasinya, lengkap disertai dgn referensi literatur terbaru. Sebaliknya ketika ngobrol dengan para Bapak/Ibu peneliti, mereka dengan rendah hatinya bilang: “wah, ini saya belum tahu kebenarannya, sebab selama ini hanya merupakan konsensus keilmuan yang disepakati sedunia saja. Hal ini masih terus di challenge & diteliti kok..” Nah lho….
Walau demikian, mereka bukannya menganggap hal yang sudah ada hari ini sbg hal yang salah, dan lantas meninggalkan bidang ilmu-nya. Justru semakin yakin dengan bidang keilmuannya.
d. Roh Kudus bagi saya juga merupakan suara hati. Sehingga saya tidak mau membelenggu suara hati saya untuk dapat mengembara bebas di luar, yang siapa tahu memang jalan yang ditunjukkan oleh-Nya. We never know, and thus should not prejudge & constrain.
e. Kebenaran adalah suatu konsep yang maha luas, yang sedemikian kompleksnya diluar jangkauan akal budi manusia, sehingga diperlukan panduan-panduan untuk menujunya. Kita pun sadar bahwa panduan itu perlu diikuti, demikian pula hal-hal diLUAR panduan tersebut TIDAK dapat scara simplistik dianggap sebagai Ke-Tidak-Benar-an. Who are we, merely finite creatures, to define boundaries of Truth, while the Truth comes only from Him the infinite.
f. Kebenaran absolut adalah milik-Nya, sehingga selagi kita ada di dunia Fana ini, semua dogma, teks, value, ajaran, atau apapun yang merupakan Panduan bagi Manusia untuk menuju kebenaran, mau tidak mau, telah tereduksi absolusitas-nya sebagai hasil interpretasi manusia. Maka secara rendah hati, kita selayaknya open-minded, dan menyerahkan Judgment of Truth hanya kepada Tuhan ketika tiba waktu kita, instead of “playing God”.
3. Maka, sampai dengan hari ini:
a. Saya amat bersyukur telah memeluk iman Katolik, yang stidaknya dlm pandangan saya, menjamin suara hati saya untuk dapat terus mengembara, terus mempertanyakan segala hal, dan tidak “memagari” saya dengan dogma an-sich serta forced-interpretation of faith. Hal ini bagi saya justru semakin mengukuhkan iman saya.
b. Saya kebetulan telah mengalami beberapa fase pengembaraan iman, dan bersyukur bahwa Tuhan menuntun saya sampai hari ini. Besok pun seperti apa, saya tidak pernah tahu, sangat mungkin semua yang kita yakini hari ini ternyata SALAH besok kan?
Kita SEMUA tidak boleh ber PUAS DIRI dan merasa apa yang kita YAKINI sekarang sudah yang PALING BENAR, biarkan Tuhan membuka Suara Hati kita.
Mohon diingat: Kebenaran tidak berubah, tetapi manusia aja yang sering-sering tidak sadar sok yakin dengan keyakinan kita (baca: interpretasi atas kebenaran menurut kita), karena walaupun mengacu dari berbagai macam sumber kebenaran yg kredibel, tetapi mengabaikan FAKTOR KITA-nya (ya reduksi interpretasi itu).
c. Saya bersyukur Tuhan telah menciptakan keberagaman di dunia (kurang tahu ya kalau di surga / neraka gimana ya? belum pernah hehe..), terlepas dari itu merupakan Kehendak-Nya atau Bukan.
Sehingga tidak-perlu-lah kita mencari-cari justifikasi / falsifikasi komunitas yang berbeda dengan kita, dibandingkan dengan kita, dan celakanya menggunakan parameter kita. Ya, jelas gak nyambung, ibarat menilai kontes kecantikan kucing dengan parameter ikan hias.
Kok repot-repot amat ya.. mending kita repot-repot untuk dapat co-exist & bersinergi dengan semua elemen demi DUNIA yang LEBIH BAIK, yang kalau gak salah merupakan salah satu hal yang difirmankan Tuhan di kitab suci (manapun).
Wah, sudah terlalu panjang.. maaf dan terima kasih.
Terima kasih juga Ibu sudah repot-repot mau reply setiap kali saya comment. Very much appreciated.
Shalom Alaikhem.. may peace be upon us all.
Shalom Paulus Prana,
Sebenarnya menurut ajaran Gereja Katolik, iman itu tidak hanya bersifat privat ataupun subyektif, tetapi juga obyektif. Sebab demikian definisi iman menurut ajaran Gereja Katolik:
Maka, bagi kita umat Katolik, iman adalah bersifat obyektif dan subyektif. Obyektif karena iman bersumber dari kebenaran Allah yang bersifat universal, yang diwahyukan di dalam Kitab Suci dan Tradisi Suci; dan subyektif, karena iman merupakan kebajikan yang olehnya setiap orang setuju berpegang kepada kebenaran- kebenaran tersebut.
Obyektivitas iman Katolik juga disebabkan karena umat Katolik percaya akan otoritas yang mengajarkannya yaitu dari Tuhan Yesus sendiri melalui Magisterium Gereja Katolik. Katekismus mengajarkan:
KGK 88 Wewenang Mengajar Gereja menggunakan secara penuh otoritas yang diterimanya dari Kristus, apabila ia mendefinisikan dogma-dogma, artinya apabila dalam satu bentuk yang mewajibkan umat Kristen dalam iman dan yang tidak dapat ditarik kembali, ia mengajukan kebenaran-kebenaran yang tercantum di dalam wahyu ilahi atau secara mutlak berhubungan dengan kebenaran-kebenaran demikian.
