Pertanyaan:
Saya mau tanya mengenai penyembuhan pohon keluarga (Healing of the family tree). Apakah ini sudah sesuai dengan ajaran dan tradisi Gereja Katolik? Mohon penjelasannya.
Jawaban:
Shalom Thomas, Memang penyembuhan pohon keluarga menjadi sesuatu yang kontroversial. Beberapa keuskupan – termasuk Keuskupan Agung Jakarta – telah melarang penyelenggaraan retret pohon keluarga, seperti yang telah dijelaskan di SURAT VIKEP KAJ ttg Pembaharuan Karismatik Katolik-KAJ: Jakarta, 27 Agustus 2003. Jadi kalau pihak keuskupan sudah melarang, sebaiknya kita mengikuti keputusan mereka, karena pasti ada alasan-alasan yang berguna untuk perkembangan iman umatnya. Tentu kita ingin tahu alasannya.Marilah kita lihat bersama-sama. Apakah yang dilakukan dalam penyembuhan pohon keluarga:
1) Mereka percaya bahwa dosa yang dilakukan oleh nenek moyang mereka diturunkan kepada generasi berikutnya. Sebagai contoh, kalau orang tua, atau nenek moyang mereka berjudi, punya kecenderungan untuk bunuh diri, dan hal-hal negatif yang lain, maka ini akan diturunkan kepada keturunannya, sehingga dosa ini perlu diputuskan. Dan pemutusan ini dengan cara doa dengan formula tertentu atau juga kadang berlangsung di misa.
2) Biasanya orang yang ingin disembuhkan dari pengaruh buruk pohon keluarga akan membawa grafik yang menunjukkan garis keturunan dan kemudian menuliskan pengaruh buruk yang dibawa dari setiap generasi.
3) Dasar dari penyembuhan pohon keluarga adalah: “Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku“(Kel 20:5; Kel 34:6-7).
Dari konsep ini, maka ada beberapa hal yang secara teologi kurang dapat diterima:
1) Pada saat kita dibaptis, sebenarnya imam telah melakukan doa eksorsisme, untuk mengusir roh-roh yang jahat dan untuk keluar dari orang yang akan dibaptis dan memohon agar Yesus membuka telinga kita untuk mendengar Sabda-Nya dan mulut kita untuk menyampaikan kebenaran, memuji dan memuliakan Allah.Jadi pada saat kita dibaptis, kita telah dibersihkan dari dosa asal, dan juga dari pengaruh-pengaruh jahat yang telah diusir dalam proses eksorsisme di upacara pembaptisan. Kalau kita berpendapat bahwa masih ada dosa yang diturunkan dari nenek moyang kita, maka kita tidak percaya akan hakekat dari Sakramen Baptis.
2) Kalau kita percaya bahwa kita melakukan dosa karena pengaruh dari nenek moyang kita, maka dengan gampang sekali kita akan menimpakan kesalahan kepada nasib kita yang terlahir dari keturunan yang kurang baik. Padahal setiap orang bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya, karena setiap orang punya “keinginan bebas”.
3) Bagaimana untuk menjawab keluaran 20:5; 34:6-7 di atas? Ada banyak ayat yang mendukung bahwa setiap orang bertanggungjawab akan dosa yang dibuatnya sendiri, seperti ayat-ayat berikut ini: Janganlah ayah dihukum mati karena anaknya, janganlah juga anak dihukum mati karena ayahnya; setiap orang harus dihukum mati karena dosanya sendiri (Ul 24:16; lihat juga Yer 31:30). Atau Yehezkiel mengatakan “Orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati. Anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya dan ayah tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya. Orang benar akan menerima berkat kebenarannya, dan kefasikan orang fasik akan tertanggung atasnya (Yeh 18:20). Bacalah Yehezkiel bab 18, disitu jelas sekali bahwa kalau anak yang bertobat akan diselamatkan walaupun orang tuanya berbuat dosa.
4) Mungkin ada yang berkata, bahwa saya ingin bertobat, namun seolah-olah saya tidak mempunyai kekuatan untuk bertobat karena ikatan pohon keluarga atau dosa dari nenek moyang saya. Dalam hal ini, mari kita percaya bahwa Yesus telah memberikan berkat yang cukup untuk semua orang, sehingga setiap orang dapat mengikuti Yesus, berjalan sesuai dengan perintah-Nya, dan bersatu dengan-Nya di dalam kerajaan surga. Dan berkat-berkat ini mengalir tanpa henti dalam setiap perjamuan Suci/ Ekaristi Kudus. Dan Tuhan sendiri telah memberikan Sakramen Pengakuan Dosa, sehingga umat beriman mendapatkan kekuatan untuk menolak perbuatan dosa dengan bantuan rahmat Tuhan. Bagaimana dengan orang-orang yang telah mengalami kesembuhan dan kelepasan setelah didoakan dalam kesembuhan pohon keluarga? Ini suatu misteri, karena karya Tuhan tidak dapat dibatasi oleh liturgi (Sacrosanctum Concilium, 12). Namun dapat kita lihat bahwa Tuhan melihat hati, karena hati menjadi tempat yang yang kudus dimana setiap orang bertemu dengan Tuhan. Orang yang datang di dalam retret kesembuhan pohon keluarga mungkin membawa hati yang remuk redam dan siap untuk bertobat, yang merupakan sikap yang paling berkenan di hadapan Tuhan (Maz 51:18). Kalau kita membawa sikap pertobatan dan kerinduan yang sama, dan bertumbuh dalam Ekaristi dan Sakramen Pengampunan Dosa, juga dibantu dengan spiritual director, maka kita juga akan mengalami kesembuhan. Jadi bagaimana kesimpulannya? Dengan dasar-dasar di atas, maka Gereja mempunyai alasan yang kuat untuk menolak penyembuhan pohon keluarga. Mari kita menerima dengan besar hati dan mengikuti kebijaksanaan Gereja. Dan Gereja juga telah memberikan sarana agar kita bertumbuh di dalam iman dan hidup dalam kekudusan.
Semoga penjelasan singkat ini dapat menjawab pertanyaan Thomas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – https://katolisitas.org
Dokumen:
Saya lampirkan juga surat dari B.S. Mardiatmadja, S.J – Vicarius Episcopalis-Keuskupan Agung Jakarta SURAT VIKEP KAJ ttg Pembaharuan Karismatik Katolik-KAJ: Jakarta, 27 Agustus 2003 Ytk Para saudari dan saudara dalam Pembaharuan Karismatik Katolik Di Jakarta, Pada tanggal 11 Agustus 2003, Romo Kardinal Julius Darmaatmadja, S.J., sebagai Uskup Agung Jakarta, memanggil Moderator, Ko-moderator dan beberapa petugas harian BPK-KAJ. Disyukuri, bahwa Roh Allah telah melimpahkan rahmat-Nya kepada Gereja Jakarta melalui ribuan orang, yang merasa dijamah oleh cinta-Nya dan bergabung dalam Persekutuan Doa. Roh Kudus memperkaya umat dengan iman yang lebih dihayati, hidup menggereja yang lebih gembira, penghormatan kepada Kitab Suci dengan sukacita, kesadaran persatuan secara lahir batin, kegairahan dalam merayakan sakramen-sakramen, dengan aneka sakramentalia, seperti rosario, jalan salib, ziarah, ibadat sabda dsb. Pada akhir pembicaraan, Bapak Uskup menugasi Vicarius Episcopalis (Vikep) Kategorial untuk menyampaikan sejumlah hal yang perlu diperhatikan oleh seluruh keluarga Pembaharuan Karismatik Katholik se-Keuskupan Agung Jakarta.
PERTAMA, bahwa Koordinator BPK dan Moderator BPK perlu bersatu dengan Pimpinan Keuskupan dalam kebijakan pastoral serta ikut melayani secara terpadu, sehingga umat melaksanakan kebijakan itu. Khususnya menjelang akhir Sinode Kedua KAJ ini, diharapkan bahwa iman akan Roh Kudus lebih difokuskan pada kehidupan dalam keluarga, untuk menghasilkan pembaharuan yang nyata positif.
KEDUA, harap diingat bahwa Sakramen Perkawinan menurut paham Katholik memusatkan keyakinan, bahwa pasang surut hidup keluarga, konflik dan rekonsiliasi dalam perjalanan keluarga, kesalahan dan pemulihan sepanjang hidup manusia berkeluarga sudah dirangkum dalam penebusan Tuhan Yesus, yang hidup dalam keluarga, wafat dan bangkit bagi kita semua; menghancurkan segala kekuatan setan, kutuk manusia dsb. Maka PKK-KAJ hendaklah tidak mendukung retret “Pohon Keluarga”, yang dalam prakteknya sekarang dinilai terlalu menyempitkan paham keluarga dengan determinisme psikologis. Kita harus mengembangkan ‘discernment’, untuk tidak menyamaratakan saja segala masalah, melainkan mampu membeda-bedakan manakah dalam keluarga merupakan masalah budaya yang perlu dicermati secara kultural, luka kejiwaan yang perlu disembuhkan secara psikologis, dan dosa yang perlu dimohonkan ampun dari Tuhan.
KETIGA, dalam Roh Kudus kita percaya bahwa Tuhan Yesus menyertai Gereja sampai ke akhir zaman dengan kekuasaan tanpa batas. Maka yang seyogianya dimana-mana dilihat oleh keluarga PKK-KAJ bukanlah kuasa gelap, melainkan kekuatan Allah. Banyak kesalahan, kesusahan, malapetaka atau kerisauan dalam hidup perseorangan maupun keluarga dapat disebabkan oleh keterbatasan fisik atau kejiwaan kita, keterikatan budaya serta kesulitan ekonomi maupun politis kita. PKK-KAJ diminta mau lebih menekuni dan memajukan ‘Discernment of Spirit’ daripada praktek ‘Deliverance’ yang dangkal dan sensional; apalagi dengan pola pengusiran setan yang gegabah. Kecuali itu, ‘exorcismus untuk mengusir setan yang sejati’ hanya boleh dilakukan oleh orang yang mendapat ijin tertulis Uskup.
