Pendahuluan

Waktu saya tinggal di Amerika, saya sering berkebun dan menanam beberapa sayur-sayuran, seperti: kol, tomat, mentimun, paprika, dll. Penanaman ini mulai dari pot kecil-kecil, yang kemudian diisi dengan biji-biji sayuran yang diinginkan. Kemudian biji-biji tersebut dijaga kelembabannya, sehingga berakar dan berkembang menjadi tunas-tunas. Setelah agak besar, tunas-tunas tersebut dipindahkan ke kebun. Di kebun inilah tunas-tunas yang baru harus menghadapi begitu banyak tantangan, baik dari binatang – seperti burung maupun kelinci, dan yang paling berbahaya adalah dari tanaman-tanaman liar. Tanaman-tanaman liar inilah yang harus dengan teratur dibersihkan dan dicabut. Kalau sudah terlanjur besar dan memenuhi kebun, maka akan menghambat perkembangan sayur-sayuran, bahkan dapat membuat sayur-sayuran layu dan kemudian mati.

Kalau kita mencoba merefleksikan contoh di atas dengan kehidupan rohani kita, sebenarnya ada satu kemiripan. Tuhan memberikan biji dalam setiap hati manusia, yaitu kapasitas untuk mengetahui dan mengasihi Tuhan. Dan biji-biji ini bertumbuh menjadi tunas pada waktu kita menerima Sakramen Baptis. Dosa kita dihapuskan oleh Tuhan, dan kita berkembang menjadi suatu tunas yang merupakan gambaran Allah. Namun sama seperti tunas yang ditaruh di dalam kebun dan menghadapi tantangan dari tanaman-tanaman liar, setelah menerima Sakramen Baptis, kita juga harus menghadapi begitu banyak kejadian di dunia ini, yang seringkali bertentangan dengan ajaran Kristus. Tanaman liar yang membesar adalah dosa berat dan tanaman liar yang masih kecil-kecil adalah dosa-dosa ringan yang kita lakukan setelah kita dibaptis. Untuk mencabut dosa sampai ke akar-akarnya, Yesus sendiri sudah menyediakan rahmat pengampunan yang mengalir di dalam Sakramen Pengakuan Dosa. Kalau kita mengakukan dosa kita pada waktu dosa belum berakar dan menyebar, maka dengan mudah dosa akan dicabut sampai keakar-akarnya. Untuk inilah, maka diperlukan pengakuan dosa secara teratur.

Jadi apakah Sakramen Pengakuan Dosa?

Dari tujuh sakramen Gereja, 3 yang pertama – Baptis, Ekaristi, Penguatan – adalah sakramen inisiasi yang menjadi sakramen-sakramen dasar bagi kehidupan orang Kristen ((KGK, 1212)), dimana kita dipersatukan oleh Yesus di dalam Tubuh-Nya yang kudus. Kemudian Sakramen Perkawinan dan Imamat, adalah sakramen yang memberikan kita kekuatan untuk menjalankan misi di dunia ini dalam mencapai tujuan akhir, yaitu Kristus. Dan dua sakramen yang lain adalah Sakramen Urapan Orang Sakit dan Sakramen Tobat, yang diperuntukkan untuk kesembuhan baik fisik maupun rohani. ((KGK, 1211))

Sakramen Tobat atau Pengakuan Dosa adalah sakramen yang diperuntukkan untuk memberikan berkat pengampunan dan kesembuhan dari Tuhan kepada anggota Gereja atas dosa-dosa berat dan ringan yang dibuat setelah menerima Sakramen Baptis. ((KGK, 1446))

Kalau kita renungkan, Sakramen Tobat ini sungguh merupakan berkat dari Tuhan untuk mengantar kita kepada keselamatan kekal. Tuhan, di dalam kebijaksanaan dan kasih-Nya mengetahui bahwa setelah kita menerima Sakramen Baptis, kita masih terus berjuang dalam mengatasi kelemahan-kelemahan kita akibat dosa asal, sehingga sesekali kita akan jatuh kembali kepada dosa yang berat. Untuk inilah maka Yesus menginstitusikan Sakramen Tobat untuk mempersatukan kembali umat Allah yang terpisah dari Allah karena dosa.

Mengapa mengaku dosa, kalau akhirnya juga berbuat dosa lagi?

Mungkin ada orang yang mengajukan keberatan, mengapa harus mengaku dosa, kalau toh kita juga akan melakukan dosa yang sama lagi. Atau orang mengatakan bahwa Sakramen Tobat adalah percuma, karena sama seperti anak yang bermain di lumpur, kemudian dibersihkan dan dimandikan, namun kemudian anak tersebuat bermain di lumpur lagi. Untuk menjawab pertanyaan ini ada beberapa prinsip yang harus kita pegang:

  1. Gereja Katolik tidak mengajarkan bahwa setelah dibersihkan, maka seorang anak boleh bermain lumpur lagi, namun justru melarang anak tersebut bermain lumpur. Dengan kata lain, setelah diberikan pengampunan dalam Sakramen Tobat, maka yang mengakukan dosa harus dengan kebulatan hati dan dibantu dengan rahmat Tuhan untuk memperbaiki kehidupannya dan tidak akan berbuat dosa lagi, seperti yang termuat dalam doa tobat. ((Kebulatan tekad untuk tidak berbuat dosa lagi tercermin dalam doa tobat yang harus diucapkan sebelum menerima absolusi. Dalam doa tobat dikatakan “Allah yang maharahim, aku menyesal atas dosa-dosaku. Aku sungguh patut Engkau hukum, terutama karena aku telah tidak setia kepada Engkau yang maha pengasih dan mahabaik bagiku. Aku benci akan segala dosaku, dan berjanji dengan pertolongan rahmat-Mu, hendak memperbaiki hidupku dan tidak berbuat dosa lagi. Allah yang mahamurah, ampunilah aku, orang berdosa. (Amin).))
  2. Namun anak itu akan bermain lumpur lagi setelah dibersihkan oleh ibunya. Bukankah ini percuma? Argumen seperti ini tidaklah mendasar. Hal ini sama seperti pernyataan “percuma makan, karena nanti juga lapar lagi.” Tentu saja orang tidak akan pernah memberikan pernyataan tersebut, karena tahu bahwa itu adalah pernyataan yang salah. Masalahnya adalah bukan pada Sakramen Tobat, namun pada manusia yang penuh dengan kelemahan. Sama seperti argumen di atas bahwa masalahnya bukan pada ibunya yang telah bersusah payah membersihkan anak itu, namun pada anak itu yang bermain lumpur lagi, walaupun sudah diperingatkan untuk tidak bermain lumpur lagi. Selama manusia masih mempunyai kehendak bebas, maka manusia masih bisa memilih untuk berkata tidak terhadap dosa, atau mengikuti kelemahannya dan berbuat dosa.
  3. Kalau begitu, sampai berapa kali anak yang bermain lumpur musti dibersihkan lagi, atau sampai berapa kali si pendosa musti diampuni di dalam Sakramen Tobat? Gereja Katolik menjalankan perintah Yesus yang dikatakan-Nya pada waktu Yesus menjawab pertanyaan rasul Petrus yang bertanya, sampai berapa kali dia harus mengampuni saudaranya yang berdosa kepadanya. Dan Yesus menjawab “Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali” (Mat 18:22). Dengan kata lain adalah tak terbatas. Memenuhi pesan Yesus inilah, Yesus memberikan pengampunan – yang dipercayakan kepada Gereja – dalam Sakramen Tobat yang dapat kita hampiri setiap saat.

