Biara tempat aku mengalami formasi awal ini masih berupa Postulat, yang dihuni oleh calon-calon dari berbagai tarekat maupun keuskupan. Oleh sebab itu, diadakan orientasi Tarekat. Setiap dua bulan sekali, aku mengikuti orientasi Tarekat agar lebih mengenal dan mendalami spiritualitas khas yang dimiliki tarekatku. Aku dan saudara se-tarekat menginap di salah satu biara Novisiat. Selama menginap di biara Novisiat ini, aku bertemu dengan beberapa orang yang kebetulan juga mengunjungi biara tersebut, Agung, drg. Nico, dan Sr. Galih. Dalam diri mereka masing-masing, aku bisa melihat benang merah karya Allah dalam hidupku.

Agung adalah seorang siswa SMK perhotelan dan bekerja di salah satu hotel di daerah dekat biara. Ia bukan seorang Katolik, namun ia sedang mengikuti pelajaran katekumen. Keluarganya juga bukan berasal dari latar belakang Katolik sehingga cukup sulit menerima keputusannya tersebut. Perjuangannya tentu tidak ringan karena harus menghadapi penolakan dari keluarganya. Akan tetapi, ia begitu bersemangat dan optimis dalam menjalani masa katekumennya. Ia mengingatkanku akan diriku sendiri ketika mulai memasuki Kristianitas. Masa katekumen aku jalani dengan semangat pula, sekalipun mendapat tentangan dari beberapa pihak. Karena rahmat Allah, aku dapat bertahan dan menjadi Katolik.

Drg. Nico adalah seorang pemuda sebayaku dan berprofesi sebagai dokter gigi. Ia berasal dari kota besar, namun saat ini bertugas di daerah terpencil berjarak 5 jam perjalanan dari biara. Tempat kerjanya yang terpencil bukan karena ia ditempatkan di situ oleh instansi tertentu. Ia sendiri yang memilih untuk melamar di tempat tersebut, yakni sebuah rumah sakit kecil yang dikelola oleh salah satu kongregasi suster. Bisa dibayangkan daerah tersebut akan sangat sepi, berbeda dengan daerah perkotaan yang lebih ramai. Selain itu, bayaran yang ia terima juga jauh lebih rendah. Jika usahanya tidak berakar pada niat yang tulus, tidak mungkin ia bertahan. Ia datang ke biara karena ingin berkonsultasi dan live-in selama sehari. Ia juga merasakan ada panggilan dalam dirinya untuk mengikuti Kristus melalui hidup membiara. Ia mengingatkanku ketika aku pertama kali menyadari bahwa Allah memberiku anugerah yang khusus. Anugerah ini sangat indah, namun menuntutku untuk melepaskan banyak hal, termasuk pekerjaan, kehidupan, dan cita-cita yang aku rencanakan. Sama seperti drg. Nico, ada sesuatu yang aku cari dalam hidup, dan aku merasa menemukannya dalam panggilan-Nya. Aku bertekad menjawab dan berusaha meretas jalan. Karena pertolongan Allah, berbagai kendala, terutama dari keluarga, dapat diatasi dengan baik dan aku menjalani hidup formasi di biara ini.

Sr. Galih adalah seroang novis dari sebuah kongregasi suster misionaris. Ia berasal dari kota asalku dan memiliki kepribadian yang menyenangkan. Sepanjang perjalanan mengunjungi stasi, tidak henti-hentinya kami tertawa dan bercanda bersama. Berbekal wajah berpulas senyum dan tubuh subur sebagai sasaran guyon, dia udah akrab dengan banyak orang, sekalipun ia baru mengenal mereka. Jika dipikir-pikir secara duniawi, lebih banyak orang yang seharusnya lebih bahagia daripada dia. Ia tidak punya uang, tidak menikah, dan harus patuh taat kepada superior seumur hidup. Tapi, wajahnya memancarkan kebahagiaan dan kegembiraan, walaupun jalan hidupnya berbeda dari kebanyakan orang. Justru, saat ini banyak orang kaya yang depresi, pasangan yang bertikai, dan orang yang terkurung dalam dirinya sendiri sekalipun bebas. Ia memancarkan kebahagiaan yang supernatural, yang datang bukan dari dirinya sendiri. Ia bahagia karena Yesus menjadi pusat kebahagiaannya. Yesus adalah Matahari hidupnya, pusat orbit hidupnya. Hidupnya berputar mengelilingi Yesus sehingga terpaan badai hidup tidak merenggut kebahagiaannya, sekalipun tetap menyakitkan. Ia tidak butuh hal lain lagi untuk bahagia.

Karena ia terlebih dahulu memasuki jenjang novis, Sr. Galih melambangkan harapan yang ada di masa depanku. Seperti Sr. Galih, sekiranya, demikian pula yang ingin aku capai. Aku ingin menjadi seorang religius yang riang dan bahagia. Jejak hidupku telah tergambar dalam ketiga pribadi tersebut. Aku pernah melewati apa yang sedang Agung perjuangkan. Aku pernah mempertanyakan apa yang drg. Nico cari. Akankah aku bahagia seperti Sr. Galih kendati cobaan menerpa? Kebahagiaanku juga harusnya berpusat pada Yesus. Hidupku harus mengitari Yesus, pusat tata surya hidupku.

Mencintai Allah adalah hal yang lebih besar daripada mengenal Dia.” – St. Thomas Aquinas.