Berikut ini adalah penjelasan tentang hukuman ekskomunikasi:
Sebenarnya eks-komunikasi yang dikeluarkan Gereja Katolik maksudnya bukan untuk menghukum, tetapi merupakan langkah sangsi untuk menyembuhkan (bdk kan 1312,1). Jadi Ex-komunikasi merupakan prosedur formal dari Gereja kepada seseorang/ kelompok orang, yang menyatakan status mereka sebagai ‘di luar’ komunitas Gereja. Umumnya ini disebabkan karena pelanggaran berat, seperti penyebaran ajaran sesat, tidak mematuhi otoritas Magisterium Gereja, dst. Alasan kenapa eks-komunikasi ini dilakukan juga untuk melindungi kesatuan umat, supaya jangan sampai terlalu banyak orang menjadi bingung dan tersesat oleh karena pengaruh dari orang/ sekelompok orang yang melanggar tersebut.
Orang yang terkena sangsi Ex-komunikasi ini bukan berarti sudah tidak Kristen lagi, sebab rahmat Pembaptisan tidak dapat dihapus. Hanya saja, seperti dalam kan. 1331, mereka tidak dapat berpartisipasi di dalam menyambut Ekaristi kudus, dan sakramen-sakramen lainnya, dan dalam tugas ministerial liturgi, atau jika ia pastor/ kaum klerik, maka tidak dapat lagi menjalankan tugas-tugasnya sebagai pastor/ klerik. Namun mereka masih tetap boleh (bahkan dianjurkan) datang ke Misa Kudus seperti biasa.
Maksudnya dari pemberian sangsi ex-komunikasi ini adalah supaya mereka yang melanggar peraturan dapat memeriksa dan memperbaiki diri dan bertobat melalui Sakramen Pengakuan Dosa. Absolusi umumnya diberikan oleh Uskup/ Ordinaris wilayah, ataupun oleh pastor tertentu yang telah diberi kuasa oleh Uskup untuk memberikan absolusi. Maksud yang lain adalah tentu untuk membatasi pengaruh negatif pada umat yang lain.
Jadi, jika orang yang melanggar peraturan tersebut mengakui dan bertobat dari kesalahannya, maka sangsi eks-komunikasi tersebut diangkat oleh pihak otoritas Gereja, dan orang tersebut tidak lagi terikat sangsi dan berada dalam kesatuan kembali dengan Gereja.
Contoh yang paling aktual mungkin adalah pengangatan sangsi ex-komunikasi terhadap 4 orang uskup yang ditahbiskan oleh Monsingor Levebre pendiri Society of St. Pius X (SSPX) pada tahun 1988, tanpa restu dari Vatikan (pada waktu itu Paus Yohanes Paulus II). Namun para uskup yang ditahbiskan tersebut telah menyatakan penyesalannya kepada Bapa Paus, sehingga, Paus Benediktus XVI memutuskan untuk mengangkat sangsi ex-komunikasi terhadap ke-4 uskup tersebut pada bulan Januari 2009 ini. Langkah ini disebutnya sebagai langkah kasih fraternal yang diembannya sebagai Bapa Paus. Selanjutnya, Bapa Paus berharap agar pengangkatan ex-komunikasi ini diikuti oleh langkah mereka untuk mewujudkan pertobatan mereka dengan ketaatan penuh kepada otoritas Magisterium Gereja, dan Konsili Vatikan II. (SSPX adalah kelompok Tradisionalist yang melanggar ketaatan kepada Magisterium dan Konsili Vatikan II)
Pelaksanaan ex-komunikasi tidak bertentangan dengan hukum kasih, sebab dilaksanakannya juga dalam rangka mempertahankan kasih kesatuan umat dengan Kristus dalam Gereja yang dibentuk-Nya. Jika sangsi ini tidak diberikan, maka akan semakin banyak orang yang tersesat dan keselamatan mereka menjadi taruhannya. Dasar dari Alkitab yang cukup penting adalah Mat 18:15-18, di mana dikatakan jika seorang berbuat dosa, maka kita dapat menegurnya secara pribadi, namun jika ia tidak mendengarkan, maka kita dapat menyertakan dua atau tiga orang saksi. Namun jika tidak berhasil juga, maka persoalan dibawa ke hadapan jemaat. “Dan jika ia tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau sebagai pemungut cukai…Sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.” (Mat 18:17-18)
Oleh karena itu menurut kan. 1347, pemberian sangsi diberikan hanya setelah yang melanggar diberi peringatan untuk menarik diri dari contumacy (’keras kepala’) mereka, dan telah diberi waktu yang cukup untuk bertobat.
Hukuman ekskomunikasi yang diberlakukan di zaman para rasul dicatat dalam surat Rasul Paulus kepada jemaat/ Gereja di Korintus, yaitu di perikop 1 Kor 5: 1-13:
Konteks surat Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus, yang tertulis dalam 1 Kor 5:5 adalah tentang sangsi ekskomunikasi, sebagaimana disebutkan di ayat sebelumnya yaitu ayat 3, yaitu tentang sangsi yang dikenakan kepada anggota jemaat yang berbuat cabul sedemikian rupa, bahkan yang tidak diperbuat oleh bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah (1 Kor 5:1).
Berikut ini adalah keterangan yang disarikan dari The Navarre Bible, untuk perikop tersebut:
Perbuatan cabul yang disebutkan di sini adalah incest, yaitu seseorang yang hidup bersama dengan istri ayahnya (bukan ibunya sendiri melainkan ibu angkatnya. Kemungkinan ayahnya wafat, dan kemudian sang anak hidup bersama sebagai suami istri dengan ibu tirinya itu. Perbuatan ini menimbulkan skandal, karena bahkan dilarang oleh hukum Roma (hukum bangsa pagan). Nampaknya jemaat di Korintus seakan mentolerir perbuatan sang anak itu, karena salah menginterpretasikan pertobatan/ kelahiran baru dalam Baptisan, seolah mengabaikan ikatan keluarga yang lama/ sebelumnya.
Rasul Paulus tidak menerima tingkah laku yang sedemikian. Ia menekankan bahwa perbuatan itu adalah dosa berat. Rasul Paulus menyatakan bahwa sang anak itu berdosa, dan juga jemaat yang membiarkan tindakan yang demikian. Ajaran Yesus adalah, bahwa jemaat harus mengkoreksi anggotanya jika ia berbuat dosa, pertama dengan empat mata, jika tak berhasil, dengan memanggil satu atau dua orang saksi lainnya, dan jika tak berhasil juga, membawa permasalahan ini kepada jemaat; dan jika masih tidak berhasil, orang itu harus dianggap sebagai di luar kalangan mereka (lih. Mat 18:15-17), atau yang kini dikenal dengan istilah ekskomunikasi.
Maka konteks ayat 1 Kor 5:5 ini berkaitan dengan kasus ekskomunikasi. Rasul Paulus mengatakan bahwa ekskomunikasi: 1) diadakan ‘di dalam nama Tuhan Yesus’, yang menyatakan penilaian Gereja yang mengatasi pandangan pribadi manusia; 2) ‘dengan kuasa Tuhan Yesus’, menunjukkan bahwa Gereja mempunyai kuasa yang diperoleh dari Kristus sendiri, “Apa yang ikat di dunia akan terikat di surga” (Mat 18:18, 16:19, 28:28); 3) diadakan ketika ‘kita berkumpul dalam roh, kamu bersama-sama dengan aku’, yang menunjukkan hal kolegialitas tentang keputusan itu, yang diambil di bawah otoritas hirarkis dari Rasul Paulus; 4) ‘orang itu harus diserahkan kepada Iblis’, yang berarti bahwa orang itu harus dikeluarkan dari Gereja, maksudnya, tidak diperbolehkan menerima sakramen- sakramen Gereja, dan dengan demikian menjadi terekspos terhadap kuasa si jahat. Langkah ekskomunikasi ini merupakan langkah terakhir yang diambil oleh otoritas Gereja, jika upaya pemberitahuan secara damai tidak berhasil.
St. Thomas Aquinas menjelaskannya demikian, “Orang yang di-ekskomunikasi, karena mereka berada di luar Gereja, kehilangan keuntungan-keuntungan yang terkandung di dalamnya. Ada pula bahaya tambahan: doa-doa Gereja membuat Iblis kurang berdaya untuk mencobai kita; maka ketika seseorang tidak lagi termasuk di dalam Gereja, ia akan dengan mudah dikalahkan oleh Iblis. Demikianlah yang terjadi di Gereja perdana, ketika seseorang di-ekskomunikasi, maka umumnya ia mengalami penyiksaan secara fisik oleh Iblis.” (St. Thomas Aquinas, Super Symbolum Apostolorum, 10). Namun demikian, hukuman ini merupakan sangsi yang sementara, yang dilakukan ‘agar rohnya diselamatkan pada hari Tuhan’, maksudnya adalah sangsi ini diberlakukan agar orang itu dapat memperbaiki kelakuannya.