Apakah elemen penting dalam Sakramen Tobat?

Pada dasarnya ada dua elemen penting di dalam Sakramen Tobat, yang terdiri dari: 1) tindakan dari Allah, dan 2) tindakan dari manusia. Tindakan dari Allah merupakan penggerak utama dalam Sakramen Tobat ((KGK, 1489)), sedangkan tindakan dari manusia adalah merupakan jawaban atau respon manusia terhadap tindakan Allah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kasih dan belas kasih Tuhan adalah penggerak pertama dan utama untuk pertobatan manusia. Kasih dan belas kasih Tuhan juga menjadi dasar kepercayaan bagi pendosa untuk mendapatkan pengampunan dalam Sakramen Tobat, yang diwakili oleh para pastor dengan memberikan pengampunan atau absolusi. Untuk memperjelas doktrin dan pengajaran tentang Sakramen Tobat, kita akan belajar dari pertobatan anak yang hilang.

Menggali Sakramen Tobat dari Perumpaan anak yang hilang (Luk 15:11-32).

Mari kita menelaah Sakramen Pengakuan Dosa berdasarkan apa yang dipaparkan dalam perumpamaan anak yang hilang (Lukas 15:11-23) ((KGK, 1439)), karena proses pengakuan dosa adalah sama seperti perumpaan anak yang hilang.

(11) Yesus berkata lagi: “Ada seorang mempunyai dua anak laki-laki. (12) Kata yang bungsu kepada ayahnya: Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku. Lalu ayahnya membagi-bagikan harta kekayaan itu di antara mereka. (13) Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya. (14) Setelah dihabiskannya semuanya, timbullah bencana kelaparan di dalam negeri itu dan iapun mulai melarat. (15) Lalu ia pergi dan bekerja pada seorang majikan di negeri itu. Orang itu menyuruhnya ke ladang untuk menjaga babinya. (16) Lalu ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi itu, tetapi tidak seorangpun yang memberikannya kepadanya. (17) Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. (18) Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, (19) aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa. (20) Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia. (21) Kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa. (22) Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. (23) Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersukacita. (24) Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersukaria. (25) Tetapi anaknya yang sulung berada di ladang dan ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar bunyi seruling dan nyanyian tari-tarian. (26) Lalu ia memanggil salah seorang hamba dan bertanya kepadanya apa arti semuanya itu. (27) Jawab hamba itu: Adikmu telah kembali dan ayahmu telah menyembelih anak lembu tambun, karena ia mendapatnya kembali dengan sehat. (28) Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia. (29) Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. (30) Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia. (31) Kata ayahnya kepadanya: Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. (32) Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.

Mari kita menelaah dan membandingkan antara ayat-ayat tersebut di atas dengan pengajaran dan proses Sakramen Tobat.

Dua anak laki-laki yang telah dibaptis (11)

Ada beberapa interpretasi tentang anak sulung dan anak bungsu. Dalam bukunya Catena Aurea, St. Thomas mengutip beberapa bapa gereja, seperti: St. Agustinus, St. Cyril dari Yerusalem yang mengatakan bahwa anak sulung dapat diartikan sebagai bangsa Israel, sedangkan anak bungsu adalah orang yang tidak mengenal Allah (the Gentile).

Namun kita juga dapat melihat dua anak laki-laki sebagai gambaran akan keadaan umat Allah yang telah dibaptis, yang dipersatukan dalam keluarga Allah, di dalam Tubuh Kristus, yaitu Gereja. Hal ini dikarenakan anak sulung dan anak bungsu tinggal bersama-sama dalam satu rumah, sama seperti orang yang dibaptis menjadi anak Allah dan juga menjadi anggota Gereja. Orang yang dibaptis telah mengalami kehidupan baru, diangkat dari lumpur dosa dan memperoleh berkat yang berkelimpahan dari Allah, yaitu menjadi anak Allah di dalam Kristus Yesus. (lihat artikel: sudahkah kita diselamatkan?)

Bagikanlah apa yang menjadi hakku (12-13)

Namun walaupun kita telah dibaptis, kita sering mengatakan kepada Allah “Saya tahu persis apa yang terbaik bagiku, berikanlah kebebasan kepadaku untuk memutuskan segala perkara yang terjadi di dalam hidupku sesuai dengan keinginanku tanpa campur tangan dari Allah.” Dan inilah yang membuat manusia berdosa, yaitu pada saat menggantikan Tuhan atau Sang Pencipta dengan ciptaan, termasuk pemikiran kita yang sering salah. Untuk pembahasan terperinci tentang dosa, silakan membaca: Masih Perlukah Sakramen Pengakuan Dosa (Bagian 1). Berapa sering kita sering merasa bahwa pemikiran kita – yang mempunyai kecenderungan untuk mengambil keputusan yang memberikan kesenangan dalam hidup kita – adalah lebih baik dari ajaran dan dokrin Gereja. Berapa sering kita merasa lebih baik, lebih pintar, lebih tahu mana yang baik dan buruk dibandingkan dengan hukum Tuhan.

Sama seperti putera bungsu yang menjual seluruh bagian hartanya dan pergi ke tempat yang jauh, pada waktu kita berdosa, kita menginginkan untuk memperoleh kebebasan yang sebebas-bebasnya, walaupun itu melawan hukum Tuhan. Namun, kebebasan yang sebebas-bebasnya dan tidak terkontrol adalah bukan kebebasan namun perbudakan. Pada saat kita mengambil keputusan hanya berdasarkan keinginan untuk memuaskan kedagingan kita, maka kita menjadi budak dosa dan bukan orang yang bebas lagi (Rom 6:12-17). Dosa yang dilakukan terus-menerus adalah menjadi suatu kebiasaan yang membuahkan maut. Dan akan ada suatu titik, dimana setelah menyalurkan semua perbuatan dosa, pendosa akan merasakan suatu kekosongan, kesepian, dan sering diiringi dengan akibat yang fatal dari perbuatan dosanya. Sebagai contoh, pencuri menerima konsekuensi yang berat atas dosanya, seperti: dikucilkan dari pergaulan, keluar dari sekolah, dipenjara, dll. Hal ini disebabkan karena semua dosa tidak ada yang bersifat pribadi dan mempunyai konsekuensi. Inilah yang dialami oleh anak bungsu ini, dimana setelah menghabiskan hartanya, ia menjadi melarat (ayat 14).

Aku mau mengatasi sendiri semua dosaku (15-16)

Sama seperti anak bungsu yang mencoba mengatasi kemiskinannya dengan kekuatan sendiri, kita juga sering mencoba untuk mengatasi dosa kita dengan kekuatan sendiri. Dan sering ini hanya menambah keputusasaan, karena dengan kekuatan sendiri sungguh sangat sulit untuk keluar dari jeratan dosa, apalagi kalau dosa itu sudah menjadi suatu kebiasaan. Contoh yang paling jelas adalah St. Agustinus dari Hippo, yang mencoba dengan kekuatan sendiri untuk keluar dari kebiasaan dosa ketidakmurnian. Berkali-kali dia jatuh, sehingga keluarlah doa yang begitu benar namun sekaligus kontradiktif, yaitu “Tuhan berikan kepadaku kemurnian, namun jangan sekarang – Lord, grant me chastity, but not yet.”

