[Hari Minggu Kitab Suci Nasional: Keb 9:13-18; Mzm 90:3-17; Fil 9-10,12-17:18-19.22-24; Luk 14:25-33]
Ada pepatah mengatakan, “Tak kenal maka tak sayang”. Memasuki Bulan Kitab Suci, Gereja mengajak kita untuk semakin membaca dan merenungkan Kitab Suci. Maksudnya tentu agar kita semakin mengenal Kristus Sang Sabda Allah, dan agar kita semakin mengasihi-Nya. Kristus, dalam Kitab Perjanjian Lama kerap digambarkan sebagai “Kebijaksanaan” Allah, sebagaimana kita dengar dalam Bacaan Pertama hari ini. Dalam Kitab Kebijaksanaan Salomo, tertulis, “Siapa gerangan dapat mengenal kehendak-Mu kalau Engkau sendiri tidak menganugerahkan Kebijaksanaan, jika Roh Kudus-Mu dari atas tidak Kau-utus?” (Keb 9:17) Samar-samar, kita melihat gambaran pernyataan diri Allah Tritunggal di sini: Allah menyatakan diri-Nya, kehendak-Nya, dalam Kebijaksanaan —yaitu Putra-Nya Yesus Kristus—dan Roh Kudus-Nya.
Dalam Bacaan Injil, Kristus menghubungkan kebijaksanaan Allah itu, dengan Salib. Sebab dengan salib suci-Nya, Yesus menyatakan kebijaksanaan Allah yang tertinggi: keadilan dan kasih Allah yang sempurna. Maka, Yesus mensyaratkan agar kita yang mau menjadi murid-Nya, harus mau mengikuti-Nya dengan memikul salib kita masing-masing. Kata Yesus, “Barangsiapa tidak memanggul salibnya dan mengikuti Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk 14:25-33). Salib Kristus bagi kita umat Kristiani, memang berarti dua hal prinsip. Yang pertama adalah betapa kejamnya dosa—sehingga dengan sedemikian menderita Putra Allah sendiri harus menebusnya—dan kedua, adalah betapa besarnya kasih Allah sampai mau memberikan diri sehabis-habisnya, rela wafat di kayu salib bagi kita.
Tiap-tiap hari, Sabda Tuhan memimpin kita untuk semakin menghidupi “misteri salib” ini. Yaitu, agar kita senantiasa mau “mati terhadap dosa” dan mau memberikan diri kepada Tuhan dan sesama. Untuk dapat memberikan diri ini Tuhan Yesus mensyaratkan agar kita mengasihi Dia lebih daripada kita mengasihi orangtua dan sanak saudara (lih. Luk 14:26-27). Namun kita tahu, bahwa hal ini tidaklah mudah, karena kerap bententangan dengan kecenderungan kita sebagai manusia. Karena itu, Bacaan Injil hari ini juga memberitahukan kepada kita bagaimana caranya untuk memupuk kasih itu. Yaitu, dengan setiap hari rajin mengadakan pemeriksaan batin, duduk dahulu dan bertanya kepada diri sendiri, sejauh mana kita telah menomorsatukan Tuhan dan melakukan kehendak-Nya. “Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya….” (Luk 14:28). St. Agustinus menjelaskan, “[Kata Yesus menutup khotbah-Nya], ‘Demikianlah juga, setiap orang di antara kamu yang tidak meninggalkan semua yang dimilikinya, ia tak dapat menjadi murid-Ku.’ Maka harga untuk membangun menara dan kekuatan sepuluh ribu tentara melawan raja yang punya dua puluh ribu tentara, tidak lain adalah bahwa setiap orang harus meninggalkan semua yang dimilikinya. Maka kata pengantar dari pengajaran Yesus ini berkaitan dengan kesimpulan akhirnya. Sebab dengan berkata bahwa barangsiapa meninggalkan semua yang dimilikinya, termasuk juga bahwa ia ‘membenci’ ayah dan ibunya, istrinya, dan anak-anaknya. [Membenci di sini maksudnya to love less, sebab dibandingkan kasih kepada Tuhan, kasih kepada orangtua tingkatannya ada di bawahnya.] Sebab semua ini adalah milik orang itu sendiri yang mengikatnya dan merintanginya dari memperoleh harta milik tertentu yang tidak akan berlalu dengan waktu, melainkan berkat-berkat yang akan tetap tinggal selamanya.” (St. Augustine, Catena Aurea, Luk 14: 25-33). “Meninggalkan segala miliknya” memang menjadi dasar bagi mereka yang mengikuti jejak para rasul, untuk secara khusus membaktikan diri dalam hidup membiara. Namun meninggalkan keterikatan terhadap segala yang dimiliki demi kasih kepada Tuhan, itu adalah panggilan bagi setiap orang beriman.
Tiap-tiap hari, kita dihadapkan dengan pilihan untuk berpaut pada Tuhan dan melakukan kehendak-Nya, atau kita lebih memilih untuk terikat kepada apa yang kita miliki. Dengan latihan pemeriksaan batin setiap hari, dengan dipimpin sabda Tuhan, kita selalu diingatkan untuk memilih Tuhan. Mari kita membuat niat yang teguh untuk dengan tekun dan sungguh-sungguh memeriksa batin kita setiap hari. Pemeriksaan batin ini bukan hanya semata mengingat-ingat kembali tingkah laku kita di hari itu, namun lebih lagi, merupakan percakapan antara jiwa kita dengan Tuhan. Agar kita dapat melihat dengan jujur ke dalam diri kita, mungkin kita dapat berdoa sederhana sebagaimana diucapkan oleh orang buta di Yerikho, “Tuhan, bantulah aku supaya aku dapat melihat!” (lih. Mrk 10:51). Supaya aku dapat melihat apa yang memisahkanku dengan Engkau, apakah dosa dan kesalahanku, apakah yang dapat kuperbaiki… entah dalam sikapku, sifatku, pelayananku, perhatianku… agar lebih memancarkan kasih kepada orang-orang di sekitarku. Kumohon pimpinlah hidupku, ya Kristus, Sang Sabda Kebijaksanaan Ilahi. Amin.