KGK 89 Kehidupan rohani kita dan dogma-dogma itu mempunyai hubungan organis. Dogma-dogma adalah cahaya di jalan kepercayaan kita, mereka menerangi dan mengamankannya. Sebaliknya melalui cara hidup yang tepat, pikiran dan hati kita dibuka, untuk menerima cahaya dogma iman itu (Bdk. Yoh 8:31-32).
Berikut ini adalah tanggapan saya atas komentar anda:
1. Manusia tetap tidak dapat memahami 100 % kehendak Tuhan ataupun manyamai kepandaian Tuhan.
Ya, benar. Manusia tidak dapat memahami kehendak Tuhan dan misteri ilahi-Nya 100%. Oleh karena itu, manusia membutuhkan Gereja untuk membantunya memahami kehendak Tuhan; dan otoritas mengajar tersebut dipegang oleh Magisterium Gereja Katolik (Wewenang mengajar Gereja).
Maka dogma yang diajarkan oleh Magisterium Gereja Katolik merupakan terang yang menerangi kepercayaan umat beriman, dalam perjalanan mereka untuk memahami keseluruhan wahyu ilahi tentang misteri Kristus. Di dalam ajaran iman Katolik terdapat 234 kebenaran- kebenaran yang disusun berdasarkan pondasi iman Kristiani. Selengkapnya tentang urutan ini, silakan klik di sini. Ke 234 artikel/ dogma ini merupakan penjabaran artikel iman Katolik berdasarkan Kitab Suci dan Tradisi Suci.
Kebenaran yang diajarkan dalam ke 234 artikel iman itu disebut De Fide, artinya jika kita mengaku Katolik dan dibaptis Katolik, seharusnya kita menerima ke-234 artikel tersebut dengan iman yang total/ katolik, tanpa diperdebatkan lagi. Kerendahan hati untuk menerima kebenaran- kebenaran ini adalah bentuk ketaatan iman kepada Kristus, yang telah memberikan kuasa mengajar kepada para rasul-Nya, (lih. Mat 16:18) dan para penerus mereka sebab kita percaya bahwa tonggak dan dasar kebenaran adalah Gereja, yaitu jemaat Allah yang hidup (lih. 1 Tim 3:15).
Apakah dogma yang mencakup 234 artikel kebenaran ini sudah menyatakan seluruh misteri Tuhan 100%? Tentu tidak, sebab misteri Tuhan tidak terbatas. Tetapi apakah misteri Tuhan dapat lebih dipahami dengan dogma tersebut? Tentu jawabnya adalah: Ya.
2. Menurut anda, a) “manusia harus memperluas paradigma / value-value lain, yang per-hari-ini “dikategorikan” di luar / tidak sesuai ajaran Gereja, adalah belum tentu tidak sesuai iman Katolik, sebab bukankah kita belum mampu comprehend 100% ajaran Tuhan?
Bisa jadi, nilai-nilai itu sebenarnya juga terkandung di ajaran Katolik, hanya belum ter-eksplor atau mampu dipahami atau karena sebab lain.”
Saya tidak sepenuhnya setuju dengan pernyataan ini. Sebab walaupun kita boleh memperluas pandangan kita, kita tidak dapat saja mengambil suatu value yang bertentangan dengan ajaran yang sudah ditetapkan Tuhan melalui Gereja Katolik. Maka jika ada suatu value/ paradigma yang baru, selayaknya kita lihat dalam kerangka ke- 234 artikel iman di atas, yang sebenarnya juga tertuang dalam Katekismus Gereja Katolik. Apakah paradigma baru termasuk dalam ke 234 kebenaran tersebut? Jika belum, maka pertanyaan selanjutnya, apakah secara prinsip bertentangan atau tidak? Jika tidak, mungkin masih dapat didiskusikan, tetapi kalau bertentangan, kita mengetahui bahwa paradigma yang baru tersebut keliru, dan tidak perlu diperdebatkan lebih lanjut, jika kita masih ingin berpegang teguh pada iman Katolik kita.
Maka istilah meng- ‘eksplor’ ajaran iman Katolik dan memperluas pandangan juga sebaiknya dilihat dalam koridor ajaran yang sudah jelas diajarkan sebagai kebenaran yang tidak mungkin salah (infallible) dari Magisterium Gereja Katolik ini. Sebab jika tidak, tentu kita mempunyai resiko tersesat atau tidak mengetahui lagi mana yang benar dan mana yang salah, atau jatuh di dalam pandangan relativisme yang mengatakan kebenaran adalah sesuatu yang relatif. Hal ini malah bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik, yang jelas disampaikan dalam deklarasi Dominus Iesus, silakan klik.
b. Anda berkata, “Saya tidak berani menyatakan bahwa suatu nilai tertentu itu termasuk / tidak termasuk dalam ajaran Katolik, sebab walau dengan referensi atau dokumen eklesiastik apapun, interpretasi kita (manusia) tetap belum mampu menjustifikasi / falsifikasinya. Biarlah Tuhan yang menjudge di hari akhir kita.”
Hal ini juga perlu diperjelas, misalnya nilai/ value apa. Karena sebenarnya ajaran Gereja Katolik menurut dokumennya relatif cukup jelas dan obyektif, sehingga dapat kita tangkap esensinya. Seseorang yang mempunyai keterbukaan dalam membaca dan mempelajari dokumen- dokumen yang ada, sesungguhnya akan dapat menangkap maksudnya, tentang hal yang benar dan yang salah. Selanjutnya memang diperlukan kerendahan hati untuk menerimanya, dan untuk tidak berkeras dengan pengertian pribadi.