Sepanjang sejarah, Gereja telah menggunakan kuasa untuk memberlakukan sangsi (bahkan ekskomunikasi) ketika usaha persuasi telah gagal. “Jika karena beratnya dosa, maka hukuman secara publik diperlukan, mereka [para uskup] harus menggunakan ketegasan dengan kelemahlembutan, keadilan dan belas kasihan, untuk mempertahankan disiplin yang baik dan diperlukan oleh umat, dan untuk memimpin mereka yang dikoreksi untuk memperbaiki kesalahannya; atau jika mereka tak mau memperbaikinya, agar hukuman mereka dapat menjadi peringatan yang baik bagi semua orang yang lain, sehingga mereka terhindar dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang.” (Konsili Trente, De reformatione, bab 1).
Selanjutnya tentang ekskomunikasi, dapat membaca di link ini: https://www.newadvent.org/cathen/05678a.htm
Berikut ini adalah ringkasan mengenai tindakan-tindakan yang dapat mengakibatkan ekskomunikasi:
Ekskomunikasi yang dapat dijatuhkan oleh Paus: (imposed upon)
- Semua apostasi/ heresi dan mereka yang mengikuti dan mendukung mereka.
- Mereka yang membaca buku-buku yang dikarang oleh para apostat dan heretik, yang telah dilarang oleh Tahta Suci; mereka yang menyimpan bahkan mencetak dan mempertahankan apa yang disampaikan di sana.
- Para skismatik yang secara keras kepala menentang otoritas Paus.
- Mereka yang meminta kepada pihak ordinansi (keuskupan, pimpinan Ordo) untuk diadakannya konsili dan yang memberi bantuan/ dukungan akan permohonan ini.
- Mereka yang membunuh, menyerang, bertindak kekerasan terhadap kardinal, patriarkh, uskup, nuncio.
- Mereka yang baik secara langsung atau tidak langsung mencegah pelaksanaan yurisdiksi gerejawi, dan malah mencari perlindungan dari pengadilan sekular.
- Mereka yang langsung atau tidak langsung mengharuskan hakim awam untuk memberikan keputusan terhadap personel gerejawi di pengadilan mereka, kecuali pada kasus-kasus yang dilengkapi dengan perjanjian kanonik, dan mereka yang menetapkan hukum melawan hak-hak Gereja.
- Mereka yang mencari perlindungan kepada kekuasaan awam untuk mencegah penyebaran surat-surat Apostolik apapun yang dikeluarkan oleh Tahta Suci.
- Mereka yang memalsukan Surat-surat Apostolik berkenaan dengan rahmat atau keadilan yang ditandatangani oleh Paus atau wakilnya, ataupun memalsukan tandatangan Paus ataupun wakilnya sehubungan dengan hal tersebut.
- Mereka yang memberi absolusi kepada orang yang dengannya ia berbuat dosa percabulan.
- Mereka yang merampas/ menarik kepemilikan Gereja.
- Mereka yang merusak, menguasai, tempat-tempat atau hak-hak Gereja Roma.
Ekskomunikasi yang secara jelas dinyatakan/ dilepaskan oleh Paus:
- Mereka yang mengajarkan atau mempertahankan paham yang dikecam oleh Tahta Suci di bawah sanksi ekskomunikasi latae sententiae.
- Mereka yang menyerang personel gerejawi/ kaum religius.
- Mereka yang bertarung duel (dengan maksud pembunuhan), dan mereka semua yang terlibat di dalamnya.
- Mereka yang mendukung/ menjadi anggota sekte Masonik, Carbonari atau sejenisnya, baik yang terang-terangan atau secara rahasia menentang Gereja dan otoritas legitimnya.
- Mereka yang memerintahkan merusak imunitas tempat-tempat perlindungan gerejawi.
- Mereka yang merusak biara, memperkosa biarawati; biarawati yang meninggalkan biaranya tanpa memenuhi ketentuan konstitusi menurut St. Pius V.
- Para wanita yang masuk ke seminari/ clausura kaum religius pria dan superior yang menerima mereka.
- Mereka yang nyata melakukan simoni untuk memperoleh posisi gerejawi.
- Mereka yang melakukan simoni secara rahasia untuk memperoleh kesempatan mendapat posisi gerejawi.
- Mereka yang melakukan simoni untuk memasuki order religius.
- Mereka yang mengedarkan Indulgensi secara tidak sah.
- Mereka yang mengumpulkan stipendium dari Misa dan memperoleh keuntungan darinya.
- Mereka yang diekskomunikasi menurut konstitusi Paus St. Pius V, dst, berkenaan dengan pengasingan kota-kota yang menjadi daerah milik Gereja Roma.
- Kaum religius yang tanpa izin pastor paroki, memberikan sakramen Perminyakan suci, Ekaristi/ Viaticum kepada personel gerejawi atau awam, kecuali dalam keadaan mendesak.
- Mereka yang tanpa izin mengambil relikwi dari kubur atau katakomba Roma atau kawasannya; dan mereka yang mendukungnya.
- Mereka yang bersekutu dengan/ memberi bantuan kepada orang yang telah menerima ekskomunikasi dari Paus.
- Kaum klerik yang tahu dan sadar dengan keinginan penuh bersekutu (in communion) dengan orang-orang (yang dengan nama) telah diekskomunikasi oleh Paus.
Ekskomunikasi yang dapat dilepaskan oleh uskup:
- Personel gerejawi dalam Ordo atau yang tak di bawah ordo, atau biarawati yang nekad menikah meski telah melakukan kaul kemurnian, dan juga semua orang yang menikah dengan salah seorang dari orang-orang ini.
- Mereka yang berhasil melakukan aborsi.
- Mereka yang dengan sengaja menggunakan/ mencari keuntungan dari Surat-surat Apostolik yang palsu atau yang bekerjasama melakukan kejahatan pemalsuan ini.
Shalom, saya mau tanya sejauh mana ekskomunikasi bisa membuat seseorang semakin jera??
[Dari Katolisitas: Dengan menerima sangsi ekskomunikasi (dikeluarkan dari persekutuan penuh dengan jemaat, lih. Mat 18:15-18), seseorang tidak dapat lagi menerima sakramen- sakramen Gereja, kecuali sakramen Pengakuan dosa. Maka ia tetap Katolik, namun tidak sepenuhnya dapat mengambil bagian dalam kehidupan Gereja. Ia tetap dapat mengikuti perayaan Ekaristi, tetapi tidak dapat mengambil bagian sebagai petugas liturgi, dan tak dapat menerima Komuni kudus. Tanpa dapat menerima rahmat Allah yang mengalir kepadanya lewat bantuan Gereja, orang tersebut mengalami keadaan yang dapat membuatnya merenungkan kembali akan konsekuensi perbuatannya melawan Gereja dan Kristus yang mendirikannya. Demikianlah maka kita dapat melihat kasus sejumlah orang yang setelah diekskomunikasi, lalu kemudian bertobat dan kembali ke pangkuan Gereja, seperti halnya Kaisar Theodosius I (di abad ke-4), Raja Yohanes dari Inggris dan Kaisar Romawi Frederikus II (abad ke-13), Raja Perancis Henry IV (abad ke- 16), ke-4 uskup SSPX yang ditahbiskan oleh Uskup Agung Marcel Lefebvre tanpa seizin Paus, dan Fr. Feonard Feeney (abad ke-20).]
Dengan hormat,
Saya ingin meminta penjelasan lebih lanjut dari team Katolisitas, khususnya Pak Tay, mengenai kalimat berikut ini:
<>
Pertanyaan saya:
1. Kapankah Bunda Gereja Kudus menyatakan lift-off atas ekskomunikasi terhadap Uskup Agung skismatik Marcel Lefebvre? Sepanjang yang saya tahu dari seluk beluk riwayat SSPX, yang mendapatkan anugerah pencabutan ekskomunikasi HANYA 4 USKUP SSPX yang ditahbiskan oleh Uskup Marcel Lefebvre. Dan permohonan pencabutan ekskomunikasi itu sendiri dimohonkan SETELAH USKUP LEFEBVRE WAFAT. Jadi, kembali pertanyaan saya, kapankah ekskomunikasi atas Lefebvre dicabut? Sebelum dia wafat atau sesudah dia wafat?
2. Jika hendak dinyatakan bahwa ekskomunikasi atas Lefebvre dicabut setelah wafatnya, saya mohon diberikan penjelasan di sini, kapan dan siapa saja orang-orang skismatik yang dicabut status ekskomunikasinya setelah wafat?
3. Apakah jawaban yang mengangkat contoh “Uskup Agung Marcel Lefebvre dan ke-4 uskup yang ditahbiskannya tanpa seijin Paus” tidak JUSTRU BERKONTRADIKSI dengan pernyataan (penjelasan) soal Ekskomunikasi yang mana hanya menyebutkan <> sehingga jelas bahwa yang mengalami pencabutan ekskomunikasi hanyalah 4 uskup itu (karena Marcel Lefebvre sudah wafat sebelum menyatakan penyesalan kepada Paus sehingga tidak sempat mendapatkan pencabutan ekskomunikasi).
