Misa Kudus adalah bagian dari kehidupan dalam biara. Tidak ada hari tanpa Misa karena di situlah sumber kekuatan sejati bagi hidup, walaupun aku kadang kurang menyadari hal itu. Biasanya, setelah menerima komuni, aku kembali ke bangku dan langsung menutup mata, menikmati saat-saat indah dan pribadi yang tidak ditemukan di tempat lain di dunia ini. Namun, hari ini aku duduk merenung bersama Kristus tanpa memejamkan mata. Aku memperhatikan Imam yang sedang membagikan Tubuh Kristus dan membayangkan bahwa Kristus sendiri sedang membagikan Tubuh-Nya pada semua orang. Ternyata, memang ketiganya memiliki hubungan yang erat sekali, antara Kristus, Imamat, dan Ekaristi. Menjadi seorang imam tidak jauh berbeda dari menjadi seperti Kristus dalam Ekaristi.

Seorang imam harus siap dipecah dan dibagikan kepada orang banyak, sama seperti Kristus yang dipecah dan dibagikan dalam Ekaristi.

Seorang imam harus berjuang untuk mempersatukan banyak orang, sama seperti Kristus yang menyatukan semua orang yang menyambut Tubuh-Nya.

Seorang imam harus memberikan diri seutuhnya sekalipun si penerima tidak layak, seperti Kristus yang memberikan Diri-Nya padaku yang tidak layak.

Seorang imam harus rela berkorban sekalipun tidak dihargai dan tanpa terima kasih, seperti Kristus yang seringkali disambut dalam Komuni secara tidak pantas dan tanpa terima kasih.

Seorang imam harus rela menunggu dalam sepi dan kesendirian, seperti Kristus yang senantiasa hadir dengan setia di balik Tabernakel gedung gereja yang kosong.

Seorang imam harus memperhatikan kebutuhan dan kondisi umatnya satu demi satu, seperti Kristus yang memperhatikan aku dan semua orang secara mendalam.

Seorang imam harus tetap rendah hati sekalipun dipuja-puji, seperti Kristus yang tetap rendah hati sekalipun semua orang berlutut padaNya dalam Adorasi Abadi.

Seorang imam harus tetap sederhana dan polos, seperti Kristus yang hadir secara sederhana dalam roti gandum putih dan anggur, bukan dalam kue tart penuh krim garnish dan cocktail.

Seorang imam harus siap sedia kapanpun ketika dibutuhkan oleh orang banyak, seperti Kristus yang sigap menyentuh umat-Nya melalui piksis dan tangan imam.

Seorang imam harus tetap mencintai sekalipun disakiti, seperti Kristus yang mencintai dan mengampuni manusia sekalipun Tubuh dan Darah-Nya terkadang diperlakukan tidak layak.

Perjalanan menuju imamat sungguh merupakan tantangan berat karena meniru Kristus sepenuh-penuhnya. Aku tahu semua itu tidak mungkin terjadi bila hanya mengandalkan kekuatanku sendiri. Semua hal tersebut berada di luar kekuatan kodratku (super: di atas, natural: kodrat; Latin). Untuk mampu meniru seseorang yang supernatural, dibutuhkan pula kekuatan supernatural. Kekuatan supernatural itu Ia sediakan melalui Tubuh dan Darah-Nya, yang Ia berikan secara melimpah. Dalam Ekaristi, Tubuh, Darah, Jiwa, dan KeAllahan Kristus hadir secara nyata, mencurahkan rahmat adikodrati yang diperlukan setiap manusia, terutama aku, untuk mengikuti jejak-Nya. Gulali ini, betapapun manisnya, tidak ada bandingnya dengan Ekaristi yang Kristus hadiahkan pada dunia. Semoga dengan menyatu bersama Kristus yang supernatural melalui Ekaristi, aku yang natural ini bisa diangkat hingga menyerupai Dia, Sang Imam Agung Pengantara.

Sebagaimana dua lilin disatukan menjadi satu, begitu pula ia yang menerima Komuni Kudus menjadi begitu bersatu dengan Kristus, di mana Kristus ada di dalamnya dan ia dalam Kristus.” – St. Sirilus dari Alexandria.