KEEMPAT, para Pewarta dalam lingkungan PKK-KAJ harus lebih banyak mempelajari dan mewartakan Ajaran Gereja mengenai berbagai permasalahan rohani dan pewarta perlu mau dilayani oleh BPK dengan acara-acara penyegaran yang bermutu. Pegangan utama bagi semua pewarta adalah Buku Iman Katolik dari KWI dan Katekismus Gereja Katolik, serta Surat-surat Gembala Pemimpin Gereja, karena menerjemahkan Alkitab dalam konteks kita. Secara berkesinambungan para Pewarta perlu dievaluasi dan diperbarui pengutusannya oleh pimpinan BPK-KAJ, sebab pewartaan hanya berarti dalam konteks persekutuan iman, yakni Gereja. Maka perlu pengutusan resmi dari pimpinan Gereja. Pengutusan itu lebih penting, kalau seorang pewarta pergi ke luar Keuskupan Agung Jakarta. Uskup memberikan pengutusan utama kepada para imam, khususnya pastor paroki dan moderator. Orang lain mengambil bagian dalam pengutusan tersebut bila memenuhi syarat.
KELIMA, PKK-KAJ seyogianya mendukung ekumene dan dialog dengan agama lain dengan cara dialog hidup maupun dialog karya. Bentuknya : lebih memajukan hidup bertetangga secara baik dan karya sosial bersama. Namun diminta tidak mengadakan PD Ekumene. Pertemuan untuk pengajaran lintas Gereja hanya dilakukan dengan penugasan BPK dan sepengetahuan Keuskupan. Sebab untuk itu diperlukan sejumlah syarat mutu pengetahuan dan pengutusan jelas.
KEENAM, hendaknya lebih digarisbawahi lagi tradisi BPK-KAJ bahwa Persekutuan Doa tidak mengundang pemuka dari Gereja atau Agama lain untuk memberikan pengajaran. Kita juga menyadari, bahwa bahkan dalam ‘kesaksian’ suatu PD banyak pengajaran yang dapat terbawa masuk, yang dapat melemahkan iman Katolik umat. Sebab tim PD bertanggungjawab untuk mutu Katolik warganya.
KETUJUH, ditengah upaya-upaya agar pewartaan dalam PD di PKK-KAJ tampak menarik, diingatkan bahwa tetap berlaku kewajiban untuk sejak perencanaan membicarakan dengan Moderator apabila mengundang pewarta dari luar keuskupan, dan dengan Pimpinan Keuskupan bila undangan dari luar negeri. Tiap pewarta dari luar Keuskupan memerlukan pengutusan resmi dari pimpinannya, dari keuskupan/BPK, dan/atau dari tarekatnya. Sebab di dalam Gereja Katolik, setiap pewartaan membutuhkan pengutusan.
KEDELAPAN, PKK-KAJ makin mekar bila PD-PD Paroki dan kategorial subur. Dalam kaitan itu, BPK hendaknya sungguh membantu BPKM dan orang-orang muda hendaknya mau dibantu BPK agar sungguh melayani sesama orang muda secara terpadu dengan BPK-KAJ. Dianjurkan agar seluruh PKK-KAJ mau mempelajari cara-cara yang tepat guna membangun Persekutuan Doa Karismatik Katolik sebagaimana dianjurkan dalam Konvensi Nasional 2003. Di situ PD hendaknya menjadi komunitas basis dan bukan menekankan perayaan massal. Seyogianya dibentuk Badan Pelayanan Paroki., khususnya di paroki yang menjadi basis dari beberapa pelayanan karismatik.
KESEMBILAN, Persekutuan Doa perlu membaharui diri terus, terutama PD kategorial perlu mencermati visi/misi-nya, supaya jelas fokusnya. Jangan mudah mendirikan PD atau komunitas baru hanya karena tidak sejalan dengan petugas BPK atau dengan teman PD lainnya. Seperti Gereja Perdana, kita diajak untuk mengatasi pelbagai konflik dan perbedaan pandangan dengan pembicaraan bersama, bukan dengan memisahkan diri.
KESEPULUH, semua PD diminta untuk semakin menjadi persekutuan: disitu doa merupakan awal, isi dan tujuan semua kegiatan, dan bukan hanya parade nyanyian dan suasana hura-hura atau menonjolkan pertunjukan saja.
Kesepuluh butir itu penting dalam upaya kita menjadi persekutuan yang membaharui diri tanpa henti dan karena kita mau secara bersungguh-sungguh mewujudkan cita-cita bahwa iman akan Roh Kudus, doa, spiritualitas adalah nomor satu dalam PKK-KAJ. Bersatu dengan lembaga gerejawi dan pimpinan Keuskupan kita ingin menjadi jemaat yang secara nyata percaya akan Bapa Pencipta, Putra yang menebus kita serta Roh Kudus yang menghibur kita. Hendaknya umat menyatu dalam pelayanan BPK-KAJ yang dipadukan oleh Koordinator dan dipandu oleh Moderator dan Ko-moderator dalam naungan Gereja, yang satu kudus-katolik dan apostolik. Kita percaya bahwa Tuhan memberkati kita semua.
Bersatu dalam kasih Allah
B.S. Mardiatmadja, S.J
Vicarius Episcopalis-Keuskupan Agung Jakarta
Kalau saya boleh menanggapi,,,,menurut saya Retreat Pohon Keluarga yang diadakan komunitas Tri Tunggal Maha Kudus sebenarnya jugaa tidak menyalahi Kitab Suci, karena sudah ada juga ayatnya yang memperkuat
“Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku”(Kel 20:5; Kel 34:6-7). Walaupun juga ada ayat yang menyangkalnya “Janganlah ayah dihukum mati karena anaknya, janganlah juga anak dihukum mati karena ayahnya; setiap orang harus dihukum mati karena dosanya sendiri (Ul 24:16; lihat juga Yer 31:30). Atau Yehezkiel mengatakan “Orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati. Anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya dan ayah tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya. Orang benar akan menerima berkat kebenarannya, dan kefasikan orang fasik akan tertanggung atasnya (Yeh 18:20)
Kalau menurut saya , kita bakal pusing memikirkan mana yang benar dan yang salah,,,,karena pasti masing-masing merasa benarr,,,,,kita semuanya harus ingat supaya jangan mengandalkan logika atau akal budi kita mengenai sesuatu,,,,kenapa kita tidak mengandalkan Roh Kudus atau berdoa kepada Allah supaya memberi kita Roh Kudus untuk membantu supaya paham akan segala sesuatu termasuk tentang Retreat Pohon Keluarga,,,karena banyak juga testimoni atau saksi yang tidak boleh diabaikan oleh Keuskupan mengenai buah-buah yang dihasilkan melalui retreat tersebut,,,karena kenyataannya banyak yang hidupnya LEBIH BAIK BAHKAN JAUUUH LEBIH BAIK,,LEBIH MENGENAL ALLAH dan tidak melakukan dosa berat atau dosa yang sering dilakukan oleh orang tuanya,,,Bukannya kitab suci juga mengajarkan,,,,Untuk dapat mengetahui pekerjaan itu baik atau jahat termasuk dalam hal ini Retreat Pohon Keluarga adalah BUAHnya,,Kalau menghasilkan buah yang baik berarti pengajarannya juga baik termasuk retreat Pohon Keluarga,,,BUKANKAH SEMUANYA ITU SEBENARNYA HARUS BERMUARA PADA SEMAKIN LUASNYA KERAJAAN ALLAH,,,kalau dari Retreat Pohon Keluarga menghasilkan sesuatu dimana banyak orang yang BERTOBAT atau KEMBALI KE PELUKAN ALLAH dan semakin mendekatkan diri pada Allah,,itu bahkan jaaaaauuuuh lebih baaaik dari banyaknya macam-macam pengajaran apapun. TERIMA KASIH…
SHALOM
Shalom Roserina,
Terima kasih atas komentar Anda. Menurut saya, kita tidak perlu pusing untuk mempersoalkan tentang hal ini, karena tulisan dari keuskupan oleh Romo Mardi telah begitu jelas. Kita tidak boleh mempertentangkan bahwa yang setuju dengan retret pohon keluarga adalah diwarnai dengan Roh Kudus, sedangkan yang tidak setuju berarti tidak diwarnai oleh Roh Kudus. Kalau kita percaya bahwa Roh Kudus bekerja dalam setiap individu, maka kita harus lebih percaya lagi bahwa Roh Kudus juga bekerja dalam Gereja-Nya – termasuk melalui hirarki. Jadi, mari kita mempunyai sikap kerendahan hati, yang diwujudkan dengan ketaatan kita atas pengajaran dan arahan yang telah diberikan. Silakan melihat beberapa diskusi dalam topik ini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org.
Iya maaf,,saya agak menggebu-gebu. Saya sebenarnya juga masih awam dengan retreat tersebut. Tapi bolehlah saya sedikit bercerita. Sebelumnya saya orang katolik biasa yang dulu sangat tidak suka akan pembaharuan pengajaran tersebut. lha kok dalam perjalanan hidup saya , saya pernah berada di suatu titik di mana iman saya mulai goyah dan tidak percaya sama Yesus…nah kemudian saya ditawari teman saya untuk ikut salah satu retreat komunitas tersebut, salah satunya retreat pohon keluarga, tapi justru di retreat mereka saya dijamah oleh kasih Tuhan di jamah oleh Roh Kudus,,,saya merasa menjadi orang baru,,,,Sungguh saya tidak mengada-ada. saya baru sadar itu adalah komunitas di mana dulu saya tidak menyukainya….Eh lha kok sekarang saya justru merasa senang berada di komunitas tersebut. Mungkin cara Tuhan untuk menyapa umatNya berbeda-beda. Saya pernah tanya Romo,, terserah umat mau pilih cara apa ,,mau ikut kelompok apa yang penting kita cocok dan merasa damai dan semakin dekat dengan Tuhan… Yaa mungkin Tuhan memilihkan saya kelompok tersebut supaya saya dapat bertumbuh dalam iman. Mungkin ada banyak orang lain juga yang tanpa komunitas tersebut bisa survive tetap berteguh dalam imannya.. Lha masalahnya saya pribadi merasa saya sangat terbantu dan senang untuk ikut bertumbuh rohani di sana… Jadi tergantung orangnya masing-masing. kalau tanpa melalui komunitas tersebut sudah berbuah dalam banyak hal,, ya bersyukur…..Terima kasih banyak. Shalom…Semoga Tuhan memberkati
Shalom Roserina,
Memang Roh Kudus dapat menyentuh orang dalam berbagai cara, salah satunya melalui retret. Bahkan Roh Kudus dengan cara-Nya yang ajaib juga dapat berkarya di luar Gereja untuk membawa orang-orang mengenal Allah dan kemudian membawa mereka kepada kepenuhan kebenaran. Namun, kita yang telah ada di dalam Gereja Katolik, dalam satu kawanan, dapat menyatukan gerak langkah kegiatan kita, sehingga seluruh kegiatan dapat tepat secara pastoral dan benar secara teologis. Jadi, saya tidak meragukan bahwa ada efek yang baik bagi beberapa orang yang telah mengikuti retret tersebut. Namun, saya yakin, dengan beberapa perubahan dari retret tersebut agar dapat tepat secara pastoral dan teologis, maka buah-buahnya juga akan nampak. Dan yang terpenting, setelah retret, seluruh umat beriman dapat kembali berakar pada sakramen-sakramen, terutama Sakramen Ekaristi dan Sakramen Tobat. Semoga dapat diterima.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Shalom tim Katolisitas.org,
Terima kasih atas kerelaan Anda berbagi melalui website ini. Saya ingin menanyakan lebih lanjut tentang artikel pohon keluarga ini:
– Jika dosa tidak diwariskan, bagaimana dengan akibat dosa? Sebab apabila akibat dosa juga tidak diwariskan, mengapa manusia tetap meninggal, sakit, dan ada kecenderungan untuk berbuat dosa (concupiscence)?