Saya berharap pertanyaan saya mendapatkan penjelasan atas 2 hal yang bertentangan.
Dan jika ternyata uskup Lefebvre tidak pernah mendapatkan pencabutan status skisma, maka saya mohon team katolisitas berkenan untuk merevisi jawabannya terhadap pertanyaan saudari Fransiska Esty dan juga di dalam sebuah katekese yang khusus membahas tentang SSPX.
Saya memohon adanya katekese khusus tentang SSPX karena saya mengalami beberapa kali interaksi dengan sebagian kalangan yang menempatkan SSPX sebagai semacam role model atau teladan dalam hal keberanian, dan saya melihat kecenderungan itu amat tidak menyehatkan iman.
Bunda Gereja Kudus tidak kekurangan “stock” para Kudus baik pra maupun pasca Konsili Vatikan II, sehingga tidak berguna kiranya menganggap seorang skismatik (meskipun tidak heretic) sebagai acuan dalam hal keimanan.
Terimakasih. Berkah Dalem!
[Dari Katolisitas: Terima kasih atas koreksi Anda. Pernyataan ekskomunikasi kepada Uskup Agung Marcel Lefebvre yang dikeluarkan oleh St. Paus Yohanes Paulus II memang tidak pernah dicabut, karena Uskup Agung Lefebvre tidak menyatakan keinginannya untuk bersatu kembali sepenuhnya dengan Paus. Yang dicabut oleh Paus Benediktus XVI (tanggal 21 Jan 2009) adalah pernyataan ekskomunikasi kepada 4 orang Uskup yang ditahbiskan oleh Uskup Agung Lefebvre tersebut, sebab mereka yang diwakili oleh Uskup Fellay, menulis surat permohonan kepada Paus. Ya, kami sudah merevisi jawaban kami kepada Fransiska Esty. Sedangkan dalam artikel tentang SSPX memang kami tidak menyebutkan bahwa pernyataan ekskomunikasi terhadap Uskup Agung Lefebvre telah dicabut.]
Dengan hormat,
Saya ingin meminta penjelasan lebih lanjut dari team Katolisitas, khususnya Pak Tay, mengenai kalimat berikut ini:
“Demikianlah maka kita dapat melihat kasus sejumlah orang yang setelah diekskomunikasi, lalu kemudian bertobat dan kembali ke pangkuan Gereja, seperti halnya Kaisar Theodosius I (di abad ke-4), Raja Yohanes dari Inggris dan Kaisar Romawi Frederikus II (abad ke-13), Raja Perancis Henry IV (abad ke- 16), Uskup Agung Marcel Lefebvre dan ke-4 uskup yang ditahbiskannya tanpa seizin Paus”
Pertanyaan saya:
1. Kapankah Bunda Gereja Kudus menyatakan lift-off atas ekskomunikasi terhadap Uskup Agung skismatik Marcel Lefebvre? Sepanjang yang saya tahu dari seluk beluk riwayat SSPX, yang mendapatkan anugerah pencabutan ekskomunikasi HANYA 4 USKUP SSPX yang ditahbiskan oleh Uskup Marcel Lefebvre. Dan permohonan pencabutan ekskomunikasi itu sendiri dimohonkan SETELAH USKUP LEFEBVRE WAFAT. Jadi, kembali pertanyaan saya, kapankah ekskomunikasi atas Lefebvre dicabut? Sebelum dia wafat atau sesudah dia wafat?
2. Jika hendak dinyatakan bahwa ekskomunikasi atas Lefebvre dicabut setelah wafatnya, saya mohon diberikan penjelasan di sini, kapan dan siapa saja orang-orang skismatik yang dicabut status ekskomunikasinya setelah wafat?
3. Apakah jawaban yang mengangkat contoh “Uskup Agung Marcel Lefebvre dan ke-4 uskup yang ditahbiskannya tanpa seijin Paus” tidak JUSTRU BERKONTRADIKSI dengan pernyataan (penjelasan) soal Ekskomunikasi yang mana hanya menyebutkan “para uskup yang ditahbiskan tersebut telah menyatakan penyesalannya kepada Bapa Paus, sehingga, Paus Benediktus XVI memutuskan untuk mengangkat sangsi ex-komunikasi terhadap ke-4 uskup tersebut pada bulan Januari 2009 ini” sehingga jelas bahwa yang mengalami pencabutan ekskomunikasi hanyalah 4 uskup itu (karena Marcel Lefebvre sudah wafat sebelum menyatakan penyesalan kepada Paus sehingga tidak sempat mendapatkan pencabutan ekskomunikasi).
Saya berharap pertanyaan saya mendapatkan penjelasan atas 2 hal yang bertentangan.
Dan jika ternyata uskup Lefebvre tidak pernah mendapatkan pencabutan status skisma, maka saya mohon team katolisitas berkenan untuk merevisi jawabannya terhadap pertanyaan saudari Fransiska Esty dan juga di dalam sebuah katekese yang khusus membahas tentang SSPX.
Saya memohon adanya katekese khusus tentang SSPX karena saya mengalami beberapa kali interaksi dengan sebagian kalangan yang menempatkan SSPX sebagai semacam role model atau teladan dalam hal keberanian, dan saya melihat kecenderungan itu amat tidak menyehatkan iman.
Bunda Gereja Kudus tidak kekurangan “stock” para Kudus baik pra maupun pasca Konsili Vatikan II, sehingga tidak berguna kiranya menganggap seorang skismatik (meskipun tidak heretic) sebagai acuan dalam hal keimanan.
Terimakasih. Berkah Dalem!
[Dari Katolisitas: Ya, Anda benar. Terima kasih atas koreksi Anda. Pernyataan ekskomunikasi terhadap Uskup Agung Marcel Lefebvre oleh Paus Yohanes Paulus II (dalam Ecclesia Dei, 2Juli 1988) tidak pernah dicabut. Yang dicabut oleh Paus Benediktus XVI (tanggal 24 Jan 2009) adalah pernyataan ekskomunikasi kepada ke-empat Uskup yang ditahbiskan oleh Uskup Agung Marcel Lefebvre, karena permohonan mereka yang ditulis atas nama Uskup Fellay kepada Paus Benediktus XVI. Kami akan meralat tulisan yang menyangkut informasi ini. Sekali lagi terima kasih atas koreksi Anda.]
Yth Pak Stef/Bu Inggrid. Saya ingin bertanya, mengapa Gereja hanya menjatuhkan sanksi moral saja, bukan sanksi pidana ?? Apakah dengan sanksi moral orang yang telah berbuat salah itu akan kembali ke jalan yang benar ?? Apakah cukup tegas sanksi moral itu ?? Sekian pertanyaan dari saya, terimakasih
[Dari Katolisitas: Ranah Gereja adalah dalam hal iman dan moral, maka sanksi yang diberikan juga dalam rangka menegakkan iman dan moral. Hal sanksi pidana itu adalah ranah pemerintah sipil negara yang bersangkutan. Sejujurnya, seharusnya jika seseorang memiliki hati nurani yang baik, sanksi moral akan mengembalikannya ke jalan yang benar.]
Di atas disebutkan bahwa
“Ex-komunikasi merupakan prosedur formal dari Gereja kepada seseorang/ kelompok orang, yang menyatakan status mereka sebagai ‘di luar’ komunitas Gereja”.
Yang saya tangkap adalah bahwa ekskomunikasi merupakan suatu prosedur yang menyatakan bahwa seseorang berada di luar Gereja. Jadi, sebelum dinyatakan, orang tersebut sebenarnya sudah berada di luar Gereja, namun Gereja secara formal memberitahukannya kepada orang tersebut bahwa ia sedang berada di luar Gereja.
Bila pemahaman saya itu benar, maka apakah ekskomunikasi sifatnya infalible, dalam artian bahwa seseorang yang dinyatakan dalam keadaan ekskomunikasi benar benar pasti berada di luar Gereja, yang artinya keselamatan mereka tidak dijamin?
atau sebenarnya ekskomunikasi merupakan prosedur pengeluaran seseorang dari dalam Gereja? Jadi sebelum dinyatakan, orang tersebut masih merupakan bagian dari Gereja, namun setelah dinyatakan, menjadi di luar Gereja.
Kemudian, dari link ini, dikatakan bahwa lagu Miserere mei, Deus tidak boleh ditulis dan dimainkan di luar Vatikan, dimana ancaman yang dikeluarkan oleh Paus pada saat itu adalah ekskomunikasi. Apakah Paus memiliki kuasa untuk mengekskomunikasi seseorang hanya karena lagu? Ataukah ini merupakan suatu bentuk penyelewengan kekuasaan?
Terima kasih atas jawabannya.
Shalom Qwarts,
Pernyataan ekskomunikasi terhadap seseorang itu tidak bersifat infallible, dalam artian tetap tidak berubah. Yang tidak berubah adalah ajaran yang mendasarinya, tetapi penerapan sangsinya terhadap orang yang melanggar, itu tetap, hanya selama orang itu menentang Gereja. Jika orang yang bersangkutan itu bertobat, maka sangsi ekskomunikasi itu dapat dicabut oleh Paus. Justru itulah maksud dari hukuman ekskomunikasi, yaitu supaya orang yang bersangkutan benar-benar menyadari kekeliruannya, dan dapat kembali ke pangkuan Gereja.