Maka menurut saya, kerendahan hati di sini bukan berarti menjadi tidak mempunyai sikap dalam menentukan mana yang benar dan yang salah, tetapi kelapangan hati menerima kebenaran yang disampaikan oleh Magisterium Gereja, dan melaksanakannya ataupun menyesuaikan paradigma kita dengan paradigma yang disampaikan oleh Gereja, karena kita percaya bahwa Roh Kudus- lah yang membimbing Gereja untuk mengajarkan hal tersebut kepada kita.
c. Anda berkata, “Iman bagi saya adalah pengalaman hidup. Sangat analogis dengan ketika kita sekolah….” Lalu anda membandingkan dengan studi S1, S2, dan S3; dan perilaku lulusan S1 dan S2 yang “sok pintar” dengan lulusan S3 yang “lebih rendah hati”.
Memang, saya juga setuju, bahwa semakin kita belajar, semakin kita mengetahui bahwa pengetahuan kita tentang sesuatu sesungguhnya sangat terbatas. Kita menjadi sadar bahwa masih banyak hal yang tidak kita ketahui. Namun, jangan pula dilupakan bahwa dari yang kita ketahui ada prinsip- prinsip dasar yang tetap berlaku; dan tidak semua hal merupakan sesuatu yang merupakan konsensus yang bisa di- challenge. Hal ini tidak saja berlaku dalam ilmu pengetahuan, tetapi juga dalam hal iman. Dengan perkataan lain, walau ada hal yang masih dalam perdebatan para theolog, namun tetaplah ada prinsip- prinsip yang telah diyakini sebagai kebenaran, yaitu yang termasuk dalam dogma (234 artikel iman di atas, silakan klik kembali) penjabaran Credo- Aku percaya yang juga dijabarkan di dalam Katekismus Gereja Katolik. Bagi kita umat Katolik, prinsip-prinsip inilah yang mestinya kita pelajari dan kita terima dengan rendah hati.
Maka jika anda menghubungkannya dengan lulusan S1, S2 atau S3 tersebut: Saya rasa kerendahan hati untuk mempelajari sesuatu, bukan tergantung dari sudah S3 atau belum seperti contoh yang anda berikan. Dalam hal penghayatan iman Katolik, itu tergantung dari sejauh mana ia secara pribadi memahami bahwa sebagai umat Katolik seharusnya ia taat kepada Magisterium dan jika mau meng- eksplor, silakan saja, namun tidak dapat keluar dari apa yang sudah ditetapkan oleh Gereja. Ibaratnya Magisterium telah memberikan ‘pagar’ yang melindungi umat-Nya agar dapat memahami iman mereka agar tak terpengaruh pandangan dunia yang tidak sesuai dengan ajaran Kristus.
Jika prinsip ini diterapkan, maka tak peduli lulusan SD ataupun S1, S2, S3 , jika ia setia dan taat kepada pengajaran Magisterium, maka seorang Katolik tidak akan menyatakan sesuatu artikel iman untuk diperdebatkan, jika itu sudah ditetapkan oleh Magisterium Gereja yang telah mendapat kuasa dari Kristus. Sebab kebenaran tersebut tidak akan diubah ataupun dinyatakan salah di kemudian hari; tetapi kebenaran inilah yang akan kita lihat penggenapannya secara sempurna di akhir jaman nanti.
d. Tentang suara hati
Benar, bahwa Roh Kudus bekerja dalam suara hati hati nurani kita. Konsili Vatikan II mengajarkan:
“Di lubuk hatinya manusia menemukan hukum, yang tidak di terimanya dari dirinya sendiri, melainkan harus ditaatinya. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan untuk menghindari apa yang jahat. Bilamana perlu, suara itu menggema dalam lubuk hatinya: jalankanlah ini, elakkanlah itu. Sebab dalam hatinya manusia menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum itu, dan menurut hukum itu pula ia akan diadili[16]. Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaan-Nya menggema dalam batinnya[17]…..Akan tetapi tidak jaranglah terjadi bahwa hati nurani tersesat karena ketidaktahuan yang tak teratasi, tanpa kehilangan martabatnya. Tetapi itu tidak dapat dikatakan tentang orang, yang tidak peduli untuk mencari apa yang benar serta baik, dan karena kebiasaan berdosa hati nuraninya lambat laun hampir menjadi buta.” (Gereja di dalam dunia modern, Gaudium et Spes, 16)
Maka, selain kita menyadari martabat hati nurani, kita juga harus menyadari bahwa suara hati itu juga terbentuk dari apa yang kita ketahui, dan dapat salah. Oleh karena itu, kita perlu untuk terus mempelajari ajaran iman kita, agar suara hati kitapun menjadi sesuai dengan kehendak Tuhan. Maka menurut Paus Yohanes Paulus II, demikianlah seharusnya kita menjaga hati nurani kita:
Namun demikian, selanjutnya Paus Yohanes Paulus II mengajarkan kita untuk mempunyai tanggung jawab untuk “membentuk hati nurani untuk menjadikannya sebagai tujuan dari sebuah proses pertobatan yang terus menerus kepada hal- hal yang sungguh-sungguh benar dan baik (Veritatis Splendor, 62, lih. Rom 12:2). Untuk pembentukan suara hati nurani ini, kita membutuhkan ajaran Gereja. Konsili Vatikan II mengajarkan:
Dengan demikian, jika kita mau terus berkembang di dalam iman, kita harus selalu memeriksa hati nurani kita, apakah sudah semakin sesuai dengan ajaran Gereja Katolik? Sebab kita percaya yang diajarkan oleh Gereja adalah hal-hal yang sungguh- sungguh baik dan benar, sesuai dengan kehendak Kristus.
e. Kebenaran itu Maha Luas: perlu panduan untuk menujunya
Anda berkata, “Kebenaran adalah suatu konsep yang maha luas, yang sedemikian kompleksnya diluar jangkauan akal budi manusia, sehingga diperlukan panduan-panduan untuk menujunya.”