– Apakah ada dari tim katolisitas.org yg pernah mengikuti retret intergenerasi yg diadakan di Lembah Karmel? Apakah isi retret tsb bertentangan dg perintah KAJ? Saya selalu merasa lebih damai setelah mengikuti retret di sana, namun saya ingin mengetahui apakah retret intergenerasi tsb termasuk retret pohon keluarga yg Anda bahas di atas?
Saya pernah mengikuti retret tsb beberapa tahun lalu, namun seingat saya mereka tidak mengajarkan bahwa dosa diwariskan seperti yg disebut pada artikel di atas. Namun disebutkan bahwa akibat dari dosa tetap ada meski kita telah dibaptis, dan salah satunya adalah kecenderungan thd dosa.
– Lalu pertanyaan saya selanjutnya adalah bagaimana pandangan Anda ttg sifat dari “kecenderungan thd dosa” ini? Apakah kecenderungan dosa yg dialami seseorang bersifat spesifik thd dosa berat tertentu yg dilakukan leluhurnya? Sebab fenomena tsb sering kali saya amati… Ayah yg berselingkuh dg pembantu lalu memiliki anak yg berselingkuh juga dg pembantu. Wanita yg berzinah lalu memiliki anak2 perempuan yg juga pernikahannya berantakan.
Semua ini membuat saya bertanya2… Memang dosa telah dihapuskan pada saat pembaptisan, tetapi mengapa kecenderungan thd dosa tertentu sering berulang pada keturunan?
Saya telah membaca beberapa artikel mengenai concupiscence di link sbb namun belum menjawab pertanyaan saya ttg kespesifikan dari kecenderungan dosa tsb:
http://www.hidupkatolik.com/2013/05/14/warisan-dosa
http://en.wikipedia.org/wiki/Concupiscence
https://katolisitas.org/1597/mengapa-manusia-pertama-jatuh-dalam-dosa
Terima kasih.
Shalom Ellen,
Melalui Baptisan, dihapuskanlah segala dosa, baik dosa asal, maupun dosa-dosa pribadi dan akibat-akibat dosa yang mengakibatkan keterpisahan kita dari Allah (neraka). Namun demikian, tertinggal pada kita yang sudah dibaptis, kecondongan terhadap dosa atau disebut concupiscence/ concupiscentia, dan beberapa akibat dosa sementara. Mohon dipahami, bahwa concupiscence atau kecondongan terhadap dosa, itu bukan dosa. Kecondongan tersebut baru dapat disebut dosa, jika sudah diikuti oleh kehendak manusia, sehingga membuahkan suatu perbuatan yang menyimpang. Nah, setelah Baptisan, concupiscence ini memang tetap ada, sebagai akibat dari dosa asal Adam dan Hawa. Adalah kebijaksanaan Tuhan untuk meninggalkan concupiscentia ini dalam diri orang-orang yang sudah dibaptis, agar mereka dapat berjuang untuk mengalahkannya, agar kelak dapat memperoleh mahkota abadi dalam Kerajaan Surga.
Katekismus mengajarkannya demikian:
KGK 1263 Oleh Pembaptisan diampunilah semua dosa, dosa asal, dan semua dosa pribadi serta siksa-siksa dosa (Bdk. DS 1316). Di dalam mereka yang dilahirkan kembali, tidak tersisa apa pun yang dapat menghalang-halangi mereka untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah. Baik dosa Adam maupun dosa pribadi demikian pula akibat-akibat dosa, yang terparah darinya adalah pemisahan dari Allah, semuanya tidak ada lagi.
KGK 1264 Tetapi di dalam orang-orang yang dibaptis tetap ada beberapa akibat sementara dari dosa: penderitaan, penyakit, kematian, kelemahan yang berhubungan dengan kehidupan (seperti misalnya kelemahan tabiat), serta kecondongan kepada dosa, yang tradisi namakan concupiscentia [keinginan tak teratur] atau, secara kiasan, “dapur dosa” [fomes peccati]. Karena keinginan tak teratur “tertinggal untuk perjuangan, maka ia tidak akan merugikan mereka, yang tidak menyerah kepadanya dan yang dengan bantuan rahmat Yesus Kristus menantangnya dengan perkasa. Malahan lebih dari itu, siapa yang berjuang dengan benar, akan menerima mahkota (2 Tim 2:5)” (Konsili Trente: DS 1515).
Menurut pengetahuan saya, Retret Pohon Keluarga itu dilarang oleh KAJ, karena pernah ada suatu masa, di mana agak umum diadakan retret oleh komunitas-komunitas tertentu, dengan ciri-ciri yang disebutkan oleh surat pernyataan KAJ tersebut. Hal ini tidak selaras dengan ajaran Gereja Katolik, maka KAJ melarangnya. Sebab setiap orang bertanggungjawab terhadap perbuatannya sendiri, dan kita tidak dapat menganggap bahwa jika kita melakukan dosa tertentu, itu disebabkan karena orang tua kita yang menurunkan dosa tersebut kepada kita.
Sejujurnya, saya dan Stef belum pernah mengikuti retret intergenerasi di Lembah Karmel. Mohon maaf kami tidak dapat memberikan komentar tentang hal itu. Namun bertahun-tahun yang lalu (saya tidak ingat lagi tahun berapa) saya pernah mendengarkan semacam pengajaran/ rekoleksi yang diadakan dengan topik pohon keluarga itu, dan saya juga merasa janggal dengan apa yang disampaikan di sana, sehingga kami memahami mengapa KAJ melarang retret/ rekoleksi dengan tema pohon keluarga tersebut.
Hal kelemahan orang tua yang berulang pada anaknya, selayaknya tidak dianggap sebagai dosa turunan. Namun adalah sesuatu yang sepertinya terjadi secara kodrati/ alamiah, bahwa anak-anak meniru orang tuanya. Hal perceraian misalnya, akan mempengaruhi pandangan anak, sehingga iapun dapat menganggap bahwa perceraian merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan, jika kelak ia menemui masalah dalam perkawinannya sendiri. Kemungkinan ini lebih besar terjadi pada anak-anak yang orang tuanya bercerai, daripada pada anak-anak dari keluarganya yang utuh, yang sejak kecil sudah diajarkan bahwa perceraian itu bukan alternatif, dan bahwa pasangan suami istri harus bersatu sampai maut memisahkan. Pasangan suami istri yang bercerai memang tetap dapat mengajarkan pentingnya keutuhan keluarga, namun tentu anak akan menemui kesulitan untuk melihat ‘contoh’-nya, sebab orang tuanya sendiri bercerai. Kegagalan menemukan jawabannya ini dapat berakhir dengan ia mengambil kesimpulan sendiri bahwa perceraian itu mungkin bisa saja tak terelakkan, sehingga kelak jika ia mengalami kesulitan dalam perkawinan maka ia dapat memiliki kecenderungan meniru keputusan orang tuanya. Namun ini tentu saja tidak mutlak demikian. Sebab tetap saja ada kemungkinan bahwa seorang anak dari keluarga yang bercerai, justru mati-matian akan mempertahankan perkawinannya sebab ia tak mau anaknya mengalami kesulitan seperti yang pernah dialaminya sendiri.
Namun sebaliknya, jika ia memutuskan untuk bercerai ataupun berselingkuh ini adalah keputusannya sendiri, dalam hal ini kita tak dapat mengatakan bahwa dosa tersebut itu terutama adalah karena dosa turunan orang tuanya. Maka pentinglah di sini peran lingkungan sekitar dan Gereja bagi anak-anak tersebut, agar walaupun keadaan keluarganya tidak ideal, ia tetap dapat mempunyai keinginan yang kuat dan idealisme agar kelak membentuk keluarga yang utuh.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga menjawab pertanyaan Anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Terima kasih banyak, Bu Ingrid. Penjelasannya membantu sekali.
Dear Katolisitas,
Ibu Ingrid / Bpk Stef
Mohon pencerahan,
Ada Ayat berbunyi:
“Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku“(Kel 20:5)
Dan ada ayat berbunyi:
………………., janganlah juga anak dihukum mati karena ayahnya; setiap orang harus dihukum mati karena dosanya sendiri (Ul 24:16; lihat juga Yer 31:30). Atau Yehezkiel mengatakan “Orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati. Anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya dan ayah tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya. Orang benar akan menerima berkat kebenarannya, dan kefasikan orang fasik akan tertanggung atasnya (Yeh 18:20)
Bagaimana yg dimaksud dengan kedua ayat diatas ?, sepertinya kedua ayat itu bertentangan. Mohon pencerahan dari Katolisitas.
Terima-Kasih.
[dari katolisitas: Silakan melihat tanya jawab ini – silakan klik]
aneh nih, ajarannya…ra mutu blass pokoe
[dari katolisitas: Kami kadang menerima komentar seperti ini, namun kami sering tidak menampilkannya, karena tidak akan membawa diskusi yang membangun. Kami terbuka terhadap dialog, namun komentar seperti ini adalah komentar yang tidak disertai dengan argumentasi sehingga pada akhirnya tidak akan terjadi dialog yang baik. Jadi, silakan memberikan argumentasi apa yang menjadi keberatan Anda akan artikel di atas.]