Maka yang menerima pernyataan ekskomunikasi memang adalah seseorang dari dalam Gereja Katolik (tadinya seorang Katolik). Jika orang itu mengajar suatu ajaran yang sesat/ bertentangan dengan ajaran Magisterium Gereja, ia akan mendapat peringatan dari pihak otoritas Gereja. Namun jika sudah berkali-kali diperingati tetapi tetap berkeras, maka ia dapat terkena sangsi ekskomunikasi. Silakan membaca di situs ini selanjutnya tentang ekskomunikasi, silakan klik. Maka sebenarnya, dengan pernyataan ekskomunikasi, seseorang dinyatakan “berada di luar komunitas Gereja” oleh pihak otoritas Gereja Katolik. Ini tidak berarti bahwa Gerejalah yang berinisiatif mengeluarkan dia. Tetapi inisiatif datang dari orang itu sendiri yang berkeras memisahkan diri dari Gereja, yang dibuktikan dengan tindakan nyata yang menyatakan bahwa ia tidak mau taat kepada ajaran dan otoritas Gereja Katolik.
Nah tentang ancaman ekskomunikasi terhadap orang yang memainkan lagu Miserere karangan Allegri di luar Vatikan, itu sepertinya adalah berita burung. Vatikan tidak pernah mengeluarkan dekrit apapun sehubungan dengan itu. Jika Anda mempunyai informasinya tentang hal itu, silakan Anda sampaikan kepada kami. Mohon diperiksa apakah sungguh dekrit itu dikeluarkan dari Vatikan, atau Paus manakah yang mengeluarkan dekrit tersebut. Sekarang bahkan kita dapat mendengarkan lagu ini via youtube, yang nampaknya juga direkam bukan di Vatikan. Tidak ada tulisan/ pernyataan dari Vatikan bahwa mereka semua ini terkena ekskomunikasi, atau orang Katolik yang menyanyikannya terkena ekskomunikasi. Sungguh, Paus tidak akan semudah itu mengeluarkan sangsi ekskomunikasi. Ekskomunikasi diberikan setelah terjadi pelanggaran yang sungguh serius, dan telah diperingati berulang-ulang namun tidak diindahkan. Dasar dari diberlakukannya sangsi ini adalah ajaran Yesus sendiri dalam Injil (lih. Mat 18:15-18).
Sudah saatnya kita menyikapi informasi dengan sikap yang lebih kritis, dan jangan asal percaya saja. Mari meneliti dulu buktinya, sebelum kita mengambil kesimpulan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear Katolisitas,
Sepanjang sejarah, Gereja telah menggunakan kuasa untuk memberlakukan sangsi (bahkan ekskomunikasi) ketika usaha persuasi telah gagal. “Jika karena beratnya dosa, maka hukuman secara publik diperlukan, mereka [para uskup] harus menggunakan ketegasan dengan kelemahlembutan, keadilan dan belas kasihan, untuk mempertahankan disiplin yang baik dan diperlukan oleh umat, dan untuk memimpin mereka yang dikoreksi untuk memperbaiki kesalahannya; atau jika mereka tak mau memperbaikinya, agar hukuman mereka dapat menjadi peringatan yang baik bagi semua orang yang lain, sehingga mereka terhindar dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang.” (Konsili Trente, De reformatione, bab 1).
Apakah Gereja Katolik dulu menganiaya bahkan membunuh para reformis setelah Konsili Trente sebagai konsekuensi hasil konsili tersebut? Kalau memang iya, mengapa hal itu dilakukan?
Shalom Lody,
Sejauh yang saya ketahui, pernyataan Konsili Trente tentang hukuman terhadap mereka yang dikoreksi untuk memperbaiki kesalahannya, itu berkaitan dengan sangsi gerejawi, terhadap imam atau anggota Gereja lainnya yang telah melakukan perbuatan yang menyimpang yang dapat membahayakan iman umat secara keseluruhan. Hal sangsi gerejawi ini masih diberlakukan dalam Kitab Hukum Kanonik sekarang. Contohnya seperti diambilnya hak dan tugas sebagai imam, pada imam tertentu yang mengajarkan ajaran yang menyimpang, setelah diperingati berkali-kali oleh otoritas Gereja. Terhadap Martin Luther (dan mereka yang berpegang kepada ajarannya), yang dilakukan Gereja Katolik adalah menyatakan bahwa ajarannya itu tidak benar, dengan menyatakan “anathema“. Ana (artinya diangkat/ dikeluarkan)- thema (keterpisahan), maka artinya dikeluarkannya sesuatu yang terpisah. Memang dengan pandangan yang menyimpang dari ajaran Gereja Katolik, mereka itu sudah memisahkan diri dari Gereja Katolik. Gereja Katolik hanya menyatakan secara definitif keterpisahan ini. Selanjutnya, sekilas tentang Luther dan ekskomunikasinya, silakan klik di sini.
Sedangkan tentang kasus yang Anda tanyakan terhadap kaum Reformis, nampaknya adalah kasus pembantaian kaum Huguenot, yang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan Gereja Katolik. Tentang hal ini sudah pernah dibahas di artikel ini, silakan terlebih dahulu untuk membacanya, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Yth Romo Wanta,
Jika seorang klerus atau umat yang mempunyai pandangan atau ajaran yang bertentangan dengan magisterium tetapi “akhirnya dinyatakan benar” padahal untuk menyatakan benar atau tidaknya seseorang tersebut harus mensosialisasikan pandangannya, harus mendiskusikan ke orang-orang atau meminta tanggapan-tanggapan, untuk menghindari ekskomunikasi tersebut, apa yang harus dilakukan oleh orang tersebut ?
Kalau orang tersebut diam saja karena ketakutan akan diekskomunikasi, maka akan menjadi kerugian GK atas kekayaan ilmu atau pandangan orang tersebut sekalipun akhirnya terbukti benar pendapatnya itu.
salam kasih, rs
Roni Yth
Tidak semudah itu bahwa ada pandangan awam yang bertentangan dengan ajaran Gereja lalu dikatakan benar. Karena ajaran yang dinyatakan tidak benar selalu dilihat oleh komisi teologi. Pada umumnya membutuhkan waktu lama karena harus dikaji dan dipelajari oleh para teolog.
salam
Rm Wanta
Romo Wanta tidak menjawab persoalan yang diangkat sdr. RS. Yang saya paham dari pernyataan sdr RS adalah ia meminta tanggapan dari Romo bagaimana jika ada umat (klerus/awam) yang membuat pernyataan yang “bertentangan” dengan magisterium saat itu dan dikemudian hari ternyata pernyataannya itu benar. Sdr RS bukan minta penjelasan bagaimana prosedur yang ada di komisi teologi.
Mungkin yang dimaksud sdr RS misalnya seperti kasus Galileo Galilei (awam) dan saya juga pernah baca ada tokoh imam yang akhirnya diekskomunikasi. Padahal dikemudian hari pernyataan mereka itu benar. Malahan kedua tokoh ini mati dengan membawa status ekskomunikasi.
Sekedar contoh perbandingan saja (sedikit agak melenceng) adalah kasus Pastor Yohannes Maria Vianney. Uskup dan rekan imam lainnya menganggap pastor ini bodoh; dan agar kebodohannya ini tidak diketahui oleh orang banyak dan agar orang banyak tidak mendapatkan pengajaran yang salah karena kebodohannya, maka ia disingkirkan di sebuah paroki yang amat sangat terpencil. Tapi apa yang terjadi? Saya yakin romo Wanta sudah tahu.
Shalom Brian,
Nampaknya ada persepsi yang keliru dalam argumen Anda. Tentang permasalahan Galileo, silakan membaca terlebih dahulu di artikel ini, silakan klik.
Jika Paus Yohanes Paulus II pernah meminta maaf sehubungan dengan kasus Galileo, itu disebabkan karena Paus melihat adanya fakta bahwa penanganan kasus Galileo tersebut yang tidak sempurna, yang sampai melibatkan penahanan Galileo, walaupun sebagai tahanan rumah. Ini adalah sesuatu yang idealnya tidak perlu terjadi, jika dialog dan proses pembuktian berjalan dengan baik. Namun sejujurnya, ada juga kesalahan dari pihak Galileo, sebagaimana telah disebutkan di link tersebut di atas.
