Dalam biara, kami semua mendapat tugas masing-masing, sesuai dengan bakat dan minat masing-masing. Kebetulan, hanya ada dua orang di antara 30 orang rekan seangkatan yang mampu menyetir baik mobil maupun sepeda motor, aku dan seorang saudara. Jadilah kami berdua seksi kendaraan biara. Tugas kami adalah merawat kendaraan dan menjadi sopir. Biasanya, kami mencuci mobil 2x dalam seminggu bersama-sama. Namun, hari ini kebetulan aku mencuci mobil sendirian karena partnerku sedang piket memasak.

Setelah selesai membilas mobil, salah seorang temanku menyeletuk,”Memang ya, orang-orang dari tarekatmu kebanyakan kurang perhatian sama kaki.” Aku kebingungan dengan maksud celetukannya. Ternyata, ia menunjukkan kalau aku lupa membersihkan velg dan ban mobilnya. Tapi, hal yang membuatku kebingungan adalah embel-embel tarekat. Emang betul ya orang-orang tarekatku kurang memperhatikan kaki mereka? Entahlah. Saudaraku yang satu ini memang lebih sering bergaul dengan para imam dari tarekatku di luar biara karena sering membantu kegiatan-kegiatan keuskupan.

Kakiku sendiri memang kering dan pecah-pecah semenjak tinggal di kota bercuaca dingin ini. Aku tidak cukup metroseksual untuk mengolesi kaki dengan pelembab. Selain ribet, aku harus mengeluarkan uang ekstra untuk membeli pelembab. Mungkin dia sering melihat kasus serupa di kalangan religius dalam tarekatku. Sambil mencuci velg dan ban mobil, celetukan enteng ini membawaku pada “lamunan” mengenai kaki. Mungkin, Tuhan bermaksud mengatakan “kaki yang lain.”

Kaki merupakan anggota tubuh yang paling sering kotor karena berhubungan dekat dengan tanah, entah menginjak tanah yang berdebu, rumput, kotoran anjing biara, banjir, becek, nggak ada ojek lagi, cape deh. Kaki berhubungan dekat dengan benda-benda yang hina. Tapi, tidak sekalipun terpikir untuk hidup tanpa kaki, no no.. Pasti repot sekali kalau nggak bisa jalan. Kaki adalah harta berharga manusia, terutama seorang calon imam yang harus berkarya. Bagian yang sering terlihat kotor dan hina ternyata adalah harta bagi diriku.

Gereja juga memiliki harta yang sering tampak hina dan kotor. St. Laurensius telah menunjukkan kepada Prefek Roma rakus yang telah menangkapnya di mana harta Gereja berada. Gereja justru memiliki harta terbesar dalam diri orang-orang sakit, miskin, dan menderita. Gereja juga memiliki harta yang terpendam dalam setiap pekerjaan-pekerjaan yang kerapkali dianggap hina dan kecil. Apakah aku cukup perhatian terhadap “kaki” Gereja ini?

Memperhatikan orang-orang kecil jauh lebih sulit dari yang dibayangkan. Begitu pula dengan pekerjaan-pekerjaan kecil. Menjadi seorang religius yang mengabdikan hidup bagi Allah tidak hanya sekedar duduk manis memintal gulali dan menikmati kehangatannya sendiri. Aku juga harus turun gunung untuk memperhatikan orang-orang yang menderita, entah dengan uluran tangan langsung atau dengan hujanan doa yang setulus hati. Gulaliku harus aku persembahkan pada Allah dan sesama, terutama orang-orang kecil yang sering terlupakan. Untuk itu, aku harus belajar untuk mencuci “kaki orang-orang”. Aku harus belajar mencintai setiap pekerjaan yang aku hindari, yang tidak aku sukai, atau yang aku pandang tidak penting. Itulah cara aku bisa belajar untuk taat sepenuhnya, dan ketaatan membutuhkan kerendahan hati. Kerendahan hati adalah pintu bagiku menuju kekudusan.

Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” – Yesus, Raja Semesta Alam (Mat 25:40).

Previous articleSauh Jiwa
Next articleRingkasan Quanta Cura
Ioannes
Seorang biasa yang dipanggil Yesus untuk mengikutiNya dan bersatu dengan denganNya dalam Gereja yang Ia dirikan sendiri. Mencintai santo-santa dan berharap boleh mendapat anugerah ketaatan dan kerendahan hati seperti mereka. Saat ini sedang meretas jalan dan kesiapan diri untuk bergabung dengan salah satu ordo religius.