Konsili Ekumenis pertama di Nicea yang diadakan tahun 325, diadakan sebagai tanggapan Gereja universal terhadap ajaran sesat dari Arius dari Gereja Aleksandria, di Mesir, sekitar tahun 319.
1. Latar belakang diadakannya Konsili Nicea (325)
Di semua ajaran sesat yang terjadi dalam sejarah Gereja, terdapat usaha untuk merasionalisasi ajaran iman Katolik dengan menghilangkan sejumlah misteri iman yang dianggap sulit diterima oleh akal. Paham Arianisme merupakan contoh yang sempurna tentang hal ini. (Paham Arianisme merupakan ajaran sesat yang mengguncang Gereja, yang tadinya dalam keadaan damai, setelah penganiayaan terhadap Gereja dihentikan, karena dikeluarkannya Edict Milan (313) oleh pihak penguasa Romawi). Arius berusaha menyederhanakan misteri yang terbesar dalam ajaran Kristiani yaitu tentang Trinitas -Allah yang satu dalam tiga Pribadi- karena ia menganggap ajaran itu merupakan skandal bagi pemikiran manusia.
Selanjutnya tentang apakah yang diajarkan oleh paham Arianisme, silakan klik di sini.
Menanggapi ajaran sesat di wilayahnya, Patriarkh Aleksandria, St. Aleksander mengadakan konsili di Aleksandria sekitar tahun 321, yang dihadiri oleh sekitar 100 uskup dari Mesir dan Lybia, dan mereka mengecam ajaran Arius tersebut. Namun Arius mempunyai kemampuan politik yang tinggi, untuk memperoleh dukungan dari mereka yang mempunyai kedudukan, baik di pemerintahan maupun pejabat Gereja. Pendukungnya yang terpenting adalah dua orang Uskup yang bernama Eusebius. Yang pertama adalah Eusebius Uskup Kaisarea, Palestina, yang juga penulis buku sejarah Gereja, History of the Church; yang kedua adalah Uskup Eusebius dari Nikomedia, yang kemudian menjadi pemimpin partai Arian dan pelindung Arius. Uskup Nikomedia ini adalah sahabat Konstantia, kakak perempuan Kaisar Konstantin.
Setelah diekskomunikasi oleh Konsili Aleksandria, Arius pergi ke Palestina dan kemudian ke Nikomedia. Sementara itu, St. Aleksander menerbitkan surat yang berjudul, “Epistola encyclica“, yang kemudian ditanggapi oleh Arius, dan timbullah pertentangan antara kedua kubu yang mengakibatkan pergolakan dalam masyarakat. Kekacauan itu kemudian diperparah dengan pertikaian antara Kaisar Konstantin dan Licinius, di tahun 322-323. Setelah Kaisar Konstantin menang dan menjadi penguasa tunggal, ia mempunyai kepentingan untuk mengembalikan keadaan damai di daerah kekuasaannya. Untuk itulah ia menulis surat kepada St. Aleksander dan kepada Arius, dengan maksud agar keduanya membuat semacam persetujuan secepatnya. Untuk itulah ia bermaksud mengadakan Konsili Ekumenis untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Kaisar Konstantin kemudian menulis surat kepada para uskup di seluruh negeri untuk datang ke Nicea. Maka para Uskup itu (dari Mesir, Persia, Asia, Syria, Yunani, Thrace) datang ke Konsili di Nicea. Tidak diketahui secara historis apakah atas namanya sendiri Kaisar Konstantin memprakarsai Konsili, ataukah ia bertindak bersama dengan/ atas nama Paus saat itu. Namun demikian, mengingat banyaknya Uskup yang hadir dengan fokus utama pembahasan doktrinal sehubungan dengan tanggapan Gereja terhadap ajaran sesat Arianisme, dan ke-20 Kanon yang khusus membahas tentang ketentuan Gerejawi, menunjukkan besarnya kemungkinan bahwa Kaisar Konstantin dan Paus Sylvester I bertindak dalam persetujuan bersama untuk memprakarsai Konsili itu.