Sejujurnya, saya belum pernah mengetahui jika ada tokoh imam atau awam yang, menurut Anda, telah “membuat pernyataan yang “bertentangan” dengan magisterium saat itu dan di kemudian hari ternyata pernyataannya itu benar.” Silakan Anda sebutkan (dengan sumber yang jelas), siapakah mereka, tahun berapa mereka mendapat ekskomunikasi (apakah benar itu ekskomunikasi?- adakah surat resminya dari Paus), karena apakah, dan tahun berapakah kemudian Magisterium menyatakan bahwa pernyataan mereka benar? Saya kok belum pernah mengetahui ada kasus yang sedemikian. Jika sampai sangsi ekskomunikasi diangkat, umumnya itu didahului oleh kesediaan dari orang yang bersangkutan untuk bertobat dan kembali menaati apa yang telah ditetapkan oleh Magisterium yang memperoleh kuasa mengajar dari Kristus.
Pastor Yohanes Maria Vianney tidak pernah mendapat hukuman ekskomunikasi. Ia memang pernah dianggap kurang pandai oleh otoritas Gereja setempat, sehingga ia ditempatkan di paroki yang kecil. Namun ini bukan ekskomunikasi. Pihak otoritas Gereja berhak menempatkan imam-imamnya berdasarkan kebijaksanaan mereka, yang ingin menghindari resiko imam salah menyampaikan pengajaran dan mempengaruhi banyak orang. Bahwa kemudian Tuhan justru bekerja melalui kelemahan St. Yohanes Maria Vianney ini, telah kita ketahui, sebab memang ia tidak banyak mengajar dengan khotbah yang berapi-api, namun teladan kesucian hidupnya, dan karisma-karisma yang dimilikinya sebagai seorang imam terutama saat memberikan pendampingan dalam sakramen Pengakuan Dosa, membuat banyak sekali orang datang mengunjunginya, untuk mohon didoakan, menerima sakramen-sakramen dan bimbingan rohani. Namun sekali lagi, ini tak ada hubungannya dengan hukuman ekskomunikasi, karena ekskomunikasi tidak diberlakukan di sini. Silakan membaca kembali pengertian hukuman ekskomunikasi di artikel di atas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Rm Wanta yang terkasih,
Yang pertama sekali harus romo ingat adalah bahwa tulisan saya mau mengingatkan romo bahwa jawaban romo atas pertanyaan sdr Roni tidak menjawab persoalan.
Terima kasih atas info Galileo-nya. Namun ada pernyataan romo yang menarik: “Ini adalah sesuatu yang idealnya tidak perlu terjadi, jika dialog dan proses pembuktian berjalan dengan baik.” Nah, seperti inilah yang dimaksudkan oleh sdr Roni.
Soal imam yang diekskomunikasi lalu ada kebenaran kemudian, saya memang sudah lupa. Tapi nanti saya coba cari lagi bukunya.
Romo sangat keliru menilai pernyataan saya soal Yohanes Maria Vianney. Saya tidak pernah menulis atau mengatakan bahwa Yohanea Maria Vianney itu diekskomunikasi. Itu hanya kesimpulan romo yang sangat gegabah. Padahal diawal alinea saya sudah katakan: “Sekedar contoh perbandingan saja (sedikit agak melenceng).” Silahkan romo baca sekali lagi, TIDAK ada kata ekskomunikasi pada alinea itu. Saya mengungkapkan contoh ini untuk menunjukkan bahwa petinggi gereja bisa keliru. Nah, bagaimana menyikapi kasus ini (petinggi gereja yang keliru)
Salam A
Shalom Brian,
Konteks topik yang sedang dibicarakan oleh Roni adalah hal hukum ekskomunikasi. Maka ketika Anda menyebutkan contoh soal Pastor Yohannes Maria Vianney, adalah logis jika orang menyangka bahwa contoh itu adalah contoh untuk menanggapi argumen yang Anda sebut pada alinea tepat sebelumnya, yaitu tentang “tokoh imam yang diekskomunikasi“. Jika Anda tidak memaksudkannya demikian, agar orang dapat memahami pemikiran Anda, seharusnya Anda mengatakannya secara eksplisit, seperti, “Sekedar contoh perbandingan saja, (sedikit agak melenceng), adalah kasus Pastor Yohanes Maria Vianney, walaupun kasusnya ialah bukan kasus ekskomunikasi“, supaya orang mengetahui bahwa “sedikit agak melenceng” itu maksudnya adalah “contoh yang bukan kasus ekskomunikasi”. Sebab kalau Anda tidak menyebutkan demikian, wajarlah jika orang menyangka bahwa contoh yang Anda sebutkan itu masih berhubungan dengan topik ekskomunikasi yang Anda sebut di alinea sebelumnya. Kalau ternyata Anda tidak bermaksud demikian, ya baik, artinya sudah clear di sini. Mohon maaf jika saya salah paham, tetapi nampaknya harus diterima juga, bahwa sesungguhnya Anda dapat menyampaikan pernyataan dengan lebih presisi di kemudian hari, agar tidak membuat orang yang membaca tulisan Anda menjadi salah paham.
Pemimpin Gereja (dalam hal ini Uskup) dapat saja kurang bijaksana dalam menindaklanjuti ketentuan ajaran. Namun dalam hal ajaran iman dan moral, Uskup yang dalam kesatuan dengan Bapa Paus, tidak pernah keliru, karena Tuhan Yesus telah menjamin kuasa mengajar yang tidak mungkin salah, kepada para rasul dan kepada para penerus mereka (lih. Mat 16:18-19; 18:18). Uskup bersama dengan Paus- yang menjalankan kuasa mengajar Gereja, mempunyai tanggungjawab terhadap penggembalaan umat yang dipercayakan kepadanya. Maka atas dasar ini, ia dapat menentukan penugasan imam-imam yang di bawah koordinasinya sesuai dengan talenta dan karisma masing-masing. Jika ternyata ia kurang bijaksana dalam menempatkan imam, itu bukan kesalahan pada tahap ajaran tetapi pada tahap pelaksanaan. Maka menjadikan contoh bagaimana Uskup menugasi Pastor Yohanes Maria Vianney sebagai contoh kesalahan pemimpin Gereja dalam mengajar (sebab ekskomunikasi selalu menyangkut pengajaran iman dan moral) menjadi tidak relevan, sebab perbandingan yang diambil sebagai contoh tidak mewakili topik yang sedang dibicarakan. Uskup bahkan Paus sebagai manusia biasa, tetap dapat melakukan kesalahan (oleh karena itu merekapun secara rutin tetap mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan Dosa). Namun yang dijamin tidak mungkin salah adalah, jika mereka melakukan kuasa mengajar Gereja. Tentang hal infalibilitas ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.
Dalam dialog selanjutnya, silakan jika Anda menyampaikan argumen, sampaikan pula sumbernya dengan jelas, sehingga kami dapat memeriksanya juga agar sama-sama kita dapat melihat apakah sebenarnya fakta yang terjadi. Maka, saya setuju dengan pernyataan Romo Wanta, bahwa tidak semudah itu bahwa ada pandangan awam (maupun imam) yang bertentangan dengan ajaran Gereja lalu dikatakan benar. Sebab dalam merumuskan ajaran, Gereja umumnya telah terlebih dahulu mengkajinya secara mendalam dan menyeluruh, sambil memperhatikan warisan ajaran Tradisi Suci dalam sejarah Gereja, sehingga setelah dirumuskan, tidak dapat dengan mudah diubah.
Akhirnya, silakan melanjutkan diskusi dengan saya, dan jangan menuduh Romo Wanta yang salah paham, karena yang menanggapi komentar Anda yang terakhir itu saya, dan bukan Romo Wanta.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Ibu Ingrid yang baik,
Memang maksud pernyataan saya “Sekedar contoh perbandingan saja, (sedikit agak melenceng)” itu adalah seperti yang ibu maksudkan. Saya berpikir dengan pernyataan tu saja orang sudah bisa paham.
Soal kesatuan uskup dengan Paus itu saya sudah mengerti dan dalam ajaran iman dan moral. Memang, pengambilan contoh Pastor Yohanes Maria Vianney, titik beratnya pada kesalahan kebijakan, bukan kesalahan ajaran.
Soal sumber itu, saya sedang mencari. Saya merasa yakin pernah membaca buku yang mengungkapkan pernyataan seperti yang saya utarakan. Hanya memang harus membutuhkan waktu.
Maaf, saya keliru. Saya pikir, yang menanggapi tulisan saya tadi Romo Wanta. Ternyata Ibu. Saya minta maaf atas kekeliruan saya.
[Dari Katolisitas: Tak apa, tapi selanjutnya mari kita saling percaya bahwa masing-masing dari kita bermaksud berdialog dengan tulus, sehingga tidak perlu menuduh. Tentang sumber itu, silakan dicari pelan-pelan. Satu hal, silakan mengacu kepada sumber yang resmi dari otoritas Gereja Katolik, sehingga informasinya dapat lebih dipercaya. Sebab di luar sana ada banyak orang mengatakan macam-macam, yang sepertinya meyakinkan, tetapi kalau dilihat, tidak ada sumber yang valid yang dapat mendukungnya.]