Dengan berusaha sendiri tanpa bekerjasama dengan Tuhan, maka rahmat tersebut tidak berdaya guna (inefficacious). Namun pada waktu St. Agustinus benar-benar mempunyai kemauan yang kuat untuk lepas dari jeratan dosa dan berdoa meminta kekuatan dari Tuhan, maka rahmat Tuhan menjadi berdaya guna (efficacious). Di sinilah pentingnya kerjasama antara keinginan bebas kita (free will) dan rahmat Tuhan (grace) untuk menghasilkan pertobatan yang benar. Hanya berdasarkan free will dan kekuatan kita sendiri, maka kita tidak akan mampu untuk melepaskan diri dari jeratan dosa. Sebaliknya, rahmat Tuhan tanpa respon yang baik dari keinginan bebas kita, maka rahmat Tuhan tersebut tidak dapat menghasilkan buah. Hal ini bukan karena kesalahan Tuhan, namun karena kurangnya kerjasama dari kita, karena sebenarnya Tuhan telah menyediakan rahmat yang cukup untuk pertobatan kita. Rasul Paulus mengatakan bahwa cukuplah kasih karunia Tuhan baginya (2 Kor 12:9).

Oleh karena itu, tidak ada dosa yang terlampau besar bagi Tuhan untuk diampuni. Yang diperlukan oleh manusia untuk mendapatkan pengampunan dari Tuhan adalah pertobatan yang benar. Rasul Paulus mengatakan “….di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah” (Rom 5:20).

Pertobatan (17-19)

Pada saat manusia dirundung dosa, maka Roh Kudus terus bekerja untuk mengembalikan manusia kepada Tuhan. Dan inilah yang dialami oleh putera bungsu, yang pada akhirnya “menyadari keadaannya” (ayat 17). Pada saat pendosa menyadari keadaanya, bahwa dia telah meninggalkan harkatnya sebagai manusia baru, sebagai putera Allah, maka dapat dipastikan bahwa Roh Kudus sendirilah yang membimbing pendosa untuk melakukan pertobatan, karena Roh Kudus adalah Roh yang menunjukkan kepada dunia tentang dosa, namun juga Roh penghibur yang membimbing manusia kepada penyesalan dan pertobatan. ((KGK, 1433)) Malah, dapat dikatakan bahwa sebenarnya Allah sendirilah yang memberikan rahmat kepada manusia untuk menyadari akan dosa-dosanya dan dengan rahmat tersebut membuat manusia untuk kembali kepada Allah ((KGK, 2000 – Selain rahmat habitual, Tuhan juga memberikan rahmat pembantu, “yakni campur tangan ilahi pada awal pertobatan atau dalam proses karya pengudusan.”)), jika manusia bekerja sama dengan rahmat Allah tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa dalam pertobatan, Tuhan adalah penggerak utama yang membimbing manusia kepada Allah. Dalam tahap ini, Allah sudah menjalankan bagian-Nya yang paling penting dalam pertobatan manusia. Namun, manusia harus bekerja sama dengan rahmat ini. Dalam keadaan berdosa, jawaban terbaik manusia terhadap rahmat Tuhan adalah pertobatan. Di dalam proses Sakramen Tobat, ada tiga langkah ((KGK, 1450-1460)) yang harus dijalankan oleh pendosa, yang terdiri dari: 1) penyesalan, 2) pengakuan, 3) penyilihan (penitensi). Kenapa harus ada ketiga hal ini? Karena kita berdosa kepada Tuhan dengan tiga cara: 1) dengan pikiran, 2) dengan perkataan, 3) dan dengan perbuatan. Katekismus Roma memberikan pernyataan yang indah tentang ketiga hal tersebut di atas.

Pertobatan mendorong pendosa untuk menerima segala sesuatu dengan rela hati: di dalam hatinya ada penyesalan, di mulutnya ada pengakuan, dalam tindakannya ada kerendahan hati yang mendalam atau penitensi yang menghasilkan buah” ((KGK, 1450.; Catholic Church , Roman Catechism (Pauline Books & Media, 1986), 2,5,21))

PENYESALAN

Di atas dikatakan bahwa penyesalan terjadi di dalam hati, dimana bapa gereja menyebutnya sebagai “animi cruciatus” (kesedihan jiwa), “compunctio cordis” (penyesalan hati). Penyesalan atau “contrition” atau “contritus” dalam bahasa Yunani adalah berarti dihancurkan berkeping-keping. Ini berarti, dalam penyesalan, hati yang penuh dengan kebencian, kegetiran, dan kesombongan dihancurkan berkeping-keping, sehingga menjadi remuk redam. Dan hati yang remuk redam karena telah menyedihkan Allah adalah sikap yang diinginkan oleh Allah, sehingga manusia dapat kembali kepada Allah (Maz 34:18; Maz 51:17; Yes 61:1). Lebih lanjut pemazmur mengatakan “Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah” (Maz 51:19).

Kalau penyesalan atau kesedihan jiwa ini karena didorong oleh ketakutan akan hukuman Allah, maka ini disebut penyesalan tidak sempurna (attritio). Penyesalan ini belum dapat menghapus dosa berat, namun penyesalan ini dapat mengantar seseorang untuk menerima Sakramen Tobat dan menerima pengampunan dosa. Penyesalan yang lebih sempurna disebut “penyesalan sempurna” atau “sesal karena cinta” (contritio), yaitu penyesalan yang berdasarkan kasih kepada Allah. Penyesalan ini timbul karena telah menyedihkan hati Allah yang seharusnya dikasihi melebihi segala sesuatu di dunia ini. Penyesalan ini menghapuskan dosa ringan, dan dapat juga menghapuskan dosa berat jika disertai dengan keinginan untuk sesegera mungkin mengakukan dosa dalam Sakramen Tobat. Jadi kalau sampai seseorang mempunyai dosa berat dan mempunyai penyesalan sempurna, namun belum sempat mengakukan dosa tapi meninggal, maka orang tersebut telah dilepaskan dari dosa beratnya.

Di dalam penyesalan, kita harus berbalik kepada Allah. Ini berarti bahwa kita harus membenci dosa-dosa yang telah kita lakukan, mempunyai keinginan yang kuat untuk tidak melakukannya lagi di masa depan, dan percaya kepada belas kasihan Allah. Kita juga harus menaruh kepercayaan bahwa tidak ada dosa yang terlalu besar bagi Allah untuk diampuni. Percaya kepada belas kasihan Allah satu hal yang penting, karena tanpa hal ini, maka penyesalan akan berakhir dengan tragis, seperti yang dialami oleh Kain ((lih. Kej 4:13 – Kata Kain kepada TUHAN: “Hukumanku itu lebih besar dari pada yang dapat kutanggung.”)) dan juga Yudas Iskariot. ((Mt 27:3 – “Pada waktu Yudas, yang menyerahkan Dia, melihat, bahwa Yesus telah dijatuhi hukuman mati, menyesallah ia.” Namun penyesalan ini tanpa dibarengi dengan kepercayaan akan belas kasihan Allah, sehingga berakhir pada penggantungan dirinya sendiri.))

Dalam ayat 17, kata “menyadari keadaannya” memberikan makna yang dalam, karena ini berarti si bungsu menyadari akan situasi sebelum meninggalkan rumah dan situasi dalam kondisi berdosa. Jadi, dalam penyesalan, melalui intelek, kita tahu bahwa kita melanggar hukum Tuhan, dan melalui hati (the will), kita memutuskan untuk berbalik dari dosa kepada Tuhan. Kita menyadari dan membandingkan akan “situasi dalam rahmat Tuhan”, dimana kita mempunyai relasi pribadi yang baik dengan Tuhan dengan “situasi dalam dosa”, dimana kita kehilangan rahmat Tuhan dan dapat berakibat penderitaan abadi, jika kita tidak menyesalinya.