2. Konsili Ekumenis pertama di Nicea (325)
Akhirnya, di musim panas tahun 325 diadakanlah Konsili Nicea. Menurut catatan St. Athanasius, jumlah Uskup yang hadir dalam Konsili Nicea adalah sekitar 300 orang, (dalam suratnya, Ad Afros, ia menyebutkan jumlah 318 orang, sedangkan Eusebius menyebutkan 250 orang), mayoritas dari wilayah timur kerajaan. Pandangan Arius ditolak oleh mayoritas Uskup yang hadir. Hanya ada dua orang (yaitu Theonas dari Marmarica dan Secundus dari Ptolemais) bersama Arius sendiri, yang akhirnya menolak untuk menandatangani teks Syahadat Nicea yang dirumuskan oleh Konsili tersebut. Sebab teks syahadat itu merumuskan dengan jelas, bahwa Kristus “sehakekat dengan Bapa, Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar.”
Sayangnya fakta ini diselewengkan. Buku Dan Brown yang terkenal itu, Da Vinci Code, mengutip pandangan yang menyatakan bahwa sebelum Konsili Nicea Yesus dianggap sebagai nabi biasa, dan baru dinobatkan sebagai ‘Putera Allah’ oleh Konsili Nicea, yang diperoleh melalui voting dengan kemenangan tipis. Ini tidak sesuai kenyataan. Ajaran tentang Trinitas itu sudah sejak awal diimani oleh Gereja. Walaupun kata “Trinitas” tidak secara eksplisit tertulis dalam Kitab Suci, namun prinsipnya jelas diajarkan dalam Kitab Suci. Para Bapa Gereja sebelum tahun 325 juga telah mengajarkan tentang Trinitas, sebagaimana pernah diulas di artikel ini, silakan klik.
3. Tentang siapa yang memimpin Konsili
Kaisar Konstantin sebagai tuan rumah di Nicea membuka Konsili, dan kemungkinan iapun hadir dalam sesi-sesi Konsili. Namun melihat hasil konsili yang jelas membahas hal-hal doktrinal dan disiplin Gereja yang khas, maka adalah lebih masuk akal bahwa pemimpin sesi-sesi Konsili itu adalah pihak otoritas Gereja, (dalam hal ini adalah Hosius dari Kordova dibantu perwakilan Paus, yaitu Vitus dan Vincentius, ataupun Patriarkh Aleksander dari Aleksandria atau Eustathius dari Antiokhia) dan bukan Kaisar Konstantin itu sendiri. Silakan klik di link ini, untuk membaca tentang hasil Konsili Nicea, yang mencakup pernyataan iman dari ke 318 Bapa Gereja, dan ke 20 Kanon yang ditetapkan, beserta surat kepada umat di Mesir, termasuk kecaman kepada Arius, Theonas dari Marmarica dan Secundus dari Ptolemais, yang menolak untuk menandatangani pernyataan iman para Bapa Gereja di Konsili Nicea.
4. Pernyataan Iman Konsili Nicea
We believe in one God, the Father Almighty, maker of all things visible and invisible; and in one Lord Jesus Christ, the Son of God, the only-begotten of his Father, of the substance of the Father, God of God, Light of Light, very God of very God, begotten (γεννηθέντα), not made, being of one substance (ὁμοούσιον, consubstantialem) with the Father. By whom all things were made, both which be in heaven and in earth. Who for us men and for our salvation came down [from heaven] and was incarnate and was made man. He suffered and the third day he rose again, and ascended into heaven. And he shall come again to judge both the quick and the dead. And [we believe] in the Holy Ghost.
And whosoever shall say that there was a time when the Son of God was not (ἤν ποτε ὅτε οὐκ ἦν), or that before he was begotten he was not, or that he was made of things that were not, or that he is of a different substance or essence [from the Father] or that he is a creature, or subject to change or conversion — all that so say, the Catholic and Apostolic Church anathematizes them.
Terjemahannya dalam bahasa Indonesia:
Kami percaya akan satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, dan segala sesuatu yang kelihatan dan tak kelihatan; dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, Putera Allah yang tunggal, yang dari Bapa, Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar. Ia dilahirkan bukan dijadikan, sehakikat dengan Bapa; segala sesuatu dijadikan oleh-Nya. Untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita, Ia turun dari surga dan menjelma menjadi manusia, menderita dan bangkit pada hati ketiga, Ia naik ke surga, Ia akan datang kembali untuk mengadili orang hidup dan yang mati. Dan [aku percaya akan] Roh Kudus…
Dan barang siapa yang berkata bahwa ada waktunya ketika Putera Allah tidak ada, atau sebelum Ia lahir Ia tidak ada, atau Ia diciptakan dari benda-benda yang tadinya tidak ada, atau bahwa Ia berasal dari hakikat yang berbeda dengan Bapa, atau bahwa Ia adalah mahluk ciptaan, atau Ia dapat berubah atau bertobat- semua yang serupa itu, Gereja Katolik dan Apostolik meng-anathema mereka.