Rm Wanta Yth,
Saya baru dengar dari pastor paroki kami, bahwa daerah kami, yang selama ini adalah dekenat, akan berubah menjadi kevikepan. Langsung saja pertanyaan saya:
1. Apa beda antara Vikep (kevikepan) dan Deken (Dekenat)?
2. Apa saja ketentuan suatu wilayah itu menjadi kevikepan dan/atau dekenat?
3. Apa saja ketentuan seseorang menjadi vikep dan/atau deken?
4. Apa dasar perubahan dari dekenat ke kevikepan? Apakah itu berarti bahwa kevikepan lebih tinggi dari dekenat?
5. Tolong sertakan dasar hukumnya.
Demikianlah pertanyaan saya. Sekian dan terima kasih.
Shalom,
brian
Brian yth
1. Dekenat adalah suatu pembagian wilayah di dalam keuskupan berdasarkan kedekatan/ketetanggaan paroki. dimana deken menjadi koordinator para pastor paroki yang berdekatan. Deken adalah vicarius foraneus, archipresbyter (imam yang dituakan/diagungkan) sebagai deken memiliki tugas mengadakan pertemuan berkala bersama para pastor paroki satu wilayah dekenat, menertibakan adminsitrasi paroki, pembinaan rohani dengan rekoleksi bersama, mengkoordinir jika ada rama yang sakit dan berhalangan dalam karya pastoral. Deken tidak memiliki kuasa administratif/eksekutif.
2. Vikaris episkopal (vikep) adalah wakil uskup memiliki kuasa administratif/eksekutif maka dia bisa menggantikan uskup dalam memberikan dispensasi atas halangan dalam perkawinan. teritorial wilayah pembagian sama dengan dekenat atau pengembangan dekenat karena kebutuhan pelayanan pastoral agar efektif. Mis K Amboina banyak pulau dan berjauhan maka dibagi kevikepan atas kepulauan dan daratan yang terdiri dari beberapa paroki.
Tidak ada jenjang hirarki dekenat lebih rendah dari kevikepan/vikep. Pembagian ini wewenang Uskup karena pelayanan pastoral harus berjalan dengan baik dan uskup membutuhkan efektifitas dan efisiensi pelayanan jika ada pembantunya/wakilnya baik dengan sistem dekenat atau kevikepan.
Dasar hukum kan 553-kan 555, CD.11,1; LG 26, AG, 27. Baca Paroki dalam perspektif sejarah, hukum dan pastoral, Gst Bgs Kusumawanta, Nusatama Yogyakarta 2000
salam
Rm Wanta
Terima kasih infonya romo. Satu lagi pertanyaan saya, apakah vikep bisa memberikan sakramen krisma, yang adalah wewenang uskup?
Sekian dan terima kasih!
Brian yth,
Vikep bisa memberikan Sakramen Krisma, imam pun bisa memberikan Sakramen Krisma dalam keadaan khusus.
Salam,
Rm Wanta
Rm. Wanta Yth,
Sangat menarik mengikuti diskusi ini. Saya masih bingung dengan hukuman ekskomunikasi latae sententiae. Bagaimana penerapannya atas dosa atau pelanggaran yang hanya diketahui yang bersangkutan dan Allah, jika yang bersangkutan tidak punya kesadaran hati nurani?
Misalnya, kasus aborsi. Yang tahu aborsi itu kan cuma Tuhan dan pelaku (bidan/dokter, wanita dan cowoknya). Tanpa kesadaran diri, ia dapat saja tetap menyambut komuni. Atau imam yang selingkuh dan punya anak, tetap saja bisa melayani sakramen.
terima kasih
Brian yth
Latae setentiae adalah prosedur pemberian sanksi hukuman atas peniten tanpa melalui proses admisnitratif melainkan secara langsung. Prosedur ini tentu melalui kesaksian dari orang-orang yang mengetahuinya jika tidak ada yang mengetahui maka sanksi hukum tidak terjadi, atau karena si peniten menyembunyikan diri atau karena ketidaktahuan hukum. Bapa pengakuan juga tidak menyampaikan siapa yang melakukan aborsi namun dia hanya mencatat dan menyampaikan kepada ordinaris akan pemberian pengampunan dosa. Pada umumnya imam akan memberikan nasihat yang menyatakan dosa berat dan tidak diperkenankan untuk menerima komuni kudus. Bapa pengakuan jika bukan imam yang ditunjuk untuk memberikan absolusi atas kasus dosa latae setentiae seperti abortus hendaknya menyampaikan kepada peniten agar mengaku dosa kepada Uskup (segera dalam jangka waktu sebulan sesudah pengakuan dosa) yang memiliki hak dan kewenangan atas dosa itu. Tentu dengan sendirinya bapa pengakuan akan memberi nasihat agar tidak menyambut komuni kudus sampai mendapat absolusi dari Uskup/Imam yang ditunjuk oleh Uskup.
Maka jika ada imam yang dikhususkan sebagai Bapa Pengakuan resmi/official yang ditunjuk oleh Uskup, hendaknya si peniten mengaku dosa lagi atau langsung mengaku dosa kepada Bapak Uskup dalam jangka waktu 1 bulan sesudah pengakuan dosa itu. Itu penjelasan singkat. Tidak semua keuskupan memiliki lembaga penitentiari yang memiliki imam khusus dalam perkara dosa berat biasanya langsung ke Bapak Uskup. Istilah hukumnya kanonik penitensiaris lihat kan 508. Semoga semakin jelas.
salam
rm wanta
KHK kan 508
§ 1 Kanonik penitensiaris baik dari gereja katedral maupun dari gereja kolegial, berdasarkan jabatannya memiliki kewenangan jabatan yang tak dapat didelegasikannya kepada orang lain, untuk mengampuni dalam tata sakramental dari censura latae sententiae yang tidak dinyatakan, yang tak direservasi bagi Takhta Apostolik, di keuskupan juga kepada orang luar, sedangkan kepada warga keuskupan juga di luar wilayah keuskupan.
§ 2 Dimana tiada kapitel, Uskup diosesan hendaknya mengangkat seorang imam untuk memenuhi tugas tersebut.
Rm Wanta yth,
Terima kasih atas artikelnya. Memang sudah lama saya ingin tahu soal ekskomunikasi ini. Artikel ini sedikit menjawab pertanyaan saya, masih ada yang belum. Masih berkaitan dengan hukuman gerejawi. Saya mau bertanya apa beda antara ekskomunikasi, interdik dan suspensi? Apa dan bagaimana bentuk sanksi dari interdik dan suspensi itu sendiri?
Saya pernah tanya ke seorang imam, yang kebetulan ahli hukum gereja. Dia bilang bahwa ekskomunikasi itu untuk awam, sedangkan interdik dan suspensi untuk biarawan/wati dan klerus. Terus terang waktu itu saya bingung. Saya bilang kenapa dulu Martin Luther kena ekskomunikasi, padahal dia seorang biarawan? Pastor itu menjawab bahwa ekskomunikasi dulu dan sekarang berbeda nilai atau makna.
Mohon tanggapan dan penjelasan.
Sebelumnya saya menghaturkan terima kasih.
Brian yth,
Tidak benar bahwa ekskomunikasi hanya diberlakukan untuk awam, sebab ekskomunikasi dapat ditujukan kepada siapa saja (bahkan Uskup) yang memenuhi ketentuan itu. Pernah dengarkah Anda akan adanya uskup yang menikah dengan orang Korea dan menganut sekte kristen? Pernah dengarkah Anda tentang peringatan dari Vatikan yang ditujukan kepada imam teolog J.Dupuis SJ yang menulis teologi relativisme, di mana Yesus disejajarkan dengan para tokoh tokoh spiritual dari Asia? Jadi ketentuan ekskomunikasi dapat diberlakukan sebagai sangsi, bagi semua anggota Gereja Katolik, jika setelah diperingatkan oleh pihak otoritas Gereja, namun tetap berkeras melawan/ menentang Gereja. Untuk para imam, sangsi tidak harus dinyatakan dalam bentuk ekskomunikasi, namun bisa juga peringatan tidak bisa mengajar, atau tidak boleh memberikan pelayanan umum yang menuntut jabatan publik imam, tidak dapat memberikan sakramen dll. Silakan selanjutnya Anda melihat KHK dalam buku sanksi dalam Gereja, tidak ada yang mengatakan bahwa hukum ekskomunikasi hanya khusus diberlakukan untuk awam.
salam
rm wanta
Rm Wanta Yth,
Terima kasih banyak romo atas jawabannya. Artinya, saya tidak salah. Karena saya juga pernah membaca beberapa imam yang kena ekskomunikasi.
Bagaimana dengan pertanyaan saya lainnya, masih berkaitan dengan hukuman gerejawi?
1. Apa perbedaan antara ekskomunikasi dengan interdik dan suspensi?
2. Apa dan bagaimana wujud sanksi dari interdik dan suspensi itu sendiri?
Istilah interdik dan suspensi ini saya dapat dari surat edaran uskup menyambut Tahun Iman berkaitan dengan indulgensi. Tolong dijelaskan ya.
Sebelum dan sesudahnya saya mengucapkan terima kasih.
Brian yth
Perbedaan ekskomunikasi dan interdik serta suspensi?