Keputusan si bungsu untuk pergi ke rumah Bapanya, memohon ampun dan menerima segala konsekuensinya adalah sikap “kerendahan hati“. Sikap inilah yang memungkinkan seseorang untuk dapat menerima berkat Tuhan yang berlimpah. Kita tidak dapat menerima pengampunan Tuhan tanpa dibarengi dengan kerendahan hati. St. Bernard mengatakan bahwa kerendahan hati adalah ibu dari keselamatan. ((St. Bernard: Sermon on the Canticle of Canticles, 36. – 12th century )) Katekismus Gereja Katolik menegaskan bahwa kerendahan hati adalah merupakan keharusan untuk menerima pengampunan. ((KGK, 1450))

PENGAKUAN (21)

Si anak bungsu tidak saja berhenti dengan penyesalan dalam hatinya, namun dia benar-benar pulang ke rumah bapanya dengan ketetapan hati. Dan pada waktu bapa yang penuh kasih itu melihat puteranya datang, dia berlari dan merangkul anaknya (ayat 20). Dan pada saat inilah terjadi pengakuan yang keluar dari mulut si anak bungsu “Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa.” (ayat 22). Sama seperti perumpaan ini, kita sebagai pendosa, tidak hanya berhenti dengan penyesalan di dalam hati, namun dengan penuh keyakinan akan belas kasih Allah, kita menghampiri Sakramen Tobat dan kemudian dengan segala kerendahan hati mengakukan semua dosa-dosa kita di hadapan pastor yang mewakili Yesus.

ABSOLUSI atau PENGAMPUNAN (20-24)

Pada saat si bungsu mendekati rumah, maka tergeraklah hati ayahnya dengan belas kasihan (ayat 20). Saat kita menyesali dosa kita dan mempunyai keinginan untuk mengakukan dosa kita, sebenarnya ini adalah suatu dorongan dari Tuhan yang mengalir dari belas kasih-Nya kepada manusia. Belas kasih Tuhan inilah yang menjadi dasar, sumber kekuatan dan pengharapan dalam mendekati Sakramen Tobat. Kalau kita sering mengecewakan Tuhan, maka Tuhan tidak akan pernah mengecewakan kita. Kalau kita sering tidak setia kepada Tuhan, maka Tuhan akan tetap setia kepada kita, karena Dia tidak dapat mengingkari diri-Nya. (2 Tim 2:13). Dan pastor di dalam bilik pengakuan dosa harus mengikuti teladan Yesus, sang Gembala baik, sang penyembuh, yaitu mengembalikan umat yang berdosa kepada Kristus dan Gereja-Nya dengan cara memberikan pengampunan bagi yang sungguh-sungguh menyesali dosanya.

PENITENSI atau SILIH DOSA

Di dalam cerita anak yang hilang, memang tidak diceritakan penitensi yang diberikan oleh sang bapa. Namun kita melihat di ayat ke 18-19, bahwa si anak bungsu telah bersiap-siap untuk membuat pengakuan beserta dengan segala akibat yang harus dipikul. Dalam hal ini si bungsu bersedia untuk menjadi salah seorang upahan bapanya. Namun sang bapa, tergerak oleh belas kasihan, tidak membiarkan si bungsu meneruskan perkataannya untuk menjadi salah satu orang suruhan bapanya, namun dengan cepat sang bapa memberikan pengampunan yang berlimpah.

Di dalam Sakramen Tobat, kita juga harus bersedia untuk menerima penitensi yang diberikan oleh pastor. Kenapa harus ada penitensi? Sebagai gambaran, kita melihat contoh di atas tentang anak yang bermain lumpur, dia masuk ke dalam rumah meminta maaf kepada ibunya, dan ibunya kemudian memaafkan anaknya dan memandikannya sehingga bersih. Namun jejak kaki yang penuh lumpur masih tetap ada walaupun si anak sudah diampuni oleh ibunya. Nah, penitensi atau silih dosa adalah suatu tindakan untuk mencoba membayar atau memperbaiki apa yang telah rusak akibat dosa. Dalam contoh di atas, maka si anak harus menjalankan penitensinya, yaitu membersihkan lantai yang kotor oleh lumpur. Kalau seseorang mengaku dosa mencuri barang tetangganya, maka sebagai penitensi, pastor dapat menyuruh orang tersebut untuk berdoa, namun juga disertai tindakan untuk mengembalikan barang yang dicuri kepada tetangganya. Penitensi biasanya dapat berupa doa, puasa, maupun perbuatan baik. ((KGK, 1494))

Efek dari Pengakuan Dosa.

Sama seperti ayah dalam cerita anak yang hilang yang menyuruh hamba-hambanya, maka dalam Sakramen Tobat, Tuhan menyuruh hamba-hamba-Nya, para pastor untuk memberikan jubah yang terbaik, cincin, dan sepatu kepada orang yang mengakukan dosa. Dan tiga karunia inilah yang kita dapat dalam Sakramen Tobat.

  • JubahJubah mengingatkan kita akan berkat pembaptisan, yang olehnya kita diubah dari manusia lama menjadi manusia baru di dalam Kristus. Kita diberikan jubah yang melambangkan Kristus, dimana rasul Paulus mengatakan kenakanlah Yesus sebagai perlengkapan senjata terang (Rom 13:14). Sama seperti si bungsu yang berpakaian kotor karena bergelimang dosa dan sekarang menerima jubah dari sang ayah, maka dalam Sakramen Pengampunan, kita juga mengenakan kembali jubah baptisan, yang membuat kita dalam kondisi dimana rahmat Tuhan kembali bertahta dalam hati kita (state of grace). Sama seperti pada waktu kita dibaptis, kita dipersatukan dengan Tuhan dan Gereja, maka dalam Sakramen Tobat, kita juga dikembalikan dalam persatuan dengan Allah dan Gereja yang dirusak oleh dosa yang kita buat. ((KGK, 1496))
  • Cincin – Cincin melambangkan akan suatu martabat. Dalam Sakramen Tobat, kita kembali menerima martabat kita sebagai anak Allah yang hilang karena dosa kita. Martabat dimana membuat kita tidak lagi menjadi budak dosa dan hanya menuruti keinginan daging, namun menjadi manusia baru yang dihidupkan kembali oleh Allah (Rom 6:12-13). Ini berarti setelah menerima cincin, kita juga diharapkan untuk benar-benar menjaga martabat kita sebagai anak Allah.
  • Sepatu – Si bungsu menerima sepatu, yang melambangkan agar dia dapat berjalan tanpa tersandung dan kotor. Dalam Sakramen Pengampunan, kita juga menerima sepatu, rahmat Tuhan, yang membuat kita menjadi kuat untuk mengarungi kehidupan di dunia ini. Ini juga mengingatkan kita bahwa “seorang Kristen berada di dunia ini, namun bukan dari dunia ini“, karena tempat persinggahan terakhirnya adalah di surga.

Sama seperti si ayah memerintahkan hambanya untuk memberikan jubah, cincin, dan sepatu, sebagai tanda yang nyata (terlihat, tersentuh), maka Yesus juga memberikan berkat Sakramen Tobat, sehingga pendosa juga dapat menerima pengampunan secara nyata dari Yesus lewat pastor. Mungkin perlu kita renungkan, bagaimana seorang pendosa yakin bahwa dosanya telah diampuni oleh Yesus kalau si pendosa memohon ampun secara langsung kepada Tuhan? Yesus tahu hakikat manusia, yang membutuhkan pernyataan pengampunan yang nyata, yang dapat dialami oleh panca indera manusia. Oleh sebab inilah, Yesus memberikan rahmat Sakramen Tobat, yang olehnya pendosa mendapatkan pengampunan yang pasti.