Dear Admin / pak Stef & bu Ingrid…
Masih ada “ganjalan” di pikiran saya.
Apa saja yang sebenarnya ditebus oleh Kristus saat Ia mengorbankan dirinya di kayu salib?
Kaitan pertanyaan saya adalah : kenapa ada institusi Katolik yang diakui oleh Gereja, mempraktekkan apa yang mereka sebut “pelepasan”? Mereka mempercayai bahwa dosa-dosa nenek moyang turun ke anak cucu sehingga mengikat / membelenggu hidup kita. Dosa nenek moyang tersebut antara lain mungkin jika dulu pernah ke dukun, ke gunung kawi, semua ilmu-ilmu sesat, jimat, aborsi, dll.
Bukankah ketika kita sudah menyerahkan hidup kita ke Kristus, melalui Sakramen Baptis ( apalagi ditambah Sakramen Krisma dan Ekaristi tiap minggu ), semua “ikatan-ikatan” diatas tersebut ikut ditebus dan dilepaskan oleh Kristus?
Jadi mana yang benar? Mohon pencerahannya..
[dari katolisitas: Silakan membaca artikel di atas – silakan klik]
Shalom,
di atas disebutkan bahwa setiap orang bertanggung jawab atas kesalahannya sendiri dan anak yang bertobat akan diselamatkan walaupun orang tuanya berbuat dosa.
Namun, apakah mungkin pada suatu kejadian si anak diminta melakukan silih (lewat penglihatan, dorongan hati dll) untuk dosa2 orang tuanya (yang telah meninggal)? Tentu saja dalam hal ini silih si anak menjadi bagian dari penebusan utama yang dilakukan Kristus.
Terima kasih
GBU
Shalom Agung,
Kita memang dapat melakukan silih untuk orang lain. Dasarnya adalah apa yang dikatakan oleh Rasul Paulus kepada jemaat di Kolese “Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat.” (Kol 1:24) Kita juga mengingat bahwa salah satu tujuan dari Misa Jumat Pertama adalah untuk menghormati hati kudus Yesus dan juga melakukan silih bagi dosa-dosa penghinaan terhadap Sakramen Maha Kudus.
Jadi, dalam konteks anak yang dilahirkan dari orang tua yang berbuat dosa, maka tentu saja anak tersebut dapat melakukan silih, sehingga kalau jiwa orang tuanya ada di Api Penyucian, maka jiwa tersebut akan dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Yang harus dilakukan oleh anak tersebut yaitu meminta indulgensi yang ditujukan kepada orang tuanya. Silakan melihat tanya jawab ini untuk mendapatkan indulgesi – silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Shalom Bu Ingrid
Saya ingin menanyakan “apakah akar kepahitan” itu ?
Jika dimungkinkan dibuat sebuah topik tersendiri, menurut saya akar kepahitan akan menghambat seseorang memperoleh buah-buah roh.
Saya sangat mengharapkan mendapat penjelasan dalam hal praktis secara rohani mengatasi kelemahan2 tsb.
Terima kasih.
Salam
Felik S
Shalom Felix,
Kepahitan/ bitterness, kalau dilihat dari arti harafiahnya (klik di sini) mengacu kepada: perasaan yang tajam, tidak mengenakkan, menyakitkan, kesulitan untuk menerima atau menanggung [sesuatu], perasaan yang ditimbulkan oleh pertentangan, akibat dari kesedihan ataupun kekecewaan atau ditandai dengan perasaan tidak suka/ sinis.
Maka memang kalau dilihat dari definisinya saja, kepahitan ini lebih mengarah kepada perasaan. Umumnya perasaan kepahitan ini berkaitan dengan kesedihan, kebencian, kekecewaan, pertentangan dengan sesama atau dengan suatu keadaan. Maka akar dari kepahitan itu tentunya tergantung dari keadaan yang dialami oleh orang yang bersangkutan. Jika kepahitannya itu disebabkan karena kebencian, umumnya ini ada masalah kesulitan untuk mengampuni. Jika kepahitan disebabkan karena kekecewaan akan suatu keadaan (misal orang yang dikasihi meninggal dunia), umumnya ada masalah kesulitan untuk berpasrah total kepada Tuhan. Hal masalah perasaan ini bervariasi sekali sifatnya dan menjadi subyektif karena tergantung dari pribadi tiap-tiap orang, sehingga agak sulit untuk menjabarkannya. Jika seseorang ingin memahami apakah yang menjadi akar kepahitannya, adalah baik jika ia mempunyai seorang pembimbing rohani, sedapat mungkin imam yang kepadanya ia mengaku dosa dalam sakramen Tobat, agar ia dapat dibantu untuk mengenali masalahnya. Namun untuk hal ini, ia perlu untuk secara rutin mengaku dosa, mempersiapkan diri/ memeriksa batin sebelumnya dengan baik dan sewaktu mengaku dosa tidak terburu-buru, dan dengan tulus mengakui segala kesalahan ataupun perasaan negatif ini, agar dapat memperoleh masukan yang berguna dari imam tersebut. Selanjutnya, ia sendiri dapat senantiasa berdoa memohon rahmat Tuhan agar dibebaskan dari berbagai perasaan kepahitan di dalam batin.
Syukurlah bahwa Gereja melalui beberapa rumah retret dan komunitas Kristiani mengadakan retret-retret yang dimaksudkan untuk membantu orang-orang yang mengalami hal-hal negatif macam ini, yang umum dikenal dengan istilah retret luka batin.
Jika dikatakan bahwa kepahitan ini menghambat seseorang memperoleh buah-buah roh, ya mungkin ada benarnya. Sebab kita mengetahui buah- buah roh, yaitu kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, pengendalian diri (Gal 5:22-23) memang sepertinya bertolak belakang dengan ciri-ciri orang yang mempunyai kepahitan. Buah Roh ini adalah dihasilkan jika kita bersedia untuk menerima Kristus dan mau diubah oleh Kristus. Jadi jika seseorang memilih untuk tetap berpegang kepada masa lalunya yang pahit, memang agak sulit untuk mengalami ‘kemerdekaan’ di dalam Kristus ini, yang melahirkan buah-buah Roh. Maka yang perlu diusahakan adalah keterbukaan hati untuk menerima Kristus dan kesediaan untuk menyerahkan hidup sepenuhnya ke dalam pimpinan Kristus.
Selanjutnya, kita dapat belajar dari para orang kudus untuk bangkit dari kelemahan, dengan bantuan rahmat Tuhan. Caranya adalah dengan mengusahakan kebajikan yang menjadi lawan dari kelemahan kita. Misalnya jika pada dasarnya kita orangnya pemarah, kita harus ekstra keras mengusahakan kebajikan kelemah-lembutan. Kita harus berdoa memohon rahmat Tuhan untuk itu, namun juga terus bekerjasama mengusahakannya. Kita perlu menarik nafas panjang, lebih banyak diam (menahan agar tidak berbicara) dan berdoa saat sesungguhnya kita sedang kesal, dan tidak membalas jika orang lain marah atau mengatakan kata-kata yang pedas kepada kita. Atau jika pada dasarnya kita orangnya penakut, kita harus menumbuhkan rasa percaya diri (tentu dengan bantuan rahmat Tuhan) selalu percaya bahwa Tuhan menjaga kita. Saat kita dilanda ketakutan, kita kembali mengingat saat-saat di mana begitu seringnya Tuhan menjaga dan melindungi kita, sehingga sesungguhnya kita tak perlu merasa takut dan kuatir. Namun tentu untuk dapat memperbaiki kelemahan kita, kita perlu secara teratur memeriksa batin kita (misalnya sekali setiap hari sebelum tidur malam), dan dengan jujur menerima kekurangan kita sendiri terlebih dahulu. Hanya jika kita sudah dapat menerima kekurangan kita ini, kita dapat memohon rahmat Allah untuk mengatasinya. Kadang ada banyak orang yang tak dapat keluar dari kepahitannya, justru karena mereka tidak mau menerima bahwa mereka mempunyai kepahitan ini. Mereka sepertinya mau menutupinya dan menganggapnya wajar saja, dan bahkan tak mau mempersoalkannya. Padahal seringkali kepahitan ini yang membuat seseorang kehilangan sukacita, atau jika bersuka cita namun sebenarnya hanya sementara waktu atau hanya nampak dari luar saja, namun tidak sungguh di hati. Nah, untuk membuka hati dan menerima diri apa adanya dengan segala masa lalu kita, diperlukan proses, dan mungkin juga kesempatan-kesempatan tertentu seperti retret/ konsultasi dengan pembimbing rohani, dan juga melalui sakramen-sakramen, terutama sakramen Ekaristi dan Tobat. Jika semua ini dilakukan, sangat mungkin seseorang dapat disembuhkan oleh Tuhan, sebab rahmat-Nya masih senantiasa dicurahkan kepada kita umat-Nya sampai saat ini. Namun agar berhasil guna, diperlukan juga kerjasama dari kita, agar rahmat Tuhan ini sungguh menghasilkan buah-buahnya di dalam hidup kita.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Kalau pohon keluarga memang tidak ada, bagaimana menjelaskan fenomena “ilmu gaib” yang diturunkan oleh nenek moyang, seperti dapat menyembuhkan orang, melihat mahluk2 gaib? Hal ini terjadi dengan beberapa keponakan saya yang masih kecil-kecil (antara 5-10 tahun) yang mempunyai kemampuan/karunia seperti itu karena nenek buyut mereka (non Kristen/Katolik) juga dulu diketahui juga mempunyai karunia penyembuhan dan hal-hal gaib lainnya. Padahal Kakek/Nenek, kedua orang tua dan mereka sendiri telah dibaptis secara Katolik, bahkan dari orang tua sudah dibaptis sejak bayi. “Karunia” ini dirasakan malah “mengganggu” oleh orang tua mereka karena anaknya yang 7 tahun suka bertindak/berbicara seperti orang dewasa/tua. Ke mana/bagaimana mencari pertolongan? Mohon bimbingan. Terima kasih.
Salam Yasinta,
Secara genealogi, kita memang mewarisi sifat biologis dari orang tua dan kakek-nenek kita dari ayah dan ibu. Itulah pohon keluarga yang dipahami secara ilmu pengetahuan yang valid. Namun “pohon keluarga” dalam arti kesialan, kutuk dan sihir yang menurun pada anak-cucu sudah dipatahkan oleh pembaptisan. Walaupun sudah dipatahkan, akibatnya masih bisa bisa dirasakan oleh anak-cucu. Contoh, seorang yang merampok dan membunuh, akan membuat anak dan bakan cucunya menanggung rasa minder, kekecewaan, luka batin karena ber-ayah dan ber-kakek seorang perampok dan pembunuh. Akibat ini pun bisa disembuhkan dengan upaya-upaya penyembuhan luka batin.