Benar, Kebenaran yang adalah Kristus sendiri (Yoh 14:6) adalah sesuatu yang Maha luas, maka kita membutuhkan Magisterium Gereja untuk memandu kita. Umat Katolik yang tidak ingin mengikuti panduan Magisterium Gereja ataupun memilih- milih (pick and choose) ajaran sesuai dengan kehendak hatinya, sesungguhnya telah meletakkan pengertian pribadinya di atas kebenaran Kristus.
f. Kebenaran adalah absolut milik Tuhan?
Anda berkata, “Kebenaran absolut adalah milik-Nya, sehingga selagi kita ada di dunia Fana ini, semua dogma, teks, value, ajaran, atau apapun yang merupakan Panduan bagi Manusia untuk menuju kebenaran, mau tidak mau, telah tereduksi absolusitas-nya sebagai hasil interpretasi manusia. Maka secara rendah hati, kita selayaknya open-minded, dan menyerahkan Judgment of Truth hanya kepada Tuhan ketika tiba waktu kita, instead of “playing God”.
Benar bahwa pada Tuhan ada kebenaran absolut, namun jangan lupa bahwa Tuhan juga berkehendak “supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (1 Tim 2:4). Untuk inilah maka Tuhan Yesus mendirikan Gereja-Nya untuk menjadi tiang penopang dan dasar kebenaran (1 Tim 3:15). Maka walaupun Allah tidak terbatas oleh ajaran Gereja, namun kita tetap harus mengakui bahwa yang diajarkan oleh Gereja dalam hal iman dan moral (yang berkaitan dengan keselamatan) adalah kebenaran, sebab Kitab Suci mengajarkan bahwa Gereja adalah tonggak dan dasar kebenaran.
Yesus telah bersabda kepada Rasul Petrus bahwa Ia mendirikan Gereja-Nya atasnya (Mat 16:18) dan akan menyertai Gereja-Nya sampai akhir jaman (Mat 28:19-20) dan tidak akan membiarkan Gereja-Nya dikuasai alam maut (Mat 16:18). Maka menuduh bahwa Gereja dapat mengajarkan sesuatu yang salah ataupun hanya interpretasi manusia, itu sama saja merendahkan makna ajaran Kristus ini. Maka apa yang telah ditetapkan oleh Gereja Katolik secara definitif sebagai dogma, harus diterima dengan iman, dan dilaksanakan. Ini bukannya “playing God“, tetapi justru “obeying God“. Orang- orang yang cenderung membuat paradigma baru tentang iman yang tidak sesuai dengan ajaran Magisterium Gereja, malah yang beresiko “playing God“, sebab mereka membuat paradigma baru atas otoritas pribadi mereka sendiri, dan bukan atas otoritas yang diberikan oleh Kristus.
3. Tentang menjadi Katolik:
a. Ya, salah satu ciri khas dari ajaran iman Katolik memang adalah menghormati suara hati/ hati nurani manusia.
b. Memang hidup ini adalah proses pertumbuhan iman. Memang benar kita dapat mengalami bahwa apa yang kita yakini sebelumnya ternyata salah/ keliru. Namun sekali lagi, peran otoritas yang menentukan salah dan benar di sini adalah sangat penting. Dan jika kita sungguh ingin mengikuti kebenaran, adalah lebih baik untuk mengikuti ajaran Gereja, ketimbang mencari pengertian sendiri berdasarkan pengembaraan rohani yang terpisah dari ajaran Gereja. Pengembaraan yang demikian dapat beresiko menjauh dari kebenaran daripada semakin mendekati dan mendalami kebenaran itu sendiri.
Maka benar kita tidak boleh berpuas diri, dalam hal iman, namun juga bukan berarti bahwa kita tidak berani mengakui kebenaran yang diajarkan oleh iman kita ataupun kita begitu saja mengambil nilai- nilai yang bertentangan dengan iman Katolik.
c. Ya, kita harus mensyukuri keberagaman yang ada di dunia. Keberagaman ini harus digunakan untuk saling melengkapi di dalam kesatuan. Jika kita percaya kepada Kristus, maka kita juga seharusnya percaya bahwa Kristuslah yang akan mempersatukan segala keberagaman di dunia ini, sebab dikatakan demikian,
“Ia [Kristus] ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia. Ialah kepala tubuh, yaitu jemaat…. Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia, dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus…. Sebab itu kamu harus bertekun dalam iman, tetap teguh dan tidak bergoncang, dan jangan mau digeser dari pengharapan Injil, yang telah kamu dengar dan yang telah dikabarkan di seluruh alam di bawah langit…” (Kol 1: 17-23)
Anda benar, sebagai umat Katolik, kita dapat melihat bagaimana Gereja Katolik merangkul bermacam bangsa dan budaya, tanpa bermaksud untuk menyeragamkan semuanya. Namun kita juga melihat ada aturan- aturan tertentu yang diterapkan sama di manapun, hal ini tidak saja terlihat di dalam liturgi dan sakramen, namun di atas semua itu adalah keseragaman doktrin, yang mempersatukan Gereja Katolik selama 2000 tahun lebih.
Demikianlah, Paulus, yang dapat saya tuliskan menanggapi komentar anda. Saya ingin mengakhirinya sampai di sini, karena saya rasa kita masing- masing sudah menyampaikan argumen kita masing- masing. Sebagai umat Katolik, saya tetap teguh berpegang bahwa iman adalah sesuatu yang obyektif dan subyektif. Agaknya kita harus bijak untuk menerapkan kedua dimensi iman ini. Justru karena iman bersifat obyektif, maka kita harus terus mempelajari ajaran- ajaran Gereja dan berkewajiban untuk membagikan pengetahuan ini kepada orang- orang di sekitar kita terutama keluarga; sedangkan karena iman juga bersifat subyektif, maka kitapun harus mengusahakan pertumbuhannya dalam diri kita sendiri dan kita tidak dapat memaksakannya kepada orang lain.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Yth Bu Ingrid,
Terima kasih atas penjelasannya dan kesempatan yg diberikan kpd saya untuk mengemukakan opini & keterbatasan pengetahuan saya ini.