Kristus sebagai sumber perdamaian antara pendosa dan Allah Bapa

Di ayat ke 23, dijelaskan suatu misteri, di mana lembu tambun harus disembelih, dimakan, sehingga semuanya dapat bersukacita. Lembu tambun ini adalah Kristus ((Dalam Catena Aurea, St. Thomas Aquinas mengutip St. John Chrysostom (347-407), yang mengatakan bahwa lembu tambun tersebut adalah Kristus sendiri yang telah mengorbankan tubuhnya yang tanpa cela, yang juga menjadi sumber keselamatan bagi seluruh umat manusia.)), yang dengan sengsara, wafat, dan kebangkitannya, Yesus menjadi sumber sukacita semua orang, karena melalui dia dimungkinkan persatuan kembali antara pendosa dengan Allah. Perjamuan yang memberikan sukacita adalah perjamuan Ekaristi. Sama seperti si bungsu mendapatkan pengampunan dari bapanya terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam perjamuan dengan lembu tambun sebagai persembahan, orang yang melakukan dosa berat juga harus mendapatkan pengampunan di dalam Sakramen Tobat untuk dapat turut serta dalam perjamuan Ekaristi Kudus, dengan Yesus sebagai kurban persembahan yang tak bercela.

Si putera sulung yang iri hati (25-30)

Di dalam ayat 25-30, diceritakan tentang putera sulung yang iri hati, karena melihat putera bungsu yang berdosa telah diampuni, bahkan harkat martabatnya juga dipulihkan. Berapa banyak dari kita yang pernah berfikir bahwa sungguh mudah untuk mendapatkan pengampunan dari Tuhan. Kenyataannya memang mudah, dan Tuhan membuatnya menjadi begitu mudah. Namun hal yang mudah ini, menjadi sangat sulit karena kecongkakan hati kita.

Hal yang paling mudah adalah melihat contoh dari kehidupan sehari-hari. Sebagai orang tua, kita sering melihat bagaimana anak-anak bereaksi ketika mereka melakukan kesalahan. Sering kita minta agar mereka meminta maaf atau mungkin ditambah dengan hukuman yang lain, untuk menyadarkan mereka bahwa yang mereka lakukan adalah salah. Dan kalau anak tidak terbiasa untuk meminta maaf, maka mereka akan sangat sulit untuk mengatakan bahwa dia salah atau dia menyesal. Kalau anak kita mengatakan bahwa dia menyesal, maka sebagai orang tua kita tentu akan memaafkan mereka, walaupun kita tahu bahwa ada kemungkinan bahwa mereka suatu saat akan melakukan lagi.

Adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali (32)

Sang ayah memberikan kesimpulan tentang inti dari Sakramen Tobat, yaitu “adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali.” Mati karena terpisah dari Allah akibat dosa, seperti yang dikatakan oleh rasul Yohanes “…di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5). Hidup, karena dengan Sakramen Tobat, pendosa dipulihkan dengan Allah dan Gereja, sehingga persatuannya dengan Yesus dan Tubuh-Nya tetap terjaga. Dapat disimpulkan bahwa dalam Sakramen Tobat, pendosa menjadi kudus atau ” a sinner becomes a saint.”

Bagi saudaraku yang masih belum yakin bahwa Sakramen Tobat ini sungguh-sungguh diberikan oleh Kristus sendiri kepada Gereja-Nya, silakan membaca artikel: Masih perlukan Sakramen Pengakuan Dosa (bagian-2). Namun bagi umat Katolik, kita harus benar-benar mensyukuri sakramen ini dan juga harus secara teratur mengakukan dosa kita di dalam Sakramen Tobat, sehingga perjuangan kita untuk menjadi kudus dalam kehidupan sehari-hari semakin dikuatkan. Artikel selanjutnya dalam rangkaian tulisan Sakramen Tobat akan membahas tentang petunjuk praktis untuk mengaku dosa dengan baik.

Previous articleIndah dan Dalamnya Makna Sakramen Perkawinan Katolik
Next articleMengapa kita perlu tahu dosa berat dan dosa ringan?
Stefanus Tay
Stefanus Tay telah menyelesaikan program studi S2 di bidang teologi di Universitas Ave Maria - Institute for Pastoral Theology, Amerika Serikat.

21 COMMENTS

  1. shalom tim katolisitas, saya ingin bertanya:
    1. saya dulu sering berusaha menerima sakramen pengakuan secara rutin, walaupun sudah berusaha sekuat tenaga untuk tidak melakukan dosa ketidakmurnian (percabulan) namun hal ini terus saja saya lakukan. Sekarang saya merasa malu mengaku dosa karena saya dimarahi oleh romo karena terus melakukannya dan tidak serius dalam hidup rohani serta terkesan mempermainkan Sakramen Pengakuan. Walaupun saya yakin romo memarahi saya bukan karena bosan atau tidak sabar terhadap saya, namun saya merasa malu jika harus mengaku dosa yang sama berulang-ulang. Sekarang saya bahkan membiarkan diri saya melakukan dosa-dosa tersebut berulang-ulang sebagai hukuman atas diri saya karena sudah menyia-nyiakan rahmat sakramen tersebut. Jika akar dosa tersebut sudah dikeringkan melalui Sakramen Pengakuan, maka mengapa saya masih memiliki keinginan yang kuat sekali untuk melakukan dosa tersebut? (saya sudah berdoa, berpuasa dan melakukan smua praktik untuk menjauhkan diri saya dari dosa ini tapi terus saja terjadi lagi).
    2. Bolehkah pada saat pengakuan saya menuliskan dosa-dosa saya pada secarik kertas? Dan apakah yang harus saya lakukan jika saya lupa mengakukan satu dosa dan baru diingat setelah pengakuan? Apakah dosa itu tetap ada? Shalom..terima kasih atas kesediaan dan kerendahan hati tim katolisitas untuk menjawabnya…

    • Shalom Rudolf,

      1. Untuk mencabut akar dosa yang telah terlalu dalam tertanam, memang memerlukan usaha ekstra, dan keteguhan untuk secara konsisten untuk mencabutnya dengan melakukan pengakuan dosa yang teratur, dan kemudian usaha untuk mengalahkannya dengan kebajikan lawannya, dan dengan menghindari kesempatan berbuat dosa. Jika dengan pengakuan dosa teratur saja, Anda katakan sulit, apalagi jika Anda tidak lagi mengaku dosa secara teratur. Maka akan tambah sulit. Beberapa kesaksian yang masuk dalam surat menyurat di situs ini, yang telah berhasil terlepas dari keterikatan terhadap dosa percabulan, mengatakan bahwa perjalanan mereka untuk meninggalkan kebiasaan buruk tersebut memang melalui proses yang panjang. Termasuk, menahan rasa malu untuk mengakui hal yang sama selama berkali-kali dalam sakramen Pengakuan dosa dengan pastor yang sama, menerima dengan lapang akan kelemahan diri sendiri setiap kali jatuh dalam dosa, namun juga menumbuhkan tekad untuk memperbaiki dengan mengandalkan belas kasih dan rahmat Tuhan– itu bagian yang tak terpisahkan dalam proses ‘meninggalkan manusia lama’ untuk hidup baru di dalam Kristus. Lalu dengan bantuan rahmat Allah melalui penerimaan yang teratur dari sakramen Tobat dan Ekaristi, serta doa-doa pribadi yang tanpa henti, akhirnya mereka berhasil. Jika Anda katakan bahwa Anda sudah melakukan semua usaha itu (doa, puasa dan  menerima sakramen), pertanyaannya adalah, berapa lama Anda sudah melakukan itu? Sebab semua usaha itu bukan resep yang instan, tetapi harus terus dilakukan, baru dapat menghasilkan buahnya pada waktunya. Selain itu, Anda juga perlu untuk selalu menghindari kesempatan Anda berbuat dosa. Ini sangat penting. Kenalilah diri dan kelemahan Anda, dan ketahuilah kapan dorongan berbuat dosa itu muncul. Nah dengan segala kehendak yang kuat yang Anda miliki, dan sambil terus mengandalkan rahmat Tuhan, jauhilah setiap kesempatan itu. Hindari pergaulan/ teman-teman yang mendorong Anda melakukan kebiasan tersebut, masuklah dalam komunitas dan pergaulan yang lebih sehat. Hindari kesempatan sendirian/ melamun, jika kesempatan itu yang mendorong Anda. Silakan memeriksa diri dengan jujur, dan temukanlah jalan untuk melawannya, dan lakukanlah jalan itu, dengan kekuatan yang dari Tuhan.