Adapun contoh yang Anda paparkan, kemungkinan merupakan gejala indigo yang pernah dibahas di sini, silakan klik. Hal ini tetaplah masih spekulatif. Menurut pengalaman, dibiarkan saja sampai anak itu dewasa pasti akan selesai dengan sendirinya. Hanya saja, si anak memang memerlukan perhatian ekstra dibandingkan anak-anak yang bukan indigo.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr
Kalau begitu Doa Pohon Keluarga seharusnya memang dilarang ya Romo, namun saya pernah membaca Buku Doa yang di dalamnya berisi berbagai doa yang salah satunya adalah “Doa Pohon Keluarga”, dan buku tersebut sudah terdapat Nihil obstaat dan imprimatur. Bagaimana ini Romo? Nuwun
Salam Vian,
Apakah boleh merepotkan sedikit, agar mengirimkan teksnya kepada kami? Kami tidak bisa menilai lebih lanjut sebelum membacanya.
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
dosa asal yg dturunkan turun temurun dr adam dan hawa it apakah bkn dosa nenek m0yang? Bknkah berarti bs jg dosa nenek m0yang kita menurun ke kita?
Tp saya yakin dosa it hlg saat baptis.
Shalom Elma,
Dosa asal diturunkan dari manusia pertama, yaitu Adam dan Hawa, kepada seluruh umat manusia. Adam dan Hawa yang adalah sepasang manusia pertama, itu adalah “kakek dan nenek moyang” semua manusia.
Sakramen Baptis menghapuskan dosa asal ini dan dosa pribadi yang dilakukan orang tersebut sampai pada saat dibaptis.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Maaf admin Katolisitas…Kalau memang ret-ret pohon keluarga dilarang tapi kok sekarang sudah diadakan lagi? Sy lihat sekarang sudah ad lagi jadwal ret-ret pohon keluarga atau ret-ret intergenerasi. Ap sudah ada revisi dalam penyelenggaraan ret2 dan ajarannya. Salam damai..
Salam Acong,
Sebagai orang Katolik, kita hanya berpegang pada keputusan resmi pemimpin hierarki keuskupan. Jika keputusan itu tidak diubah atau dicabut, kita tetap berpegang padanya. Saya sendiri belum pernah mendengar ada pernyataan resmi baru dari hierarki Keuskupan Agung Jakarta mengenai “retret pohon keluarga”, sebagaimana ada dalam surat Vikep di bawah ini pada nomer KEDUA.
Jika Anda di Keuskupan Agung Jakarta dan memiliki informasi mengenai ada “retret pohon keluarga” atau “intergenerasi” tersebut, hendaknya Anda beritahukan hal itu ke Keuskupan Agung Jakarta. Anda pun bisa mengingatkan mereka dengan kasih dengan landasan surat di bawah ini. Surat di bawah ini memang Surat Vikep KAJ yang berisi hal-hal yang harus diperhatikan oleh PDKK KAJ. Namun pada nomer KEDUA berbicara khusus mengenai dilarangnya retret Pohon Keluarga.
SURAT VIKEP KAJ tentang Pembaharuan Karismatik Katolik-KAJ:
Jakarta, 27 Agustus 2003
Ytk Para saudari dan saudara dalam Pembaharuan Karismatik Katolik
Di Jakarta,
Pada tanggal 11 Agustus 2003, Romo Kardinal Julius Darmaatmadja, S.J.,
sebagai Uskup Agung Jakarta, memanggil Moderator, Ko-moderator dan beberapa petugas harian BPK-KAJ. Disyukuri, bahwa Roh Allah telah melimpahkan rahmatNya kepada Gereja Jakarta melalui ribuan orang, yang merasa dijamah oleh cintaNya dan bergabung dalam Persekutuan Doa. Roh Kudus memperkaya umat dengan iman yang lebih dihayati, hidup menggereja yang lebih gembira, penghormatan kepada Kitab Suci dengan sukacita, kesadaran persatuan secara lahir batin, kegairahan dalam merayakan sakramen-sakramen, dengan aneka sakramentalia, seperti rosario, jalan salib, ziarah, ibadat sabda dsb. Pada akhir pembicaraan, Bapak Uskup menugasi Vicarius Episcopalis (Vikep) Kategorial untuk menyampaikan sejumlah hal yang perlu diperhatikan oleh seluruh keluarga Pembaharuan Karismatik Katholik se-Keuskupan Agung Jakarta.
PERTAMA, bahwa Koordinator BPK dan Moderator BPK perlu bersatu dengan Pimpinan Keuskupan dalam kebijakan pastoral serta ikut melayani secara terpadu, sehingga umat melaksanakan kebijakan itu. Khususnya menjelang akhir Sinode Kedua KAJ ini, diharapkan bahwa iman akan Roh Kudus lebih difokuskan pada kehidupan dalam keluarga, untuk menghasilkan pembaharuan yang nyata positif.
KEDUA, harap diingat bahwa Sakramen Perkawinan menurut paham Katholik memusatkan keyakinan, bahwa pasang surut hidup keluarga, konflik dan rekonsiliasi dalam perjalanan keluarga, kesalahan dan pemulihan sepanjang hidup manusia berkeluarga sudah dirangkum dalam penebusan Tuhan Yesus, yang hidup dalam keluarga, wafat dan bangkit bagi kita semua; menghancurkan segala kekuatan setan, kutuk manusia dsb. Maka PKK-KAJ hendaklah tidak mendukung retret “Pohon Keluarga”, yang dalam prakteknya sekarang dinilai terlalu menyempitkan paham keluarga dengan determinisme psikologis. Kita harus mengembangkan ‘discernment’, untuk tidak menyamaratakan saja segala masalah, melainkan mampu membeda-bedakan manakah dalam keluarga merupakan masalah budaya yang perlu dicermati secara kultural, luka kejiwaan yang perlu disembuhkan secara psikologis, dan dosa yang perlu dimohonkan ampun dari Tuhan.
KETIGA, dalam Roh Kudus kita percaya bahwa Tuhan Yesus menyertai Gereja sampai ke akhir jaman dengan kekuasaan tanpa batas. Maka yang seyogianya dimana-mana dilihat oleh keluarga PKK-KAJ bukanlah kuasa gelap, melainkan kekuatan Allah. Banyak kesalahan, kesusahan, malapetaka atau kerisauan dalam hidup perseorangan maupun keluarga dapat disebabkan oleh keterbatasan fisik atau kejiwaan kita, keterikatan budaya serta kesulitan ekonomi maupun politis kita. PKK-KAJ diminta mau lebih menekuni dan memajukan ‘Discernment of Spirit’ daripada praktek ‘Deliverance’ yang dangkal dan sensional; apalagi dengan pola pengusiran setan yang gegabah. Kecuali itu, ‘exorcismus untuk mengusir setan yang sejati’ hanya boleh dilakukan oleh orang yang mendapat ijin tertulis Uskup.
KEEMPAT, para Pewarta dalam lingkungan PKK-KAJ harus lebih banyak mempelajari dan mewartakan Ajaran Gereja mengenai berbagai permasalahan rohani dan pewarta perlu mau dilayani oleh BPK dengan acara-acara penyegaran yang bermutu. Pegangan utama bagi semua pewarta adalah Buku Iman Katolik dari KWI dan Katekismus Gereja Katolik, serta Surat-surat Gembala Pemimpin Gereja, karena menerjemahkan Alkitab dalam konteks kita. Secara berkesinambungan para Pewarta perlu dievaluasi dan diperbarui pengutusannya oleh pimpinan BPK-KAJ, sebab pewartaan hanya berarti dalam konteks persekutuan iman, yakni Gereja. Maka perlu pengutusan resmi dari pimpinan Gereja. Pengutusan itu lebih penting, kalau seorang pewarta pergi ke luar Keuskupan Agung Jakarta. Uskup memberikan pengutusan utama kepada para imam, khususnya pastor paroki dan moderator. Orang lain mengambil bagian dalam pengutusan tersebut bila memenuhi syarat.
KELIMA, PKK-KAJ seyogianya mendukung ekumene dan dialog dengan agama lain dengan cara dialog hidup maupun dialog karya. Bentuknya : lebih memajukan hidup bertetangga secara baik dan karya sosial bersama. Namun diminta tidak mengadakan PD Ekumene. Pertemuan untuk pengajaran lintas Gereja hanya dilakukan dengan penugasan BPK dan sepengetahuan Keuskupan. Sebab untuk itu diperlukan sejumlah syarat mutu pengetahuan dan pengutusan jelas.
KEENAM, hendaknya lebih digarisbawahi lagi tradisi BPK-KAJ bahwa Persekutuan Doa tidak mengundang pemuka dari Gereja atau Agama lain untuk memberikan pengajaran. Kita juga menyadari, bahwa bahkan dalam ‘kesaksian’ suatu PD banyak pengajaran yang dapat terbawa masuk, yang dapat melemahkan iman Katolik umat. Sebab tim PD bertanggungjawab untuk mutu Katolik warganya.
KETUJUH, ditengah upaya-upaya agar pewartaan dalam PD di PKK-KAJ tampak menarik, diingatkan bahwa tetap berlaku kewajiban untuk sejak perencanaan membicarakan dengan Moderator apabila mengundang pewarta dari luar keuskupan, dan dengan Pimpinan Keuskupan bila undangan dari luar negeri. Tiap pewarta dari luar Keuskupan memerlukan pengutusan resmi dari pimpinannya, dari keuskupan/BPK, dan/atau dari tarekatnya. Sebab di dalam Gereja Katolik, setiap pewartaan membutuhkan pengutusan.
KEDELAPAN, PKK-KAJ makin mekar bila PD-PD Paroki dan kategorial subur. Dalam kaitan itu, BPK hendaknya sungguh membantu BPKM dan orang-orang muda hendaknya mau dibantu BPK agar sungguh melayani sesama orang muda secara terpadu dengan BPK-KAJ. Dianjurkan agar seluruh PKK-KAJ mau mempelajari cara-cara yang tepat guna membangun Persekutuan Doa Karismatik Katolik sebagaimana dianjurkan dalam Konvensi Nasional 2003. Di situ PD hendaknya menjadi komunitas basis dan bukan menekankan perayaan massal. Seyogianya dibentuk Badan Pelayanan Paroki., khususnya di paroki yang menjadi basis dari beberapa pelayanan karismatik.