Catatan:
– ‘Anathema’ artinya menyatakan bahwa seseorang/ sejumlah orang yang mengajarkan ajaran yang menyimpang tersebut, sebagai orang-orang di luar Gereja.
– Syahadat Nicea yang kita kenal sekarang (tercatat dalam buku Puji Syukur no.2) adalah hasil Konsili Nicea (325) dan Konstantinopel (381).
Dear Katolisitas.
Terima Kasih atas penjelasannya.
Secara objektif tulisan Anda mengandung celah untuk dipertanyakan, maka sebelum ada pihak yang akan bertanya, maka sebaiknya ijinkan Celinne mengusulkan agar teks asli Syahadat Nicea yang telah ditanda-tangani oleh (+/-) 300 Uskup; jika mungkin ditampilkan.
Ini adalah “senjata” pamungkas bagi mereka yang meragukan eksistensi Konsili Nicea tersebut.
Apakah dimungkinkan?
Salam Kasih Persaudaraan.
Shalom Celinne,
Dari pembahasan dalam Konsili Nicea, hanya tiga bagian yang kita ketahui sekarang, yaitu: Credo, canon- canon (peraturan yang diputuskan), dan dekrit sinoda. Hasil Konsili Nicea ini kita ketahui dari catatan penulis di abad 4-5 tersebut, seperti Eusebius, Socrates, Sozomen, Theodoret dan Rufinus, St. Athanasius, dan Gelasius dari Cyzicus. Ketiga fragmen hasil Konsili Nicea tersebut, dapat dibaca di link ini, silakan klik.
Sedangkan teks Credo Nicea, yang disetujui oleh hampir semua uskup yang hadir dapat dibaca di bagian akhir artikel di atas, silakan klik.
Sesungguhnya catatan sejarah dari para penulis tersebut sudahlah cukup jelas menyampaikan fakta yang terjadi di Konsili Nicea. Orang-orang yang menyampaikan hal yang berbeda tentang Konsili Nicea, malah yang seharusnya menyampaikan bukti dari tulisan zaman itu, yang mendukung argumennya. Dan ini tidak ada. Itulah sebabnya klaim-klaim yang baru bermunculan di abad-abad sekarang, yang mengisahkan hal-hal yang lain tentang Konsili Nicea, tidaklah kuat dasarnya, sebab tidak didukung oleh fakta tulisan pada zaman itu (abad 4-5), dan karenanya, tergolong fiktif.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Syaloom,saya mau tanya kenapa pada 1Kor 15:28 dikatakan bahwa Yesus akan tunduk kepada Allah sendiri? ”Konsili Nicea diadakan pada tanggal 20 Mei 325 [M]. Konstantin sendiri menjadi ketua, dengan aktif memimpin pembahasan, dan secara pribadi mengusulkan . . . rumusan krusial yang menyatakan hubungan Kristus dengan Allah dalam kredo yang dikeluarkan oleh konsili tersebut, yakni ’satu zat dengan sang Bapak’. . . . Karena sangat segan terhadap kaisar, para uskup, kecuali dua orang saja, menandatangani kredo itu, kebanyakan dari mereka dengan sangat berat hati.”—Encyclopædia Britannica (1970), Jilid 6, halaman 386. Mengapa dan apakah benar? Kenapa Yesus sejajar dengan Allah Bapa?
Apakah “perarakan” patung itu bukannya suatu yang berlebihan yang malah lebih mengarah kepada paganisme?
Shalom Theo,
Sebagaimana telah disebutkan di atas di point 3, memang, Kaisar Konstantin sebagai tuan rumah di Nicea membuka Konsili, dan kemungkinan iapun hadir dalam sesi-sesi Konsili. Namun melihat hasil konsili yang jelas membahas hal-hal doktrinal dan disiplin Gereja yang khas, maka adalah lebih masuk akal bahwa pemimpin sesi-sesi Konsili itu adalah pihak otoritas Gereja, (dalam hal ini adalah Hosius dari Kordova dibantu perwakilan Paus, yaitu Vitus dan Vincentius, ataupun Patriarkh Aleksander dari Aleksandria atau Eustathius dari Antiokhia) dan bukan Kaisar Konstantin itu sendiri. Silakan klik di link ini, untuk membaca tentang hasil Konsili Nicea, yang mencakup pernyataan iman dari ke 318 Bapa Gereja, dan ke 20 Kanon yang ditetapkan, beserta surat kepada umat di Mesir, termasuk kecaman kepada Arius, Theonas dari Marmarica dan Secundus dari Ptolemais.