      Silakan membaca artikel-artikel berikut:

      Nasihat terhadap Percabulan
      Bagaimana Melepaskan Diri dari Dosa Ketidakmurnian yang Telah Menjadi Kebiasaan?

      2. Ya, Anda boleh menuliskan dosa-dosa Anda di atas secarik kertas, untuk Anda bacakan pada saat mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan Dosa, sehingga dengan demikian tidak ada dosa yang terlupa untuk diakukan. Namun sekalipun lupa diakui pada Pengakuan dosa itu, Anda dapat mencatatnya segera setelah Anda menyadarinya, dan akuilah dosa tersebut pada Pengakuan Dosa yang berikutnya.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Terima kasih banyak tim katolisitas, khususnya bu Ingrid atas tanggapan yang sangat meneguhkan di atas. Sekarang saya sadar bahwa ternyata saya masih belum berusaha sungguh-sungguh untuk memerangi kelemahan tersebut dan sering kali terlalu berpusat pada diri saya sendiri. Mungkin inilah salib yang harus saya pikul. Shalom.GBU.

  2. Syaloom pengurus Katolisitas

    Saya mao tanya

    Apakah Yoh 20:22-23. itu berlaku buat semua orang atau hanya pada imam saja?
    Orang2 suka berpendapat kita jg berkuasa untuk mengampuni dosa orang bukan hanya imam karena ayat itu untuk semua orang.

    Kalau menurut saya sih, Kita berkuasa untuk ampunin orang yg bersalah kepada kita tp kalau dia salah ama orang lain, apakah sebagai orang awam kita “berhak” mengampuni dosa dia? atau melalui imam saja?

    [dari katolisitas: silakan melihat jawaban dari artikel ini – silakan klik]

    • Shaloom,,

      Saya baru membaca link yg diberikan oleh anda. Kirain belum dijawab. Tp ada kesaksian dr Pasutri (Gereja lain) yg bercerita kalau si suami (X) ini tkg selingkuh suka mabuk, si istri (Y) berusaha bertahan demi anak2. X selalu menyesal dan mengulangi, sampai akhirnya cerai, tetapi Y masi mao berhubungan baik dengan dia demi anak2. Dan dia tau kalau X merasa kosong hidupnya dan makin menjadilah dia berbuat dosa dengan main cewe dan mabuk2an. Tidak bertobat2 jg. Ketika sedang doa Y merasa mendengar Tuhan menyuruh utk ampuni dia dl, jgn tunggu dia minta maaf. Walau sulit tp Y kemudian bertemu dengan X lalu mengampuni dia. X lalu menyesal dan sampai sekarang tidak main cewe dam mabuk2an.

      Dia bilang benarlah perikop itu ketika dia diampuni oleh istrinya dosanya lepas dan dia jauh lebih mudah utk tidak mengulangi dosa yg sama.

      Jadi Kuasa Pengampunan dan melepaskan dosa bukan hanya kepada para Rasul dan penerusnya kan kalau kita dengar kesaksian tersebut?

      Terima Kasih

      [dari katolisitas: Silakan memberikan penjelasan tentang Yoh 20:21-23]

  3. Salam Stef dan Inggrid,

    Happy Easter! Langsung kepada pertanyaan yah:
    1. Mengapa sakramen tobat tidak serta merta menghilangkan siksa dosa? Sehingga kita harus melakukan berbagai doa khusus pada hari tertentu untuk mendapatkan indulgensi. Bukankah dalam perumpamaan anak hilang, bapa tidak memberikan hukuman apapun kepada anak tsb.
    2. Kalau dihubungkan dengan ajaran indulgensi, berarti fungsi sederhana dari sakramen tobat adalah mencegah seseorang untuk tidak masuk neraka karena mortal sin? Berarti sebenarnya yg perlu diakukan di sakramen tobat hanyalah dosa berat? Sebab dosa-dosa ringan toh kita akan bayar sendiri di purgatory?

    Mohon penerangan, xiexie. Besok Minggu Kerahiman pingin dapetin indulgensi penuh nih :)
    salam.
    Michael

    • Shalom Michael,

      Selamat Paskah dan terima kasih atas pertanyaannya yang bagus. Untuk menjawab hal ini, maka kita dapat melihat Katekismus Gereja Katolik berikut ini:

      1472. Supaya mengerti ajaran dan praktik Gereja ini, kita harus mengetahui bahwa dosa mempunyai akibat ganda. Dosa berat merampas dari kita persekutuan dengan Allah dan karena itu membuat kita tidak layak untuk kehidupan abadi. Perampasan ini dinamakan “siksa dosa abadi”. Di lain pihak, setiap dosa, malahan dosa ringan, mengakibatkan satu hubungan berbahaya dengan makhluk, hal mana membutuhkan penyucian atau di dunia ini, atau sesudah kematian di dalam apa yang dinamakan purgatorium [api penyucian]. Penyuciaan ini membebaskan dari apa yang orang namakan “siksa dosa sementara”. Kedua bentuk siksa ini tidak boleh dipandang sebagai semacam dendam yang Allah kenakan dari luar, tetapi sebagai sesuatu yang muncul dari kodrat dosa itu sendiri. Satu pertobatan yang lahir dari cinta yang bernyala-nyala, dapat mengakibatkan penyucian pendosa secara menyeluruh, sehingga tidak ada siksa dosa lagi yang harus dipikul Bdk. K.Trente: DS 1712-1713; 1820.

      Jadi, siksa dosa sementara adalah suatu pemurnian, yang dapat terjadi di dunia ini maupun di Api Penyucian, yang membuat kita dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sakramen Tobat dapat mengampuni dosa – baik dosa berat maupun dosa ringan. Namun, karena Yesus mengatakan untuk menjadi sempurna seperti Bapa adalah sempurna (lih. Mt 5:48), maka ketidaksempurnaan kita – termasuk dosa-dosa ringan – dapat menghalangi kita untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah tanpa melewati Api Penyucian. Sakramen Tobat tidak dapat menghapus siksa dosa sementara, karena setelah mendapatkan pengampunan dosa, kita masih tetap berdosa lagi. Kedua, walaupun Sakramen Tobat menghapus dosa berat dan ringan, namun hanya Tuhan yang tahu secara persis apakah seseorang benar-benar terlepas dari dosa ringan dan apakah segala sesuatu yang tidak sempurna dalam diri seseorang telah cukup dimurnikan. Namun, kalau setelah seseorang mendapatkan indulgensi penuh, yang berarti harus mendapatkan pengakuan dosa terlebih dahulu, terlepas dari dosa berat dan dosa ringan, dan langsung meninggal, maka dia dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga secara langsung.