KESEMBILAN, Persekutuan Doa perlu membaharui diri terus, terutama PD kategorial perlu mencermati visi/misi-nya, supaya jelas fokusnya. Jangan mudah mendirikan PD atau komunitas baru hanya karena tidak sejalan dengan petugas BPK atau dengan teman PD lainnya. Seperti Gereja Perdana, kita diajak untuk mengatasi pelbagai konflik dan perbedaan pandangan dengan pembicaraan bersama, bukan dengan memisahkan diri.
KESEPULUH, semua PD diminta untuk semakin menjadi persekutuan: disitu doa merupakan awal, isi dan tujuan semua kegiatan, dan bukan hanya parade nyanyian dan suasana hura-hura atau menonjolkan pertunjukan saja.
Kesepuluh butir itu penting dalam upaya kita menjadi persekutuan yang
membaharui diri tanpa henti dan karena kita mau secara bersungguh-sungguh mewujudkan cita-cita bahwa iman akan Roh Kudus, doa, spiritualitas adalah nomor satu dalam PKK-KAJ. Bersatu dengan lembaga gerejawi dan pimpinan Keuskupan kita ingin menjadi jemaat yang secara nyata percaya akan Bapa Pencipta, Putra yang menebus kita serta Roh Kudus yang menghibur kita. Hendaknya umat menyatu dalam pelayanan BPK-KAJ yang dipadukan oleh Koordinator dan dipandu oleh Moderator dan Ko-moderator dalam naungan Gereja, yang satu kudus-katolik dan apostolik. Kita percaya bahwa Tuhan memberkati kita semua.
Bersatu dalam kasih Allah
B.S. Mardiatmadja, S.J
Vicarius Episcopalis-Keuskupan Agung Jakarta
Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr
Dear Team Katolisitas,
Memang postingan ini sudah cukup lama. Tapi saya masih bingung sehubungan dengan ikatan kutuk / dosa keturunan yang disinggung dalam pembahasan retret pohon keluarga ini.
Pada kesaksian Romo Santo di link https://katolisitas.org/eksorsisme-pengalaman-yang-tak-terlupakan/ , di situ diceritakan bahwa anak muda yang kerasukan tersebut mengalami kerasukan karena keterikatan dosa leluhur yaitu leluhurnya mempersembahkan dirinya kepada iblis.
Seharusnya kan anak muda tersebut sudah dibebaskan dari keterikatan tersebut oleh Sakramen Baptis yang sudah diterimanya ? Sehingga kerasukan tersebut seharusnya tidak mungkin dialaminya ?
Mohon pencerahannya ya..
Shallom
Salam Ignatius,
Saya yakin bahwa setan menipu. Anak itu dan orangtuanya, setelah saya ajak bicara, tidak tahu menahu akan perilaku leluhurnya di masa lalu. Anak itu dan ibunya sudah dibaptis. Namun benar bahwa setan dengan cara apapun ingin kita gentar dan mengaitkan segala hal secara tidak masuk akal dengan kuasa kegelapan saja, agar manusia hidup tanpa Allah sebagai yang Maha Mutlak yang ditaati.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr
Terima kasih atas tanggapannya Romo Santo.
Berarti dalam kondisi apapun, bahkan saat terdesak, setan juga tetap berusaha menipu kita ya supaya kita meninggalkan iman kita ?
Padahal kerasukan anak muda tersebut tidak ada hubungannya dengan dosa leluhurnya ?
Shallom
Salam Ignatius,
Benarlah, bahwa musuh kita bagaikan singa mencari mangsa, siap menerkam dan menyeret manusia yang terlena (lihat 1 Petrus 5: 8)
Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr
Shalom Pak Stef & Niklaus,
Dalam kekalutan hidup keluarga, kami ikuti bimbingan pribadi dan retret awal, memang ada rencana akan ikut retret pohon keluarga entah kapan.
Ada beberapa alasan kami ingin ikut retret pohon keluarga :
– selama kuarang lebih 28 tahun kami hidup bersama orang tua kami, sebelum kami berkeluarga.
– disadari atau tidak disadari pola pikir dan perbuatan kami , tidak jauh dari orang tua kami.
– kegagalan orang tua kami dalam membangun keluarga yang damai dan langgeng,
– kesukaan mengambil jalan pintas, sehingga menimbulkan musibah- musibah yang beruntun.
dengan alasan tersebut, kami berharap Doa-doa dari suster dan Roh Kudus senantiasa membimbing kami dalam berpikir dan bertindak, agar musibah musibah yang dialami keluarga kami tidak mengena pada kami.
Mohon penjelasan dari Pak Stef & Niklaus.
Semoga Kasih Kristus Senantiasa Beserta Kita.
Shalom Sumpana,
Seperti telah disampaikan di atas, dalam Surat VIKEP KAJ tentang Pembaharuan Karismatik Katolik KAJ, disebutkan bahwa PKK KAJ tidak diperkenankan untuk mendukung retret ‘Pohon Keluarga’, karena dinilai cenderung menyempitkan paham keluarga dengan determinisme psikologis. Seolah- olah kalau ada sesuatu yang buruk terjadi dalam keluarga, cenderung dihubungkan dengan ‘warisan’ yang diturunkan orang tua. Harus diakui memang orang tua memberikan pengaruh besar pada pertumbuhan anak- anaknya, namun tidak dapat diasumsikan bahwa segala kesalahan kita bersumber dari kesalahan orang tua. Pandangan ini yang nampaknya perlu ditinjau kembali, karena tidak sesuai dengan ajaran firman Tuhan yang mengatakan:
“Tetapi kamu berkata: Mengapa anak tidak turut menanggung kesalahan ayahnya? Karena anak itu melakukan keadilan dan kebenaran, melakukan semua ketetapan-Ku dengan setia, maka ia pasti hidup. Orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati. Anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya dan ayah tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya. Orang benar akan menerima berkat kebenarannya, dan kefasikan orang fasik akan tertanggung atasnya.” (Yeh 18:19-20)
Jadi firman Tuhan mengatakan, bahwa kesalahan/dosa kita bukan otomatis disebabkan karena kesalahan/dosa orang tua kita. Bahwa memang ada kemungkinan kita dapat mempunyai kecenderungan sifat yang menyerupai sifat orang tua kita, itu tidak menjadikan kita tidak berdaya mengubahnya. Adalah sesuatu yang baik jika kita menyadari dosa kita, namun kita tidak dapat selalu menyalahkan orang tua kita untuk dosa tersebut. Sebab kita harus dengan rendah hati mengakui bahwa dosa/ kesalahan tersebut kita buat atas kehendak bebas kita sendiri. Sebab jika kita tidak berkehendak, tentu saja kita tidak sampai jatuh ke dalam kesalahan/ dosa tersebut. Lagipula kita juga harus belajar untuk bersikap positif dalam menilai suatu kejadian. Kadangkala Tuhan mengijinkan kita jatuh untuk belajar bangun: artinya pengalaman buruk di masa lalu harus menjadi guru agar kita dapat menghadapi kehidupan yang lebih baik di masa ini dan di masa depan.
Jika boleh, saya lebih cenderung untuk menganjurkan, agar anda sebagai keluarga (jika anda sudah menikah) berdoa bersama dengan pasangan dan anak- anak anda untuk selalu memohon pimpinan Tuhan dalam kehidupan keluarga anda. Jika memang benar ada pengaruh kekuatan kegelapan yang mengganggu anda/ keluarga anda, silakan anda sekeluarga mendoakan doa melawan kuasa kegelapan, klik di sini, setiap hari. Atau, silakan berdoa rosario setiap hari, karena doa rosario merupakan salah satu doa yang sangat baik untuk membentengi kita dari pengaruh kuasa jahat. Jadi memang tidak ada salahnya minta didoakan oleh para suster ataupun mengikuti retret penyembuhan luka batin, namun sesungguhnya yang terpenting adalah bagaimana selanjutnya kehidupan rohani kita. Sebab orang lain dapat turut mendoakan, namun kunci utama yang menentukan adalah hubungan kita sendiri dengan Tuhan. Apakah kita sudah sungguh mengandalkan Tuhan dan mendahulukan kehendak-Nya di atas kehendak kita sendiri? Maukah kita mengubah diri untuk mengikuti perintah Tuhan? Sudahkah kita mengasihi Tuhan melebihi segala sesuatu?
Semoga Tuhan menyertai anda sekeluarga untuk menjalani kehidupan keluarga sesuai dengan kehendak dan rencana-Nya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
shalom
doa melawan kuasa kegelapan, yang dimaksut apa 10 macam doa tersebut harus dibaca sesuai urutannya, makasih
Shalom Sumpana,
Doa untuk melawan kuasa kegelapan tersebut merupakan terjemahan doa De Exorcismis et supplicationibus quibusdam, Vatican, 1999, yang urutannya memang demikian no. 1-6 ditujukan kepada Allah, no.7 secara khusus kepada Kristus, no. 8 mohon dukungan doa kepada Bunda Maria, no.9 mohon dukungan kepada Malaikat Mikael dan no.10 doa litani mohon dukungan doa dari para orang kudus.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam kasih buat tim Katolisitas,
Saya punya pertanyaan seperti berikut:
Bagaimana sikap atau pandangan Gereja terhadap Inner Healing kusus dalam Luka Batin seperti yang di lakukan dalam persekutuan doa Karismatik? Mohon penjelasan daripada tim
Sekian terima kasih,
Lynn Miriam
Shalom Linda Miriam,
Pada dasarnya, retret penyembuhan luka batin (inner healing) tidak bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik. Karena kita manusia terdiri dari jiwa dan tubuh; dan kalau tubuh/ jasmani kita bisa sakit, maka demikianlah juga dengan jiwa/ kerohanian kita; sehingga kita memerlukan juga rahmat Allah untuk menyembuhkan rohani kita. Retret luka batin adalah retret yang diadakan dengan tujuan menyembuhkan segala luka/ kekecewaan batin. Umumnya peserta retret diajak untuk mengingat kembali pengalaman- pengalaman masa lalu yang menyakitkan, entah karena dosa pribadi ataupun akibat dosa/ perlakuan negatif dari orang lain; dan selanjutnya diikuti oleh permohonan akan rahmat Allah untuk menyembuhkannya.