Secara umum dapat dikatakan bahwa Gereja memiliki hak asli dan sendiri mengatur dan mengendalikan umat beriman yang melakukan tindak pindana dengan menjatuhkan sanksi hukuman. Ada dua sanksi hukuman: 1) Hukuman Medisinal atau Censura terdiri dari sanksi hukuman ekskomunikasi dan suspensi. Jadi baik ekskomunikasi dan interdik adalah bagian dari hukuman medisinal (hukuman yang mengobati agar tidak melakukan tindak pidana). 2) Hukuman silih. Suspensi adalah bagian dari sanksi hukuman medisinal (Censura), dikenakan hanya pada klerus dengan melarang semua atau beberapa perbuatan kuasa tahbisan dan perbuatan kuasa kepemimpinan. Interdik berarti orang yang kena sanksi hukuman. Ekskomunikasi berarti orang beriman terkena sanksi hukuman dilarang ambil bagian apapun sebagai pelayan dalam perayaan kurban ekaristi atau upacara ibadat lain manapun.
salam
rm wanta
Terima kasih banyak romo atas penjelasannya.
lantas bgmn Mo..??
klu ada org kato dulunya terjebak dlm perkawinan islam..
lalu setlah sekian tahun instaf mengaku dosa ,lebih confin memeluk katolik lagi..syahkah dia sbg katolik lagi….?? krn semua anak2nya tak diijinkan oleh pasangannya memeluk katolik yg ktnya agama katolik adalah agama sia2..
Suksema Romo..!!
Ana yth
Kalau terjebak dia sadar dan bertobat ya kembali ke jalan yang benar masuk ke Gereja Katolik diterima dan menuruti aturan hidup beriman katolik. Disahkan perkawinan yang dulu keliru dan diterima dengan sah perkawinan itu sehingga dapat hidup berkeluarga dengan baik. Syarat pokok sadar, tobat dan pembekalan iman katolik dan komitmen beriman katolik. Porta fidei no. 9: ada 3 kata kunci: beriman katolik secara sadar, beriman dengan tindakan (aktif dan terlibat dalam komunitas katolik) serta memiliki komitmen sebagai orang katolik.
salam
rm wanta
Tambahan dari Ingrid:
Shalom Ana,
Jika ia serius ingin kembali menjadi Katolik, silakan terlebih dahulu mengaku dosa dalam Sakramen Pengakuan Dosa. Selanjutnya, silakan bicarakan dengan pasangannya yang non-Katolik itu, agar perkawinan tersebut dapat diterima secara sah menurut Hukum Gereja. Istilahnya adalah Konvalidasi Perkawinan. Syarat-syarat tentang hal ini, silakan membaca di sini, https://katolisitas.org/?p=9186/.
Selanjutnya, memang adalah tantangan baginya (pihak yang Katolik) untuk hidup sesuai dengan iman Katolik dan berusaha dengan sekuat tenaga untuk menyampaikan pendidikan iman Katolik kepada anak-anak, sesuai dengan janji perkawinannya. Ini memang tidak mudah, namun tetap harus dicoba, dengan terus mengandalkan rahmat Tuhan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom Romo dan bu Inggrid, maaf saya ingin ikut numpang bertanya. Bagaimana jika kasusnya seorang perempuan Katolik akan menikah dengan seorang duda cerai beragama Kristen. Apakah perempuan katolik ini juga menanggung hukuman eks komunikasi?
Terima Kasih
Shalom Lenny,
Seharusnya seorang yang sudah dibaptis Katolik, jika ia menikah, maka ia mempunyai kewajiban untuk menikah secara Katolik, menurut ketentuan hukum Gereja Katolik. Nah untuk menikah secara sah di dalam Gereja Katolik, baik pihak pria maupun wanita harus berstatus liber, artinya tidak pernah menikah sebelumnya. Maka jika salah satu pihak sudah pernah menikah, dan pasangannya masih hidup, walaupun ia sudah bercerai dengan pasangan terdahulunya itu, ia tetap tidak dapat menikah secara Katolik di Gereja Katolik. Persyaratan ini adalah berdasarkan ajaran Kristus akan makna perkawinan yang hanya antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dan bahwa ikatan perkawinan yang sudah disahkan di hadapan Allah, tidak terceraikan (lih. Mat 19: 5-6).
Maka jika seorang perempuan Katolik menikah dengan seorang duda cerai beragama Kristen, ia melanggar ketentuan ini. Ia melanggar makna kesucian dan kesetiaan perkawinan yang dikehendaki oleh Tuhan, karena ia menjalin hubungan dengan seseorang yang masih mempunyai istri yang sah di hadapan Tuhan. Maka karena itu ia tidak dapat menerima Komuni kudus dalam perayaan Ekaristi, bukan karena ia dihukum ekskomunikasi, tetapi karena ia hidup bersama dengan seseorang yang tidak dapat dikatakan sebagai suaminya, karena suaminya itu tetap terikat dengan perkawinan dengan istrinya yang terdahulu. Penerimaan Komuni sendiri mempunyai makna, bahwa kita mengambil bagian di dalam persatuan antara Kristus dan Gereja (sebagai Mempelai-Nya, lih. Ef 5:22-33). Jika persatuan antara dirinya dan ‘suami’-nya itu tidak sah di hadapan Tuhan karena tidak mencerminkan kehidupan perkawinan sebagaimana dikehendaki Tuhan, maka ia tidak dapat mengambil bagian di dalam Komuni kudus. Katekismus mengajarkan bahwa penerimaan Komuni mensyaratkan seseorang tidak sedang dalam keadaan berdosa berat (KGK 1385). Termasuk dalam keadaan ini adalah jika seseorang hidup bersama dengan pasangannya tanpa ikatan perkawinan yang sah di hadapan Tuhan. Maka bukannya Gereja menghukum perempuan ini, tetapi fakta bahwa ia sendiri memutuskan untuk melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, sebagaimana tertulis dalam Kitab Suci, dan sebagaimana diajarkan oleh Gereja Katolik. Karena keadaannya itu, ia tidak hidup sesuai dengan ajaran iman Katolik yang menjunjung tinggi kesetiaan perkawinan sebagaimana kesetiaan Kristus kepada Gereja yang didirikan-Nya. Dengan demikian, tidak dapatlah ia mengambil bagian dalam sakramen Ekaristi yang menjadi tanda dan sarana persatuan antara Kristus dan Gereja, sebab hidupnya sendiri tidak menerapkan kesetiaan perkawinan sebagaimana digambarkan oleh Ekaristi itu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Ibu Ingrid yang baik,
Bukankah cerai membuat seseorang itu “liber” dalam arti bebas? Kita tidak boleh memakai cara pandang katolik yang memang tidak mengakui perceraian. Kita harus pakai cara pandang orang lain juga. Bagi mereka, dengan resmi bercerai, status seseorang itu jadi bebas.
Terima kasih!
Shalom Brian,
Kita umat Kristiani, selayaknya berpatokan kepada ajaran iman kita dalam menjalani kehidupan ini, dan bukannya mengambil pengertian dunia. Status liber yang dimaksud oleh Gereja sebagai prasyarat bagi pasangan yang akan menikah adalah status bebas ikatan di hadapan Tuhan, artinya, tidak pernah terikat dengan siapapun dalam ikatan perkawinan. Kristus mengajarkan bahwa pasangan yang sudah dipersatukan oleh Tuhan, tidak boleh diceraikan oleh manusia (lih. Mat 19:5-6), maka termasuk di sini adalah oleh pengadilan sipil yang dilakukan oleh manusia. Maka perceraian sipil tidak menceraikan ikatan perkawinan, jika perkawinan itu sudah sah diresmikan di hadapan Tuhan. Sebab bagi kita umat Kristiani, perkawinan adalah sakral, karena menggambarkan persatuan kasih antara Kristus dengan Gereja-Nya. Maka tidak dapat begitu saja diceraikan oleh kehendak manusia.
Tidak ada yang mengharuskan kita memakai cara pandang orang lain dalam hal ini, sebab tentang hal perkawinan, ajaran Tuhan Yesus sudah sangatlah jelas. Jika kita memilih untuk mengikuti pandangan dunia, kita tidak lagi setia kepada perintah dan kehendak Allah.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
syalom bu ingrid,
bukankah dengan jawaban ibu maka berarti orang katolik juga menganggap sah pernikahan diluar katolik?
maksud saya, bukankah pernikahan yang sah bagi umat katolik hanyalah pernikahan katolik?
dalam artikel :
Menghadiri perkawinan non-Katolik, bolehkah?