Saya rasa kita sepakat bahwa dengan argumen masing-masing kita memiliki pemahaman yang tidak sepenuhnya sama ya bu.
Ini juga sekali lagi menegaskan BETAPA INDAHNYA PERBEDAAN itu ya.
Bayangkan jika semua orang pemahamannya seragam ya Bu, what a dull life it will be, dan barangkali banyak orang akan merasa kehilangan tujuan hidupnya.
Mari kita terus berkarya bagi manusia dan alam semesta yang lebih baik.
Salam,
Shalom Paulus,
Memang perbedaan itu indah, namun bukan berarti kesatuan tidak indah. Kesatuan dalam perbedaan itu jauh lebih indah. Kita sebagai umat Katolik mempunyai kewajiban untuk mempelajari iman kita, dan inilah sebenarnya yang kami usahakan di dalam situs ini; yaitu untuk dapat sampai kepada pengenalan akan Kristus dan ajaran-Nya yang mempersatukan kita manusia. Sebagai umat Katolik, kita sudah seharusnya taat kepada pengajaran Magisterium Gereja Katolik; sebab jika tidak, maka sesungguhnya kita termasuk orang yang memilih- milih sendiri ajaran sesuai dengan keinginan dan pemahaman kita dan menempatkan pemahaman diri sendiri di atas pengajaran Magisterium yang telah diberi kuasa mengajar oleh Kristus. Ajaran Magisterium yang sudah saya paparkan di atas, itu sudah sangat jelas, dan sebenarnya tidak perlu kita membuat pemahaman pribadi yang tidak sesuai dengan yang disampaikan itu.
Saya sudah menutup diskusi ini Paulus. Maka saya mohon maaf, apapun komentar anda setelah ini sehubungan sub topik ini tidak dapat saya tayangkan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
shalom ibu inggrid,
Jika agama2 lain tersebut merupakan persiapan Injil dan karunia Tuhan, lalu bagaimana dengan agama yang muncul setelah agama katholik? dengan pemahaman tersebut umat agama lain tersebut dapat mengklaim bahwa agama kita merupakan suatu “persiapan” untuk agama mereka (mereka mengklaim diri sebagai agama yang paling sempurna karena diturunkan terakhir)
menurut gereja katholik, bolehkah anggapan bahwa agama lain juga merupakan jalan keselamatan?
Shalom Maria,
Maksud Katekismus yang mengatakan,
adalah bukan berarti persiapan itu harus dihubungkan dengan agama- agama yang sudah ada sebelum Kristus. Yang diajarkan di sini adalah bahwa Gereja Katolik mengakui bahwa agama- agama non Kristiani juga mencari Allah, walaupun pengenalan mereka tentang Allah merupakan “bayang-bayang dan gambaran” sebab mereka tidak mengenali Kristus sebagai Allah Putera yang diutus oleh Allah Bapa dengan kuasa Roh Kudus, untuk menyelamatkan manusia.
Maka maksud “persiapan” di sini tidak untuk diartikan sebagai “yang terjadi lebih dulu pasti mempersiapkan yang lebih akhir”, namun adalah nilai kesempurnaan kebenaran dalam ajaran Injil itulah yang merupakan kepenuhan kebenaran yang sesungguhnya dicari oleh semua manusia, dari agama apapun. Maka ajaran- ajaran yang baik yang sudah diajarkan oleh agama lain, itu sebenarnya merupakan persiapan bagi mereka, jika mereka menghendakinya, untuk menerima kepenuhan kebenaran ajaran Kristus. Hal ini misalnya dilihat dari ajaran mengasihi yang sudah diajarkan oleh semua agama, namun kepenuhan/ kesempurnaannya kita lihat di dalam Kristus yang demi kasih-Nya kepada Allah Bapa dan kita manusia, rela menyerahkan nyawa-Nya demi menyelamatkan kita.
Maka memang Gereja Katolik tidak mengajarkan bahwa semua agama sama saja. Silakan membaca dokumen deklarasi CDF Dominus Iesus, silakan klik, atau yang penjelasan/ ringkasannya sudah saya tuliskan di artikel ini, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Dear Bu Ingrid,
Kalau tidak salah di Kitab Kejadian ada disebutkan bahwa yang makan pohon kehidupan akan memperoleh kehidupan selama-lamanya. Dan kalau dihubungkan dengan Ekaristi, berarti Yesus adalah Pohon Kehidupan? Karena kita memakan “Tubuh dan Darah-Nya” sehingga kita diselamatkan (memang sih patokan keselamatan bukan Ekaristi saja).
Mohon konfirmasinya apakah kita sebagai umat Katolik bisa menyebutkan Yesus sebagai Pohon Kehidupan?
Shalom Hyena,
1. Pohon kehidupan yang disebutkan di dalam kitab Kejadian 2:9; 3:22 maksudnya adalah pohon yang dari buahnya dapat memberikan akibat karunia preternatural , yaitu immortality, dalam arti manusia (Adam dan Hawa) dapat memperbaharui kekuatannya dan tenaga masa mudanya, sehingga dapat terus hidup. Karunia tidak dapat mati (immortality) ini memang diberikan oleh Allah kepada Adam dan Hawa sebelum mereka jatuh ke dalam dosa.
Sedangkan pohon yang dilarang oleh Tuhan untuk dimakan buahnya adalah pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Maksud dari pohon pengetahuan itu, sudah pernah saya jawab di sini, silakan klik.
