Sebuah kisah penyembuhan
Pengantar dari editor:
Romo Andi Suparman, MI, kembali menyapa kita melalui pengalamannya melayani penderita sakit di rumah sakit. Pelayanan kepada sesama yang sakit sesungguhnya adalah bentuk sapaan Tuhan, yang tidak pernah meninggalkan umat-Nya dalam keadaan apa pun, khususnya ketika sakit penyakit datang tanpa diundang. Dan ketika kesembuhan kemudian terjadi, adalah kasih karunia Tuhan yang Mahabaik yang bekerja pada umat-Nya, yang menanggapi kasih-Nya dengan iman yang aktif dan percaya sepenuhnya bahwa Ia mampu mengangkat segala bentuk penderitaan kita, bila Ia menghendakinya.
Tahun 2009, ketika masih di Filipina, aku bertugas sebagai asisten kapelan di sebuah rumah sakit. Seperti biasa, para pastor dan frater Kamilian bertugas di rumah sakit, melakukan kunjungan pasien dari kamar ke kamar, dari tempat tidur ke tempat tidur, untuk mendampingi, memberikan konseling, dan juga berdoa dan memberi pelayanan sakramen jika dibutuhkan.
Waktu itu, hari Minggu, aku melakukan kunjungan rutin di rumah sakit sambil membawa komuni untuk orang sakit. Aku bertemu dengan seorang pasien, seorang muda yang lutut kanannya bengkak. Kami sempat ngobrol lama. Pemuda itu selalu memanggilku ‘pastor’, mungkin karena aku memakai jubah. Maklum, kebanyakan umat di sana selalu memanggil ‘pastor’ kepada orang yang berjubah. Di akhir pembicaraan kami, dia memintaku, “Pastor, tolong berkati lutut saya.” Aku pun kaget karena aku belum menjadi pastor. Lalu aku mengatakan, “Aku tidak bisa memberikan berkat, karena aku belum ditahbiskan.” Tetapi dia dengan penuh keyakinan dan harapan meminta, “Tidak apa-apa, tolong berkati dan doakan saja lutut saya.” Lalu aku mengatakan kepadanya, “Apa yang engkau mau…?” Jawabnya, “Aku mau sembuh.” Aku pun memintanya untuk berdoa dan meminta kepada Tuhan apa yang dia mau dalam iman. Setelah itu kami berdoa bersama, dan aku mendoakan dan memberkati lututnya dengan air berkat yang selalu ada padaku ketika berjalan keliling dalam rumah sakit.
Pada hari Rabu dalam minggu itu, aku kembali mengunjunginya di ruang rawatnya. Ketika kami bertemu, dia malah meminta, “Pastor, tolong berkati perutku….” Aku tentunya heran, lalu bertanya, “Waktu itu kan sakitnya di lutut… kenapa sekarang malah minta berkatnya di perut?” Lalu dia menceritakan, bahwa selama tiga minggu di rumah sakit, lututnya bengkak karena kanker di tulangnya. Dan setiap pagi, dokter harus mengeluarkan cairan dari lututnya itu. Namun pada hari Senin setelah kami berdoa, bengkak di lututnya itu berkurang, dan tidak ditemukan lagi cairannya. Karena itulah dia meminta didoakan di perutnya yang juga terasa sakit. Aku pun mendoakan dan memberkati perutnya dengan air berkat. Setelah hari itu, kami tidak bertemu lagi karena aku pindah ke rumah sakit lain. Aku juga tidak tahu bagimana kisahnya selanjutnya. Dalam percakapan kami setelah berdoa, sempat dia selalu berterimakasih kepadaku dan mengatakan bahwa “itu karena kekuatan doa Pastor….” Namun aku selalu mengatakan kepadanya, bahwa itu bukan karena doaku. Tetapi, pertama-tama, karena kasih Tuhan yang selalu menaruh belas kasihan kepada kita umat manusia dan mendengarkan doa-doa kita.
Kedua, karena iman kita kepada Tuhan. Pemuda itu tahu dan percaya kepada Tuhan yang penuh kasih, yang setia mendengarkan doa-doanya. Kemudian, ia tahu apa yang ia butuhkan, ia mau sembuh dan ia yakin dalam iman bahwa Tuhan yang penuh kasih itu bisa menyembuhkan dia. Maka ia meminta dalam iman supaya Tuhan menyembuhkannya.
Dari pengalaman tersebut, aku kembali diteguhkan bahwa Tuhan adalah Allah yang penuh belas kasih. Ia selalu menghendaki segala yang baik bagi kita umat manusia, dan selalu mendengarkan doa-doa kita. Namun aku pun kembali disadarkan akan pentingnya berdoa dengan iman, iman yang hidup, yang percaya sepenuhnya akan rencana Tuhan yang pasti baik bagi kita.
Iman yang hidup adalah iman yang tidak sekedar berupa kata-kata di mulut, tetapi yang bisa mengubah cara berpikir, bersikap, bertutur kata, dan cara hidup, dengan selalu mencari kehendak Tuhan, berserah kepada Tuhan dan meminta kepadaNya dalam doa untuk seluruh kebutuhan kita. Iman yang hidup itu diiringi dengan penghayatan, melalui perjuangan juga supaya apa yang kita harapkan dan mintakan dalam doa itu tercapai. Iman yang hidup juga berarti terbuka terhadap kehendak Tuhan. Sebab dalam pengalaman manusiawi kita, tak jarang penderitaan itu tidak bisa dielakkan. Bahkan ada penderitaan yang membawa kita kembali kepada Bapa ketika jalan menuju kesembuhan fisik tidak tercapai. Namun itu tidak berarti bahwa Tuhan tidak mengasihi kita. Pengalaman “kembali kepada Bapa dalam kematian” justru membantu yang menderita untuk terlepas dari penderitaan di dunia. Iman yang hidup membantu kita untuk memahami “jalan” Allah itu dan menerimanya dengan penuh syukur dan penyerahan diri. Di situlah juga “kesembuhan” terjadi, yaitu sebuah pengalaman batin yang ringan, bebas dari rasa beban dan derita, dalam menerima keadaan sakit yang tak terelakkan dengan hati terbuka pada kehendak Tuhan. Jadi terkadang walaupun secara fisik, kita tidak bisa sembuh, namun secara rohani dan emosional kita disembuhkan. Semuanya itu berkat kasih Tuhan dan iman yang hidup sebagai tanggapan atas kasih Tuhan itu.
Selanjutnya, kehadiran orang lain, termasuk para romo atau seperti diriku, sebenarnya hanyalah sarana yang membantu. Para romo dan calon romo, terutama yang melayani orang sakit, adalah sarana Tuhan untuk membawa kabar sukacita tentang Allah yang penuh kasih itu kepada mereka yang sakit. Melalui mereka, Tuhan yang penuh belas kasihan itu bisa dirasakan kehadiran-Nya oleh yang sakit. Melalui pelayanan mereka, orang sakit dibantu, baik itu melalui doa, konseling, atau empati, agar ia yang sakit bertumbuh dalam imannya kepada Tuhan.
Semoga kasih Tuhan dan imanmu menyelamatkan dan menyembuhkanmu.
Romo Andi Suparman, MI