“Seperti telah dituliskan oleh Romo Wanta (selengkapnya, klik di sini), berdasarkan Kitab Hukum Kanonik 1983, kan. 1057 ada tiga syarat bagi perkawinan yang sah menurut hukum Gereja Katolik, yaitu: 1) dilaksanakan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang mempunyai kemampuan legitim untuk melaksanakan perkawinan itu, yakni tidak terhalang oleh halangan yang menggagalkan dari hukum ilahi atau hukum positif (gerejawi dan sipil); 2) adanya saling kesepakatan tanpa cacat mendasar untuk perkawinan; 3) secara publik dilaksanakan dengan tata peneguhan yang diwajibkan hukum, yakni sebagaimana dituntut oleh hukum gereja atau negara. Dengan perkataan lain, jika tidak dipenuhi ketiga syarat ini, maka sebenarnya perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat untuk dikatakan sah sebagai perkawinan secara hukum Gereja Katolik.”
bukankah pernikahan di luar katolik adalah cacat kanonik sehingga tidak sah?
terimakasih
Shalom Xells,
Prinsipnya, seorang yang Katolik mempunyai kewajiban untuk menikah secara Katolik, agar perkawinannya dapat dikatakan sah. Ketentuan ini berlaku, juga kalau calon istri atau calon suaminya bukan Katolik. Sebab Gereja Katolik tetap dapat memberkati perkawinan pasangan di mana salah satu tidak Katolik, tanpa mengharuskan pasangan yang non- Katolik itu menjadi Katolik. Namun, kalau pihak yang Katolik ini tidak mengindahkan ketentuan ini, dan membiarkan perkawinannya diberkati di luar Gereja Katolik, maka perkawinannya ini cacat kanonik (tidak memenuhi kriteria sebagai perkawinan yang sah menurut hukum Gereja).
Namun demikian, harap dipahami bahwa ketentuan hukum kanonik (hukum Gereja Katolik) hanya dapat diberlakukan kepada umat Katolik. Oleh karena itu, Gereja Katolik tetap mengakui ikatan pasangan yang keduanya bukan Katolik, yang dilakukan menurut agama mereka, seperti pasangan yang sama-sama muslim, atau sama-sama dari gereja Kristen non- Katolik, sama-sama Hindu, dst. Maka Gereja Katolik mengakui adanya ikatan perkawinan secara kodrati antara seorang pria dan wanita, jika memang sudah diresmikan sesuai dengan hukum yang berlaku, meskipun mereka bukan Katolik. Namun demikian, jika salah satu dari pasangan itu Katolik, maka yang berlaku adalah ketentuan kanonik Gereja Katolik.
Semoga penjelasan singkat ini membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam untuk Katolisitas,
mohon bantuannya mengenai detail ayat ini,
orang itu harus kita serahkan dalam nama Tuhan Yesus kepada Iblis, sehingga binasa tubuhnya, agar rohnya diselamatkan pada hari Tuhan.
1Korintus 5 : 5.
konteks keseluruhannya ayat 1 sampai 5.
mohon penjelasan detailnya (diserahkan dalam nama Tuhan Yesus kepada iblis)
mohon maaf kalau sudah pernah ditanyakan
terima kasih.
salam
[Dari Katolisitas: Silakan membaca artikel di atas ini, silakan klik, khususnya di bagian terakhir, tentang konteks hukuman/ sangsi ekskomunikasi pada perikop 1 Kor 5:1-13].
Ada seorang pria yang membunuh. Dalam hal ini ia berdosa berat. Lalu apakah pria itu terkena sanksi ekskomunikasi?
Apakah setiap keputusan ekskomunikasi itu selalu ada pernyataan tertulisnya?
Terima kasih
Agung Yth
Pada umumnya, sanksi ekskomunikasi diberikan setelah melalui proses pembuktian ferendae setentiae; maka ada prosesnya, tidak langsung; dan pada akhirnya, dikeluarkan dekrit keputusan dari Uskup tentang hal itu kepada pihak yang bersangkutan.
Mereka yang melakukan pembunuhan secara paksa atau dengan tipu muslihat menculik (yang harus dibuktikan dalam proses hukum sipil), hendaknya dihukum ekskomunikasi langsung latae sententiae. Latae sententiae adalah suatu sanksi ekskomunikasi bagi mereka yang murtad dari iman, heretik atau skismatik (bdk. kan 1364). Bila pelakunya klerikus maka ia terkena suspensi latae sententiae (bdk kan 1370.
Dosa membunuh itu termasuk dosa berat, apalagi aborsi. Dosa aborsi mengakibatkan ekskomunikasi langsung tanpa proses, dan ini disebut ekskomunikasi latae setentiae yaitu terkena sanksi ekskomunikasi tanpa dekrit keputusan. Sedangkan kalau dosa membunuh yang harus dibuktikan melalui proses hukum sipil, pada umumnya pihak Gereja akan mengikuti proses tersebut sampai terbukti bersalah. Proses sipil tersebut dipakai sebagai bukti peradilan yang menjadi rujukan selain proses dalam tribunal tindak pidana. Maka proses peradilan sipil menjadi bukti pelengkap untuk memberikan ekskomunikasi pada seseorang.
salam
Rm Wanta
Romo Wanta,
Mengenai murtad dari iman, kalau seorang Katolik menikah dengan tatacara agama lain(Protesta, Budha, Hindu, Islam) tanpa ijin atau dispensasi dari Uskup apakah ybs otomatis terkena ekskomunikasi?
Maaf kalau sudah pernah ditanyakan sebelumnya.
Salam,
Edwin ST
Edwin, yth,
Harus dibedakan tindakan hukum persona umat beriman, yang menentukan apakah seseorang yang melakukan pelanggaran akan memperoleh akibat dicabutnya haknya oleh pihak yang berwewenang: 1) karena tahu dan memiliki hak sekaligus potensi melakukan tindakan sah secara hukum, 2) tidak tahu dan tidak memiliki potensi melakukan tindakan hukum karena faktor usia. Maka mereka ini tidak boleh dianggap sah melakukan hukum, tidak juga perlu mendapat sanksi hukum karena: ignoranza, inhabilitans (bdk kan 10).
Jadi orang yang menikah tanpa dispensasi padahal dia mampu secara hukum tahu, dia terkena sanksi, bukan murtad atau ekskomunikasi melainkan tindakannya tidak sah karena menikah tidak sesuai norma hukum. Akibatnya, ia terkena sanksi tidak menerima sakramen. Namun, jika dia tidak tahu/ ignoranza maka gereja mengampuni (ecclesia suplet). Bisa dipulihkan kekeliruan itu jika salah satu pihak ada yang menyadarinya atau publik mengetahuinya.
salam
rm wanta
Terima kasih, saya jadi ada pertanyaan. Terkait soal SSPX, waktu itu JP 2 khan mengekskomunikasikan 1 paket yaitu Uskup Marcel Levebvre dan 4 orang uskup yang ditahbiskannya. Nah si uskup ini sudah meninggal sebelum ekskomunikasinya diangkat. Kira2 efeknya apa yah ke keselamatan dia ?
Lalu saya pernah baca ada latae santencia, ini berlaku nggak ke umat Katolik yang suka jajan firman ke gereja sebelah trus bahkan menerima kelima sola, menolak ajaran Gereja Katolik tapi masih mengaku Katolik ? apa efeknya bagi keselamatan mereka.
Terima kasih
Pax Christe
Anonymous Yth
Keselamatan diberi oleh Tuhan dengan kelimpahan kasihNya karena itu segala hukuman Gereja bukan ius divinum hanya untuk menyejahterakan masyarakat Gereja agar teratur dan disiplin. Pada akhirnya, Allah sajalah yang memberikan keselamatan. Oleh karena itu bagi saya dia juga dapat diselamatkan.
Apalagi Paus Benediktus XVI telah merangkul kembali mereka ke pangkuan Gereja Katolik. Soal latae sententiae (LS) bagi yang jajan menimba Sabda Allah dari Gereja lain tidak dikenakan. Contoh LS adalah perbuatan abortus, perbuatan asusila bagi imam pemberi pengampunan dosa dengan peniten.
salam
Rm wanta
Tambahan dari Stefanus Tay:
Tentang konsep keselamatan, silakan melihat beberapa artikel tentang keselamatan di arsip tanya jawab. Apa yang dilakukan oleh Uskup Levebre dapat membahayakan keselamatannya, namun kita tidak pernah tahu apa yang terjadi sampai detik-detik akhir hayatnya. Oleh karena itu, pada akhirnya kita tidak akan pernah tahu apakah seseorang masuk neraka atau tidak. Hanya Tuhan saja yang tahu. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Yth Pak Stef/Bu Ingrid, saya membuka YouTube Vatican http://www.youtube.com/vatican Di situ ada pidato paus mengenai pembebasan dari hukuman ekskomunikasi atas 4 uskup. Ada pula pidato-pidato menarik dari Paus Benedictus XVI mengenai holocaust dan kekerasan serta pandangan Gereja ttg alat komunikasi modern. Pertanyaan saya seputar hukuman ekskomunikasi. Apakah arti hukuman ekskomunikasi itu sebenarnya? Mengapa Gereja begitu keras terhadap umatnya sendiri ? Apakah itu tidak berarti melanggar cinta kasih Kristus? Terima kasih atas jawaban Pak Stef / Bu Ingrid. Tuhan memberkati.
Shalom: Isa Inigo
[dari katolisitas: telah dijawab – silakan klik]
Comments are closed.