Oleh karena yang dituju pertama- tama adalah kesembuhan rohani, maka adanya sakramen Pengakuan Dosa/ Tobat juga sangat penting di sini. Mengapa? Sebab Gereja Katolik mengajarkan bahwa rahmat pengampunan dan pemulihan dari Allah secara khusus tercurah melalui sakramen Pengakuan Dosa. Maka efek utama dari Sakramen Pengakuan dosa adalah kesembuhan rohani, termasuk pemulihan luka batin dan martabat kita, dan pemulihan persahabatan kita dengan Allah dan Gereja. Tentu dengan catatan: sebelum mengaku dosa dilakukan terlebih dahulu pemeriksaan batin yang baik.
KGK 1468 “Seluruh hasil Pengakuan ialah bahwa ia memberi kembali kepada kita rahmat Allah dan menyatukan kita dengan Dia dalam persahabatan yang erat“. (Catech. R. 2,5,18). Dengan demikian tujuan dan hasil Sakramen ini adalah perdamaian dengan Allah. Bagi mereka yang menerima Sakramen Pengakuan dengan penuh sesal dan khidmat, dapat menyusullah “perdamaian dan kegembiraan hati nurani, dihubungkan dengan hiburan roh yang kuat” (K. Trente: DS 1674). Sakramen perdamaian dengan Allah sungguh mengakibatkan “kebangkitan rohani”, satu penempatan kembali dalam martabat dan dalam kekayaan kehidupan anak-anak Allah, dan yang paling bernilai adalah persahabatan dengan Allah Bdk. Luk 15:32.
KGK 1469 Sakramen ini juga mendamaikan kita dengan Gereja. Dosa melemahkan atau memutuskan persekutuan persaudaraan. Sakramen Pengakuan memperbaharuinya dan mengikatnya lagi. Ia menyembuhkan orang yang diterima kembali dalam persekutuan Gereja dan membangkitkan suatu pengaruh segar atas kehidupan Gereja yang menderita karena dosa dari salah seorang anggotanya (Bdk. 1 Kor 12:26). Pendosa diterima kembali ke dalam persekutuan para kudus atau diteguhkan di dalamnya dan diperkuat oleh pertukaran kekayaan rohani. Pertukaran ini terjadi di antara semua anggota Tubuh Kristus yang hidup, entah mereka yang sekarang masih dalam penziarahan maupun mereka yang sudah ada di dalam tanah air surgawi (Bdk. LG 48-50).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Yth. Katolisitas, Bpk Stef dan Ibu Ingrid
Semoga kasih karunia Allah senantiasa mentertai Bpk dan Ibu.
Syukur pada Allah atas penjelasan ini, karena banyak saudara kita terjebak dengan Kutuk/Dosa Keluarga sehingga perlu retret pohon keluarga, yang menurut hemat saya diadopsi dari ajaran tetangga.
Melihat para saudara kita yang menjadi anggota kelompok Karismatik Katolik, sampai saat ini masih banyak yang ikut karena masalah yang dihadapi sebagai pribadi dan atau keluarga. Juga, banyak yang belum paham tentang dogma/ajaran Gereja Katolik, sehingga sering meng”adopsi” ajaran gereja lain(contoh : odsa turunan, ekaristi katolik = perjamuan kudus ditetangga, dll), yang akhirnya mereka hanya berbeda pada perbuatan diri dalam membuat Tanda Salib, selebihnya, ya mirip.
Belum lagi tingkat eksklusifitasnya sehingga ada Misa Karismatik (paralel dengan Kelompok lain juga demikian, Kelompok Kerahiman Ilahi, dll), sehingga perlulah perayaan ekaristi diluar perayaan yang sudah ada (apa karena tidak sesuai selera?) atau memang ada bedanya dan resmi sebagai bagian dari jenis perayaan ekaristi?
Apakah memang tujuan mengikuti kelompok ini agar bisa menyembuhkan orang dan berbahasa roh, bebas dari masalah yang dihadapi, punya rezeki melimpah, atau agar lebih dekat kepada ALlah dan semakin rendah hati dengan mengasihi sesama tanpa membedakan, sesuai hakekat orang yang dibaptis menjadi warga kerajaan Allah dan mengenakan Kristus pada dirinya? Karena hal seperti itulah yang sering kelihatan dan dinyatakan sehari hari.
Mohon penjelasannya.
Terima kasih.
Salam,
Shalom B. Siahaan,
Terima kasih atas tanggapannya. Tentang retret pohon keluarga, pihak keuskupan telah memberikan tanggapan resmi. Namun, di satu sisi, kalau ada yang merasa mendapatkan kesembuhan melalui retret ini, maka kita dapat mengatakan bahwa kesembuhan tersebut juga merupakan suatu akibat dari Sakramen Baptis yang telah diterima. Akibat atau efek, mungkin tidak langsung terlihat pada saat seseorang dibaptis, karena mungkin disposisi hati yang kurang baik. Namun, ketika disposisi hati menjadi baik, maka rahmat dari Sakramen Baptis akan terlihat dan dimanifestasikan secara nyata dalam kehidupan.
Tentang karismatik, Siahaan dapat melihat dan berpartisipasi dalam diskusi “Sisi positif dan sisi negatif dari gerakan karismatik” di sini (silakan klik). Yang jelas tujuan dari kelompok karismatik bukanlah untuk dapat berbahasa Roh dan dapat menyembuhkan orang, maupun hal-hal yang disebutkan oleh anda, namun agar seseorang dapat “hidup di dalam Roh”. Hidup di dalam Roh dimanifestasikan dalam kekudusan. Jadi, anggota gerakan karismatik yang tidak bertumbuh dalam kekudusan sebenarnya tidak hidup di dalam Roh, walaupun orang tersebut dapat berbahasa Roh maupun mempunyai karunia kesembuhan, dan karunia-karunia yang lain. Dan baik yang menjadi anggota gerakan karismatik maupun yang bukan anggota, semua berjuang dalam kekudusan sampai Tuhan memanggil kita. Oleh karena itu, di dalam perbedaan spiritualitas di dalam Gereja Katolik, mari kita bersama-sama berjuang dalam kekudusan, yang pada akhirnya akan dapat membangun Gereja Katolik yang kita kasihi.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Salam Damai,
Pak Steve , dari penjelasan di atas bahwa larangan akan retret pohon keluarga hanya pada KAJ saja !?
Apakah larangan tersebut masih berdasarkan teritorial ? atau seluruh Indonesia ??
Bagaimana dengan keuskupan lainnya ? Misalnya Malang , Surabaya ?
Apa akibat bagi penyelenggara / umat yang tetap melakukan retret tersebut ( baik dari sisi rohani maupun ketaatan akan kuasa mengajar gereja ) ?
Jelas ada ketidak percayaan akan Rahmat Sakramen Pembaptisan.
( menghapus Dosa Asal yg dpt dikatakan sebagai “kutukan” Allah,apalagi hanya kutukan nenek moyang ) serta memulihkan relasi dengan Allah juga penghapusan atas hukum dosa yang dilakukan sebelum di baptis.
Atas jawaban Pak Steve, terima kasih.
Semoga Kasih Kristus Senantiasa Beserta Kita.
Shalom Budijanto Maslim,
Terima kasih atas pertanyaannya sehubungan dengan retret pohon keluarga. Setahu saya regio Jawa, termasuk Malang dan Surabaya tidak menyetujui adanya retret pohon keluarga dengan alasan seperti yang telah diuraikan di atas. Namun, saya tidak tahu apakah retret pohon keluarga juga dilarang di daerah yang lain. Kalau telah ada larangan dari keuskupan, maka sebaiknya semua elemen di dalam Gereja tidak melanggarnya. Kalau masih ada yang melanggar, maka kita serahkan disiplin yang harus diberlakukan pada keuskupan masing-masing, karena setiap uskup mempunyai hak mengatur masing-masing keuskupannya, walaupun tetap tidak boleh bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh Vatikan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Ytk, P Stefanus
Terima kasih atas tanggapan bapak, walau saya waswas tdk dijawab karena cukup lama saya menunggunya.
Salam Kasih Kristus.
Shalom Stefanus Tay saya setuju sekali dg pendapat anda kharismatik yg saya rasakan bukan tujuan utama utk mendapatkan bhs Roh,yg saya rasakan pertumbuhan iman saya dapatkan dari kharismatik(utk dpt hdp dlm Roh) shg buah yg saya rasakan lebih mengenal dg sgh saat sakramen ekaristi,dibanding dulu seblm sy bergabung dg PDKK.Gbu
pernyataan ttg pembalasan pd keturunan ke 3 dan ke 4 pada perikop (Kel 20:5),kemungkinan bukan di maksudkan pada Allah yang sungguh sungguh seolah beneran mau membalas dendam sampai pada anak cucu..karena bagaimanapun kita berpegangan pada prinsip bahwa Allah adalah Kasih.
Namun bila kita coba telaah lebih mendalam,ada kemungkinan hal di atas untuk menunjukkan besaran kapasitas dosa yang di lakukan,karena bagaimanapun hukuman atas dosa seorang pembunuh berantai tentu takaran hukumannya lebih berat di banding dengan hukuman dosa pencuri sandal jepit misalnya,sehingga bila di katakan pembalasan sampai keturunan ke 3 dan ke 4,bisa jadi menunjukkan ‘kesalahan yang teramat besar’ dari dosa orang yang membenci Tuhan yang dalam hal ini nampaknya di kaitkan dengan bunyi ayat sebelumnya tentang penyembahan berhala.
Dimana di ibaratkan untuk ‘hukuman’ seumur hidup pun masih belum cukup untuk menghapus dosa tersebut sehingga di sampaikan gemanya hingga pada kehidupan anak cucu bahkan cicit…yang kalo di jaman sekarang bila di takar dengan ukuran hukuman yang pantas di terima bukan lagi cuma 20 tahun,namun 200 tahun,sehingga bisa di kategorikan sebagai dosa yang teramat berat ,selaras dengan yang di katakan Tuhan Yesus bahwa dosa yang tentang dosa menghujat Roh Kudus (Mrk 3:29) yang di kategorkan sebagai dosa kekal tak terampunkan yang kelak hanya setimpal di tebus dengan darah suci dari Anak Manusia yang lahir dari kuasa Roh Kudus,yakni…darah YESUS KRISTUS.