Sepertinya Encyclopedia Britannica yang Anda jadikan sumber (edisi tahun 1970) sudah direvisi. Sebab Encyclopedia Britannica yang kami miliki, yaitu edisi ke 15, tahun 1993, buku ke-16, halaman 688 menyatakannya tidak demikian. Kaisar Konstantin memang membuka Konsili dengan pidatonya, namun tidak dikatakan bahwa seterusnya ia yang memimpin Konsili. Sebaliknya malah dikatakan bahwa pembahasan mengenai ajaran sesat Arianisme itu jauh dari latar belakang pendidikannya, dan pandangan pribadinya bahwa masalah itu hanya masalah kata-kata yang sepele, tidak disetujui oleh para peserta Konsili.
“….. the Arians heresy, with its intricate explorations of the precise nature the Trinity that were couched in difficult Greek, was as remote from Constantine’s educational background as it was from his impatient, urgent temperament. The Council of Nicaea, which opened in the early summer of 325 with an address by the Emperor, had already been preceded by a letter to the chief protagonist, Arius of Alexandria, in which Constantine stated his opinion that the dispute was fostered only by excessive leisure and academic contention, that the point at issue was trivial and could be resolved without difficulty. His optimism was not justified: neither this letter nor the Council of Nicaea itself, nor the second letter, in which Constantine urged acceptance of its conclusions, was adequate to solve a dispute in which the participants were as intrasigent as the theological issues were subtle….”
Mari menyikapi catatan sejarah ataupun ensiklopedia, dengan pemikiran yang koheren. Sebab bahwa Kaisar Konstantin memiliki kepentingan untuk memelihara perdamaian di wilayahnya sehingga ia memprakarsai diadakannya Konsili untuk menyelesaikan pertikaian, itu memang dapat diterima dan masuk akal. Namun anggapan bahwa ia-lah yang memimpin Konsili untuk memutuskan/ menetapkan hal-hal yang khas gerejawi sebagaimana tertulis dalam catatan hasil Konsili Nicea, nampak sebagai kesimpulan yang tergesa-gesa. Sebab sumber ensiklopedia non-Katolik-pun mencatat bahwa hal rumusan ajaran Gereja bukanlah menjadi perhatian dan kepentingan utama dari Kaisar Konstantin.
Selanjutnya tentang pertanyaan Anda tentang makna 1 Kor 15:28, “Tetapi kalau segala sesuatu telah ditaklukkan di bawah Kristus, maka Ia sendiri sebagai Anak akan menaklukkan diri-Nya di bawah Dia, yang telah menaklukkan segala sesuatu di bawah-Nya, supaya Allah menjadi semua di dalam semua.” Menurut keterangan dari Haydock’s Commentary :
“Maksudnya adalah untuk mengatakan bahwa Putera akan tunduk kepada Bapa, menurut kodrat manusia-Nya, bahkan setelah Kebangkitan badan di akhir zaman; demikian pula keseluruhan Tubuh Mistik Kristus (yaitu Gereja) akan tunduk sepenuhnya kepada Allah, menaati Dia dalam segala sesuatu.”
Gereja telah sejak awal mengajarkan kesamaan hakekat antara Yesus dengan Allah Bapa, sebab Yesus dan Bapa adalah satu (Yoh 10:30). Yesus bukannya sejajar dengan Allah Bapa (seolah keduanya adalah dua entitas yang berbeda), tetapi keduanya satu hakekatnya. Maka Yesus sehakekat dengan Allah Bapa. Mengapa Gereja mengajarkan demikian? Karena Yesus menyatakan demikian. Jika dalam Kitab Suci disebutkan adanya ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Yesus ‘berada di bawah’ Allah Bapa, maka itu mengacu kepada kodrat kemanusiaan-Nya, karena memang dalam penjelmaan-Nya menjadi manusia, Yesus itu adalah sungguh Allah dan sungguh manusia, silakan klik. Selanjutnya tentang Allah Trinitas, klik di sini.
Sedangkan tentang dasar mengapa Gereja Katolik memperbolehkan penggunaan patung sebagai sarana dalam ibadah sudah pernah diulas di sini, silakan klik.
Comments are closed.