      Dalam perumpamaan anak yang hilang, maka proses pemurnian dari anak hilang tersebut adalah pada waktu dia menghadapi kesengsaraan, menyesali dosa secara sempurna. Untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga, seseorang harus menjalankan proses pemurnian (lih. 1 Kor 3:15), yang dapat terjadi di dunia ini maupun di Api Penyucian. Hanya Tuhan sendiri yang tahu, sampai seberapa jauh seseorang dimurnikan sampai akhirnya dapat masuk dalam Kerajaan Allah.

      Fungsi dari Sakramen Tobat dapat dilihat di sini – silakan klik dan rangkaian artikel tentang Sakramen Tobat (bagian 1, 2, 3, 4). Memang Sakramen Tobat dapat mengampuni seseorang akan dosa berat yang dilakukannya, sehingga pada waktu meninggal, orang tersebut tidak masuk dalam siksa dosa selamanya (neraka). Namun, kalau kita mengakukan dosa ringan, maka kita juga memperoleh rahmat agar dimampukan untuk tidak berbuat dosa yang sama dan tidak sampai terjatuh ke dalam dosa berat. Jadi, kebiasaan mengaku dosa-dosa ringan sangat dianjurkan oleh Gereja dan juga oleh para kudus. Dikatakan di KGK:

      KGK, 1458. Pengakuan kekurangan sehari-hari, yakni dosa-dosa ringan, sebenamya tidak perlu, tetapi sangat dianjurkan oleh Gereja Bdk. Konsili Trente: DS 1680; CIC, can. 988 ?2.. Pengakuan dosa-dosa ringan secara teratur adalah suatu bantuan bagi kita, untuk membentuk hati nurani kita melawan kecondongan kita yang jahat, membiarkan kita disembuhkan oleh Kristus dan bertumbuh dalam hidup rohani. Kalau kita dalam Sakramen ini sering menerima anugerah belas kasihan Allah, Ia lalu mendorong kita, agar kita sendiri juga berbelaskasihan seperti Dia Bdk. Luk 6:36.?
      “Siapa yang mengakukan dosanya, sudah bekerja sama dengan Allah. Allah menggugat dosa-dosamu; kalau engkau juga menggugatnya, engkau bergabung dengan Allah. Manusia dan pendosa, seakan-akan harus dibedakan: kalau berbicara tentang manusia, Allahlah yang menciptakannya; kalau berbicara tentang pendosa, manusialah yang menciptakannya. Robohkanlah apa yang telah engkau ciptakan, supaya Allah menyelamatkan, apa yang Ia ciptakan… kalau engkau mulai jijik akan apa yang engkau ciptakan, mulailah karya-karyamu yang baik, karena engkau menggugat karya-karyamu yang buruk. Pengakuan akan karya-karyamu yang buruk adalah awal karya-karyamu yang baik. Engkau melakukan kebenaran dan datang ke dalam terang” (Agustinus, ev. Jo. 12,13).

      Demikian jawaban yang dapat saya berikan, dan semoga dapat membantu.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

  4. dear Katolisitas…

    saya ingin bertanya apakah boleh umat yang non-Katolik menerima sakramen tobat??

    Pax Christi…

    [dari katolisitas: silakan melihat jawaban Romo Bernardus di sini – silakan klik]

  5. Shalom Pak Stef / Ibu Ingrid,
    saya mau tanya mengenai Sakramen Tobat. Mengapa Gereja mengatur seseorang mendapatkan Sakramen Baptis terlebih dahulu sebelum bisa menerima Sakramen Tobat? Apakah seseorang tidak bisa mengakukan dosa pribadinya kepada seorang imam dan memohon pengampunan jika ia belum dibaptis (hanya bisa ikut ibadat tobat)? Atau paling tidak Sakramen Tobat juga dimasukkan kedalam salah satu sakramen inisiasi?
    Terima kasih sebelumnya.
    Salam,
    Chandra

    • Chandra Yth,

      Sakramen Baptis adalah Sakramen yang paling pertama yang membuat seseorang menjadi anggota resmi Gereja dan mempunyai hak untuk menerima Sakramen-sakramen lain seperti Sakramen Tobat, Krisma, Ekaristi dll. Kalau mau terima Sakramen Tobat sebelum Baptis orang itu belum punya hak untuk menerima Sakramen tersebut. Dengan kata lain salah satu syarat untuk menerima Saakramen Tobat adalah kalau sudah dibaptis.Secara pastoral, boleh saja seorang katekumen menceriterakan pengalaman hidup termasuk kesalahan-dosa pada imam dan semangatnya untuk bertobat, tetapi belum mendapat pengampunan sakramental. Nanti pada saat menerima Sakramen Baptis baru ada pengampunan sakramental atas semua dosa. Dengan demikian Sakramen Tobat tidak perlu dimasukkan juga dalam Saakramen Inisiasi.

      Salam,
      Romo Bernardus, SVD

  6. Trimakasih untuk artikel “Masih perlukah Sakramen Pengakuan dosa” dari website ini. karena artikel itu sangat membantu saya dalam membekali para sukarelawan yang mau mengajar para katekumen dan calon penerima komuni pertama. Selanjutnya kami akan berterimakasih bila dikirimi materi untuk “katekese inisiasi” yang akan kami gunakan untuk pembekalan katekis sukarelawan. Trimakasih. Tuhan memberkati. Salam untuk para katekis lulusan dari STkat Pradnyawidya Yogyakarta

  7. mohon bantuannya, karena saya berada di lingkungan yang kerap diajak ‘diskusi’ oleh kepercayaan lain, dan saya sendiri masih kurang paham dan dlm tahap belajar sehingga masih bingung.. sy pny 2 pertanyaan:
    1. dalam menentukan penitensi, pegangan apa yang dipakai oleh pastur?
    2. jikalau ada seorang yang bertobat, trus tidak mau menjalankan penitensi, apakah ia tidak diampuni?

    makasih sblmnya, GBu >.<

    • Sesilia Yth.

      Dalam menentukan penitensi ketika Romo memberikan pelayanan sakramen pertobatan, pegangan yang dipakai adalah berat dan ringannya dosa yang dilakukan oleh si peniten. Setiap Romo memiliki discerment dalam memberi penitensi yang berguna bagi penyembuhan batin si peniten. Kemudian jika peniten tidak melalukan denda (sanksi) yang diberikan kepadanya maka dosa itu tetap melekat pada dirinya. Maksud denda (sanksi) kepada peniten adalah agar dia tersembuhkan dari dosa dan tidak melakukan dosa lagi. Denda kepada peniten sebagai obat agar dia sembuh tapi kalau obat itu tidak diminum (dilakukan) maka dia masih tetap sakit. Demikian analognya Sesilia, semoga menjadi jelas dan paham.

      salam
      Rm Wanta, Pr

      • Romo, menyambung pertanyaan sdri Sesilia,
        Saya pernah mengaku dosa, tapi lalai menjalankan penitensi, apakah yang harus saya lakukan?
        mengaku dosa lagi ? atau menjalankan penitensinya?
        Satu lagi Romo, bila dalam pengakuan dosa kita tidak menerima absolusi dari imam apa yang sebaiknya kita lakukan?
        Terimakasih untuk seluruh team katolisitas, penjelasan dari Katolisitas membuat saya mencintai sakramen tobat dan mendorong saya untuk lebih sering lagi mengakukan dosa.