Yth. Bapak Stef,
Dalam jawaban terhadap pertanyaan tentang pohon keluarga di atas, ditemukan kutipan berikut yang bagi sementara orang Katolik masih diperhitungkan dan antara lain merupakan landasan dari penyelenggaraan Retret Pohon Keluarga yang setidak-tidak di Keuskupan Jakarta “kalau tidak salah telah dilarang”. Dikutipkan juga ayat KS yang merupakan dasar/alasan penyelenggaraan retret PK itu yang antara lain berbunyi: “Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku”(Kel 20:5; Kel 34:6-7). Kendati landasan itu diambil dari KS ternyata (belakangan) dinyatakan “dilarang” (meskipun masih disertai reservasi “kalau tidak salah”.
Kenyataan tersebut tidak membantu pemahaman umat terhadap masalah kutuk ini dan beberap masalah lain yang pada umumnya terdapat pada beberapa pasal dan ayat KS Perjanjian Lama (PL) seperti juga saya ungkapkan pada pertanyaan yang saya kirimkan kemarin. Karena pada pemahaman saya baik PL maupun PB merupakan satu kesatuan (?) dari banyak rumusan iman Kristen, kekurang jelasan ini membingungkan untuk memastikan apakah suatu kaidah/hukum/peraturan yang termust dalam PL masih berlaku dengan konsekuensi dosa, atau termasuk yang sudah diperbaharui (direvisi) seperti kutuk, bekerja dll. pada hari Sabat, dll.
Terima kasih atas bantuan dan tanggapannya.
Soendri Djiwandono
Shalom Pak Soenardi,
1) Terima kasih atas pertanyaannya. Dalam kitab Keluaran dikatakan “(5)Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku, (6) tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintah-Ku.” (Kel 20:5-6).
Ayat ini diartikan bahwa keturunan-keturunan yang mengikuti dosa dari leluhurnya akan dihukum sesuai dengan dosa tersebut. Dan memang menduakan Tuhan dengan menyembah berhala menjadi salah satu tantangan terbesar yang senantiasa berulang dari generasi ke generasi seperti yang diceritakan di dalam PL. Dan dosa ini membuat bangsa Israel ditindas oleh bangsa lain, yang mengakibatkan begitu banyak penderitaan bukan hanya satu generasi, namun banyak generasi, seperti yang ditunjukkan pada waktu bangsa Israel ditindas cukup lama oleh bangsa Mesir dan bangsa Babilonia.
Kita mempunyai pandangan yang sama, bahwa untuk mengerti pesan yang ingin disampaikan di dalam Perjanjian Lama, maka seseorang harus membacanya dalam terang Perjanjian Baru. Semakin orang mengerti akan tujuan, latar belakang dan budaya pada waktu buku di dalam PL di tulis, maka seseorang akan memperoleh pemahaman yang lebih baik. Dan tentu saja pada akhirnya tulisan dari Bapa Gereja dan juga Magisterium Gereja akan menentukan pemahaman seperti apa yang harus kita percayai. Silakan juga melihat 3 tipe hukum di dalam Perjanjian Lama seperti yang diterangkan oleh St. Thomas di sini (silakan klik).
2) Kemudian, saya mengatakan “Namun kalau tidak salah keuskupan di Jakarta telah melarang adanya penyembuhan pohon keluarga.” Hal ini disebabkan saya tidak pasti apakah memang keuskupan Jakarta telah melarangnya. Namun dengan tulisan dari Romo Mardi, Vikep KAJ tertanggal 27 Agustus 2003, maka sebenarnya sudah pasti bahwa KAJ telah melarang retret penyembuhan pohon keluarga. Agar tidak menimbulkan kesalahpahaman, saya revisi jawaban saya dengan “Beberapa keuskupan – termasuk Keuskupan Agung Jakarta – telah melarang penyelenggaraan retret pohon keluarga, seperti yang telah dijelaskan di SURAT VIKEP KAJ ttg Pembaharuan Karismatik Katolik-KAJ: Jakarta, 27 Agustus 2003. ” Jadi, perkataan “kalau tidak salah” sebenarnya mengacu kepada ketidakpastian apakah KAJ sudah melarang retret pohon keluarga atau belum.
3) Memang ada beberapa bagian di dalam Kitab Suci yang tidak mudah diartikan. Oleh sebab itu, peran Magisterium Gereja menjadi begitu penting dalam hal ini, sehingga beberapa pesan yang vital tidak disalahartikan. Beberapa pertanyaan yang diajukan tentang apakah peraturan-peraturan di dalam PL masih berlaku atau tidak, dapat dijawab kalau kita dapat mengerti 3 tipe peraturan/hukum yang ada dan kaitannya dengan PB (lihat link di point 1). Kalau masih ada beberapa peraturan di dalam PL yang membingungkan, silakan menyampaikannya kepada kami, dan kami akan menjawabnya semampu kami.
Semoga uraian ini dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Shalom Pak Stef & Niklaus,
Saya sangat setuju dengan pak Stef, karena kalau kakek/nenek moyang kita pernah mengadakan ikatan dengan setan lalu kita harus menanggungnya padahal kita sudah dibaptis pertanyaannya :
– bukankah sangat tidak adil? mereka yang berbuat dan kita harus menanggungnya?
– untuk apa pembaptisan itu kalau masih harus menanggung kutukan? masihkah kita meragukan Kebesaran dan Kemaha-Kuasaan Bapa, Putra dan Roh Kudus kita dibandingkan dengan si setan itu?
Menurut saya kalau ternyata dalam kehidupan ini ada anak/cucu dari kakek/nenek moyang yang pernah punya ikatan dengan setan mengalami kehidupan yang tidak baik/sesat dst (kata orang kena kutukan) padahal orang itu sudah dibaptis, mungkin orang itu masih belum mengikuti Yesus dengan benar dan terpengaruh pada pikiran sendiri tentang kutukan. Atau selalu beranggapan bahwa hal buruk yang terjadi karena kutukan (sudah tertanam dalam alam pikiran dibawah sadar) dan tidak sepenuh hati menyerahkan hidupnya kepada Allah yang Maha Sempurna.
Saya mau tanya mengenai penyembuhan pohon keluarga (Healing of the family tree). Apakah ini sudah sesuai dengan ajaran dan tradisi Gereja Katolik? Mohon penjelasannya.
Shalom Thomas,
Silakan melihat jawaban di atas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Shaloom, pa Stef
Saya pernah ikut retret pohon keluarga di Lembah Karmel, disana tidak ada yang namanya dosa diwariskan yang ada adalah kutuk atau nenek moyang yang berkaul dengan penguasa gelap sehingga menimpa pada keturunannya yang belum mengenal Yesus secara pribadi.Meskipun orang tersebut sudah pengikut Yesus tetapi tidak menjalankan Firman maka kutuk itu akan menimpanya kalau ada nenek moyangnya yang bersekutu dengan penguasa gelap.Maka dalam retret tersebut diajarkan untuk berdoa melepaskan kutuk( bisa berupa sakit penyakit ) dan memperisai dengan firman dan doa.
Shalom Niklaus,
Terimakasih atas informasinya tentang retret pohon keluarga di Lembah Karmel, yang mungkin berbeda dengan banyak retret pohon keluarga di tempat lain. Terus terang saya tidak pernah mengikuti retret pohon keluarga, namun saya mencoba menganalisanya dari sisi teologi. Kembali saya menegaskan bahwa mungkin ada banyak orang yang terbantu dengan retret ini dan memperoleh kesembuhan karena disposisi hati yang benar dan merupakan efek dari Sakramen Baptis. Efek kadang terlihat setelah beberapa waktu. Mari kita melihat secara khusus tentang retret pohon keluarga yang menekankan kutuk.
1) Kutuk yang diturunkan oleh nenek moyang kita, sebenarnya telah dipatahkan pada waktu kita dibaptis, karena pastor telah melakukan exorcism dan terutama adalah rahmat yang mengalir dari Sakramen Baptis. Dan kita percaya bahwa dengan Sakramen Baptis, kita menjadi manusia yang baru di dalam Kristus. Namun tantangannya adalah bagaimana kita semua setia terhadap janji yang kita ucapkan pada saat di Baptis, yang salah satunya adalah menolak setan.
2) Jadi entah nenek moyangnya mendapat kutuk atau tidak, bagi orang yang telah diBaptis dan tidak berjalan sesuai dengan terang Kristus untuk hidup dalam kekudusan, maka orang tersebut mempunyai resiko untuk kehilangan keselamatannya, yaitu dengan cara melakukan dosa berat.
3) Jadi bagi orang yang telah dibaptis, tidak usah takut kalau nenek moyangnya telah melakukan kesalahan, karena orang yang telah dibaptis telah menjadi manusia baru dan mengenakan Kristus. Namun tentu saja harus terus bertumbuh dalam iman, pengharapan dan kasih kepada Allah. Untuk berkembang, seorang yang dibaptis harus mengenakan seluruh perlengkapan senjata Allah (Ef 6:10-11), dimana lengkapnya dapat dilihat di Ef 6:13-17.
13) Sebab itu ambillah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat mengadakan perlawanan pada hari yang jahat itu dan tetap berdiri, sesudah kamu menyelesaikan segala sesuatu.
14) Jadi berdirilah tegap, berikatpinggangkan kebenaran dan berbajuzirahkan keadilan,
15) kakimu berkasutkan kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera;
16) dalam segala keadaan pergunakanlah perisai iman, sebab dengan perisai itu kamu akan dapat memadamkan semua panah api dari si jahat,
17) dan terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu Firman Allah,
4) Dan diatas semuanya itu adalah Kasih, karena kasih mengatasi segala sesuatu (1 Kor 13:13). Dan Gereja telah menyediakan Sakramen-sakramen, terutama Sakramen Ekaristi dan Tobat untuk membantu kita bertumbuh dalam Kristus.
Semoga keterangan ini dapat menjawab pertanyaan Niklaus. Dan sebagai umat, mari kita mengikuti keputusan dari Gereja, jika Gereja telah mengambil keputusan dalam hal ini. Mari kita bersama-sama mengenakan seluruh perlengkapan senjata Allah, sehingga kita bersama-sama dapat melawan si jahat dan pada saatnya nanti kita semua dapat berkumpul di dalam Kerajaan Allah.
Salam kasih dari https://katolisitas.org
stef
Comments are closed.