2. Menurut hemat saya, jika anda ingin menghubungkan dengan Ekaristi maka lebih tepat jika anda menggunakan istilah Roti Hidup, seperti yang dikatakan oleh Yesus sendiri di dalam Yoh 6: 35, 48.
Sebab ‘pohon kehidupan’ dalam banyak ayat lainnya dalam Kitab Suci tidak mengacu secara spesifik kepada Yesus.
Misal, dalam:
Ams 3:18, pohon kehidupan merupakan perumpamaan orang yang mendapat hikmat.
Ams 11:30, pohon kehidupan adalah hasil orang benar.
Ams 13:12, pohon kehidupan adalah keinginan yang terpenuhi.
Ams 15:4, pohon kehidupan adalah lidah yang lembut.
Demikian semoga keterangan ini berguna bagi anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Salam Damai Kristus,
Saya ingin menanyakan ttg pasangan anak2 Adam & Hawa,sbb setelah mereka terusir dari Surga ke dunia mereka mempunyai anak yaitu Kain & Habil. Tapi darimana Kain & Habil memperoleh pasangan sbb tentunya di dunia belum ada manusia yang lainnya?
yang kedua,mengapa Allah tidak memperbolehkan Adam & Hawa memakan buah kuldi?Bukankah manusia ciptaan-Nya yang paling dicintai.
Dan sejak kapan Gereja yang diciptakan Yesus melembaga menjadi sebuah agama?
Shalom Thomas Windu,
1. Adam dan Hawa tidak hanya memiliki 2 anak (Kain dan Habel), tetapi juga Set dan anak-anak laki-laki dan perempuan (Kej 5:4) yang jumlahnya dan namanya tidak dituliskan di Alkitab. Maka pada saat itu memang terjadi pernikahan antar saudara, yaitu antara anak-anak Adam dan Hawa, walaupun kemudian setelah jumlah umat manusia berkembang, hal ini tidak lagi diperbolehkan (lih. Im 18:6).
2. Manusia tidak diperkenankan oleh Allah untuk memakan buah pohon pengetahuan tentang yang baik dan jahat (Kej 1:16). Ini adalah untuk mengajarkan kepada manusia, bahwa hukum moral untuk menentukan hal baik dan jahat itu adalah hak Allah, dan manusia tidak dapat menentukannya sekehendak hatinya. Manusia modern dewasa ini juga terjebak ke dalam kesalahan yang sama, saat mereka mau menentukan sendiri hal-hal seperti aborsi, perkawinan sesama jenis, euthanasia, kontrasepsi, korupsi, pornografi, dst, yang seolah-olah mau menentukan sendiri hal yang baik dan buruk dalam kehidupannya. Maka jika Allah melarang manusia untuk menentukan hal yang baik dan buruk tersebut, itu karena besarnya kasih-Nya kepada manusia, dan bukannya karena ingin melarang tanpa alasan.
Sebab Allah Pencipta yang Maha- Tahu, mengetahui yang terbaik bagi manusia, dan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut tidak sesuai dengan hukum kodrat dan hukum Allah, maka akan mendatangkan akibat yang negatif, bagik bagi dirinya sendiri maupun masyarakat.
3. Gereja memang resmi didirikan oleh Yesus pada hari Pentakosta saat Roh Kudus dicurahkan ke atas para rasul. Sejak saat itu, murid-murid Yesus melanjutkan misi Kristus untuk menyebarkan Injil ke seluruh dunia/ ujung bumi (Kis 1:8). Maka yang didirikan Yesus adalah Gereja, yang didirikan-Nya atas dasar Rasul Petrus (Mat 16:18). Keberadaan Gereja pada Perjanjian Baru ini telah dipersiapkan dan sesungguhnya menjadi kesatuan dengan keberadaan bangsa pilihan pada masa Perjanjian Lama. Dengan mellihat sejarah manusia, maka kita melihat bahwa memang terdapat kecenderungan manusia untuk mngikat dirinya kepada Tuhan Sang Pencipta, dan inilah yang menjadi pengertian dasar dari agama. Dan karena ajaran Yesus yang diteruskan oleh Gereja-Nya mensyaratkan juga tanggapan dari para pengikut-Nya, maka di sinilah terdapat alasannya mengapa Gereja kemudian dengan sendirinya melembaga menjadi sebuah agama (religion).
St. Agustinus mengajarkan, “Religion binds us [religat] to the one Almighty God.” (Reractions, I xiii). St. Thomas Aquinas seperti Lactantius mengajarkan, “Agama dalam arti paling sederhana adalah pengertian menjadi terikat kepada Allah; pandangan yang sama pada kata agama dalam arti khusus, seperti yang diterapkan di dalam kehidupan tentang kemiskinan, kemurnian dan ketaatan di mana orang- orang secara sukarela mengikatkan diri mereka dengan kaul/ janji yang khidmat….. ” Agama adalah sebuah kebajikan, sebab agama adalah sebuah tindakan kehendak yang mencondongkan manusia untuk melaksanakan aturan yang benar, yang timbul dari ketergantungannya dengan Tuhan…. “Kebajikan yang mendorong manusia untuk memberikan kepada Tuhan penyembahan dan penghormatan yang menjadi hak Tuhan.” (Summa Theologica, II-II, q.81, a.1).
Maka secara umum agama berarti ketaatan sukarela seseorang kepada Tuhan yang diyakini sebagai sebagai “Pribadi” yang ilahi yang mempunyai kuasa atas hidup manusia, dan menjadi akhir hidup manusia. Selanjutnya tentang agama/ religion ini, silakan anda membaca di link ini, silakan klik.
Semoga keterangan di atas dapat berguna.
