Sumber gambar: http://cdn.sheknows.com/articles/2014/02/Elizabeth_S/large-family-of-four.jpg

[Hari Raya Keluarga Kudus: 1Sam 1:20-28; Mzm 128:1-5; Kol 3:12-21; Luk 2:41-52]

“Apakah kamu bahagia?” Pertanyaan sederhana semacam ini kadang dapat membuka sebuah pembicaraan yang panjang. Memang bisa saja, ada banyak hal yang membuat orang bahagia atau sebaliknya, tidak bahagia. Namun, nampaknya tak bisa disangkal, bahwa kebahagiaan seseorang sangat tergantung pada keadaan keluarganya. Kalau keluarganya harmonis, umumnya orang akan mudah merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Tuhan memahami pentingnya peran keluarga dalam hidup manusia, sehingga ketika Ia mengambil rupa manusia, Ia-pun memilih untuk lahir di tengah keluarga, dan dengan demikian menguduskan kehidupan keluarga manusia.

Di tahun 1892, Paus Leo XIII mengeluarkan surat apostolik berjudul Neminem Fugit, yang menyatakan bahwa keluarga-keluarga Kristiani perlu mengikuti teladan Keluarga Kudus di Nazaret dan menimba kebijaksanaan dan nilai-nilai kebajikan daripadanya. Keluarga Kudus Nazaret, yaitu Yesus, Bunda Maria dan St. Yusuf menjadi teladan keluarga bagi kita, dalam membina nilai-nilai keutamaan ini. Betapa pentingnya agar anak-anak menerima nilai-nilai keutamaan Kristiani melalui perkataan dan sikap keteladanan orangtua. Sebab nilai-nilai tersebut lah yang kemudian membentuk karakter anak, yang dapat menentukan apakah ia kelak dapat menjadi seorang yang beriman teguh dan mempunyai perhatian dan belas kasih kepada sesamanya.

Paus Leo XIII berkata, “Kepada semua bapa, St. Yusuf sungguh adalah teladan terbaik bagi peran kebapaan dalam melindungi dan memelihara keluarga. Dalam diri Perawan tersuci Bunda Allah, para ibu dapat menemukan contoh istimewa tentang kasih, kesederhanaan, kerendahan hati dan iman yang menyempurnakan. Dan dalam diri Kristus, yang taat kepada orangtua-Nya, anak-anak memperoleh pola ilahi tentang ketaatan yang dapat mereka kagumi, hormati dan teladani.” Demikian pula, setiap keluarga dengan latar belakang yang berbeda—baik yang berada maupun yang hidup pas-pasan—dapat menimba kebijaksanaan hidup dari teladan Keluarga Kudus Nazaret. “Mereka yang lahir dari kalangan bangsawan dapat belajar dari Keluarga bangsawan ini, bagaimana untuk hidup sederhana dalam saat-saat kelimpahan dan bagaimana untuk tetap mempertahankan martabat dalam kesesakan. Mereka yang kaya dapat belajar bahwa kepantasan moral lebih berharga daripada kekayaan. Para pekerja dan semua yang disusahkan oleh mepet-nya sarana bagi keluarga mereka, jika mereka mempertimbangkan kekudusan sempurna dari para anggota persekutuan Keluarga ini, tidak akan gagal untuk menemukan sejumlah alasan untuk bersukacita dalam keadaan mereka, daripada menjadi semata tidak puas diri. Seperti halnya dengan Keluarga Kudus, mereka harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Yusuf harus ikut serta dalam perdagangan, agar hidup; bahkan tangan-tangan ilahi Yesus bekerja sebagai tukang. Tidaklah mengherankan, bahwa orang-orang yang terkaya, jika benar-benar bijaksana, menjadi rela untuk mengesampingkan kekayaan mereka, dan memeluk kehidupan yang miskin  bersama Yesus, Maria dan Yusuf…” (Paus Leo XIII, Neminem Fugit).

Dengan merenungkan kehidupan Keluarga Kudus Nazaret kita dikuatkan akan panggilan hidup kita masing-masing, yang tak pernah terlepas dari keluarga. Mari belajar dari  Yesus untuk menempatkan urusan Allah Bapa di tempat utama namun juga untuk menaati orangtua kita, atau pemimpin kita. Mari belajar dari St. Yusuf, untuk selalu setia menjaga dan melindungi keluarga; dan dari Bunda Maria untuk senantiasa mengasihi dan melayani keluarga. Terutama juga, mari mengikuti teladan Bunda Maria, untuk menyimpan semua perkara dalam hati dan merenungkannya (lih. Luk 2:51), sabar, lekas mengampuni dan penuh kasih (lih. Kol 3:12-14). Semoga perayaan hari ini mengingatkan kita bahwa keluarga kita adalah anugerah Tuhan, sarana yang dapat menguduskan kehidupan kita.

Menyambut Pesta Keluarga Kudus, marilah kita berdoa:

O, Keluarga Kudus,
gambaran yang hidup Tritunggal Mahakudus,
dengan riang gembira kami sambut pestamu, pesta kami juga,
seraya menggali harta karun teladanmu,
yang kau wariskan sebagai pusaka hidup keluarga Ilahi.

Yesus, Sang Imam Abadi, yang dibesarkan di Nazaret,
Engkau teladan seorang anak:
lemah lembut dan rendah hati,
penuh pengertian dan patuh pada orangtua.

Yusuf dan Maria,
berbahagialah mata yang memandang
apa yang kaulihat:
Kehangatan kasih-Nya sebagai anak.

Berbahagialah telinga yang mendengarkan
apa yang engkau dengar:
Kata-kata indah yang meluap dari
perbendaharaan hati-Nya.

Betapa berkobar-kobar hatimu
ketika Ia mulai berbicara mewahyukan Bapa,
rencana penebusan dunia, dan karunia Roh-Nya.

Semoga dengan kembali ke “Nazaret” kami sehari-hari
dengan kasih Allah yang berlimpah
dalam hati kami oleh Roh Kudus
yang dikurniakan pada kami,
kami berkembang seperti Engkau berkembang.

O Yesus,
yang dalam kebijaksanaan, kedewasaan
makin berkenan bagi Allah dan sesama,
tuntunlah kami agar berkembang kian sempurna,
seperti Bapa di Surga sempurna adanya.

Bapa Yusuf dan Ibu Maria, teladan orangtua,
ajarilah  kami mencintai Yesus
seperti engkau mencintai-Nya dan hidup bersama-Nya.

Semoga pestamu, Keluarga Kudus,
membawa berkat bagi kami sekeluarga
dan memperbaharui semangat kami
untuk bersama-sama menciptakan
hidup rukun dan damai sejahtera.  

Dijiwai oleh Tritunggal Mahakudus
seperti yang kau-teladankan,
kami akan senantiasa menggalang persatuan dengan Tuhan, menghayati hidup sederhana, rajin dan ulet,
serta mau berkorban demi orang lain. Amin.”

(“Doa menyambut Pesta Keluarga Kudus” dalam Devosi kepada Keluarga Kudus, oleh  Pusat Pendampingan Keluarga MSF,  hl.39-40.)