        • Shalom Tony D,

          Terima kasih atas pertanyaanya. Dalam kasus yang anda paparkan, maka anda harus melakukan penitensi tersebut secepatnya begitu anda ingat. Kemudian, pada pengakuan dosa mendatang, katakan kepada pastor bahwa anda telah lupa menjalankan penitensi tersebut selama berapa waktu (ini juga merupakan bentuk dosa kelalaian), dan kemudian lanjutkan dengan pengakuan dosa seperti biasa. Kalau anda tidak menerima absolusi dari imam, maka anda harus minta absolusi kepada imam tersebut, atau kalau sampai anda telah keluar dari kamar pengakuan dan baru ingat kemudian, anda harus mengaku dosa lagi, karena forma dari Sakramen Pengakuan Dosa adalah absolusi dari pastor. Tanpa matter (dosa dan penyesalan) dan forma (absolusi) yang benar, maka Sakramen Dosa yang diterima tidaklah valid atau sah. Mari, kita bersama-sama bertumbuh secara spiritual dengan sakramen-sakramen yang telah diberikan oleh Yesus sendiri, terutama Sakramen Ekaristi dan Sakramen Tobat. Semoga dapat membantu.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          stef – katolisitas.org

  8. Shalom,
    Jika seseorang sempat dibaptis dalam proses kematiannya tetapi tidak sempat mengaku dosa, apakah dia bisa langsung masuk surga ataukah harus disucikan dahulu di api penyucian? Untuk penjahat yang disalibkan bersama Yesus, dalam Lukas 23:43 Yesus mengatakan kepadanya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.” Apakah peristiwa ini merupakan contoh baptisan iman? Apakah penjahat tersebut akan masuk surga atau kah disucikan dahulu di api penyucian? Mengapa Yesus menyebutkan Firdaus dan bukan surga?
    Ibu saya menjelang kematiannya karena kecelakaan tidak sempat dibaptis tetapi sempat bertobat dan menerima Yesus. Apakah arwah beliau masih bisa diselamatkan? Apa yang masih dapat kami lakukan untuk menyelamatkannya?
    Terima kasih.

    • Shalom Andryhart,

      Terimakasih atas pertanyaannya. Mari kita bersama-sama melihat pertanyaan ini:

      1) Seseorang yang dibaptis akan menerima keselamatan (KGK, 1277), karena dia menerima "sanctifying grace" atau rahmat kekudusan, karunia Roh Kudus, dan juga disatukan di dalam Tubuh Mistis Kristus. Dengan bersatu dalam Kristus di dalam Sakramen Baptis, maka jiwa orang tersebut telah dimateraikan oleh suatu tanda abadi, yang menjadikannya kudus dan menjadi anak Allah (KGK, 1272).

      2) Jadi kalau seseorang, sebelum meninggal menerima Sakramen Baptis, walaupun dia orang yang berdosa dalam hidupnya, maka orang tersebut akan masuk surga. Sedangkan Sakramen Tobat hanya diperlukan bagi orang yang telah dibaptis untuk menghapuskan dosa berat, maupun dosa ringan, seperti yang telah saya bahas di artikel "Masih perlukah Sakramen Pengakuan Dosa – Bagian 3". Jadi orang yang meninggal setelah menerima Sakramen Baptis akan masuk surga, karena tidak ada kesempatan baginya untuk melakukan dosa berat, kecuali kalau setelah dibaptis, orang tersebut melakukan dosa berat lagi di detik-detik terakhir hidupnya (lihat definisi dosa berat dan ringan di artikel ini).

      3) Penjahat yang bertobat, yang disalibkan bersama Yesus seperti yang diceritakan di Luk 23:43, dimana Yesus mengatakan "Kata Yesus kepadanya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus," adalah suatu contoh Baptism of desire atau kerinduan untuk menerima pembaptisan, yang diiringi oleh penyesalan atas dosa-dosanya dan juga perbuatan kasih (KGK, 1259). Penyesalan dan perbuatan kasih dari penjahat tersebut diungkapkan dengan perkataanya "Tidakkah engkau takut, juga tidak kepada Allah, sedang engkau menerima hukuman yang sama?Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah…Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja."(Luk 23:40-42).

      4) Yesus, di ayat 43 menggunakan kata Firdaus, paradise atau dalam bahasa Yunani adalah parádeisos, merupakan suatu tempat bagi orang-orang beriman sebelum kebangkitan Kristus. Ini disebut juga sebagai limbo of the just/the bossom of Abraham (Luk 16:23). Semua orang yang ada di tempat ini, akan menuju ke Surga secara langsung setelah kebangkitan Kristus. Kita mengingat apa yang dikatakan di dalam "Doa Aku Percaya" … disalibkan, wafat, dan dimakamkan; yang turun ke tempat penantian. Dalam waktu tiga hari setelah kematian-Nya, Yesus datang ke tempat penantian untuk memberitakan wahyu Tuhan secara lengkap, sehingga segala yang ada di langit, di atas bumi, dan yang ada di bawah bumi akan bertekuk lutut dan segala lidah mengaku bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan (lih. Fil 2:10-11). Dan setelah Yesus bangkit dari orang mati, maka tempat penantian ini tidak ada lagi, yang ada hanya surga, api penyucian, neraka.

      5) Pengalaman dari penjahat yang disalibkan bersama-sama dengan Yesus memberikan pengharapan yang besar akan kasih dan belas kasih Allah kepada umat-Nya. Penjahat tersebut hanya berharap untuk diingat, namun Yesus memberikan Surga kepada-Nya, karena Yesus melihat kedalaman hati, yaitu penyesalan dan kasih dari penjahat tersebut. Jadi tentang ibu Andryhart, kita percayakan kepada belas kasih Tuhan. Apalagi ibu Andryhart telah bertobat sebelum kematiannya walaupun belum sampai dibaptis. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di saat-saat terakhir kehidupannya, hanya Tuhan yang tahu. Namun penyesalan, kasih, dan ketidaktahuannya akan pentingnya baptisan bagi keselamatan, membukan suatu harapan untuk keselamatan jiwa seseorang, termasuk jiwa ibu Andryhart. Yang dapat Andryhart lakukan adalah berdoa bagi arwah beliau setiap hari, yang mungkin masih ada di purgatory atau api penyucian. Persembahkanlah misa bagi arwahnya. November, tahun depan pada saat hari arwah, berdoalah secara khusus untuk arwah ibunda – lihat jawaban ini

      Demikianlah apa yang dapat saya sampaikan, semoga dapat menjawab pertanyaan Andryhart. Mari kita bersama-sama mewartakan Kristus sampai ke seluruh dunia, mulai dari anggota keluarga kita masing-masing, dan komunitas di sekitar kita, sehingga tidak ada alasan lagi bagi orang-orang untuk tidak mengenal Yesus dan Gereja-Nya.

      Salam kasih dari https://katolisitas.org
      stef

      • Shalom,
        Terima kasih atas jawaban Bapak yang tidak menghakimi tetapi memberikan keteduhan. Saya memang pernah membaca buku Cho Thomas yang menemukan ibunya di neraka karena ibunya–sekalipun orangnya sangat baik dan banyak menderita–tidak mengenal Yesus karena memang saat itu Korsel belum disentuh oleh evangelisasi. Saya kira ajaran gereja Katolik yang menjanjikan keselamatan kepada mereka yang rindu akan Allah sekalipun belum mengenal Kristus akan lebih memberikan keteduhan daripada ajaran yang bersifat menghakimi. Memang kita harus selalu ingat ayat Yohanes 3:17 yang mengatakan, “Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.”

        Tuhan memberkati,

Comments are closed.