Salam kasih dalam Kirstus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Salam Damai Kristus’
Dalam tanggapan Bu Inggrid dikatakan bahwa : “Maka secara umum agama berarti ketaatan sukarela seseorang kepada Tuhan yang diyakini sebagai sebagai “Pribadi” yang ilahi yang mempunyai kuasa atas hidup manusia, dan menjadi akhir hidup manusia.”begitu juga dalam Summa Theologica, II-II, q.81, a.1 :” Agama adalah sebuah kebajikan, sebab agama adalah sebuah tindakan kehendak yang mencondongkan manusia untuk melaksanakan aturan yang benar, yang timbul dari ketergantungannya dengan Tuhan…. “Kebajikan yang mendorong manusia untuk memberikan kepada Tuhan penyembahan dan penghormatan yang menjadi hak Tuhan.”
Namun ada orang yang tidak beragama tapi percaya akan Tuhan YME semisal kepercayaan Kejawen, juga mempunyai keyakinan yang sama dengan arti agama tersebut di atas. Dan mereka tidak mau disebut agama. Sehingga timbul pertanyaan apa yang membedakan secara jelas antara agama dengan kepercayaan tersebut?
Ada timbul pendapat yang mengatakan bahwa agama kadang malah membelenggu orang/manusia untuk langsung berhubungan dengan Tuhan Pencipta. Terlalu mengagungkan dan mencintai agamanya sehingga lupa akan Allah yang menjadi tujuan akhirnya.misal: perang atau konflik yang disebabkan alasan agama, terorisme fundamentalis dengan klaim kebenaran agamanya sendiri atau menitikberatkan ke kuantitas/jumlah pemeluknya daripada kualitas pemeluknya.
Dalam tanggapan lain ttg bermacam-macam agama, Bu Inggrid menjawab: “Dengan demikian Gereja memandang segala sesuatu yang baik dan benar yang terdapat pada mereka (agama-agama lain) sebagai “persiapan Injil dan sebagai karunia Dia, yang menerangi setiap orang, supaya akhirnya memperoleh kehidupan.”
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemeluknya (agama-agama lain) tetap dapat menikmati Kasih Kristus di surga. maka perumpaan tentang Anak Sulung dan Anak Bungsu dalam Anak yang hilang mungkin dapat terjadi pada kita.
Padahal Yesus sendiri berkata : “Akulah Jalan Kebenaran dan Hidup, barangsiapa yang tidak percaya kepadaKu tidak akan datang kepada Bapa” (maaf jika saya salah kutip ayat tersebut).
Jadi ada kontradiksi disini. Mohon penjelasannya Bu Inggrid.
Terimakasih,
Thomas
Shalom Thomas,
Mungkin perlu diketahui bersama, bahwa agama dibedakan menjadi dua katagori, yaitu natural dan supernatural. Agama natural adalah penyerahan/ ketaatan diri seseorang kepada Tuhan, yang didasari oleh pengetahuan akan Allah, dan tugas-tugas moral dan religius yang dimengerti oleh pemikiran manusia yang diperolehnya dari kekuatannya sendiri. Ini dapat termasuk pemikiran tentang Allah yang disesuaikan dengan keteraturan alam/ kodrat (natural order). Sedangkan agama yang supernatural itu berada di luar kodrat; mengajarkan tujuan akhir manusia di tingkatan supernatural, yang diberikan secara cuma-cuma kepada manusia, yaitu persatuan dengan Tuhan melalui rahmat pengudusan. Hal ini mulai dicapai dengan tidak sempurna di dunia dan dipenuhi dengan sempurna di surga. Maka sumber agama supernatural adalah dari Tuhan sendiri yang mewahyukan Diri-Nya (Wahyu Ilahi). Melalui Wahyu Ilahi ini manusia mengetahui tujuan akhir hidupnya, dan cara-cara yang ditentukan Allah untuk menuju ke sana. Maka ketaatan seseorang kepada Tuhan, berdasarkan atas pengetahuan iman akan tujuan akhir dan caranya dan yang ditumbuhkan oleh rahmat Tuhan, disebut sebagai agama yang supernatural.
Dengan pengertian ini, maka segala aliran kepercayaan, ataupun animisme dan dinamisme termasuk dalam katagori agama natural. Dapat saja, mereka sampai kepada pengertian tentang Tuhan, namun dapat dikatakan aliran kepercayaan ini tidak mendasari kepercayaan mereka pada Wahyu Ilahi (yang diwahyukan Allah), sehingga pengetahuan mereka tentang Allah tidaklah lengkap. Namun dari pengetahuan yang tidak lengkap ini, tetap saja ada yang dapat dikatakan sebagai ‘sesuatu yang baik’ dalam kepercayaan mereka, seperti mereka mengakui adanya kekuatan ilahi di atas manusia, mereka mengakui adanya kekuatan baik dan jahat, mereka mengakui bahwa manusia dapat memilih yang baik, dst. Itulah sebabnya Gereja Katolik mengakui segala yang baik ini sebagai “persiapan Injil” (Lumen Gentium 16, Nostra Aetate 2, Evangelii Nuntiandi 53; KGK 843) dan bahwa jika seseorang dengan hati tulus terus mencari Allah, maka ia dapat sampai pada kebenaran, yang kepenuhannya terdapat di dalam Gereja Katolik, yang menjaga kemurnian ajaran Yesus dan ajaran para rasul sampai sekarang.
