Selama bulan Maria ini, aku bersama anggota biara melakukan Doa Rosario bersama setiap Selasa dan Jumat. Biasanya, aku mendaraskan doa dengan menggunakan untaian kalung Rosario. Namun, di beberapa kesempatan, aku mencoba memakai kedua tanganku sambil mengikuti doa. Tangan kiri untuk menghitung peristiwa, sedangkan tangan kanan untuk dasa Salam Maria. Selebihnya, sudah diingat-ingat dalam kepala.

Setelah mencoba kedua cara yang berbeda, aku menemukan sesuatu. Ada perbedaan menarik antara menggunakan tangan dengan menggunakan untaian Rosario. Mungkin, karena aku telah lama terbiasa dengan kalung, mendoakan Doa Rosario dengan tangan memberikan sensasi baru. Aku lebih terjaga dalam mengikuti setiap peristiwa dan Salam Maria karena selalu siaga mengingat doa dan bagian apa yang selanjutnya didoakan.

Akan tetapi, menggunakan tangan dalam doa ini juga mengajarkan padaku sesuatu yang lain. Aku tidak menggunakan sebuah kalung untuk berdoa, melainkan tubuhku sendiri. Tubuhku adalah alat untuk mendoakan Rosario. Dengan kata lain, akulah Rosario yang sedang aku doakan. Doa Rosario memang sering diidentikkan dengan kalung Rosario. Akan tetapi, aku memutuskan untuk membaktikan hidupku sebagai pendoa. Oleh sebab itu, setiap doa harus menyatu dengan hidupku, termasuk Doa Rosario. Aku harus menjadi Rosario yang hidup, dan doa Rosario harus menjadi hidup dalam diriku.

Seperti doa Rosario, hidupku dimulai dari salib Kristus, ketika aku mengenal dan mengenakan nama Allah Tritunggal Mahakudus melalui Pembaptisan. Aku menjadi ciptaan baru, ciptaan hari ke-8 yang hidup dari pengakuan iman akan Allah Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Seiring jalannya doa Rosario menyusuri Misteri-misteri hidup Kristus, hidupku juga harus melukiskan hidup dan pelayanan Kristus. Sebagaimana Kristus menjalani kehidupan secara utuh, mulai dari Kegembiraan hingga Sengsara, hingga mencapai Terang dan Mulia, aku juga harus bersama Kristus dalam suka dan duka. Aku tidak boleh lari dari penderitaan bersama Yesus yang memurnikan diriku, atau melupakan Yesus ketika kegembiraan datang dengan berlimpah. Sebagaimana Salam Maria didaraskan sepanjang renungan akan Peristiwa-peristiwa hidup Yesus, aku juga hidup mengikuti Yesus bersama Bunda Maria. Aku belajar tentang kesetiaan darinya, berdoa bersamanya, menderita bersamanya, dan menemani Yesus sepanjang jalan hingga akhir hayatnya. Seperti akhir Doa Rosario kembali pada salib Kristus, hidupku bermula dari Kristus dan akan kembali kepada Kristus.

Rosario tidak terbatas pada kalung, tidak juga pada kata-kata yang diulang-ulang. Rosario adalah tentang bagaimana hidupku berjalan mengikuti Yesus bersama Bunda Maria. Paling tidak, aku harus belajar setia seperti Bunda Maria yang setia menemani Yesus hingga puncak Golgota, ketika semua orang lain meninggalkan-Nya. Apabila aku tidak mampu membuat gulali raksasa yang spektakuler, paling tidak aku bisa mempersembahkan manisan-manisan kecil, seperti butiran-butiran kecil manik kalung Rosario. Hidupku adalah Rosarioku.

“Rosario adalah sebuah sekolah untuk mempelajari kesempurnaan Kristen yang sejati” – St. Paus Yohanes XXIII