Maka ini tidak bertentangan dengan ayat Yoh 14: 6, di mana Yesus mengatakan bahwa “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Sebab memang keselamatan diberikan kepada manusia hanya melalui Tuhan Yesus. Jika anda belum membaca, silakan anda membaca artikel ini, silakan klik, karena saya rasa tulisan tersebut mungkin dapat menjawab pertanyaan anda perihal keselamatan ini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
sampai sekarang kalau ditanya agama, saya jawab agama katolik. tapi dalam setiap kesempatan formal dan informal, baik didalam atau diluar gereja, saya lebih suka mengatakan sebagai anggota GEREJA KATOLIK… dengan demikian saya lebih merasa anggota tubuh mistik Kristus.
semoga kita kembali dalam kekudusan…
komentar sedikit tentang romo Tony de mello,
saya banyak membaca tulisannya,dan gimana ya….?
tulisan kontemplatif sih,
sehingga membutuhkan pengendapan yang cukup mendalam agar mampu menangkap maksudnya.
Namun dari yang saya tangkap,tulisan beliau mengarah pada ke universalan,
dan sekilas memang bisa bias,
tapi saya rasa,beliau tetap lah Khatolik,meski memang ada beberapa tulisan yang seolah mengkritik,tapi sebenarnya mungkin beliau mengajak kita semua agar barani melihat ke depan,bahwa Gereja Yesus Kristus itu terus bertumbuh,dan dalam pertumbuhan itu tentu ada beberapa hal yang mesti mengalami penyesuaian.
Saya pernah membaca tulisan salah satu pastor yang menekan kan pada EENS dengan gaya bahasa yang…maaf,bagi saya yang berlatar belakang budaya Jawa koq agak gimana gitu.
Ibarat pakaian saat dulu kita anak anak dengan sekarang,tentu ukurannya juga akan mengalami penyempurnaan…Ecclesia Semper Reformanda.
Demikian,semoga dalam Berkat Tuhan.
Shalom PIH,
Terima kasih atas tanggapannya tentang Anthony de Mello. Tulisan Anthony de Mello bukan hanya masalah universalism. Yang menjadi masalah dari tulisan beliau adalah konsep Kristus sebagai Juru Selamat direduksi menjadi Tuhan yang tanpa bentuk, tanpa pribadi, sehingga dapat menjurus kepada Tuhan yang kosong. Kekristenan adalah agama yang bersumber pada sosok Yesus. Tanpa Yesus, orang tidak dapat menyebut dirinya sebagai pengikut Kristus. Yesus adalah sebuah pribadi, sungguh Allah sungguh manusia, yang masuk dalam sejarah manusia, yang dicatat di dalam sejarah manusia, yang mempunyai sosok yang nyata. Oleh karena itu, mereduksi Yesus, satu-satunya yang dapat memberikan keselamatan kepada sosok yang tanpa bentuk dan pribadi, menjadi bertentangan dengan iman Katolik.
Sebenarnya, kebenaran yang dinyatakan dalam dogma tidaklah berubah. Yang berubah adalah bagaimana membuatnya menjadi semakin jelas dan disajikan sedemikian rupa, sehingga dapat dimengerti. Dan ini berlaku juga untuk dogma EENS. Yang menjadi tantangan adalah menyampaikan kebenaran secara pastoral tanpa mengaburkan kebenaran itu sendiri.
Mengenai Ecclesia semper reformanda (Gereja selalu diperbaharui) juga harus dimengerti dengan benar, karena perubahan dan pembaharuan bukanlah merombak segala tatanan yang ada. Kita dapat memperbaharui managerial dari Gereja dari sisi institusi, orang-orang yang terlibat di dalamnya. Namun, kita tidak dapat merubah sakramen dan gereja sebagai "end" – ekaristi, kekudusan, gereja yang tak kelihatan, dll. Konsili Vatikan II adalah contoh perubahan yang benar, yaitu dengan semangat aggiornamento (updating) dan ressourcement (kembali ke sumber). Pada saat kita ingin mengadakan pembaharuan, maka pada saat yang sama kita harus melihat ke belakang, serta melihat warisan iman yang telah ada. Kalau dua hal ini dipegang, maka kebenaran tetap berakar pada tradisi dan sumber yang benar, namun dapat dipresentasikan sesuai dengan perkembangan jaman. Pada akhirnya, seperti yang dikatakan oleh Cardinal Ratzinger, pembahuan di dalam Gereja Katolik tidak ada sesuatu yang baru, karena pembaharuan yang paling efektif adalah dengan cara hidup kudus, hidup menurut pengajaran yang ada, serta mengasihi Tuhan dan sesama atas dasar kasih kepada Tuhan.
Mari kita bersama-sama memperbaharui Gereja dari dalam, dengan cara hidup lebih kudus.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Syalom,
Saya telah menjadi Katolik sejak bayi,namun ada beberapa pertanyaan yang kadang membuat saya agak tidak perduli akan agama walau saya masih mengimani Yesus Kristus sebagai Tuhan dan mencoba untuk hadir ke Gereja setiap hari Minggu.
1. Kenapa Tuhan mengijinkan adanya agama dan bermacam-macam pula.Bukankah Yesus hadir untuk mengajarkan Ajaran Cinta Kasih dan mendirikan Gereja bukan membuat agama?
2. Kenapa Allah mengijinkan setan memperdaya Adam dan Hawa sehingga menjadi berdosa,bukankah Allah begitu mencintai manusia ciptaan-Nya?
3. Mengapa Allah menciptakan manusia dan alam semesta beserta isinya.Apakah maksud sebenarnya dari karya Penciptaan Allah tesebut?
4. Saya pernah membaca beberapa buku karangan Anthony de Mello SJ.Namun setelah membaca buku-buku tersebut saya makin penasaran akan arti keberadaan agama. Menurut anda,apakah isi buku-buku tersebut masih sesuai dengan ajaran Katolik?
Demikian beberapa pertanyaan saya,mohon bimbingan dan penjelasannya. GBU.
Thomas
[Dari Admin Katolisitas: Pertanyaan anda sudah dijawab di sini, silakan klik]
Comments are closed.